Kalla Berziarah ke Makam Sultan Johor

Jakarta - Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla hari ini berziarah ke makam Sultan Johor, Iskandar Ismail di Johor Baru, Malaysia. Kalla berangkat Senin (25/1), dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, langsung menuju Johor Baru.

Sejumlah kolega Kalla juga turut serta dalam rombongan antara lain, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan anggota DPD Aksa Mahmud.Kalla dan rombongan bertolak ke Malaysia menggunakan pesawat pribadinya dengan nomor penerbangan BAE 146.

Kalla dan Sultan Johor Baru memang memiliki hubungan yang dekat karena di Malaysia pada umumnya banyak masyarakat yang merupakan keturunan suku Bugis. Bahkan sultan-sultan di Johor Baru memiliki hubungan silsilah dengan suku Bugis.

Sultan Johor, Iskandar Ismail wafat pada Jumat (22/1)pukul 07.15 waktu setempat, di usianya yang ke 77 tahun. (tribun timur)

Sumber: http://tribunbatam.co.id

Malaysia Kagumi Kiprah dan Perjuangan Buya Hamka

Kuala Lumpur - Rakyat Malaysia mengagumi sepak terjang dan pemikiran Buya Hamka, mantan Ketua MUI dan ulama besar dari Sumatera Barat itu, sehingga Universiti Kebangsaan Malaysia mengadakan seminar "Serantau Seabad Buya Hamka".

Menteri penerangan, komunikasi, dan kebudayaan Malaysia Rais Yatim membuka seminar tersebut dan dihadiri pula oleh wakil duta besar RI untuk Malaysia Tatang B Razak, Rusdi Hamka, salah seorang anak Buya Hamka, Senin, Selangor.

"Saya cukup dekat dengan almarhum Buya Hamka pada dekade 1970an dan 1980an hingga sebelum meninggal. Saya banyak membaca novel dan buku beliau serta mengetahui kiprah politik almarhum. Sebagai orang yang kenal Buya Hamka dan pelindung dari Universiti Kebangsaan Malaysia, saya mendukung seminar ini," kata Rais Yatim.

Selain itu, Buya Hamka sangat berperan dalam pengembangan bahasa Melayu yang kemudian digunakan rakyat Indonesia dan Malaysia sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi sehari-hari. "Dan kiprahnya di bidang politik, Buya Hamka memiliki peranan penting dalam merapatkan hubungan negara serumpun Indonesia-Malaysia," tambah Rais Yatim.

Sementara itu, wakil Dubes Tatang B Razak mengatakan, suatu kehormatan bagi bangsa dan rakyat Indonesia dengan diselenggarakannya seminar Serantau Seabad Buya Hamka.

Tatang mengatakan, Buya Hamka bukan saja seorang ulama besar dan politisi tapi juga budayawan besar karena banyak menghasilkan Cerpen (cerita pendek), Novel dan Tafsir Al Qur’an. "Novel-novel almarhum seperti "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck", "Di Bawah Lindungan Ka?abah" dan "Merantau ke Deli" telah menjadi buku teks sastra di sekolah-sekolah Malaysia dan Singapura," kataya.

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai, ujar Tatang.

Rusdi Hamka, salah seorang anak Buya Hamka dan pengelola majalah Panji Masyarakat, membenarkan bahwa Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) pernah ditahan oleh Soekarno pada masa konfrontasi Indonesia-Malaysia. "Bung Karno mencurigai Buya Hamka mengadakan serangkaian rapat gelap untuk menggulingkan Soekarno yang dibiayai oleh PM Malaysia Tun Abdurrahman. Namun tuduhan tidak terbukti, tapi ayah saya di penjara tiga tahun," katanya.

Buya Hamka pernah menerima beberapa anugerah di tingkat nasional dan internasional. Misalnya gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tun Abdul Razak, langsung menyampaikan penganugerahan itu kepada Buya Hamka. Sebelumnya, beliau juga menerima gelar yang sama dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada tahun 1958. (JY)

Sumber: http://oase.kompas.com

Pagaralam, Lintasan Megalitikum Gelombang Kedua

Jakarta - Tak bisa dimungkiri, Pagaralam adalah wilayah yang memiliki peradaban tua. Penemuan puluhan kubur batu belakangan ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut adalah sebuah area lintasan zaman megalitikum.

Menurut Von Heine Geldern, kubur batu termasuk kebudayaan megalitikum gelombang kedua atau disebut juga Megalit Muda yang menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1.000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalit gelombang ini adalah peti kubur batu, dolmen, waruga sarkofagus, dan arca-arca dinamis.

Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari lempengan atau papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.

Selain Pagaralam dan Lahat, daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta), dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi, serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu dapat ketahui persamaan antara peti kubur dan sarkofagus, yang keduanya merupakan tempat menyimpan mayat disertai bekal kuburnya.

Selama ini, Pagaralam memang telah dikenal dengan peninggalan zaman megalitikum. Hal ini terbukti dengan penemuan arca-arca yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, seperti Karangindah, Tinggiari Gumai, Tanjungsirih, Padang Gumay, Pagaralam, Tebatsementur (Tanjungtebat), Tanjung Menang-Tengahpadang, Tanjungtebat, Pematang, Ayik Dingin, Tanjungberingin, Geramat Mulak Ulu, Tebingtinggi-Lubukbuntak, Nanding, Batugajah (Kutaghaye Lame), Pulaupanggung (Sekendal), Gunungmigang, Tegurwangi, dan Airpur.

Penemuan yang paling menarik adalah megalitik yang dinamakan Batugajah, yakni sebongkah batu berbentuk telur, berukuran panjang 2,17 m, dan dipahat pada seluruh permukaannya. Bentuk batunya yang asli hampir tidak diubah, sedangkan pemahatan obyek yang dimaksud disesuaikan dengan bentuk batunya. Namun, plastisitas pahatannya tampak indah sekali.

Batu dipahat dalam wujud seekor gajah yang sedang melahirkan seekor binatang antara gajah dan babi-rusa, sedangkan pada kedua belah sisinya dipahatkan dua orang laki-laki. Laki-laki sisi kiri gajah berjongkok sambil memegang telinga gajah, kepalanya dipalingkan ke belakang dan bertopi. Perhiasan berbentuk kalung besar yang melingkar pada lehernya. Begitu pula pada betis, di sana tampak tujuh gelang. Pada ikat pinggang yang lebar tampak pedang berhulu panjang, sedangkan sebuah nekara tergantung pada bahunya. Pada sisi lain (sisi kakan gajah) dipahatkan seorang laki-laki juga, hanya tidak memakai pedang. Pada pergelangan tangan kanan laki-laki ini terdapat gelang yang tebal. Adapun pada betis tampak 10 gelang kaki.

Temuan batu gajah dapat membatu usaha penentuan umur secara relatif dengan gambar nekara itu sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang mirip dengan belati Dong Son (Kherti, 1953 : 30), serta benda-benda hasil penggalian yang berupa perunggu (besemah, gangse) dan manik-manik. Dari petunjuk-petunjuk di atas, para ahli berkesimpulan bahwa budaya megalitik di Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, berlangsung pada masa perundagian. Pada masa ini, teknik pembuatan benda logam mulai berkembang.

Sebuah nekara juga dipahatkan pada arca dari Airpuar. Arca ini melukiskan dua orang prajurit yang berhadap-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan orang yang satunya memegang tanduknya. Kepala serigala (anjing) tampak di bawah nekara perunggu tersebut.

Kantor berita Antara menulis, belum lama ini sedikitnya 15 kuburan batu telah ditemukan di Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan yang lokasinya tersebar di lima kecamatan.

Berdasarkan informasi dari lokasi penemuan kubur batu itu, Senin, lokasi penemuan rumah batu tersebut beberapa di antaranya berada di Kecamatan Pagaralam Utara, dua di Kecamatan Dempo Utara, dan satu di Kecamatan Dempo Tengah wilayah Kota Pagaralam.

Untuk wilayah Lahat, yaitu tujuh di Kecamatan Pajarbulan, satu di Kecamatan Jarai, dan dua kubur batu di Desa Talang Pagar Agung, Kecamatan Pajarbulan.

Penemuan kuburan batu itu, menurut informasi warga setempat, banyak terjadi antara lain melalui proses mimpi sehingga setelah itu dilakukan penggalian yang dilakukan penduduk setempat.

Aset cagar budaya ini semuanya masih belum dikelola pemerintah dan penduduk setempat yang merupakan pemilik lahan tempat ditemukannya bangunan bersejarah tersebut.

"Untuk saat ini, semua kuburan batu yang sudah ditemukan langsung diteliti dan didata untuk mengetahui dengan pasti jenis cagar budaya tersebut," kata Akhmad Rifai, petugas Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3 Jambi) dengan wilayah kerja Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Babel.

Dia mengatakan, memang ada beberapa jenis peninggalan purbakala yang sudah ditemukan di wilayah Pagaralam dan Lahat, yaitu megalit, kuburan batu, tempayan, arca, lumpang batu, dan beberapa jenis benda bersejarah yang diperkirakan berusia ratusan hingga ribuan tahun.

"Kami sudah melakukan pendataan penemuan kuburan batu, seperti di Dusun Tanjung Aro 2, Dusun Tegurwangi 2, Dusun Belumai 1 untuk Pagaralam, sedangkan wilayah Lahat di Desa Kota Raya Lembak 7, Desa Gunung Megang 1," ujarnya.

Akhmad mengatakan, setelah pendataan, semua cagar budaya tersebut langsung dilindungi BP3 Jambi. Mereka lalu langsung mengangkat juru kunci sebagai petugas pemeliharaann cagar budaya ini.

"Kuburan batu atau situs yang ditemukan di Desa Talang Pagaragung, Kecamatan Pajarbulan, belum dimasukkan dalam salah satu benda bersejarah yang harus dilindungi karena baru ditemukan dan masih dalam proses penelitian tim dari arkeologi BP3 Jambi," katanya.

Ia mengatakan, penelitian hanya bersifat menentukan umur, masa, dan jenis benda yang terdapat di dalam bangunan tersebut saat penggalian.

"Kami sudah melakukan penelitian. Bentuk bangunan bukan tempat pemujaan atau langgar, melainkan kuburan batu sama dengan yang sudah lebih dulu ditemukan di daerah lainnya, baik di Kota Pagaralam maupun wilayah Kabupaten Lahat," ungkap Akhmad Rifai. (JY)

Sumber: http://oase.kompas.com

Kalteng Manfaatkan Adat Lestarikan Hutan

Palangkaraya - Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Pemprov Kalteng) memanfaatkan kebiasaan adat penduduk setempat sebagai upaya pelestarian hutan di kawasan tersebut.

Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Anung Setyadi kepada pers di Palangkaraya, Rabu mengakui kebiasaan adat warga setempat ternyata terbukti mampu melestarikan hutan.

Oleh karena itu kearifan lokal yang dimiliki wilayah setempat dimanfaatkan dalam upaya melestarikan hutan melalui program pengembangan hutan adat. "Sebab kearifan lokal masyarakat Kalteng, mengerti sekali bagaimana melestarikan hutan," katanya.

Umpamanya saja, lanjut dia, cara warga mengambil kayu tidak bakal merusak hutan, sebab mereka tahu waktu apa kayu harus dipanen, serta jenis apa saja yang bisa diambil.

Begitu juga untuk mengembangkan hutan, kayu apa saja yang sesuai dengan kawasan itu untuk ditanam, dan sebagainya.

"Kami sudah memiliki satu lokasi program hutan adat, yaitu di wilayah Kabupaten Katingan. Program ini rencananya akan terus dikembangkan di wilayah Kalteng," katanya.

Konsep hutan adat pada pokoknya merupakan pola pengembangan hutan yang dikelola oleh adat, kemudian adat bisa mengambil manfaat dari keberadaan hutan itu untuk meningkatkan perekonomian.

"Kami ingin hutan tetap lestari. Sejalan dengan itu, rakyat atau komunitas adat di wilayah hutan kian menjadi sejahtera," kata Anung Setyadi.

Dalam pengembangan hutan adat dilakukan dengan pengembangan hutan kayu dan hutan nonkayu, sehingga nantinya bisa dimanfaatkan hasil hutan bukan kayu (hhbk) seperti rotan, karet, buah-buahan, serta pohon jelutung.

Dalam kopsep hutan adat dengan jenis tanaman nonkayu, masyarakat bisa menghutankan kawasan sebagai areal pengembangan rotan, buah-buahan, karet, atau hutan jelutung.

Bila hutan nonkayu ini bisa berkembang, warga desa bisa memanfaatkan rotan yang ada di kawasan tersebut, tetapi dengan sistem rotan yang sudah bisa dipanen. Selain itu warga juga harus tetap mampu mengembangkan tanaman muda agar areal itu tetap menjadi hutan.

Begitu juga buah-buahan atau karet, hasilnya bisa dipanen dan dijual oleh masyarakat adat, yang bisa digunakan untuk modal produksi.

Sementara tanaman jelutung, adalah tanaman hutan khas setempat yang menghasilkan getah jelutung.

Getah ini sudah banyak dimanfaatkan warga setempat sebagai bahan baku kerajinan tangan sebagai barang cenderamata.

Kerajinan getah jelutung merupakan produk khas Kalteng yang sudah banyak dijualbelikan sebagai oleh-oleh bagi mereka yang datang ke wilayah ini, seperti barang kerajinan kapal-kapalan dan mainan lainnya.

Sumber: http://oase.kompas.com

UMKM Timor Leste Belajar Membatik

Jakarta - Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) asal Timor Leste akan belajar teknik membatik dari para pelaku UKM di Indonesia.

"Kami akan belajar kepada UKM di Indonesia soal batik," kata Advisor Kementerian Ekonomi dan Pembangunan Republik Demokratik Timor Leste, Novanto Agus, di Jakarta, Rabu (27/1/2010).

Ia mengatakan, meski memiliki kesempatan untuk mempelajari batik kepada Indonesia, pihaknya hanya akan mengadopsi ilmu dan pengetahuan yang didapat.

Agus menegaskan, Timor Leste tidak akan melakukan klaim atas budaya asal Indonesia. "Kita semua tahu UNESCO juga telah mengakui batik sebagai warisan budaya manusia asal Indonesia, jadi kita boleh adopsi tapi asalnya tetap dari Indonesia," katanya.

Menurut dia, di negaranya batik juga telah lama berkembang sebagai bagian dari budaya masyarakat dengan motif yang berbeda dari batik Indonesia.

Pihaknya telah juga belajar kepada Indonesia yakni di Dekranas, Balai Besar Kerajinan dan Batik, dan Sriboga untuk food processing di Semarang.

Timor Leste juga akan menjalin kerja sama dengan PT PNM dalam hal konsultasi manajemen dengan Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM RI sebagai pelindungnya.

"Selain itu, kami juga akan bekerja sama dengan BRI untuk mendirikan bank pembangunan nasional," katanya.

Ia mengatakan, sampai saat ini di Timor Leste baru ada tiga bank, yakni ANZ, Bank Mandiri, dan BNU (Bank Nationale Ultra Malino). "Kami akan bekerja sama dengan BRI sebagai konsultan manajemen," katanya.

Sumber: http://oase.kompas.com

Pemkot Tanjungpinang Buka Kawasan Wisata Mangrove

Tanjungpinang - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau membuka objek wisata hutan mangrove mengitari kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga.

"Selain untuk melestarikan hutan mangrove, juga untuk mengingatkan kembali memori kolektif sejarah masa lampau yang ada di kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim di sela-sela peresmian objek wisata tersebut, Kamis (21/1).

Kawasan hutan mangrove yang berada di Hulu Sungai Carang, Kota Tanjungpinang tersebut, mengelilingi peninggalan sejarah yang dibangun pada masa Sultan ke-VIII kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) untuk menjadi pusat kerajaan yang secara resmi dipindahkan dari Johor pada masa Sultan Ibrahim Syah pada tahun 1677 sampai tahun 1685.

"Wisatawan nantinya tidak hanya menikmati keindahan hutan mangrove yang ada, namun juga bisa mempelajari kembali peninggalan sejarah Melayu pada masa lampau," ujarnya yang biasa dipanggil Akib.

Akib mengatakan pengembangan wisata hutan mangrove ini merupakan salah satu bentuk promosi pariwisata Kota Tanjungpinang, di mana wisatawan bisa menikmati keindahan alam sekaligus mengetahui sejarah masa lalu. "Pengunjung bisa mengelilingi hutan mangrove dari "mangrove walk" yang sudah disediakan dan mempelajari sejarah di Hulu Sungai carang yang sekarang dikenal dengan Kota Rebah," ujarnya.

Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan menyambut baik upaya-upaya yang dimulai untuk membangkitkan kawasan yang disebut berbagai kalangan dengan Kota Raja, atau ada yang menyebut Kota Lama dan terakhir disebut Kota Rebah.

"Upaya pengelolaan kawasan ini, akan memberikan alternatif lain tempat wisata Kota Tanjungpinang yang tidak saja berupa kawasan pantai, pusat kota dan kawasan belanja yang selama ini dikenal," ujar Suryatati. (Ant/OL-06)

Sumber: http://www.mediaindonesia.com

Yogyakarta Harus Perluas Pasar Wisata Internasional

Yogyakarta - Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 2010 harus memperluas pasar wisata internasional, sehingga jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang mengunjungi daerah ini terus meningkat.

"Memperluas pasar wisata internasional harus dilakukan, apalagi dari Yogyakarta sudah ada penerbangan langsung ke luar negeri pulang-pergi," kata Ketua Forum Silaturahmi Insan Pariwisata (Fosipa) Indonesia Sarbini di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, memperluas pasar wisata internasional hendaknya dibarengi dengan promosi wisata ke berbagai negara, dengan tujuan untuk menggaet wisman agar datang ke DIY.

"Untuk itu, promosi pariwisata Indonesia termasuk Yogyakarta di luar negeri perlu digalakkan," katanya.

Ia mengatakan promosi selain untuk mengenalkan kembali objek wisata yang ada di DIY, juga karena daerah ini sebagai destinasi pariwisata unggulan.

Meskipun DIY sudah lama dikenal sebagai destinasi wisata unggulan, menurut Sarbini promosi pariwisata harus terus dilakukan guna menarik minat wisatawan berkunjung ke daerah ini.

"Tanpa promosi, DIY sebagai daerah tujuan wisata bisa ditinggalkan dan dilupakan, apalagi daerah tujuan wisata lain di Indonesia terus berlomba-lomba menggencarkan promosinya, baik di dalam maupun luar negeri," katanya.

Ia mengatakan promosi pariwisata tidak bisa hanya dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dikerjakan bersama oleh para pemangku kepentingan pariwisata daerah ini yaitu pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas Pariwisata, dengan para pelaku usaha wisata.

Selain upaya tersebut, kata dia, DIY sebagai daerah tujuan wisata harus memiliki daya tarik wisata, sehingga wisman yang berkunjung ke daerah ini akan membawa kenangan tersendiri setelah pulang ke negara asalnya, dan diharapkan suatu saat nanti mereka kembali berkunjung ke Yogyakarta.

"Apalagi DIY memiliki potensi berupa ragam wisata dari objek yang ada, atraksi seni dan budaya, desa wisata, wisata minat khusus, serta wisata alam, baik pantai maupun pegunungan , katanya.

Sarbini menyebutkan Fosipa beranggotakan para pelaku usaha pariwisata se Jawa-Bali, sebagian Sumatra, dan beberapa daerah lain di luar Pulau Jawa.

"Sebagai bagian dari pemangku kepentingan pariwisata, komitmen Fosipa adalah memajukan sektor pariwisata dengan menyelenggarakan sarasehan, lokakarya, serta pameran pariwisata," katanya.

Sumber: http://www.antaranews.com

Pesawaran Kembangkan Wisata Air Terjun Wiyono

Pesawaran - Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, berencana mengembangkan potensi Wisata Alam Air Terjun Wiyono, berbasis komunitas. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Pesawaran, Mahmud Yunus, didampingi Kabid Pariwisata, A. Muhaldin, mengatakan, dengan dikelolanya objek wisata alam air terjun berbasis komunitas dapat meningkatkan daya tarik pariwisata dan melibatkan berbagai pihak di daerah tersebut.

Ia mengatakan, pengembangan objek wisata alam berbasis komunitas itu, akan dilaksanakan dan dibangun oleh beberapa organisasi atau para pihak yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan wisata alam.

"Berbasis komunitas, dimana semua pihak yang terkait harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan pengembangan objek wisata alam ini," ucapnya Jumat (22/1/2010)

Sebelum pengembangan, lanjut dia, terlebih dahulu diidentifikasi siapa saja pihak-pihak yang berkepentingan terhadap objek wisata alam tersebut. "Setelah seluruh pihak yang terkait telah memiliki kesepakatan dalam pengembangan objek wisata tersebut maka barulah pelaksanaan pengembangan wisata alam dapat dilaksanakan," ujarnya menjelaskan.

Pihak-pihak yang terkait dalam mendukung pelaksanaan pengembangan ini antara lain Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR Dishut Provinsi Lampung, masyarakat sekitar lokasi, sejumlah LSM, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesawaran yang bertanggung jawab terhadapa pengelolaan wisata alam tersebut.

Selain itu, lanjut dia, pelaku wisata swasta yang dalam hal ini para operator wisata, termasuk pengelola resort yang ada di kawasan wisata. "Pelaku wisata swasta dilibatkan dalam pengembangan tersebut, karena pada dasarnya merekalah yang memiliki pasar wisata tersebut," katanya.

Wisata Air Terjun Wiyono, di Desa Wiyono, Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, lokasinya sekitar 30 kilometer dari Bandarlampung, dan kerap dikunjungi warga, khususnya pelajar yang melakukan perkemahan di sekitar air terjun itu.

Sumber: http://travel.kompas.com

Nekara 1.000 Tahun Belum Dipindahkan ke Museum

Mataram - Nekara perunggu berusia sekitar 1.000 tahun dikhawatirkan hilang atau rusak, kalau tetap disimpan di kantor Desa Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kepala Museum Negeri Provinsi NTB, R Joko Prayitno di Mataram, Kamis mengatakan, mulai tahun 2009 pihaknya berencana memboyong benda peninggalan sejarah tersebut untuk dijadikan koleksi museum, namun tidak tersedia anggaran dari APBD untuk membayar ganti rugi.

"Sejak tahun 2009 saya mengajukan anggaran untuk memberikan ganti rugi nekara perunggu tersebut, namun gagal termasuk tahun 2010 juga tidak tersedia dana untuk keperluan tersebut, karena itu benda cagar budaya tersebut belum bisa disimpan di museum," ujarnya.

Menurut dia, total dana APBD tahun 2010 untuk museum NTB hanya Rp900 juta, sama besarnya dengan alokasi anggaran tahun 2009, tidak tersedia anggaran untuk membayar ganti rugi dan penambahan koleksi.

Joko mengatakan, tahun 2010 ini pihaknya mengharapkan dana dari APBD untuk membayar ganti rugi sejumlah peninggalan sejarah yang selama ini masih disimpan oleh masyarakat guna menyelamatkan benda purbakala itu dari kemungkinan hilang atau rusak.

Benda-benda peninggalan sejarah yang kini masih disimpan masyarakat, antara lain nekara perunggu yang ditemukan di Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur berusia sekitar 1.000 tahun lebih, benda peninggalan sejarah berupa karya seni rupa di Kabupaten Dompu dan benda etnografi di Sumbawa.

Ia mengatakan, nekara perunggu yang karakternya sama dengan yang ditemukan di Gianyar Bali itu sudah beberapa tahun disimpan di kantor desa, sehingga dikhawatirkan hilang atau rusak, karena itu harus segera dipindahkan ke museum.

Pada awalnya benda peninggalan sejarah itu tetap dipertahankan oleh masyarakat Desa Pringgabaya, namun sekarang mereka setuju kalau nekara itu disimpan di museum asal diberikan ganti rugi.

Ia mengatakan, seharusnya nekara berusia 1.000 tahun itu sudah menjadi koleksi museum, namun pada APBD 2010 tidak dianggarkan dana ganti rugi padahal di dalam UU No. 5/1992 dan PP No. 10/1995 tentang cagar budaya mengharuskan pemda menganggarkan dana untuk ganti rugi benda-benda peninggalan sejarah.

Nekara perunggu yang ditemukan secara tidak sengaja terkena alat berat ketika pembuatan jalan di Pringgabaya dari segi spesifikasi karakter dan bentuk berbeda dengan dua nekara koleksi Museum Negeri NTB terdahulu.

Benda peninggalan sejarah yang ditemukan di Pringgabaya belum diketahui secara pasti dari mana asalnya, karena penemuannya secara tidak sengaja dan tidak melalui penggalian sesuai aturan arkeologi, berbeda dengan dua nekara lainnya berasal dari Kebudayaan Dongson dari Ana Kamboja.

Di masa lampau nekara berfungsi sebagai genderang untuk memanggil hujan dan perlengkapan upacara kematian.

Dua nekara yang telah menjadi koleksi Museum Negeri Provinsi NTB ditemukan di lereng Gunung Tambora Sumbawa dan Sambelia Lombok Timur yang merupakan peninggalan kebudayaan Dongson Kamboja, abad IV pada masa perunggu.

Sumber: http://oase.kompas.com

Kolam Segaran tempat Gembleng Pasukan Perang Majapahit

Oleh Lucky Errol – Swara Majapahit

Kolam segaran bagi Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu situs peninggalan Keraton Majapahit, yang dituahkan dan dibanggakan masyarakat Trowulan khususnya dan Mojokerto umumnya. Banyak kisah yang mengiringi keberadaannya. Namun, yang paling diyakini para sesepuh daerah tersebut, keberadaannya merupakan area tempat penggemblengan pasukan perang laut sebelum dikirim dalam misi penaklukan.

Letak Kolam Segaran sekitar 500 meter arah selatan jalan raya Mojokerto-Jombang. Konon nama tersebut berasal kata segoro-segoroan yang berarti telaga buatan, seperti yang terdapat dalam buku Nagarakretagama pupuh VIII halaman 5.3, yang tersurat di daerah Trowulan terdapat sebuah telaga yang multiguna.

Menurut data museum Trowulan, kolam Segaran konon dibuat pada abad ke-14. Luas kolam ini 175m x 375m, dengan kedalaman sekitar 2,80m dan tebal dinding bangunan 1,60m. Air kolam berasal dari Balong Bunder dan Balong Dowo yang berada di sebelah selatan dan barat daya kolam. Saluran air masuk ke kolam ada di bagian tenggara, sementara air kolam.

Sedangkan di sebelah selatan sudut timur laut dinding sisi luar terdapat 2 kolam kecil berhimpitan, sementara di sebelah barat sudut timur terdapat saluran air menembus sisi utara. Di bagian tenggara terdapat saluran air masuk ke kolam dan saluran air keluar di bagian barat laut.

Dengan ukuran yang sangat besar itu, kolam yang menjadi salah satu simbol kejayaan Keraton Majapahit ini, diakui beberapa ahli antropologi nasional sebagai kolam kuno yang terbesar di Indonesia. Sedangkan pintu masuknya terletak disebelah barat, dengan bentuk tangga batu bata kuno.

Kolam yang banyak menyimpan kisah-kisah mistis ini ditemukan pada tahun 1926 oleh seorang Belanda, Ir Henry Maclain Pont bekerjasama dengan Bupati Mojokerto pertama yaitu Kromojoyo. Sejak ditemukan hingga saat ini, telah beberapa kali dilakukan pemugaran yaitu tahun 1966, 1974, dan 1984.

Kisah mistis keberadaan kolam ini, diawali saat pemugaran pertama dengan penemuan bandul jaring, kail pancing dari emas, dan sebuah piring berbahan emas dalam kondisi 60%. Semua penemuan itu tersurat di salah satu dinding Museum Trowulan. Posisinya di sebelah kanan batu Surya Majapahit.

Banyak cerita rakyat yang berkembang mengiringi keberadaan kolam Segaran. Misalnya, tentang fungsinya sebagai tempat pemandian putri-putri raja. Cerita lain yang datang dari daratan Cina, kolam tersebut sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya. Kolam tersebut juga digunakan Maharaja Hayam Wuruk untuk menjamu tamu agung dari Kerajaan Tiongkok, bahkan dalam acara perjamuan itu Hayam Wuruk pamer kekayaan dengan membuang peralatan pesta yang kotor ke dalam kolam.

Kisah lain yang ditambahkan salaqh satu sesepuh Trowulan, Sri Lestari Utami (62th), kolam Segaran juga difungsikan sebagai tempat penggemblengan para kesatria laut Majapahit. Penggemblengan dilakukan saat usai rekruitmen prajurit. Juga saat para pasukan pilihan akan dikirimkan dalam misi penaklukan terhadap kerajaan lain.

”Dukuh Segaran dulu merupakan pawon sewu (dapur umum) untuk memasak ransum buat para kesatria laut dan kesatria Bhayangkara (angkatan darat, red) saat pelatihan di kolam Segaran,” tambah Joko Umbaran (58th).

Menurut pria yang juga sesepuh warga dukuh Segaran desa Trowulan ini, area kolan Segaran ini selalu digunakan Mahapatih Gajahmada untuk mempersiapkan pasukan Bhayangkara yang dikendalikan. Tempat latihan pasukan darat ini di lapangan Bubat (sebelah barat dukuh Segaran).

Kontroversi Masyarakat
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang senantiasa menjaga martabat dihadapan para tamu asing. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan perabot makan dari emas, sehingga prestise Majapahit di hadapan para tamunya sangat tinggi. Pencitraan kemakmuran dan kekayaan Majapahit itu dikuatkan dengan cerita rakyat, bahwa Majapahit sering menjamu para tamu asingnya di tepian kolam Segaran dan perabot makan yang kotor langsung dibuang ke dalam kolam.

Memang, sampai saat ini perjamuan makan masih menjadi kontroversi masyarakat. Sebab ada sebagian masyarakat beranggapan perabot makan yang dibuang ke kolam akan diambil kembali untuk dicuci, setelah para tamu asing itu meninggalkan acara perjamuan. Ada pula yang beranggapan, perabotan yang dibuang ke kolam itu tak pernah diambil lagi. Sehingga di zaman modern ini banyak ditemukan oleh beberapa masyarakat Trowulan yang beruntung.

”Soal kebenaran dari kebiasaan perjamuan di tepi kolam Segaran itu, sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Pasalnya cerita rakyat yang berkembang itu berdasar dari persepsi dan temuan mereka,” kata Joko Umbaran sembari memandang kepulan asap kreteknya.

Dengan data sejarah yang tersimpan di Museum Trowiulan, juga berdasar variasi cerita rakyat yang berkembang, pensiunan Dinas Purbakala Kab. Mojokerto ini menyimpulkan bahwa, pembuatan kolam Segaran memiliki prioritas utama penunjang perekonomian rakyat, khususnya di bidang pertanian. Itu terbukti dari fungsinya saat ini sebagai waduk pengairan untuk sawah-sawah masyarakat sekitarnya.

”Kisah mistis yang terbukti, tanaman padi yang diari oleh Waduk Segaran menghasilkan padi yang punel dan enak untuk dimakan,” ujarnya.

Sumber Tulisan: http://ogiex69press.wordpress.com

Kisah Kelam di Balik Gunung Emas Nemangkawi

Oleh Rahung Nasution*

“Bagaimana perasaanmu jika kami ambil ibumu dan kami belah payudaranya,
itulah perasaan orang Amungme sekarang.”— Lidia Baenal

Jika kita berkunjung ke Timika, mendarat di bandara Moses Kilangin, sepintas tidak ada yang aneh di bandara kecil bertarap internasional ini. Tetapi, jika kita sudah berada di luar bandara dikerubungi supir taksi-taksi liar dan tukang ojek yang berasal dari Jawa dan Sulawesi—yang berlomba-lomba untuk menawarkan jasa—dan pemuda-pemuda setempat yang nongkrong di depan bandara sambil mengunyah-ngunyah pinang-sirih yang membuat mulut mereka berwarna merah, barulah kita mengetahui bandara ini berbeda dengan bandara udara yang ada di kota-kota Indonesia lainnya.

Di depan bandara udara Moses Kilangin terdapat ban truk raksasa, carterpillar—yang mengukuhkan bahwa bandara udara dibangun oleh salah satu perusahan tambang terbesar di dunia, Freeport Mc Moran. Di tengah-tengah lingkaran ban raksasa tersebut tercantum nama-nama sejumlah negara yang turut serta dalam ekploitasi tambang emas dan tembaga di wilayah Nemangkawi, Pegunungan Cartensz, Jayawiya.

Namun, Kota Timika yang merupakan ibukota dari Kapubaten Mimika, tidak jauh berbeda dengan kota kabupaten lain yang terdapat di luar Pulau Jawa. Nampak kumuh, lampu merah yang jarang menyala, bangunan-bangunan modern dan tumpukan rumah-rumah penduduk beratap seng yang mayoritas dihuni pendatang dari Bugis, Jawa, Maluku, dan Toraja, serta pasar tradisional sebagai pusat aktivitas ekonomi dan listrik yang di kelola PLN sering kali mati.

Kabupaten Mimika merupakan pemekaran dari Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat. Kabupaten baru ini sedang bergegas dan nampaknya menyadari betul akan keberadaan dirinya sebagai kabupaten yang memiliki sumber daya alam terkaya di Indonesia, dan mungkin juga di dunia. “Jika Freeport tidak ada, Kota Timika tidak akan pernah ada. Dan seandainya kota ini pun ada, maka Timika akan menjadi kota mati,” begitulah pernyataan seorang kawan ketika aku tanyakan bagaimana seandainya Freeport Mc Moran tidak melakukan eksploitasi di wilayah yang kini tertunda sebagai ibukota Provinsi Papua Tengah ini—karena ide pemekaran Papua Barat menjadi dua provinsi mengakibatkan konflik elit politik yang berbuntut pada perang suku antara kubu yang pro dan menentang pada tahun 2005. Setahun kemudian, perang suku pecah lagi. Kali ini untuk memperebutkan 7 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daereh (DPRD) kabupaten Mimika.

Pada Februari 1623, pelaut Belanda Jan Cartensz yang berlayar di sebelah selatan Pulau Papua melaporkan dalam jurnalnya: suatu pagi yang cerah mereka menyaksikan suatu gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Ketika itu, banyak orang di Eropa menyangsikan laporannya dan menganggapnya sebagai pembual ketika ia mengatakan bahwa di suatu wilayah khatulistiwa terdapat gunung salju abadi. Beberapa peneliti yang tertarik dengan laporan “bualan”-nya itu kemudian melakukan serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi.

Pada 25 April 1960, Nederlands Nieuw Guinea Petrolium Maatschappy (NNGPM) melakukan pendakian dalam skala besar kepegungan bersalju Nemangkawi, dipimpin A.J. Wintrachen dari Belanda dan seorang geolog Amerika, D. Flind. Ekspedisi kali ini juga merupakan kelanjutan dari dari ekspedisi sebelumnya yang telah dilakukan Dr. A.H. Colijn di tahun 1936 sampai 1937 bersama geolog Dr. J.J Dozy yang menemukan kandungan bijih-bijih mineral di salah satu puncak Nemangkawi, Yelsegel Ongopsel, yang kemudian mereka sebut sebagai Gunung Bijih, Eastberg.

Dalam rombongan ekspedisi itu terdapat sembilan belas orang pegawai pemerintah kolonial Belanda, polisi, porter, dan penerjemah. Salah seorang dari mereka adalah Moses Kilangin Tenbak, seorang guru SD Kampung Amkayagama, Lembah Tsinga hilir. Moses Kilangin adalah seorang putra suku bangsa Amungme. Pemilik hak ulayat (ulayat = tanah adat, ed.) atas tanah Amungsa, Pegunungan Nemangkawi, Cantensz.

Amungsa merupakan wilayah yang ditempati suku bangsa Amungme yang meliputi puncak-puncak Pegunungan Nemangkawi yang tinggi (Cartensz), lembah-lembah yang subur, seperti Tsinga, Noemba dan Waa, serta sungai-sungai yang membelah pegunungan dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Salah satu puncak Nemangkawi adalah Yelsegel Ongopsel (Eastberg), yang dalam bahasa Amungme berarti “gunung yang berkilauan laksana bulu burung Cenderawasih hitam”.

Menurut Arnold Mamperior dalam bukunya Amungme Manusia Utama Dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, Gunung Yelsegel Ogopsegel adalah wilayah keramat—tempat asal mula leluhur suku Amungme—dan sebagai tempat beristirahatnya burung Yelki dan Ongopki yang dipuja keret-ndartem (klan) Narkime dan Magal. Gunung yang puncaknya 130 meter dari permukaan tanah dan kedalamannya dua kali lipat ke dalam perut bumi ini, sudah lenyap dikeruk oleh Freeport dan kini yang tersisa adalah ceruk, sumur raksasa, yang airnya berasal dari curah hujan.

Perusahaan tambang Freeport milik Amerika yang berporasi sejak tahun 1973 menandatangi kontrak karya dengan rezim Orde Baru Soeharto untuk menambang bijih-bijih tembaga di wilayah Nemangkawi, gunung Yelsegel Ogopsegel, Eastberg. Tahun 1991 kontrak karya ini diperbaharui, berlaku hingga 30 tahun (sampai 2041), dengan klaim bahwa geolog Freeport baru menemukan emas di Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg tahun 1988 dengan kandungan emas terbesar di dunia dan tembaga menempati urutan nomer ketiga.

Menurut Memperior, Amungme berarti Manusia Pertama, Manusia Sejati, atau Manusia Sesungguhnya. (Amung berarti Pertama, Utama, Sejati, Sesungguhnya; dan Me berarti Manusia, Orang). Suku Manusia Utama ini memberi nama Nemangkawi kepada pegunungan yang bersalju ini sejak jaman leluhur mereka. Sebagai suku pegunungan, suku Amungme memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam dalam istilah mereka Te Aro Newek Lak-o, yang berarti: Alam adalah Aku. Sungai, lembah, dan pegunungan adalah tubuh ibu atau mama suku Amungme.

Para peneliti Eropa menamainya Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Soekarno memberi nama Puncak Soekarno ketika terbang di atas Pegunungan Nemangkawi pada 5 Mei 1963 dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke dan sebelumnya Soekarno sudah mengganti nama Hollandia (Kota Baru) menjadi Soekarnopura. Pada zaman rezim Orde Baru, Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya dan Soekarnopura menjadi Jayapura.

Selang beberapa bulan setelah Kudeta Militer tahun 1965, Freeport Mc Moran mulai menjajaki kemungkinan investasi untuk mengeksploitasi Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Pada 3 Maret 1973, Soeharto meresmikan beroperasinya penambangan Freeport tanpa meminta persetujuan dari masyakakat adat Amungme, pemilik sah tanah ulat di Pegunungan Nemangkawi. Dengan kepemilikan saham terbesar jatuh kepada: Freeport Mc Moran sebesar 67,3 persen, PT Indocopper Investama 9,3 persen, join venture dengan Rio Tinto Group 13 persen, dan pemerintah Indonesia 9,3 persen. Dalam laporan yang dirilis di mining-technology.com, pada 2006 Freeport memproduksi 610. 800 ton tembaga, 58.474,392 gram emas, dan 174.458.971 gram perak.

Salah seorang komisaris pemegang saham di perusahaan tambang raksasa ini adalah Henry Kissinger, Sekretaris Negara Amerika Serikat ke-56 dari tahun 1973 sampai 1977 dan pernah menjabat sebagai Pembantu Penasehat Keamanan Nasional untuk presiden dari tahun 1969 sampai 1975. Henry Kissinger adalah seorang diplomat ulung yang disebut-sebut beberapa pakar terlibat dalam penggulingan pemerintahan Soekarno dan secara aktif turut serta dalam membasmi gerakan komunis di Asia.

Terisolasi di Tengah Gemerlap Tembagapura
Ketika awal Juli yang lalu kami mengunjungi Desa Banti dan Kimbeli, belum pernah kami bayangkan sebelumnya, satu kelompok suku bangsa yang secara otoritas administrasi termasuk dalam Republik Indonesia, terisolasi sedemikian rupa dan terperosok di pinggiran gemerlapnya kota tambang di kaki Pegunungan Nemangkawi, Cartensz. Desa Banti dan Kimbeli terdapat di distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, di mana perusahaan tambang raksasa Freeport mengeruk kekayaan Amungsa sampai ke perut bumi dan mendapatkan keuntungan jutaan dolar dengan memenuhi hasrat dunia akan kemilau emas. Dan negara melalui pemerintah Indonesia, mengalami tuna-kuasa.

Untuk sampai ke desa yang terletak di Lembah Waa ini, kita harus mengurus izin dari manajemen Freeport yang berkantor di Kuala Kencana (pusat pemukiman lengkap dengan sarana perbelanjaan dan perkantoran modern yang disulap di tengah hutan hujan tropis yang sangat eksotis). Jangan harap izin tersebut didapatkan pada saat hari itu juga, izin dan kartu pas bisa keluar seminggu kemudian, setelah kami bisa menyakinkan pihak manajemen Freeport bahwa kunjungan ke Banti dan Kimbeli bukan dalam rangka untuk “memata-matai” aktivitas penambangan mereka dan bukan untuk memotret aktivitas penambangan tradisional di Sungai Ajkwa yang tercermar oleh limbah tailing Freeport. Sungai yang bersumber dari mata air-mata air yang mengalir dari Pegunungan Nemangkawi ini, mirip adonan semen cair berwarna keabu-abuan dengan bau yang sangat menyengat. Di sungai inilah suku Amungme, Dani, Mee, dan para pendatang dari Jawa dan Sulawesi mengais-ngais sisa-sisa bijih emas yang lolos ke kanal-kanal pembuangan.

Surat izin dan kartu pas yang kami dapatkan atas rekomendasi dari dokter-dokter yang bekerja di Rumah Sakit SOS di Tembagapura, kami pakai untuk melewati empat Pos Keamanan Freeport yang sistemnya terkomputerisasi. Bagi penduduk sekitar, mungkin tidak serumit pengunjung ketika ingin mendapatkan izin keluar-masuk ke wilayah itu. Tetapi jalan satu-satunya untuk sampai Banti dan Kimbeli adalah jalan menuju areal penambangan di kawasan Gunung Tenogama/Enagasin, Grassberg.

Setelah melewati Kuala Kencana, jalan yang dilalui adalah jalan tanpa aspal dari dataran rendah menanjak ke perbukitan di mile 50 dengan kelokan-kelokan yang curam, dan kemudian mendaki ke pegunungan di atas 3.000 m dari permukaan laut.

Sepanjang perjalanan, menara tiang-tiang listrik menjulang tinggi untuk mengalirkan arus listrik dari pembangkit listrik Freeport bertenaga batubara yang terdapat di Portside, pelabuhan tambang Freeport di bibir Laut Arafura. Kabel-kabel listrik berkekuatan tinggi ini melintasi pinggiran Kota Timika, di mana listrik yang dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam setiap 6 jam padam.

Ada pun transportasi yang boleh melalui jalan areal penambangan hanyalah truk-truk dan bus milik Freeport, serta kendaraan aparat keamanan. Melalui kendaraan aparat keamanan, pembeli emas dan para pendulang tradisional diangkut naik ke desa Banti dan Kimbeli. Dari informasi yang kami dapat dari penduduk setempat, aparat keamanan juga melakukan bisnis ilegal dengan berdagang minuman keras kepada suku Amungme, Dani, dan pendulang pendatang lainnya. Ongkos yang harus dibayar untuk sampai ke kedua desa tersebut kira-kira dua sampai dua setengah juta per orang.

Desa Banti dan Kimbeli hanya berjarak beberapa kilometer dari Tembagapura yang gemerlap di tengah-tengah lembah Pegunungan Nemangkawi. Lengkap dengan pusat perbelanjaan, sarana olah raga, lapangan heli, food court dengan menu yang lengkap mulai dari berbagai jenis makanan Barat sampai tumis kangkung ala Indonesia.

Sementara itu, jika kita turun beberapa kilometer ke bawah ke arah Lembah Waa, melewati gerbang besi dengan kawat berduri yang di jaga Kemanan Freeport dan Polisi, kita akan menyaksikan para pendulang tradisional yang mengais-ngais rezeki di Sungai Ajkwa. Umumnya, para pendulang ini merupakan pendatang dari suku-suku yang bertetangga dengan Amungme seperti Mee, Dani, serta orang-orang Jawa dan Sulawesi. Para pendatang ini tinggal di Desa Kimbeli dan jumlah mereka semakin banyak. Seringkali terjadi konflik dengan suku Amungme yang merasa semakin terdesak. Tak jarang pula konflik itu bisa berbuntut perang suku.

Sebut saja namanya Johan. Dia adalah penerjemah kami, seorang putra Amungme asal Banti yang mengaku kuliah di Universitas Tarumanegara, Jakarta, dan tercatat sebagai mahasiswa semester akhir. “Saya pulang ke Banti karena tahun yang lalu terjadi perang suku,” begitu katanya ketika kami tanyakan kenapa dia tidak menyelesaikan skripsinya. “Perang suku adalah masalah harga diri. Saya pulang untuk menjaga harga diri suku Amungme,” tegasnya sambil matanya menerawang ke arah para penambang tradisional di sepanjang aliran Sungai Ajkwa.

“Iyo nawago, iyo nawago. Inamoramo agam tuwo, (Saya ibumu, saya ibumu, datang kepadamu. Panahlah aku supaya engkau punya susu).” Syair tersebut merupakan pekikan perang suku Amungme yang akan diteriakkan kepala perang sebagai penanda perang dengan suku lain telah dimulai.

Menurut catatan Arnold Memperior, “di balik kengerian tradisi perang berbaur heroisme laki-laki Papua ini tersimpan petuah leluhur yang tak boleh diremehkan. Setiap laki-laki Papua di wilayah pegunungan harus mampu melaksanakan petuah leluhur untuk menjaga harga diri, jati diri, tanah leluhur, harta benda, dan sanak keluarga. Hal itu harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.“ Dahulu, perang suku dalam masyarakat Amungme dapat terjadi karena utang mas kawin yang tidak dilunasi, salah satu suku tetangga melanggar batas wilayah, dan bisa juga disebabkan oleh pencurian ternak babi dan perampasan wanita. Perang bisa berakhir jika kedua belah pihak yang bertikai memiliki jumlah korban yang sama. Dalam tradisi suku-suku di pegunungan, jika jumlah korban dianggap sama dan seimbang, selanjutnya adalah menyelasaikan konflik ini dengan cara yang terhormat melalui kesepakatan adat dari kedua belah pihak.

Mungkin semangat leluhur inilah yang membuat Johan untuk kembali ke Banti dan terlibat perang suku dengan suku Dani yang bermukin di Desa Kimbeli. Kedua desa ini hanya berjarak beberapa meter dan dipisahkan oleh jembatan beton dengan sungai yang tercemar mengalir deras di bawahnya. Suku Dani dan suku pendatang lainnya memasuki wilayah Amungme menjelang tahun 1980-an karena tergiur oleh keuntungan dengan mendulang limbah tailing Freeport.

Tetapi jika kita melihat ke berbagai peristiwa yang terjadi hingga hari ini, pemicu perang suku sejak munculnya perusahan tambang Freeport telah berbegeser dari konflik masa lalu berubah menjadi konflik modern dengan tujuan-tujuan politik tertentu. Perang suku telah menjadi konsumsi yang melibatkan berbagai macam kepentingan seperti rentetan kekejaman militer melalui operasi-operasi khusus, pemekaran, pilkada, bahkan bentrok antara penambang-penambang tradisional dengan pihak Freeport.


Minuman Keras, HIV dan AIDS
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mimika mencatat jumlah penduduk terus bertambah setiap tahunnya. Pada 2007 tercatat 171.000 orang lebih. Jumlah suku-suku asli adalah 30.000. Dari jumlah tersebut suku Amungme dan Kamoro adalah yang terbesar dari 5 suku lainnya. Dari keseluruhan jumlah suku-suku asli di wilayah Mimika, diperkirakan hanya 10.000 yang lulus dari pandidikan Sekolah Dasar. Artinya, lebih dari separuh lebih suku-suku asli ini adalah buta huruf. Sementara itu, hingga 2008, jumlah pekerja di pertambangan Freeport lebih dari 19.000 ribu jiwa.

Selain persoalan pendatang yang menyebabkan suku-suku asli ini semakin terdesak kepinggiran dan menimbulkan kecemburuan sosial, pesoalan lainnya adalah penularan HIV dan AIDS. Provinsi Papua menempati urutan teratas dalam penularan HIV dan AIDS di Indonesia dan Kabupaten Mimika adalah yang tingkat penularannya paling tinggi di seluruh wilayah Papua.

Berdasarkan survey HIV dan AIDS tahun 2006 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan WHO, prevelensi HIV di Papua sebesar 2,4 persen. Ini berarti penderita HIV di Mimika lebih dari 3.000 orang dan 50 persen menyebar di masyarakat 7 suku (Amungme 23 persen, Mee/Ekari 17 persen, dan Dani 17 pesen).

Kami datang ke Banti untuk mewawancarai seorang pengidap HIV positif (ODHA) untuk kepentingan KPAD (Komisi Penanggulangan Aids Daerah) Mimika yang ingin mendorong agar mereka terlibat aktif dalam berbagai penyuluhan dan kampanye pencegahan HIV, khususnya di Kabupaten Mimika. Pada priode Agustus 2008, KPAD Mimika menemukan kasus HIV dan AIDS di Mimika meningkat tajam, mencapai 1.300 kasus dan telah merenggut nyawa 86 orang. Yang terdiri dari kasus HIV sebanyak 1.283 dan AIDS sebanyak 199 yang menyebar melalui hubungan seksual sebanyak 1.284 kasus, dari ibu ke anak 29 kasus, homoseksual 1 kasus, tranfusi darah 1 kasus, dan tidak diketahu identitasnya 7 kasus.

Sebut saja namanya Martina. Dia mendapat HIV dari suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Sebelum melakukan perawatan dan pendampingan khusus, berat badannya adalah 25 kg dan tubuhnya hanya tinggal tulang. Dia menceritakan kepada kami bagaimana selama dua tahun terakhir ini, secara terus-menerus dengan teratur ia harus mengonsumsi obat-obatan yang menghambat perkembangan virus yang mematikan ini. Kini berat badannya sudah normal kembali, 58 kg.

Di desa pegunungan yang terletak di Lembah Waa ini, Martina tidak sendirian. Kami juga menemukan seorang anak perempuan berusia 16 tahun yang telah menikah dan memiliki seorang anak juga terinfeksi HIV. Ketika kami berbicara dan menanyakan apa yang dia ketahui tentang penyakit ini, dia sama sekali tidak mengerti penyakit apa yang dideritanya. Minimnya informasi ini tidak lepas dari jumlah mayoritas suku pedalaman ini adalah buta huruf.

Ketika kami tanyakan kepada Marten Omaleng, Kepala Desa sementara Banti II, berapa persen dari hasil pendapatan kotor Freeport yang menjadi hak milik suku Amungme dan Kamoro sebagai pemilik ulayat tanah yang dieksplotai Freeport, dia tidak tidak memiliki angka yang pasti, bahkan dia mengatakan 35 persen. Tetapi dengan keyakinan dia mengatakan, kelak anak-anak cucunya yang kini sebagian sekolah di Jawa akan pulang ke kampung mereka. Sebab merekalah pemilik sah gunung emas Nemangkawi.

Pengelolaan dana “bantuan sosial” dan 1 persen pendapatan kotor Freeport yang merupakan konsesi atas tanah ulayat Amungme dan Kamoro juga menimbulkan berbagai masalah di tahun 1990-an. Tidak ada bentuk nyata bahwa suku pedalaman ini telah merasakan hasil dari dana-dana tersebut dengan peningkatan kualitas hidup mereka. Di Banti, misalnya, sebagai salah satu pusat pemukiman suku Amungme, dengan kekayaan alam gunung emas yang terbesar di dunia, banyak anak-anak yang pendidikannya terlantar. Penduduknya tinggal dalam honey-honey (rumah tradisional) yang tidak hiegenis, berbentuk bulat di dalamnya pengap tanpa cahaya matahari yang cukup: tempat bersarangnya berbagai macam jenis penyakit, seperti TBC dan penyakit menular lainnya.

Penyaluran dana ini pun awalnya cukup aneh. Dana itu dibagi-bagikan melalui tetua-tetua adat kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai lembaga adat. Menurut pengakuan penduduk setempat, per tiga bulan ada yang mendapat sampai 20 juta setiap keluarga. Dalam masyarakat yang pola hidupnya masih meramu dan berburu, sisa-sisa dari kebudayaan zaman batu, mau diapakan dana dalam jumlah yang sangat besar itu? Umumnya, setelah mendapatkan dana tersebut, mereka membeli berbagai kebutuhan pokok, melakukan pesta, dan tak jarang para laki-laki turun ke Timika untuk mengunjungi tempat-tempat prostitusi dan mabuk-mabukan.

Pergeseran-pergeseran nilai-nilai adat yang kini mengalami kemerosotan dalam masyarakat adat Amungme tidak lepas dari masuknya berbagai pengaruh asing. Ketika gereja dan negara datang menggantikan lembaga dan hukum-hukum adat, secara perlahan berbagai kearifan yang diwariskan leluhur Amungme mulai ditinggalkan. Sementara itu, nilai-nilai negatif terus dipertahankan, misalnya dijabarkannya konflik suku menjadi konflik modern yang melibatkan berbagai kepentingan elit-elit pusat dan lokal: orang-orang yang paling diuntungkan dengan hadirnya Freeport di Bumi Amungsa!

Ketiga kita berbicara mengenai kepentingan modal, bagi suku Amungme, negara hadir dalam bentuk yang sangat represif, menindas dan mengintimidasi. Misalnya, ketika masyarakat adat mempertanyakan hak-hak mereka atas tanah, air dan gunung-gunung yang dulu merupakan asal-usul leluhur bangsa Amungme, sebentar-sebentar mereka dicap separatis, pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Ironisnya, ketika aku bertanya pada mama-mama di Desa Banti, siapakah presiden Indonesia saat ini, sebagian besar menjawab “tidak tahu” dan salah seorang dari mama-mama tersebut menjawab: Soeharto. Soeharto adalah sorang diktator yang telah menggadaikan bumi Amungsa kepada kekuatan modal, yang kekuasaannya membuat negara menjadi tuna-kuasa dan aparat negaranya menjadi centeng-centeng penjaga modal yang setia!

* Penulis adalah tukang film dokumenter dan seorang pecinta tato.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/99/572/kisah-kelam-di-balik-gunung-emas-nemangkawi

Kepurbakalaan: Situs Luput dari Perhatian

Oleh Udo Z. Karzi

Sejumlah peninggalan sejarah di Kabupaten Tanggamus, seperti situs Batu Bedil, makam Islam kuno Wonosobo, Tugu Perjuangan Rakyat Kotaagung, Goa Jepang, dan sebagainya, luput dari perhatian pemerintah.

"Perhatian pemerintah terhadap keberadaan situs-situs ini sangat minim. Masyarakat Tanggamus seakan lupa sejarah mereka. Padahal, keberadaan situs-situs itu menjadi lambang, bahwa sejak zaman purbakala nenek moyang Tanggamus sudah berinteraksi dengan dunia luar," kata Akhmadi Sumaryanto, anggota DPRD Tanggamus, akhir pekan lalu.

Akhmadi mencontohkan situs purbakala Batu Bedil, di Dusun Batu Bedil, Pekon Batu Bedil, Kecamatan Air Naningan, yang terancam punah. Padahal, Batu Bedil adalah bukti sejarah adanya penduduk di wilayah ini pada masa lalu yang berhubungan dengan Kerajaan Sriwijaya. Di sini terdapat tiga kompleks megalitik dan prasasti Batu Bedil yang letaknya berdekatan di Pekon Batu Bedil Hulu dan Hilir, sekitar 10 menit berkendaraan ke arah utara dari gerbang kompleks Bendungan Batu Tegi. Yaitu, Komplek Batu Bedil seluas 5,6 hektare, Batu Prasasti (2,1 hektare), dan Batu Gajah (720 meter persegi).

Di kawasan situs Batu Bedil terdapat Prasasti Batu Bedil, menhir besar, sebuah lumping batu, arca Nandhi dari abad IX yang merupakan kendaraan Dewa Siwa, dan arca Ganesha yang merupakan arca Dewa Ilmu Pengetahuan (Dewa Wisnu).

"Kami mengharapkan Pemkab Tanggamus mulai mengalokasikan dana untuk merawat situs-situs bersejarah ini," kata Akhmadi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus H. Bahagia Saputra, Jumat (20-2), membenarkan telantarnya keberadaan benda peninggalan sejarah di Kabupaten itu.

"Sebenarnya itu aset bagi Tanggamus, untuk menjaring wisatawan lokal maupun mancanegara berkunjung ke Tanggamus. Terutama dalam rangka Visit Lampung Years 2009 ini," kata Bahagia.
Menyinggung keberadaan makam Islam kuno Wonosobo, kata Bahagia, mulai APBD-P Tahun 2009 ini, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata akan mengusulkan anggaran untuk pembebesan lahan di sekitar makam. Kemudian, akan dilakukan pemugaran, dan pembangunan sejumlah fasilitas penunjang di sekitar taman. "Diharapkan nantinya makam Islam kuno ini akan menjadi wisata relegi," kata dia. UTI/N-1

Sumber Tulisan: http://ulunlampung.blogspot.com

Kedaulatan Teritorial dan Masalahnya

Oleh Susanto Zuhdi

Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini.

Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara Indonesia seluas wilayah kerajaan terbesar di Asia Tenggara, antara abad XIV sampai XV. Memang wilayah itu sampai ke Pattani, Thailand, dan Mindanao, Filipina. Jangankan yang seluas itu, dengan wilayah bekas Pax Nerlandica “saja” sudah begitu besar masalah perbatasan yang harus dihadapi. Ironisnya, bangsa ini tidak menunjukkan kemauan kuat untuk mengatasinya. Dalam kenyataan, 70 persen zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia belum diakui.

Dari sejumlah masalah batas laut, penetapan yang paling cepat terwujud baru dengan Filipina. Selebihnya masalah yang dihadapi Indonesia begitu besar. Namun, tampaknya Indonesia tidak serius untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga. Itu terbukti dengan berlarut-larutnya penyelesaian masalah itu. Menurut Sobar Sutisna, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, itu dikarenakan tidak ada pressure dari pihak terkait di pihak Indonesia (Kompas, 3/3/2007).

Tiga Faktor
Mengapa demikian? Ditinjau dari aspek sejarah dan budaya, setidaknya ada tiga faktor.

Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut.

Bagaimana penjelasan kita tentang penghancuran bandar-bandar (Jepara, Tuban, Gresik) di pesisir utara Jawa pada masa ekspansi Mataram. Bukankah ini mengakibatkan hancurnya pilar- pilar tangguh sebagai penopang kehidupan maritim. Dari sinikah pergeseran orientasi dari laut ke darat itu dimulai? Coba bandingkan dengan saat Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dari Demak dengan ratusan perahu menyerang Portugis setelah menduduki Malaka tahun 1511. Kendati gagal, bisakah dibayangkan teknologi perkapalan beserta navigasinya saat itu?

Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Prof Sri Edi Swasono mengemukakan, rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta Indonesia. Pengetahuan geografi merupakan sarana awal memahami potensi dan daya dukung daerah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan yang tepat dengan dukungan anggaran memadai untuk pengembangan provinsi berkarakter bahari (baca: kepulauan), khususnya di wilayah perbatasan, seharusnya menjadi prioritas utama.

Ketiga, telah berjalan lama tidak terintegrasinya pembelajaran sejarah dan geografi dalam sistem pendidikan. Pembelajaran sejarah gagal menjelaskan keterkaitan antara dimensi “waktu” dan “ruang”. Suatu “peristiwa” (tidak hanya politik, tetapi juga sosial dan bencana) yang terjadi di suatu “tempat” tentu bukan suatu kebetulan. Di situlah kaitan kedua disiplin itu harus diberikan.

Benar KTSP 2006, memuat IPS Terpadu untuk SD (dari kelas IV dan di SMP) yang terdiri bukan hanya Sejarah dan Geografi, tetapi juga Ekonomi dan Sosiologi. Namun, strategi pembelajaran dan pelaksanaannya belum jelas dan masih ditunggu. Di Amerika Serikat sudah disadari pentingnya keterpaduan sejarah dan geografi, seperti ungkapan “We can’t teach good history without geography”.

Dengan ancaman terhadap kedaulatan teritorial, menjadi renungan bersama akan pentingnya kesadaran geohistoris. “Tanah-Air” (dengan tanda penghubung) merupakan perspektif dan konsep untuk penyusunan program strategis membangun bangsa dan memperkuat negara.
Penulis merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB-UI)

Sumber Tulisan
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0703/13/opini/3374117.htm

Keberadaan Waduk dan Kanal Kuna di Pusat dan Sekitar Ibukota Majapahit (Trowulan)

oleh Drs. Budi Santoso Wibowo (Alm.)
disusun kembali Ni Ketut Wardani P.D.

BAGIAN I
Kawasan situs Trowulan yang merupakan bekas ibukota Majapahit, memiliki tinggalan-tinggalan budaya fisik manusia dari masa kerajaan Majapahit. Salah satu peninggalan budaya fisik manusia dari masa itu berupa cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Cekungan-cekungan ini terdiri dari cekungan-cekungan alami dan cekungan-cekungan buatan manusia. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat tentang cekungan-cekungan yang ada di kawasan ini. Cekungan-cekungan di kawasan situs ini diduga digunakan sebagai sumur, waduk, dan kanal oleh orang-orang yang hidup di masa kerajaan tersebut. Hal ini menurut kami menarik untuk diamati, karena keberadannya pasti memiliki alasan tertentu.

Data mengenai keberadaan waduk maupun kanal, terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama berupa studi literatur dan bagian kedua hasil pengamatan. Bagian pertama, terdiri dari beberapa tulisan yang menyebut adanya waduk maupun kanal, seperti laporan Penelitian Macline Pont tahun 1926 dan 1936 penelitian oleh Bondan H. 1999, penelitian Karina Suwandi tahun 1983, dan Hasil Analisa Foto Udara oleh Bakosurtanal tahun 1981/1982. Bagian kedua terdiri dari bekas waduk dan kanal dari adanya cekungan-cekungan yang alami maupun buatan yang masih dapat kita temukan di kawasan situs Trowulan. Cekungan-cekungan ini biasanya sudah dangkal, menjadi nama dusun atau desa, atau hanya tinggal toponim saja. Contoh dari waduk yang menjadi nama dusun atau desa adalah waduk Kedung Wulan yang kemudian menjadi nama Dusun Kedung Wulan, dan waduk Kedung Maling yang kemudian menjadi nama Desa Kedung Maling di kecamatan Sooko Mojokerto.

A. Waduk
Waduk yang dalam istilah lokal dikenal dengan sebutan Balong atau Kedung, merupakan sebuah cekungana alami yang tak terbentuk. Cekungan ini ada kemungkinan diperluas oleh tangan manusia. Biasanya cekungan ini pada bagian ujung maupun pangkalnya menyempit dan dalam yang diduga digunakan sebagai terusan antara waduk satu dengan waduk lainnya. Menurut Macline Pont, di kawasan situs Trowulan terdapat 18 waduk Kuno. Salah satunya adalah Waduk Baureno yang terdapat di kecamatan Jatirejo Mojokerto. Waduk ini sangat besar dan menampung air dari 8 aliran sungai (Macline Pont, 1936). Berbeda dengan Macline Pont, menurut pengamatan yang telah dilakukan, waduk kuno yang berada di kawasan ini berjumlah 24 waduk. Sebagian dari waduk-waduk ini telah mengalami pendangkalan yang serius, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak terlihat lagi. Kemudian, berdasarkan arah alirannya dari Waduk Baureno, waduk-waduk yang berada di kawasan ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok waduk yang berada di Barat Laut Waduk Baureno dan kelompok waduk yang berada di Timur
Waduk Baureno

1. Kelompok Waduk Barat Laut
Kelompok waduk ini dimulai dengan Waduk Baureno yang mengalir ke arah Barat laut dan mengikuti alur Sungai Boro dan Sungai Pikatan dan berakhir menjadi Sungai Brangkal. Pada sisi Barat Sungai Brangkal ini terdapat beberapa waduk kuno seperti Waduk Dinaya, Waduk Kumitir, Waduk Domas, dan Waduk Kepiting (Waduk Temon) Masing-masing waduk ini dihubungkan dengan terusan (semacam sungai kecil yang sangat dalam ) dan terusan-terusan ini berhubungan dengan Sungai Brangkal.

Waduk Temon berada di sebelah Tenggara Trowulan. Bentuk waduk ini tidak beraturan. Pada bagian ujung sisi Tenggara terdapat Sungai Kepiting, yang aliran ainya ke Barat dan bersatu dengan Saungai Majaranu yang mengalir dari arah Selatan. Gabungan kedua sungai ini menjadi Sungai Gunting. Sementara itu, ujung sisi Utara Waduk Temon ini terdapat terusan yang masuk ke dalam aliran Sungai Temon dan bermuara di Waduk Kraton. Berdasarkan pengamatan penulis, Waduk Temon ini (diduga) pada awalnya merupakan terminal air masuk Ibukota Majapahit. Hal ini tersirat dalam isi Prasasti Canggu (Prasasti Trowulan I) dari masa Raja Hayam Wuruk. Isi prasasti ini menyebut tempat penyeberangan yang pertama kali adalah Temon (Soekarto K. Atmodjo, 1993). Dengan demikian, Temon dapat diinterpretasikan sebagai nama sebuah tempat atau desa. Selain itu, dengan pengamatan Hasil Analisa Foto Udara Trowulan, terlihat bahwa pada sisi Barat waduk Temon yang panjang ini, bermuara 2 kanal kuno yang berasal dari Barat. Berdasarkan sumber primer yang sesuai dengan kenyataan di lapangan, dapat diduga bahwa Waduk Temon merupakan terminal waduk dari waduk-waduk yang ada dalam ibukota Majapahit. Selain itu, Waduk Temon merupakan salah satu pintu masuk kota dengan melalui kanal.

Waduk selanjutnya adalah Waduk Kraton. Waduk ini berada di dekat Waduk Temon. Antara Waduk Temon dan Waduk Kraton dihubungkan dengan terusan Sungai Kraton. Berdasarkan pengamatan awal penulis, Waduk Kraton ini juga mengalir ke Balong Bunder. Konon Balong Bunder ini merupakan sumber air Kolam segaran dan Balong Dowo. Pada ujung Barat Laut Waduk Kraton terdapat terusan (mungkin dulu Sungai Kraton) yang berhubuingan dengan beberapa kanal. Kanal paling Barat waduk ini berorientasi Barat-Timur dan bermuara ke Waduk Kedung Wulan.

Waduk lainnya yang masih termasuk kelompok ini adalah Balong Wono, Kedung Wulan dan Kedung Maling. Balong Wono ini terletak di sebelah utara Ibukota Majapahit. Antara Balong Wono dan Kedung Wulan terdapat terusan sungai yang saat ini disebut dengan Sungai Balong Wono. Sementara itu, pada bagian Timur Laut Balong Wono, terdapat waduk kuno yang oleh penduduk disebut dengan Kedung Maling. Waduk ini bermuara di Sungai Brangkal. Waduk Kedung Maling pada saat ini juga telah hilang dan menjadi nama desa. Waduk-waduk yang berada dalam kelompok ini diduga berhubungan dengan keberadaan Ibukota Majapahit di Trowulan.

2. Kelompok Waduk Timur
elompok waduk ini dimulai dari Waduk Baureno, yang mengalir ke arah Timur menuju Waduk Kumitir serta Waduk Domas melalui terusan sungai (Macline Pont, 1936). Waduk-waduk ini berfungsi sebagai penyeimbang dan waduk penampung apabila waduk-waduk di kelompok Barat Laut sudah tidak mampu menampung derasnya air yang datang. Waduk-waduk lain yang termasuk kelompok ini adalah Waduk Selomalang, Waduk Ketanen, Waduk Karangemplak, Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh.

Waduk Domas mengalir dengan sebuah terusan menuju Waduk Selomalang. Pada bagian Timur Waduk Selomalang ini terdapat Waduk Ketanen. Antara Waduk Selomalang dengan Waduk Ketanen dihubungkan dengan sebuah terusan. Akan tetapi, aliran Waduk Ketanen ini berakhir di Waduk Karangemplak. Waduk ini kemudian dihubungkan dengan terusan dengan Waduk Kemiri, Waduk Candirejo, Waduk Pandan, Waduk Randengan, Waduk Mojoroto, Waduk Awang-Awang, Waduk Segaren, Waduk Sumberejo Kulon, Waduk Randu Embung, Waduk Sumber Tugu, Waduk Tambak Suruh (Macline Pont, 1926; Bondan Harmanislamet, 1999: 193).

Berdasarkan pengamatan ini, waduk-waduk yang termasuk dalam kelompok Timur ini berperan sebagai waduk penyeimbang debit air. Hal ini disebabkan karena adanya dugaan bahwa air yang datang dan masuk ke Waduk Baureno sangat tinggi dan deras pada waktu itu. Menurut gambar hasil analisi foto udara, dapat diketahui peran Waduk Temon dan Kanal terpanjang sangat erat. Dengan demikian, waduk-waduk kuno ini dapat diungkapkan keberadaannya dan berhubungan satu sama lain melalui terusan-terusan.

B. Kanal
Pada bentang lahan yang dianggap sebagai bekas Ibukota Majapahit, terdapat bentukan cekungan yang lurus, panjang, dan dalam. Bentukan ini membentuk saling silang yang secar jelas merupakan buatan manusia. Bentukan seperti ini oleh ahli Purbakala disebut dengan kanal. Ukuran fisik kanal menurut pengamatan penulis adalah sebagai berikut: Lebar badan kanal paling pendek 40 m dan paling Panjang 80 m, dan kedalaman antara 6-9 m (menurut Tim Hidrologi UGM). Kanal berfungsi sebagai berikut:

1. transportasi lokal Ibukota Majapahit
2. irigasi
3. pertahanan (Mundardjito, et. Al., 1986).

BAGIAN II
POLA KOTA MAJAPAHIT

A. Lima Hal Penting
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli berbagai bidang, terutama penelitian tentang keberadaan kanal dan sistem jaringannya di Ibukota Majapahit, ada lima hal penting yang harus diperhatikan. Hal pertama: kanal-kanal yang berpotongan saling tegak lurus, memberikan petunjuk dan gambaran bahwa kota Majapahit dikembangkan dan berkembang atas dasar pola papan catur (grid pattern), yang terbentuk oleh kanal-kanal yang relatif lurus dan berpotongan tegak lurus serta membujur Utara-Selatan dan Barat-Timur. Hal kedua: hubungan antara bujur kanal-kanal terhadap sumbu Utara-Selatan magnet bumi, bila diamati dengan seksama maka dapat diketahui arah kanal-kanal itu tidak tepat sejajar dengan Utara magnit bumi. Kanal-kanal tersebut bergeser minus 10 derajad ke arah kanan perputaran jarum jam dalam kuadran Cartesian. Hal ini berarti ada kemungkinan penataan kanal-kanal lebih diorientasikan pada kondisi fisik geologis dan geografis setempat daripada makna simbolis magnit bumi. Selain itu ada indikasi bahwa kanal-kanal itu lebih digunakan untuk mengatasi kondisi fisik alam setempat.

Hal ketiga yaitu kerapatan grid kanal-kanal. Pada peta terlihat bahwa di bagian Barat, mulai dari Kanal Utara-Selatan yang pertama terdapat pola Grid kanal yang relatif rapat dan berkembang ke arah Barat dibandingkan pada bagian Timur. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pada daerah yang grid kanalnya relatif rapat merupakan kawasan yang padat, seperti pemukiman, pusat kota dan istana Raja Majapahit. Petunjuk keempat yaitu: kanal-kanal yang panjang. Pada peta tersebut juga ditemukan tanda yang menarik yang berupa kanal terpanjang Timur-Barat yang lurus dan “menusuk bagian tengah” pusat sistem kanal, yang kemudian dipotong Kanal terpanjang Utara-Selatan (di Timur Pendopo Agung). Tanda persilangan kanan terpanjang ini menarik untuk diamati dan dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan aktivitas sosio-budaya yang erat anatar kawasan Barat, kawasan Timur, kawasan Selatan, dan kawasan Utara dengan kawasan pusat kota Majapahit.

Hal kelima, yaitu hubungan jaringan jalan darat dengan kanal. Jaringan jalan darat yang dikembangkan pada masa Majapahit kemungkinan besar disesuaikan dengan pola grid kanal-kanal. Hal ini berarti ada jalan darat yang terletak di sisi atau tepi kanal yang sengaja dibangun sejajar dengan kanal-kanal.

Sementara itu penulis yang melakukan penelitian tentang jaringan jalan darat di kawasan situs ini menggunakan dua cara, yaitu dengan melakukan over lay gambar, dan melakukan wawancara dengan penduduk asli kawasan situs Trowulan. Cara pertama dilakukan penulis dengan melakukan over lay gambar rekonstruksi Macline Pont tentang kota Majapahit dengan gambar hasil analisa foto udara Trowulan tentang jaringan kanal dan sebagian waduk kuna yang ada di Trowulan. Hasil gambar ada di lembar berikut. Cara kedua, penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan cerita atau data jaringan jalan darat dari penduduk asli Trowulan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa jalan darat kerajaan ditandai dengan tugu-tugu batu (“cancangan gajah”). Setelah ditelusuri, penulis mendapatkan petunjuk bahwa antar jaringan jalan air sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan darat, bahkan ada jaringan jalan darat yang dilanjutkan dengan jalan air atau kanal.

Selain itu dalam Kitab Negarakertagama Pupuh VIII. (1-2) menyebutkan adanya parit di ibukota Majapahit yang terletak di pintu Barat. Parit ini disebut juga dengan Pura Waktra, yang menghadap ke lapangan luas dan bersabuk pari [8] (Slamet Mulyana, 1979: 276). Istilah parit ini dapat diartikan dengan kanal. Meskipun uraian tentang parit cukup singkat dalam Kitab Negarakertagama, keberadaannya harus diperhatikan. Hal ini sama dengan uraian tentang tembok bata yang cukup singkat di dalam Kitab Negarakertagama, tetapi kenyataan di lapangan sisa-sisa tembok bata ini sangat luas ditemukan.

Adapun Gambar hasil Over Lay (paduan) dapat dilihat sebagai berikut:

B. Deskripsi Gambar Hasil Over Lay
Berdasarkan paduan gambar (Over Lay) yang telah dilakukan. Dapat diketahui beberapa hal, yaitu:
1. kedudukan pola papan catur Kanal (Bakosurtanal, 1981), berada di sebelah Selatan kedudukan pola papan catur jalan hasil rekonstruksi mikro Macline Pont (1924)
2. ada beberapa jaringan kanal yang sejajar dan berhimpit dengan jaringan jalan yang telah digambar oleh Macline Pont, bahkan ada kanal yang dilanjutkan dengan jalan atau sebaliknya.
3. kolam segaran dikelilingi oleh kanal maupun jalan darat berbentuk empat persegi panjang, sedangkan pada situs Candi Kedaton (Sumur Upas) dan situs Pendopo Agung dikelilingi Kanal sehingga membentuk bidang bujursangkar.
4. terdapat Waduk Kraton di sebelah Utara Situs Gapura Bajang Ratu.

Lebih lanjut dalam Kitab Negarakertagama, juga disebutkan dua buah nama sebagai jalan masuk kota Majapahit. Jalan masuk pertama bernama banasara. Pada masa sekarang nama itu tidak dapat ditemukan lagi. Akan tetapi, di wilayah Kecamatan Majaagung terdapat nama tempat yang dikenal dengan Sabantara. Letaknya di tepi Sungai Gunting. Nampaknya nama Sabantara (Jawa Baru) dan Banasara (Jawa Kuna) merupakan nama satu tempat yang sama (meskipun secara etimologi kedua nama itu tidak sama), yaitu pintu masuk kota Majapahit dari sisi Barat Laut atau jalur sungai Gunting karena terletak di tepi Sungai Gunting.

BAGIAN III
Kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara menurut Von Heine Geldern menggunakan konsep kosmologi dalam menjalankan pemerintahannya terutama dalam sistem kewilayahan (tata kota) dan tata pemerintahan. Konsep kosmologis merupakan kepercayaan mengenai adanya hubungan yang erat antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Asumsi dasar konsep kosmologis adalah adanya pemikiran yang menyatakan bahwa manusia selalu berada di bawah pengaruh kekuasaan alami bintang-bintang dan planet-planet yang dapat menyebabkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, maupun bencana, sehingga suatu kerajaan harus disusun sesuai dengan gambaran makrokosmos dalam bentuk kecil. Konsep kosmologis dalam agama Hindu menyatakan bahwa alam ini terdiri dari benua pusat yang berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dengan dibatasi oleh pegunungan tinggi. Pada bagian benua pusat yang disebut jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai representasi pusat alam semesta. Matahari, bulan dan bintang-bintang bergerak mengelilingi Meru. Puncak gunung terdapat kota para dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal kedelapan dewa penjaga mata angin atau lokapala. Konsep kosmologis agama Budha memiliki kesamaan dengan Hindu. Menurut kosmologi Budha, Gunung Meru dianggap pusat alam semesta yang dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh pegunungan. Puncak Meru merupakan kota tempat tinggal 33 dewa, dengan Dewa Indra sebagai raja para dewa. Lereng Gunung Meru terdapat surga terendah, tempat tinggal empat penjaga arah mata angin. Benua yang dihuni oleh manusia di sebelah Selatan disebut Jambudwipa. Keseluruhan itu dilingkari oleh cakrawala, yaitu deretan pegunungan yang tinggi (Deliar Noor, 1962:2).

Dengan demikian kota kuna menurut konsep kosmologis Hindu dan Budha memiliki tiga unsur, yaitu daratan, gunung, dan laut. Namun, ketiga unsur tersebut belum tentu ada pada daerah yang digunakan sebagai tempat berdirinya kota. Agar ketiga unsur tersebut terpenuhi dalam membangun suatu kota, maka ketiga unsur itu diwujudkan dengan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.

BAGIAN IV
KESIMPULAN & PENUTUP

Setelah melakukan pengamatan, studi pustaka, dan melakukan over lay (memadu gambar) dapat diketahui beberapa hal penting, yaitu:

1. Waduk-waduk Kuna ternyata saling berhubungan satu sama lain, dan dihubungkan dengan terusan atau sungai kecil.
2. Waduk Baureno yang berada di lereng gunung dan menampung delapan aliran sungai, mempunyai fungsi sebagai penampung dan pengendali air, selain irigasi
3. Waduk Temon merupakan waduk penyeberangan dan terminal masuk ibukota Majapahit
4. Terdapat jaringan jalan darat yang sejajar dengan jaringan air yang berupa kanal-kanal. Jaringan jalan darat ini juga dapat digunakan sebagai petunjuk adanya sisa kota kuna atau bekas Ibukota Majapahit di Trowulan.

Dengan demikian, keberadaan waduk-waduk maupun kanal-kanal kuna merupakan representasi atau simbol dari tujuh benua dan lautan dalam konsep agama Hindu dan Budha terlihat diterapkan di ibukota Majapahit. Konsep tujuh benua dan tujuh lautan itu diwujudkan dalam bentuk kanal dan waduk pada situs Trowulan. Selain itu tiga unsur yang terdiri dari benua, gunung, dan laut pada situs Trowulan ini diwujudkan replikanya, yaitu replika benua diwujudkan dalam bentuk ibukota, replika laut diwujudkan dengan waduk atau balong atau kedung, dan replika gunung diwujudkan dengan candi.

Pada akhirnya, pemikiran yang ada pada tulisan ini haruslah dibuktikan lebih lanjut karena baru bersifat mencoba merangkai data yang ada. Masih diperlukan penelitian-penelitian yang lain untuk memperoleh jawaban mengenai keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di kawasan Trowulan. Namun demikian, dengan diketahuinya data mengenai keberadaan kanal dan waduk yang ada dapat berguna bagi setiap orang yang membutuhkannya. Salah satunya adalah dapat digunakan sebagai salah satu bahan pemikiran penanggulangan banjir di Mojokerto dan sarana pengairan di kecamatan Trowulan-Mojokerto.

Tulisan ini didedikasikan untuk (Alm.) Drs. Budi Santosa dan mengenang satu tahun kepergiannya, Rekan senior yang penuh cinta, semangat, dan dedikasi tinggi untuk kemajuan arkeologi Indonesia dengan caranya yang unik. Semoga cinta, semangat, dan dedikasimu menginspirasi setiap insan yang peduli peninggalan purbakala.
Selamat jalan rekanku...
Istirahatlah dengan tenang...

Beauty is in the eye of the beholder




DAFTAR PUSTAKA

Bokusurtanal, 1981, _____________________

Bondan H., 1999, “Tata Ruang Kota Majapahit”, Desertasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Macline Pont, 1924, Majapahit, Poging Tots Reconstructie Van Het Stadplan, Nagezocht Op Het Terrain an De Band Van Den Middeleeuwschen Dichter: Prapanca, Oudheidkundig Verslag: Bijlage

___________, 1926, De Historische Rol Van Majapahit, Een Hypothese, Djawa, P294-317

___________, 1936, “Woeste Gronden Van De Lieden Van Trik, Voor Zoover Zij Wellicht
Van Belang zullen Kunnen Zijn Voor Eene Herziening Van Den Togenwoordigen Toestand, Oudheidkundig Verslag: Bijlage

Karina Arifin, 1993, “Waduk dan kanal Kuno di Pusat Ibukota Majapahit di Trowulan”, Skripsi sarjana Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Jakarta

Soekarto K. Atmodjo, 1993, “Hari Jadi Kabupaten Ngawi”, Balai Arkeologi Jogjakarta bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Tingkat II Ngawi

Tim Siswa (S2) Arsitektur, 1996,”......................................”, Program Studi Arsitektur Pasca sarjana Universitas Gadjah Mada

Sumber tulisan:
http://www.wacananusantara.org/99/520/keberadaan-waduk-dan-kanal-kuna-di-pusat-dan-sekitar-ibukota-majapahit-%28trowulan%29

Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang

Oleh Budi Brahmantyo

Adalah seorang pangeran kelana pencari ilmu dari Kerajaan Sunda pada sekira akhir abad ke-15, pernah menjelajahi Pulau Jawa dan mengunjungi tempat-tempat keramat sepanjang pantai utara, menyeberang ke Pulau Bali, dan kembali ke Jawa Barat melalui jalur selatan. Pengelanaan sang pangeran kelana berjulukan Bujangga Manik itu, harus kita akui sebagai aktivitas wisata/penjelajahan pertama yang tercatat di Nusantara oleh pribumi Sunda.

Secara luar biasa, ia mencatat lebih kurang 450 nama geografis yang masih banyak dapat dikenal hingga sekarang. Catatan dalam lembar-lembar lontar yang sekarang tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris itu, diakhiri dengan suatu persiapan perjalanan spiritualnya ke nirwana, di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur.

Dari beberapa penggalan sajaknya, di antaranya ia menulis sebagai berikut: Eta hulu na Ci Sokan neumu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus dibabakkan/ dibalay diundak-undak/ dibalay sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ ser mangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih/ diawuran manik asra/ carenang heuleut-heuleutna/ wangun tujuh guna aing/ padanan deung pakayuan ....

Walau pun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Cisokan yang disebut Bujangga Manik itu, tetapi di hulu daerah aliran sungai Cisokan-Cikondang, Cianjur, satu-satunya tempat kebuyutan adalah Situs Gunung Padang. Situs tersebut merupakan suatu "bangunan" yang disusun dari tumpukan kolom-kolom bebatuan yang dibangun berundak-undak, berada di puncak bukit kecil yang dikenal sebagai Gunung Padang.

Situs Megalitik Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dipercayai oleh para ahli arkeologi sebagai situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pusaka budaya prasejarah di Provinsi Jawa Barat yang sangat potensial menjadi tujuan wisata budaya dan ekowisata ini, sayangnya kurang terawat dengan baik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dari jalan-negara Cianjur-Sukabumi (20 km lebih) dengan akses sempit berliku-liku dan beraspal tipis yang mudah hancur oleh satu kali musim hujan, menjadi kendala pertama para calon pelancong.

Mendekati lokasi situs, kendala lain sudah menghadang pula, tidak adanya penunjuk arah menuju lokasi situs, dan jalan perkebunan teh yang rusak atau berlapis batu tajam. Menyadari banyaknya kendala pengembangan di balik potensi wisata yang luar biasa ini, Balai Pengelolaan Purbakala dan Nilai-nilai Sejarah Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, pernah mengadakan kegiatan positif berupa "Bakti Wisata" yang diikuti oleh masyarakat dan mahasiswa. Kegiatan itu, diharapkan dapat merintis pengembangan ke arah wisata yang lebih baik dan menarik perhatian serius penanganan situs yang menjadi jalur budaya Megalitik Asia-Pasifik ini (Pikiran Rakyat, 26 Mei 2005). Tetapi, bagi para pelancong yang ingin mendapatkan nilai lebih dari aktivitas berwisatanya, rasanya kendala tersebut justru menjadi bagian dari perjalanannya yang akan menjadi catatan pengalaman yang mengasyikkan.

Batu Andesit Basaltis
Situs arkeologi ini, sebenarnya sangat menarik pula jika dipandang dari sudut geologi. Hal ini karena batu penyusun konstruksi situs, dari segi geologi memunyai cara terbentuk yang khusus. Selain itu, secara geografis, posisi Gunung Padang terhadap gunung-gunung lain di sekitarnya, terutama Gunung Gede, mungkin dijadikan kriteria pemilihan bukit oleh arsitek prasejarah pembangun situs ini.

Jika kita telah mencapai situs ini, kesan keagungan dan kehebatan masyarakat purbakala langsung menyergap suasana. Perasaan ini begitu kuat ketika sampai di pelataran pertama setelah mendaki tangga-tangga batu setinggi lebih kurang 30 meter dengan kemiringan hampir 40 derajat. Batu-batu berbentuk kolom poligonal ini, dipasang melintang sebagai tangga sejak kaki bukit. Di puncak bukit, pada pelataran pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri, sehingga benar-benar seperti suatu tempat check in.

Di pelataran undak pertama, kita dibuat takjub oleh karya leluhur kita. Betapa tidak, hampir seluruh konstruksi situs ini, disusun dari kolom-kolom batu. Banyak kolom batu memunyai dimensi poligonal segi lima atau enam dengan permukaan yang halus. Orang awam bisa terkecoh, menganggap batu-batu ini adalah buatan tangan manusia dengan cara ditatah, padahal, secara geologis, proses alamiah bisa membentuk kolom batu yang bepermukaan halus dengan sendirinya.

Kolom batu poligonal terbentuk ketika aliran magma membeku. Sama halnya dengan terbentuknya retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering. Begitu pula yang terjadi pada cairan magma yang mengalir ke luar permukaan bumi sebagai aliran lava. Ketika membatu, proses-proses fisik akan membentuk suatu retakan-retakan pendinginan berbentuk kolom-kolom poligonal tersebut.

Proses demikian adalah proses yang sama yang membentuk tangga-tangga segi enam raksasa di Irlandia yang terkenal sebagai The Giant Causeway, atau kolom-kolom tinggi di Devil's Tower di Ohio, Amerika Serikat, atau kolom batu yang menghiasi dinding-dinding galian batu di Gunung Selacau dan Lagadar, Cimahi Selatan. Semuanya terjadi pada saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya berjenis batu andesit atau basaltis.

Di Gunung Padang, batu-batu yang berwarna abu-abu gelap ini, berjenis andesit basaltis. Gunung Padang diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala berumur Pleistosen Awal, sekira 21 juta tahun yang lalu. Keberadaan sumber alamiah, kolom batu penyusun konstruksi situs dapat dikenali jika kita mengamati kaki bukit di mana kolom-kolom batu alamiah yang bukan berasal dari reruntuhan situs, masih berserakan.
Dengan sangat cerdas, arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekira 2.000 - 1.000 tahun yang lampau, telah memilih tempat yang cocok dari sisi ketersediaan sumber daya batu di situ.

Mengarah ke Gunung Gede
Ketakjuban kita terhadap hasil karya para leluhur masyarakat Jawa Barat purbakala itu, akan semakin bertambah ketika kita terus mengamati susunan batu demi batu serta lingkungan sekitarnya. Sang arsitek telah memilih bukit ini, mungkin dengan survei lama dan penjelajahan yang sangat jauh. Pemilihan bukit sedemikian rupa, sehingga selain adanya sumber batu yang tersedia untuk membangun tempat pemujaan ini, arah memanjang situs begitu tepat menghadap ke arah Gunung Gede (elevasi 2.958 m).

Persis arah 10 derajat utara-barat pada kompas, panjang situs tepat mengarah ke gunung yang memang telah menjadi gunung kebuyutan dan dianggap suci dan sakral oleh masyarakat Kerajaan Pajajaran. Gunung Gede mungkin juga di anggap sama suci dan sakralnya oleh masyarakat zaman megalitik.

Menariknya, dengan latar belakang Gunung Gede yang jauh di utara, situs ini juga menghadap terlebih dahulu pada satu bukit yang bernama Pasir Pogor di depannya.*

Penulis, pencinta pusaka alam dan budaya leluhur, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, staf pengajar di Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB, KK Geologi Terapan.

Sumber Tulisan:
Pikiran Rakyat
Jumat, 20 Januari 2006

Samarinda Exotic Fashion Carnaval

Berbagai lapisan masyarakat bakal memeriahkan Samarinda Exotic Fashion Carnaval garapan Kaltim Post dan Pemkot Samarinda, Minggu (24/1) besok. Ada model-model dari berbagai agensi, drum band, para pelajar, instansi pemerintah, sampai para pejabat di lingkungan Pemkot Samarinda. Bahkan Persatuan Waria Samarinda (Perwasa) pun ikut meramaikan event ini.

Samarinda Exotic Fashion Carnaval (SEFC) digelar untuk memeriahkan perayaan HUT ke-22 Kaltim Post dan HUT ke-50 Pemkot Samarinda serta Hari Jadi Kota Samarinda. Sesuai dengan tajuk acara, dalam event ini peserta akan lebih menonjolkan busana atau kostum. Para peserta akan tampil dengan busana kreatif, unik, dan menarik.

“Konsepnya sebenarnya mirip dengan Jember Fashion Carnaval (JFC), namun karena ini baru pertama kali, penampilan peserta SEFC tentu tak seheboh di Kabupaten Jember (Jawa Timur, Red.). Paling tidak Kaltim Post dan Pemkot Samarinda sudah memulai sesuatu kegiatan yang bisa menjadi daya tarik Kota Samarinda,” ujar Koordinator SEFC, Sutik Anik.

Sutik mengatakan, puluhan peserta sudah menyatakan siap tampil dalam karnaval ini. Selain melibatkan sekolah, serta instansi pemerintah, kegiatan ini juga melibatkan model-model dari agensi model di Samarinda, Wajah Kaltim Post 2010, Duta Lingkungan 2010 yang dikoordinasi Remaja Cinta Lingkungan. Bahkan para waria (wanita pria) yang tergabung dalam Perwasa juga akan turut memeriahkan event perdana ini.

“Para waria ini akan tampil bak model. Kami yakin penampilan anggota Perwasa akan menjadi hiburan tersendiri bagi warga Samarinda. Kami juga mengundang seluruh masyarakat Samarinda untuk menyaksikan acara ini. Peserta rencananya dilepas Wali Kota Samarinda Achmad Amins pada pukul 08.00 Wita,” tambah Sutik.

Sutik mengatakan, panitia masih membuka pendaftaran Sabtu (23/1) hari ini hingga pukul 13.00 Wita. “Bagi masyarakat yang tertarik mengikuti kegiatan ini silakan daftarkan diri ke Kantor Kaltim Post Samarinda di Kompleks Mahakam Square Sungai Kunjang. Kami ingin event ini bisa diikuti berbagai lapisan masyarakat. Tak hanya dari Samarinda, juga dari Kutai Kartanegara, Bontang, Balikpapan, dan daerah lainnya,” ujarnya.

Sementara technical meeting bagi peserta katanya, digelar Sabtu (23/1) mulai pukul 13.00 Wita. Semua peserta diharapkan mengikuti technical meeting ini. “Dalam technical meeting nanti dibahas urutan tampil peserta, busana yang dikenakan, rute yang dilalui, dan teknis kegiatan lainnya. Karena hal ini cukup penting, kami berharap semua peserta bisa datang tepat waktu,” ujar Sutik.

Para peserta karnaval akan melewati beberapa ruas jalan yang sudah ditentukan panitia. Yaitu mulai Lapangan Pemuda Jl Bhayangkara, kemudian ke Jl Basuki Rahmat, Jl Agus Salim dan finish di lapangan parkir GOR Segiri Jl Kesuma Bangsa. Untuk peserta yang tampil kreatif akan mendapatkan hadiah uang tunai, piagam, dan trofi dari Kaltim Post dan Pemkot Samarinda. (kpnn)

Sumber: http://www.metrobalikpapan.co.id

Revitalisasi Museum Dilaksanakan Bertahap hingga 2014

Jakarta - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata atau Kemenbudpar menyatakan, pelaksanaan revitalisasi museum menyangkut citra dan isinya akan dilaksanakan bertahap hingga 2014.

"Revitalisasi museum akan terus terprogram di kementerian kami sampai 2014," kata Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar di Jakarta, Jumat (22/1/2010).

Ia mengatakan, museum harus menjadi fokus perhatian karena bila dibiarkan terus seperti sekarang ini akan semakin sedikit peminatnya.

Menurut dia, museum harus digarap menjadi sesuatu yang semakin menarik agar masyarakat mau berkunjung. "Ini harus menjadi sesuatu yang menarik sebab, bagi sebagian wisman (wisatawan mancanegara), museum justru menjadi tujuan utama," katanya.

Sapta mencontohkan, sebagian besar wisman asal Eropa hampir pasti menyempatkan diri mengunjungi museum di negara yang dikunjunginya. "Itu karena mereka berpendapat, dari museumlah dapat dilihat sejarah peradaban suatu bangsa," katanya.

Ia berpendapat, sudah menjadi hal yang sangat penting dan mendesak untuk memasukkan museum ke dalam agenda promosi pariwisata Indonesia.

Sapta menambahkan, selain membuat peta sejumlah museum yang layak dikunjungi, museum akan lebih menarik bila diperkuat produk-produk buatan yang bisa dijual atau merchandising.

Pihaknya menyatakan, mereka mengandalkan museum sebagai salah satu tujuan wisata yang dipromosikan pada 2010. "Tahun ini bahkan kami tetapkan sebagai tahun kunjungan museum," kata Sapta.

Tahun ini, kata dia, sudah menjadi komitmen bagi pihaknya untuk menjadikan museum sebagai salah satu aset yang dipromosikan kepada wisatawan, baik mancanegara maupun domestik.

Pihaknya juga telah meluncurkan Gerakan Nasional Cinta Museum akhir tahun lalu. Kegiatan itu merupakan gerakan bersama antar-komponen bangsa untuk memperkuat apresiasi masyarakat terhadap nilai kesejarahan dan budaya bangsa melalui peningkatan kualitas pelayanan museum.

Pada 2010, pihaknya menargetkan mampu menjaring 7 juta wisman dengan perolehan devisa 6,75 miliar dollar AS dan menggerakkan wisatawan nusantara sebesar 230 juta perjalanan dengan pengeluaran Rp 138 triliun.

Tahun lalu, Indonesia mampu menjaring 6,459 juta wisatawan mancanegara atau meningkat 0,4 persen dibanding 2008. Adapun pergerakan wisatawan Nusantara pada 2009 sebesar 226 juta perjalanan dari sebelumnya 225,4 juta perjalanan pada 2008.

Menurut Sapta, pariwisata Indonesia yang tumbuh tipis merupakan prestasi di tengah kemunduran sektor pariwisata dunia. "Negara lain, seperti Australia, Singapura, dan Thailand, tumbuh negatif. Kita bisa bertahan padahal mempertahankan target itu adalah suatu perjuangan berat di tengah krisis global," katanya.

Menurutnya, pariwisata Indonesia pada 2009 menghadapi tiga tantangan serius sekaligus sepanjang tahun, yakni kasus flu babi, krisis global, dan terorisme melalui aksi pengeboman.

Meski begitu, Sapta Nirwandar mengatakan bahwa Indonesia pada akhirnya mampu mempertahankan sektor pariwisata, bahkan tumbuh positif.

Sumber: http://oase.kompas.com

Kaltim Gelar Lomba Layang-Layang dan Menyumpit

Samarinda - Festival Layang-Layang dan Lomba Menyumpit merupakan dua kegiatan skala internasional yang akan digelar di Kaltim dalam waktu dekat yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Balikpapan dan peresmian Museum Sadurangas di Kabupaten Paser.Demikian dikatakan Kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kaltim, Firminus Kunum, terkait kegiatan kepariwisataan daerah yang digelar bersamaan dengan kegiatan di kabupaten/kota.

Menurut Firminus , Festival Layang-Layang dengan nama “Borneo International Kite Festival (BIKF) digelar di Kota Balikpapan pada 19-21 Februari 2010 yang akan diikuti sekitar 32 negara dan merupakan rangkaian peringatan HUT Kota Balikpapan ke-113.

“Setidaknya 32 negara menyatakan kesediaan untuk ambil bagian dalam festival layang-layang ini, diantaranya Cina, Thailand, Singapura, Australia, Kanada, Inggris, Spanyol dan Amerika Serikat,” jelas Firminus.

Layang-layang merupakan satu permainan tradisional yang dimainkan oleh sejumlah negara di dunia. Sehingga permainan ini tidaklah asing dimainkan oleh Negara lain. Begitupun bentuk, ukuran dan jumlah pemainnya berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya.

“Satu layang-layang ada yang dimainkan oleh beberapa orang dalam bentuk tim. Mudah-mudahan dengan banyaknya tim dari luar negeri dapat menggairahkan kunjungan wisata ke Kaltim,” ujarnya.

Festival layang-layang ini mengambil tema persatuan dunia dan iklim, sehingga festival ini termasuk kampanye pada lingkungan hidup. “Jadi layang-layang yang diterbangkan berbentuk aneka satwa dan tumbuhan.

Kita juga akan mengikutsertakan peserta dari 14 kabupaten/kota di Kaltim untuk menampilkan masing-masing maskot daerah, misalnya Samarinda membuat bentuk layang-layang pesut, Balikpapan dengan Beruang Madu, Kutai Barat berupa Macan Dahan dan lain-lain” ujarnya.

Sementara itu, pada Mei 2010 bertepatan dengan peresmian Museum Sadurangas di Kabupaten Paser dijadwalkan lomba menyumpit skala Internasional yang diikuti oleh sejumlah negara tetangga, antara lain Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Kegiatan berburu dengan cara menyumpit pada masyarakat Dayak di Kalimantan menurut Firminus, saat ini telah dijadikan sebagai olahraga tradisional yang cukup popular di masyarakat Kalimantan termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam yang memiliki kebudayaan serumpun.

Ide menyelenggarakan lomba menyumpit internasional ini berawal dari Kegiatan Olahraga Sukan Borneo di Brunai Darussalam belum lama ini. “Gubernur Kaltim Awang Faroek menginginkan di Sukan Borneo 2011 mendatang diperlombakan juga olahraga tradisional, berupa begasing, belogo dan menyumpit. Karena ketiga olahraga tradisional ini sangat popular di kalangan masyarakat Melayu Kalimantan,” jelasnya. (vb-01)

Sumber: http://www.vivaborneo.com

Pencitraan, Vitamin Khusus bagi Cagar Budaya Indonesia

Jakarta - Agar cagar warisan budaya bangsa Indonesia tidak punah, diperlukan vitamin yang bernama pencintraan. Pencitraan cagar budaya di masyarakan sangat penting, untuk mengurangi ketidakpahaman pengelola aset budaya itu, baik dalam sisi infrastruktur maupun komunikasi publik.

Hal itu dikatakan M Ridwan Ak, SE, salah satu pembicara dalam diskusi bertema "Strategi Pemasaran Candi Prambanan dan Sewu". Diskusi digelar di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jalan Palmerah Selatan, Sabtu (23/1/2010).

Acara tersebut diselenggarakan oleh BBJ, Kompas Gramedia, PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam diskusi itu juga menampilkan pembicara Purnomo Siswo Prasetyo, Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko (Persero).

Ridwan mengatakan, ketidakpahaman akan pencitraan nilai suatu cagar budaya akan menimbulkan miskomunikasi atau salah persepsi yang akhirnya berdampak pada perubahan pemahaman di publik tentang benda cagar budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

"Seyogyanya kita harus bersyukur karena Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya, bukan saja kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tapi juga keragaman suku bangsa ikut mewarnai kekayaan bangsa ini," katanya.

Tapi sangat disayangkan, kata Ridwan, kita masih sepenuhnya belum menyadari betapa besarnya potensi bangsa ini. Dengan adanya pemahaman yang sama mengenai pencitraan suatu cagar budaya, maka pemahaman akan pembangunan, manfaat dari cagar budaya dapat dibangun secara terintegrasi.

"Pemahaman akan suatu citra cagar budaya hendaknya dilakukan secara kontinyu. Sehingga sense of belonging akan cagar budaya bisa timbul di masyarakat dan tertanam," ucap Ridwan.

Dia mengatakan, program pencitraan dapat dilakukan dengan menerapkan program marketing komunikasi. Program tersebut akan mengintegrasikan antara aktivitas kegiatan dan aktivitas informasi, sehingga antara informasi yang dibangun di masyarakat seiring sejalan dengan aktivitas kegiatannya.

Dalam membangun citra benda cagar budaya, kata Ridwan, sudah pasti menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya menjadi beban pemerintah saja, tapi juga media, stakeholder, dan masyarakat sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing.

Ridwan mengatakan, wisata budaya bisa menjadi salah satu alat informasi dan komunikasi dalam membangun citra benda cagar budaya. Wisata Budaya bisa jadi aktivitas kegiatan yang menitikberatkan kepada pembangunan pemahaman melalui praktik-praktik yang bersifat sensor experience di lingkungan budaya tertentu.

"Dengan wisata budaya ini nantinya para pengunjung cagar budaya tidak hanya bisa menikmati obyek, namun juga bisa memahami nilai sejarah yang terkandung di dalamnya," ucap Ridwan.

Unsur-unsur yang terkandung dalam wisata budaya ini antara lain unsur religi, unsur bahasa, unsur estetika, tradisi, dan kesenian. Dari unsur-unsur ini diharapkan bisa menimbulkan sense of belonging terhadap warisan budaya nenek moyang.

Andre, salah satu peserta diskusi yang bekerja di bidang advertising mengatakan, promosi cagar budaya hendaknya dilakukan secara terfokus. Artinya, bila kita ingin menonjolkan "image cantik" dari candi, maka kita harus berusaha bagaimana caranya menciptakan suasana yang mendukung kecantikan dari candi itu bisa keluar.

"Pedagang-pedagang asongan lebih ditertibkan lagi, pencahayaan lebih diatur dan dimaksimalkan lagi, harus bisa menentukan objektivitas dari nilai candi itu. Sehingga tidak hanya nilai komersial yang bisa kita tingkatkan, nilai konservasi itu sendiri bisa ikut ditingkatkan," kata Andre.

Sumber: http://oase.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts