Arkeologi Indonesia Sebagai Riset Unggulan Kesadaran Budaya, Apakah Mungkin?

Oleh Richadiana Kadarisman Kartakusuma

Riset Unggulan dan Highlight
SATU
Menyusun, menentukan dan memetakan Riset Unggulan dan highlight tidaklah semudah tatkala memilih dan menetapkan istilah itu menjadi term baku. Apalagi guna kepentingan menentukan kebijakan suatu lembaga atau institusi yang mandiri. Kendala pertama adalah mengenai peristilahannya sendiri antara Riset Unggulan dan HighLight sepintas mengacu kepada pengertian yang sama dengan berbeda bahasa saja, Riset Unggulan merupakan term bahasa Indonesia sedang-kan HighLight jelas diambil dari bahasa Inggris.

Secara harfiah Riset Unggulan adalah riset yang diunggulkan. Sementara riset adalah interferensi bahasa Inggris suatu bentuk nominal dari kata research artinya penyelidikan, penelitian suatu masalah atau suatu peristiwa secara sistematis, kritis dan ilmiah dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru dengan penafsiran lebih baik (corroboration) (Adiwimarta et.al. 1990: 751 cetakan ke-4). Kata unggulan berasal dari kata unggul + an artinya lebih tinggi dari pada yang lain, melebihi yang lain, lebih baik, keadaan lebih unggul atau keutamaan (ibid, 1990:991).

Namun kata unggul di sini adalah nominal yang terikat kepada sufiks /an/ artinya menjadi ajektifa – melakukan sesuatu yang lebih; sedangkan sufiks /an/ menjadikan nomina menjadi sifat maka unggul-an berhubungan dengan kualitas atau sesuatu yang lebih, suatu merupakan bentukan yang masuk ke bahasa Indonesia oleh pengaruh bahasa Jawa guna menyatakan lebih dari yang lain. Highlight adalah mutlak interferensi dari bahasa asing (Inggris) artinya menerangi, menonjolkan, memberi warna terang pada bagian-bagian tertentu atau bagian paling menarik dari sesuatu peristiwa atau kejadian (Peter SaLim 1989:873-874). Dengan kata lain Highlight dan Riset UngguLan merujuk pengertian yang tiada berbeda.

Sejalan kepada tugas, fungsi dan peranan pokok Arkeologi yang berpijak pada kebudayaan [manusia] maka penelitian tidak harus dituju-kan kepada manusia sebagai pelaku budaya saja tetapi juga melibatkan pelbagai aspeknya seperti ekonomi, politik, sosial, hukum dan keyakinan yang secara keseluruhan menjadi sistem kehidupan. Tidak dipungkiri bahwa di dalam usaha pengembangan budaya dan kebudayaan sebagai pencerminan kemajuan manusia secara langsung melibatkan berbagai generasi dengan latar belakang sejarahnya masing-masing.

Tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dan yang terjadi bukan saja antara nilai–nilai lama dan baru tetapi lebih bertaut pada aspek-aspek kehidupan berjalan tidak selalu seirama juga karena berkembang tidak selalu sama cepat. Risung dan Highlight adalah dasar pijakan kajian bernuansa sinergi yang berpeluang membuka wawasan tidak hanya bermuatan akademis, tetapi sekaligus strategis dan praktis sehingga dapat diberlakukan serta diterapkan aplikatif ke segala aspek kajian sosial dalam lingkup nasional dengan aset internasional (highlight).

Arkeologi Indonesia hadir hampir tiga abad lebih adalah rentang waktu teramat panjang dan mengalami pasang surut cukup berat. Banyak yang telah mewarnai dan membentuk wajahnya. Akan tetapi Arkeologi Indonesia sekarang tampak-nya “agak sulit dilukiskan” karena jarang bercermin dan ada keengganan untuk melakukan refleksi dan evaluasi kendati berkali-kali dibicarakan dan dibahas dalam kegiatan seminar-seminar. Sejauh itu hasilnya masih perlu dipertanyakan tingkat kesesuaiannya antara nama kegiatan dan isi kegiatan yang sebenarnya dilakukan. Oleh karena itu kegiatan yang benar-benar dapat dipergunakan untuk wadah mengevaluasi perkembangan Arkeologi Indonesia.

Reorientasi menyiratkan adanya orientasi lama bahkan gejala salah kaprah di masa sebelumnya, kaitannya dengan orientasi mengkonotasikan seakan EHPA menentukan dan memagari atau bahkan menghambat perkembangan Arkeologi sendiri. Apalagi dunia akademik pada hakekatnya merupakan dunia yang bebas dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Mengacu kepada David Hurst Thomas (l989) Tanudirjo selanjutnya menerangkan pengetahuan yang benar tidak dicapai melalui satu cara saja tetapi juga melalui berbagai cara lainnya. Demikian pula suatu fenomena tidak harus selalu dijelaskan dalam suatu kerangka pikir, karena dalam suatu bidang ilmu tidak jarang terdapat berbagai panutan yang lazim disebut paradigma.

Paradigma dalam suatu ilmu sebenarnya adalah khasanah tujuan, permasalahan dan pola pikir dengan segala perangkat dan tatacaranya guna memecahkan persoalan termasuk dalil, teori dan metodologi. Paradigma juga dipandang sebagai tradisi keilmiahan yang mencipta pola pikir pengikutnya dalam menghasilkan, memandang dan menafsirkan data empiris. Maka paradigma adalah suatu pilihan yang mampu memberikan arah bagi para peneliti dan penelitian yang menganut paradigma itu. Bagi yang tidak menggunakan paradigma tertentu, bebas untuk menentukan paradigmanya sendiri bahkan sering terjadi paradigma itu berubah dan berkembang secara bebas [tidak mengarah] karena hasil penelitian dan perenungan paradigma lama menuntut perubahan dan perkembangan. Inilah yang terjadi dalam disiplin Arkeologi sebagai ilmu multidisipliner dan konsekwensinya adalah kurangnya sinkronisasi.

Telah dipahami Arkeologi adalah satu-satunya ilmu yang mampu menembus ke masa lampau. Sinkronisasi Arkeologi bermuatan akademik, sarategis dan praktis menyebabkannya memperhitungkan di dalam memilih ilmu bantunya. Pemilihan bertaut kepada adanya faktor-faktor pembatas dan penganutan-penganutan atas standar nilai tertentu, nilai kebenaran, kebaikan dan kegunaannya dengan ruanglingkup kemampuan, peralatan yang dikembang kan dan membentuk dirinya serta dikenal sebagai bidang studi.

Karena itu sinkronisasi harus beranjak secara tegas dan lugas mem-bangun ruang Arkeologi sebagai ajang pergulatan pemikiran dan membuka peluang debat terus berlangsung dengan menyerap beragam kerangka pikir dan paradigma hingga Arkeologi sebagai ilmu multidisipliner memperoleh keagjegannya. Tidak “melulu” mengarah kepada satu tujuan melainkan memancar pada berbagai arah yang jelas dan tegas sebagaimana wacana kebudayaan.

Pokok pemikirannya adalah bagaimana Arkeologi dapat ditempatkan seutuhnya dalam konteks sebagai penerjemah kebudayaan. Ironisnya ada pendapat yang bersikukuh bahwa Arkeologi sebagai ilmu dengan dasar pemahaman material culture tanpa memperhitungkan hal lainnya. Padahal material culture indentik dengan objek kontekstual jika hanya dikaji melalui sistemik, adaptif, dan materalistik (saintifik) kenyataannya belum mampu menembus dimensi idealistik dan simbolik suatu budaya. Mengungkap makna atau jiwa diperlukan pendekatan yang lebih bermuatan sejarah, kognisi, perlambangan dan peran individu dirangkum dalam pemikiran konteks. Berpegang pada pemikiran bahwa keragaman hasil budaya terjadi karena adanya faktor individu (pribadi) berperan aktif sebagai pencipta (pelaku budaya) sehingga membuka peluang bagi setiap pribadi menjadi agen penyebab variasi budaya. Memahami fenomena budaya harus meletakannya ke dalam konteks sejarahnya sendiri mencakup lingkungan teknologi, tindakan atau konteks yang dikandung di dalam benda Arkeologi sebagai teks atau wacana.

Langkah-langkah kinerja sinergi berpijak melalui visi dan misi kebudayaan. Secara operasional dituangkan ke dalam Riset Unggulan yang bersifat emansipatif adalah:

1) Sinergi – strategi – bottom up > pohon versus ranting
- penelitian tema-tema besar yang bersifat integral
- menekankan pada tema penelitian tertentu
- dievaluasi sekurang-kurangnya setiap lima tahun
- mencakup analisis, sintesa, tujuan besar, pemasyarakatan penulisan
- gerak Penelitian saling berkait satu sama lain dan terkonglomerasi secara bersama-sama

2) SkaLa Nasional – Internasional = azas manfaat
- tema penelitian disusun secara periodik dan setiap periode ditarget-kan memberikan hasil yang konkrit dalam skala regional, nasional dan global (internasional)
- menekankan pada pencapaian tujuan pokok arkeologi
- aktual dan memberikan manfaat optimal langsung bagi kepentingan akademis, strategis, dan praktis
- diuji dan disepakati oleh forum diskusi (sebelum dilaksanakan)

3) Holistik - Sinambung > Lima tema besar > terpadu
- mencakup data dan gejala yang ditemukan dan mengolahnya dengan melibatkan berbagai disiplin saling berinteraksi di dalam kegiatan penelitian
- penelitian mencakup lingkup Nusantara sebagai kesatuan wilayah budaya dengan memberi pemahaman utuh – sinkronis (memperhati-kan potensi situs-situs Nusantara yang tidak terpusat pada suatu daerah tetapi juga ke pelosok Nusantara); diakronis (kronologi per-kembangan dari awal hingga akhir
- bersinergi artinya menciptakan interaktif dan hubungan kominikasi yang lancar (dua arah) dan saling menopang antara Puslit dan Balar sehingga kedua belah pihak terjadi kelancaran serta memberikan implikasi positif ke berbagai bidang kajian selanjutnya
- memiliki prospek besar untuk kemajuan arkeologi di bidang akademis, sarana dan SDM
- memberi peluang kerjasama G to G dengan harga tawar yang tinggi, bermanfaat dan berkelanjutan bagi Arkeologi seumur hidup. Ke dalam pengertian lebih luas baik situs atau tema yang dipilih harus berlingkup nasional yaitu situs yang memiliki kandungan sangat penting untuk penggalian dan pemahaman Sejarah Nasional

DUA :Sinkronisasi Arkeologi melalui Wacana Kebudayaan
Era globalisasi sejak abad ke 20 dikumandangkan mewarnai arah dan laju pem-bangunan bangsa menuju lebih baik, intinya adalah Reformasi di segala bidang secara menyeluruh dan serentak (sistem) yakni Pol-Ek-Sos-Bud. Implikasinya secara langsung terhadap kebudayaan (baca: Arkeologi) dituntut turut berperan membangkitkan semangat melalui berbagai bentuk usaha yang proaktif dengan kreasi dan interpretasi budaya guna membekali setiap individu/kelompok masyarakat yang benar-benar siap maju dengan sikap dan mentalitas yang mampu memberi arahan dan makna yang tegas.
Senarai dengan ilmu Arkeologi yang sejak semula merupakan bidang ilmu terbatas tetapi di dalam pengembangan kajian-kajiannya sangat membuka dan memberi peluang multidisipliner hendaknya terjabar sebagai inti kerangka pemikiran yang melandasi kegiatan kerja operasional dan direalisasikan secara multi kajian.

Terlebih lagi dalam rangka menangkap momentum reformasi total diperlukan keterbukaan sikap dengan meninggalkan perilaku primordial dan lebih diarahkan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan secara universal, mengakui kebebasan hak-hak asasi manusia sebagai prioritas utama.
Arkeologi merupakan ruang kegiatan ilmu sosial dan ilmu budaya maka pijakan utama adalah Kebudayaan. Kebudayaan dimengerti sebagai proses manusia mencapai kehidupan lebih baik sebagaimana tercermin pada sarana dan prasarana hidup, serta terangkatnya pribadi dan martabat manusia secara kualitatif melalui pemerkayaan per-bendaharaan nilai nilai budaya. Keseluruhan tata nilai inilah yang pertama kali mem-bentuk mental, watak, sikap hidup yang berfungsi memberikan makna, semangat dan motivasi setiap perilaku dalam kehidupan bermasyarakat secara inter aktif dan terwujud dalam pola-pola tertentu (Soerjanto Poespowardojo l981; l989).

Sebenarnya dalam dimensi kebudayaan tugas dan fungsi Arkeologi menyandang peranan pokok membawakan muatan spesifik bagi manusia sebagai pelaku juga struktur ekonomi, politik, sosial, hukum dan keyakinan yang secara keseluruhan menjadi sistem kehidupan yang manusiawi dan beradab. Namun tidak dipungkiri bahwa dalam usaha pengembangan budaya dan kebudayaan sebagai pencerminan kemajuan manusia itu yang secara langsung melibatkan berbagai generasi dengan latar belakang sejarahnya masing-masing, kerap menimbulkan benturan-benturan dan yang terjadi bukan saja antara nilai–nilai lama dan baru tetapi lebih bertaut kepada aspek-aspek kehidupan yang berjalan tidak selalu seirama juga karena berkembang tidak selalu sama cepat.

Yang perlu disadari dalam rangka Reformasi adalah Sinkronisasi Program sebagai dasar pijakan kajian bernuansa sinergi yang berpeluang membuka wawasan tidak hanya bermutan akademis, tetapi juga sekaligus strategis dan praktis sehingga dapat diberlaku-kan dan diterapkan secara aplikatif ke segala aspek kajian sosial dalam lingkup nasional dengan aset internasional (highlight). Tidak keliru jika reformasi dijadikan salah satu upaya retrospeksi bagi perjalanan sejarah berdirinya (khasanah Arkeologi) Lembaga Arkeologi sejak hadirnya Odheidkundinge Dienst dan kini menjadi AsDep.Urusan Arkeologi ?

Restropeksi adalah upaya mawas diri untuk berkaca mengevaluasi dan meninjau ulang bagaimana sebenarnya perkembangan arkeologi di Indonesia dan apa yang telah kita capai selama ini. Agar kita mengetahui sisi unggul dan sisi lemah Arkeologi Indonesia selanjutnya digunakan sebagai dasar pijakan untuk melangkah ke depan.

Arkeologi Indonesia hadir hampir tiga abad lebih adalah rentang waktu teramat panjang dan mengalami pasang surut cukup berat. Banyak yang telah mewarnai dan membentuk wajahnya. Akan tetapi Arkeologi Indonesia sekarang tampaknya “agak sulit dilukiskan” semata karena jarang bercermin dan ada keengganan untuk melakukan refleksi dan evaluasi meskipun dilakukan berkali-kali dibicarakan dan dibahas dalam kegiatan seminar-seminar. Sejauh itu pula hasilnya masih perlu dipertanyakan tingkat kesesuaiannya antara nama kegiatan dan isi kegiatan yang sebenarnya dilakukan.

Oleh karena itu kegiatan yang benar-benar dipergunakan sebagai wadah untuk mengevaluasi perkembangan Arkeologi Indonesia. Pertautannya dengan refleksi dan evaluasi ibarat sebuah cermin retrospeksi.

Dimana Arkeologi menjadi tempat kita berkaca dan merefleksi diri. Namun cermin yang disoborkan di sini bukan cermin baru. Banyak diantara kita yang sudah mengenalnya walau mungkin selama ini lebih sering menyimpannya di tempat yang salah sehingga cermin itu terlupakan dan menjadi buram. Cermin buram memang sering mengecoh: wajah buruk kadangkala tampak tampan atau sebaliknya. Karena itu, cermin yang ditampilkan di sini adalah cermin lama yang sudah digosok kembali. Semoga cermin itu kini cukup cerah dan dapat memantulkan bayang-bayang lebih objektif.

Arkeologi sebagai bingkai cermin akan digunakan kerangka bahasan yang meliputi data arkeologi, proses transformasi, daur penelitian arkeologi dan teori paradigma Arkeologi. Sebagai sebuah bingkai tentu saja setiap bahasan tidak bisa berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian saling bertaut antara yang satu dengan yang lainnya.

Kebijakan penelitian arkeologi mendatang” diembel-embeli reorientasi dan orientasi. Meminjam istilah Toeti Heraty Noerhadi (l980:197-200) kalimat tersebut merupakan kesatuan pengertian kata kerja perfomatif yang men-cerminkan suatu tindakan yang merubah situasi. Dengan kata lain kegiatan ini menjanjikan suatu bentuk evaluasi dan menentukan langkah selanjutnya.

Namun Bagaimanakah kenyataannya reorientasi yang menyiratkan adanya orientasi lama bahkan gejala salah kaprah di masa sebelumnya, kaitannya dengan orientasi mengkonotasikan seakan Instansi lebih menentukan, memagari atau menghambat perkembangan Arkeologi sendiri. Apalagi dunia akademik pada hakekatnya merupakan dunia “Yang Bebas” dan menjunjung tinggi kebebasan akademik.

Mengacu kepada pernyataan David Hurst Thomas (l989) "menerangkan pengetahuan yang benar tidak dicapai melalui satu cara saja tetapi juga melalui berbagai cara lainnya. Demikian pula suatu fenomena tidak harus selalu dijelaskan dalam suatu kerangka pikir, karena dalam suatu bidang ilmu tidak jarang terdapat berbagai panutan yang lazim disebut paradigma.
Paradigma dalam suatu ilmu sebenarnya adalah khasanah tujuan, permasalahan dan pola pikir dengan segala perangkat dan tatacaranya untuk memecahkan persoalan yang ada, termasuk dalil, teori dan metodo-logi".

Paradigma dapat juga dipandang sebagai tradisi keilmiahan yang menciptakan pola pikir pengikutnya dalam menghasilkan, memandang dan menafsirkan data empiris. Maka paradigma adalah suatu pilihan yang mampu memberikan arah bagi para peneliti dan penelitian yang menganut paradigma itu. Bagi yang tidak menggunakan paradigma tertentu, bebas untuk menentukan paradigmanya sendiri bahkan sering terjadi paradigma itu berubah dan berkembang secara bebas [tidak meng-arah] karena hasil penelitian dan perenungan paradigma lama menuntut perubahan dan perkembangan. Inilah yang terjadi dalam disiplin Arkeologi sebagai ilmu yang multidisipliner dan konsekwensinya adalah kurangnya sinkronisasi.

Telah dipahami Arkeologi adalah satu-satunya ilmu yang mampu menembus ke masa lampau. Sinkronisasi Arkeologi yang bermuatan akademik, sarategis dan praktis menyebabkannya harus memperhitungkan dalam memilih ilmu bantunya.

Pemilihan bertaut kepada adanya faktor-faktor pembatas dan penganutan-penganutan atas standar nilai tertentu, nilai kebenaran, kebaikan dan kegunaannya dengan ruanglingkup kemampuan, peralatan yang dikembang kan dan membentuk dirinya serta dikenal sebagai bidang studi. Karena itu sinkronisasi harus beranjak secara tegas dan lugas membangun ruang

Arkeologi sebagai ajang pergulatan pemikiran dan membuka peluang debat yang terus berlangsung dengan menyerap beragam kerangka pikir dan paradigma hingga Arkeologi sebagai ilmu yang multidisipliner mem-peroleh keagjegannya. Tidak “melulu” mengarah kepada hanya satu tujuan melainkan memancar pada berbagai arah yang jelas dan tegas sebagaimana halnya wacana kebudayaan.

TIGA: Riset Unggulan atau highlight Kerangka Pemikiran Arkeologi bermuatan Akademis, Strategis dan Praktis
Sinkronisasi – sinkron secara infinitif merujuk pengertian “terjadi pada waktu yang sama atau serentak” juga berhubungan dengan hal-hal yang sejalan, seyogyanya sesuai, sinkronisasi adalah bentuk nominatif yang berkaitan kepada perihal menyesuaikan suara dengan sikap [kenyataan] bertaut kepada menyinkronkan artinya mensejajarkan atau menyerentakkan; strategis berhubungan kepada bertalian, berdasar dan tepat sasaran, berkenaan atau mengena; praktis artinya mudah dipraktekkan, dilaksanakan dan dijalani, masuk akal, pengetahuan [karena] latihan dan pengalaman yang telah diuji dan dibuktikan (Salim 1986:1464,1942,1490; Adiwimarta et.al.peny. 2000: 845, 700, 860).

Sinkronisasi berwawasan akademis, strategis, praktis, bermakna pengertian yang berujung kepada pendekatan dalam mengkaji fenomena pada suatu penggalan waktu tertentu ataupun yang ditentukan ketimbang perkembangan historisnya. Lebih tegas, sinkronisasi adalah menjelaskan sesuatu sesuai sikap yang berlalaku umum dalam suatu periode atau sejalan semangat zaman (zeitgeist). Diterapkan terhadap kelembagaan Arkeologi yang konon himpunan para scientist archaeology itu, maka sinkronisasi merupakan upaya bagaimana mengkoordinasi dan mengintegrasi lembaga atau institusi yang bernuansa ilmiah dengan dasar pijakan akademik itu secara tepat guna dan mengenai sasaran (strategis) langsung dan dapat dilihat secara nyata (praktis). Sinkronisasi yang ditawarkan adalah wacana kebudayaan. Arkeologi sebagai wadah bagi roh/jiwa kebudayaan yang dituntut mampu menghadirkan simpul-simpul kekuatan guna menghantar masyarakat mencapai survive dari waktu ke waktu, bermanfaat dan dapat langsung diserap kalangan akademisi dan masyarakat luas.

Sebagai institusi Arkeologi dan kebudayaan ibarat sebuah tubuh yang terdiri dan dibangun (dibentuk) dari anggota-anggota tubuh sebagai komponen yang saling mengikat dalam kesatuan dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Jikalau salah satu dari komponen “tidak berjalan” [sakit atau rusak] secara otomatis kesatuan tubuh itu tidak dapat berjalan utuh sebagaimana mestinya, sehingga untuk memperbaiki nya tidak hanya pada komponen yang rusak saja melainkan secara menyeluruh. Dalam tatanan kebudayaan keseluruhan tersebut disebut wacana atau teks.

Arkeologi adalah individu yang disebut penanda yang bersifat konkrit [material-komponen tubuh] sedangkan kebudayaan adalah petanda merupakan kesatuan konsep, gagasan, ide dan makna yang bersifat abstrak. [non material] keduanya bagaikan dua sisi dari selembar kertas yang tak terpisahkan. Meskipun dalam kondisi tertentu petanda atau kebudayaan bukan bagian intrinsik dari penanda (arkeologi) namun tetap selalu hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit dan kehadirannya tersebut absolut.

Kebudayaan sebagai jiwa/roh inilah yang menyebabkan Arkeologi hidup dan me miliki kemampuan berbicara dan menjelaskan segala sesuatunya secara lebih menyeluruh berangkat dari yang terindrai (sensorable-message) menembus dimensi yang tidak terindrai (unsensorable-message) sehingga semua yang bersifat fisik yang melatari dan menyebabkan nya nampak kepermukaan itu hadir lebih utuh (Audrey Fisher l990, Teori-Teori Komunikasi: Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional dan Pragmatism diterjemahkan Soejono Trimo dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya; Burhanuddin Salam (1988) Logika Formal: Filsafat Berfikir . Jakarta: Bina Aksara).

Mengetahui secara tepat bagian tubuh Arkeologi “yang sakit ” dan dengan sendirinya dikembalikan ke dalam konsep kebudayaan. Senarai dengan sinkronisasi Tetapi tidak harus diartikan Arkeologi memaksa menerapkan suatu tolok ukur yang harus berlaku universal, melainkan berperan sebagai penterjemah (interpretive) antara masa lalu dan masa kini, antara berbagai pandangan masa lalu dan antara yang khusus dengan umum. Bahkan [kalau mungkin] menghadirkan masa lalu ditengah-tengah keragaman budaya di masa kini dengan mendengar, memahami dan juga menampung berbagai suara.

Sejalan laju modernisasi dan pembangunan (reformasi tadi) di segala bidang terjadi pertumbuhan sangat pesat di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Keadaan yang mengakibatkan timbulnya transformasi budaya yang sangat tajam, pergeseran nilai sosial budaya, ekonomi, politik telah memporakporandakan sejumlah besar nilai-nilai tradisional. Maka Arkeo-logi dipersiapkan menerima inovasi seluas-luasnya dalam upaya memaknai diri dan memiliki tinjauan luas untuk berteori, berkomunikasi dengan bukti-bukti yang terkandung dalam setiap kegiatan kerja.

Pokok pemikirannya adalah bagaimana Arkeologi dapat ditempatkan seutuhnya ke dalam konteksnya sebagai penterjemah kebudayaan. Ironis-nya sementara pendapat “bersikukuh” dengan pandangan Arkeologi sebagai ilmu dengan dasar pemahaman material culture atau objek kontekstual yang hanya dapat dikaji melalui sistemik, adaptif, dan materalistik. Namun sudut pandang saintifik seperti itu pada kenyataannya belum mampu menembus ke dimensi idealistik dan simbolik suatu budaya.
Mengungkap makna/jiwa diperlukan pendekatan yang lebih ber-muatan sejarah, kognisi, perlambangan dan peran individu dirangkum ke dalam pemikiran konteks. Berpegang kepada pemikiran bahwa keragaman hasil budaya terjadi karena adanya faktor individu (pribadi) berperan aktif sebagai pencipta (pelaku budaya) sehingga membuka peluang bagi setiap pribadi menjadi agen penyebab variasi budaya.

Memahami fenomena budaya harus meletakkannya dalam konteks sejarahnya mencakup lingkungan teknologi, tindakan atau konteks yang dikandung di dalam benda Arkeologi sebagai teks atau wacana (Tanudirjo l994).

Merujuk kepada Paul Ricoer (The Interpretation Theory. Diterjemahkan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul baru Filsafat Wacana: Membelah Makna Anatomi Bahasa, 2002. Yogyakarta: IRCiSoD; Panuti Sudjiman dan Aat van Zoest (l992), Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: PT. Gramedia) Makna adalah thought suatu aktivitas mental mencakup konsep, pernyataan dan hubungan bahasa dengan dunia luar yang disepakati bersama oleh para pendukung kebudayaan, sehingga kegiatan Arkeologi dipahami sejalan informasi dianut pendukung budayanya juga. Karena itu wacana atau teks hanya dapat dipahami hanya melalui empatetik yang mengakui tindakan manusia dan budaya selalu bersifat khas atau khusus dan unik meski mengandung unsur-unsur sama. Menempatkan diri menjadi bagian budaya yang diteliti mampu menangkap makna fenomena budaya sesuai konteksnya yang membuka keluasaan Arkeologi dalam lingkup penelitian tiada terbatas dan menempatkan di berbagai disiplin ilmu sosial-budaya ke dalam kerangka hermeneutik.

Cag!
AMBU

Sumber Tulisan
http://www.wacananusantara.org/99/604/arkeologi-indonesia-sebagai-riset-unggulan-kesadaran-budaya,-apakah-mungkin?
-

Arsip Blog

Recent Posts