Penaklukan Lautan oleh Austronesia — Melawan Arah Angin

Oleh Adrian Horridge

Tulisan ini membahas sejarah pembuatan kano dan desain tali-temali di wilayah Pasifik. — Awal historis pre-Austronesia, Austronesia dan Asia Tenggara. Keadaan Pelayaran di Lautan Pasifik disebutkan disini, bersama dengan teknik pelayaran dan daerah kontak antar pulau yang secara tradisional diingat. Penjelajahan Austronesia dianggap telah menyokong pelayaran kearah angin, dan kembali dengan hembusan angin.

Pendahuluan
Perahu rakitan atau papan dengan kerangka dasar kano dan layar telah menjadi teknologi utama untuk bertahan hidup dan menjajah bagi bangsa maritim yang tersebar di Pulau Asia Tenggara dan Pasifik jauh setidaknya selama beberapa ribu tahun. Kami menyimpulkan ini dari masa kini dan perkiraan distribusi pada masa lalu dan struktur dari sampan. Dengan kemampuan untuk membawa api, keluarga, anjing, ayam, akar tuberous, tunas dan biji-bijian melewati laut, akhirnya Austronesians menduduki Kepulauan Pasifik, perpindahan ke Melanesia sekitar 3500 tahun yang lalu dan seterusnya ke dalam Polinesia. Saya mengusulkan untuk menjawab dua pertanyaan, apakah itu sebenarnya masalah bagi koloni Austronesia awal untuk melakukan perjalanan melawan angin dan arus yang berlaku, dan berapa banyak yang kita dapat simpulkan tentang kapal mereka.

Busur Kepulauan Asia Tenggara, Langkah Awal yang Mudah
Perairan yang relatip dangkal di akhir garis landas-benua Sunda, Asia Tenggara digambarkan melalui Selat Lombok , kearah utara melalui Selat Makassar, diantara pulai Palawan dan sisa dari Filipina, lalu Taiwan selatan. Kearah timur dari garis ini adalah terusan perairan yang dalam yang mengisolasi pulau-pulau di Sulawesi, Filipina, Timor dan pulau lainnya di Maluku. Jauh ke timur, kita menemukan landas Sahul diantara Pulau Papua dan pesisir utara Australia, yang dahulu adalah jembatan daratan untuk hewan berkantung dan manusia. Oleh karena hewan darat dan ikan di air tawar dibatasi dengan lautan dangkal ini, manusia tersebar dari Selat Sunda ke Landas Sahul sekurangnya 50,000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut lebih rendah dari pada sekarang dan penyebrangan laut lebih pendek dikarenakan penambahan lapisan sungai es. Meskipun demikian, orang-orang harus menyebrang paling tidak 70 km di lautan terbuka untuk mencapai Sahul. Kita mungkin berpikir bahwa mereka menggunakan rakit bambu karena rakit ini adalah alat transportasi termudah yang dapat mereka buat dengan peralatan bebatuan yang tersedia. Tidak ada masalah dalam pergerakan di dalam lautan yang relatip tertutup ini, karena angin dan arus balik setiap musim dengan musim hujan.

Pergerakan ke Dalam Pasifik
Dari 5000 tahun yang lalu, Kepulauan Asia Tenggara secara progesip dijajah oleh orang-orang yang menggunakan bahasa dari rumpun bahasa Austronesia. Orang-orang ini tersebar kearah selatan melalui Filipina dan Maluku dan kearah timur Pasifik. Mereka membuat barang tembikar dan kapak gagang siku yang bagus. Mereka memelihara babi, anjing dan ayam, akan tetapi karakteristik utama mereka adalah penguasaan laut dan kecenderungan untuk menyebar dari pulau ke pulau yang berbudaya bahari. Setidaknya tahun 2000 SM, menurut konstruksi komparatip, teknologi mereka terdiri pembuatan tembikar, pakaian dari kulit kayu, kapal kano, layar kapal, tali, perlengkapan pancing dan jangkar. Sungguk sedikit bukti yang kita punya, berdasar pada metode konstruksi yang meluas dari perahu Neolitik, mengatakan bahwa mereka telah memiliki teknologi pembangunan kapal berdasarkan kibasan, lugs yang menonjol keluar, dan dasar yang dilubangi untuk lambung kapal dengan papan tambahan. Pada tahap ini, bagaimanapun, mereka telah mengadopsi pelayaran segitiga mereka yang unik dan konstruksi cadik. Sepanjang pinggir kepulauan besar Melanesia mereka tidak mampu menggantikan populasi lokal saat mereka akhirnya melakukan di Indonesia. Melewati Melanesia mereka meninggalkan tembikar berukir yang khas, yang disebut barang Lapita (Spriggs 1984, dan buku ini; Allen dan White 1989). Di pesisir Melanesia, sekitar 3000 tahun yang lalu, mereka terjajah sampai Tonga, dan Samoa dan mengembangkan budaya maritim mereka. Sekitar 2500 tahun yang lalu mereka sudah siap untuk perjalanan laut yang lebih lama lagi, dengan muatan yang lebih banyak lagi, mungkin karena pada saat itu mereka telah menyempurnakan kano ganda. Mereka membawa muatan penting yang besar dan beragam untuk kolonisasi, termasuk anjing, ayam, bambu, pisang, tebu, talas, ubi jalar, tanaman obat-obatan dan racun, banyak biji buah dan pohon.

Perjalanan ke arah timur melawan angin dan arus, orang Polinesia mencapai Marquesas sekitar 200 SM. Sekitar tahun 500 mereka telah terjajah Hawaii dan Pulau Paskah, Selandia Baru pada AD 1200, dan akhirnya hampir semua pulau-pulau diPasifik tengah dan timur. Zaman keemasan pendudukan kelompok-kelompok pulau baru tercatat dalam ingatan rakyat dan mitos yang kemudian dituliskan oleh misionaris yang paling awal. Selain itu, kumpulan yang berbeda dari navigator pada masa ini tetap membuka komunikasi dengan laut didalam kelompok-kelompok pulau mereka sendiri dengan mengetahui posisi dari banyak pulau dan titik lepas landas dan rute laut terpendek dari satu gugusan pulau yang lain (Lewis 1972).

Fakta aneh adalah bahwa, meskipun Austronesians membawa banyak keunikan budaya Asia yang berasal China tengah dan selatan, seperti pembuatan kain kulit kayu, tato, pola-pola dekoratif tertentu, membuat tembikar, kampak, peternakan babi, anjing dan ayam, desain rumah dan lumbung dan banyak tanaman yang berguna, tidak ada jejak dari teknologi kapal Cina pada kapal Austronesia, atau sebaliknya. Demikian pula, ada sedikit jejak perahu Pasifik di antara kerabat dari Austronesians di Daratan Asia Tenggara. Ini mendukung gagasan bahwa detai gambar perahu yang merupakan ciri khas dari Austronesians diadopsi di pulau-pulau pada atau setelah mereka meninggalkan daratan Asia. Lagi pula, kombinasi dari segitiga cadik dan layar segitiga Oseanik tidak cocok untuk danau atau sungai. Kekhasan dari cadik kano tunggal dari Melanesia, Mikronesia dan Polinesia sangat mungkin berasal dari masa pra-Austronesia yang sekarang adalah Indonesia dan Filipina.

Pembangunan Kapal Sebelum Masa Austronesia
Tidak ada yang bertentangan dengan pemikiran bahwa baik rakit layar dan perahu yang dirakit ada di Busur Kepulauan Indo-Malaysia jauh sebelum nenek moyang Austronesia diperkirakan telah pindah dari Taiwan. Perkakas batu seperti kapak mata tanah yang bisa untuk membuat kano lebih dari 20.000 tahun yang lalu di Australia dan 30.000 tahun yang lalu di Jepang. Manusia diwajibkan untuk menyeberangi laut untuk mencapai Australia, mungkin pada awalnya menggunakan rakit bambu dan kemudian memakai perahu kano. Rakit bambu yang tradisional lebih banyak di Indonesia dan Melanesia sampai Fiji. Bahan kayu ringan lainnya, seperti Erythrina yang masih digunakan untuk kerangka kapal apung, tersedia di pesisir pantai. Sebagian besar dari kayu yang digunakan untuk membuat kapal tersebar dengan luas ,dan pasti telah disebar oleh manusia, karena hanya beberapa jenis tanaman mempunyai biji yang kayunya dapat mengapung di air laut. Selain itu, teknologi perahu dan pertanian saling berhubungan karena produksi dalam negeri hibrida tergantung pada persediaan induk angkutan yang tidak dapat dibawa bersama-sama.

Hubungan dengan Samudera Hindia
Kemungkinan besar rute perdagangan paling awal di Samudera Hindia berkembang sekitar 5000 tahun yang lalu diantara Lembah Indus dan Teluk Persia, mungkin sezaman dengan ekspansi Austronesia awal di Asia Tenggara. Namun, pembangunan kapal Samudera Hindia tampaknya tidak memberikan kontribusi apapun dalam desain Austronesia sampai masa sejarah efektif. Apakah asal lambung kapal Austronesia dan Samudera Hindia adalah tipe yang digali yang ditambahkan keatas dengan papan, atau apakah seluruhnya dibangun dari papan, lapisan kapalnya pasti merupakan rakitan. Sangat mengherankan bagaimana papan rakitan begitu tersebar luas, di Eropa, Asia dan Oseania, dan berapa lama mereka bertahan hingga masa modern, dengan varian yang menarik. Kita dapat mengasumsikan bahwa warisan budaya ini meluas ke Asia Tenggara dan Austronesians juga memperolehnya. Pada masa awal Mesir, boatbuilders berevolusi dengan teknik lain menjadi papan ujung-ke-tepi dengan menggunakan papan tenon yang tertanam dalam slot di tepi papan dan kemudian dikunci dengan pin kayu melintang. Di Mesopotamia dan Lembah Indus yang mereka menggunakan paku dinding atau treenails didalam papan kayu berukir yang diletakkan secara tepi-ke-tepi dan kemudian dijahit. Teknik tambahan ini pasti sudah sangat kuno tetapi mereka terkait dengan penggunaan alat-alat perunggu.

Tiang tetap, teknik paku dinding, kemudi kuartal dan layar trapesium tampaknya telah menyebar ke arah timur ke Indonesia dari Samudera Hindia selama 2000 tahun, sejak awal perdagangan melalui Selat Malaka.Sebelum kedatangan penjelajah barat rincian tersebut tidak tersebar lebih jauh dari rute perdagangan awal ke Filipina dan Pulau Papua.

Teori bahwa tali temali Austronesia berasal dari Samudera Hindia, atau dari Mesir, adalah salah karena penduduk Austronesia telah meninggalkan Daratan Asia lama sebelum kontak tersebut tersebar ke arah timur. Sebaliknya, penyebaran ke arah barat dari layar segitiga Austronesia ke Samudera Hindia sekitar 200 SM memberikan kita yang kemungkinan tempat asal dari layar lateen segitiga Arab yang tersebar ke Mesir bahkan ke Mediterania pada akhir zaman klasik, sekitar AD 200. Seribu tahun kemudian Portugis mengadopsi lateen pada tiang-tiang layar sorong caravels mereka, memungkinkan mereka untuk bergerak lebih dekat dengan angin dan mencapai Pasifik.

Meskipun pengaruh dari Samudera Hindia sudah terlalu terlambat untuk mempengaruhi Austronesians Pasifik, kata-kata Sanskerta dan beberapa teknik pemasangan bisa saja tersebar di sebelah timur Semenanjung Malaysia pada 200 SM. Rute perdagangan juga terbuka antara Vietnam dan kawasan timur Indonesia sekitar 200 SM, seperti ditunjukkan oleh distribusi genderang perunggu Dongson di sepanjang rute laut yang ditentukan oleh angin musim di Cina Selatan dan Laut Jawa. Penggalian baru-baru ini di Sembiran di Bali mengungkapkan bukti drum tuang dari tembikar rolet Asia Selatan, kemungkinan besar bertanggal sebelum 200 sesudah masehi (Ardika dan Bellwood 1991). Perdagangan tahunan antara Cina dan India melalui Selat Malaka telah dibuka sekitar 200 SM. Mungkin saat itu pelaut Austronesia secara teratur membawa cengkeh dan kayu manis ke India dan Sri Lanka, dan mungkin bahkan sampai ke pantai Afrika bersama dengan para pengembara. Tentu saja mereka telah meninggalkan banyak jejak di desain kano, tali temali, teknik memancing, dan disebutkan dalam karya literatur Yunani (Christie 1957).

Sekitar 1300 tahun yang lalu atau kurang (Adelaar, buku ini), orang-orang berbahasa Austronesia dari Indonesia mencapai Madagaskar dan beberapa pulau-pulau kecil di lepas pantai timur Afrika, yang pada saat itu belum berpenghuni. Meskipun mereka kemudian bercampur dengan masyarakat Afrika Bantu , mereka melestarikan bahasa dan gaya kano. Apakah mereka menavigasikan pada kedua arah dalam tahap pendek sepanjang pantai Afrika dan Asia Selatan, atau tepat di seberang Samudera Hindia, belum diketahui dengan jelas, tetapi kedua rute mungkin. Tidak semua pulau-pulau di Samudera Hindia terjajah; misalnya, kelompok Mascarene (ingat bagaimana dodo bertahan hidup dalam pengasingan di sana) dan Seychelles tidak dihuni ketika diduduki oleh Perancis pada abad ketujuh belas, walaupun mereka dikenal dikalangan penjelajan dan bajak laut sebelum itu. Cakupan yang tidak lengkap menunjukkan bahwa pengembara malay tidak secara teratur menyeberangi Samudera Hindia, di mana kita tidak satupun cerita rakyat mengenai navigasi dan voyaging yang berlimpah sampai saat ini di antara Kepulauan Pasifik.

Kontribusi Austronesia
Rakit, perahu kulit, perahu kamo dan terutama kapal rakitan jelas tersebar dengan luas sepanjang Asia ketika catatan kepurbakalaan dan sejarah memulai bahwa mereka harus mendahului penduduk Austronesia. Kita dapat mencoba untuk menulis ciri-ciri dari karakteristik perahu penduduk Austronesia saat ini dan memutuskan yang mana yang dapat dipertimbangkan sebagai Austronesia yang unik.

Dasar dari semua perahu Austronesia, selain dikeruk dan dirakit sederhana, yaitu teknik konstruksi, di mana proyeksi lug yang berlubang tertinggal di dasar penggalian keluar dari lambung kapal dan papan-papan tambahan yang dirakit pada sisi-sisinya (Gambar 1). Palang bingkai dan bingkai lentur yang diikatkan ke dalam lug ini, sehingga menekan papan yang ditambahkan lambung kapal. Teknik pengikatan yang sama berlaku bawah tiang lintang untuk kerangka kapal dan mungkin juga asalnya digunakan untuk keperluan tersebut. Ujungnya masing-masing tertutup dengan potongan batang dan keras yang dipahat dari cabang yang berjalan agak jauh di sepanjang sisi lambung kapal. Perahu Austronesia awal tidak memiliki kerangka keseimbangan perahu; kapal pancing yang bagus dan terutama kano perang dengan satu lambung bertahan secara etnografis di Botel Tobago dan sebagai mon dari Solomon. Teknik ikat lug ini menyebar ke Pasifik, kadang-kadang dengan jahitan di dalam lubang-lubang papan atau melalui proyeksi papan, dan kadang-kadang diperkuat oleh binding antara proyeksi pada bagian dalam papan. Lapisannya bisa dikemas dengan serat yang dapat menyerap yang dapat memanjang ketika basah, kadang-kadang tepi-tepi papan dipoles hingga yang sempurna sesuai dengan mengusap mereka bersama-sama, dan kadang-kadang lapisan tersebut tertutup oleh bilah yang diisi bawah jahitan. Sampai pahat logam melengkung atau alat lainnya menjadi tersedia untuk pengeboran lubang paku dinding lurus, sambungan yang dirakit dan disegel dengan damar. Teknik ini meluas dari Hawaii ke Madagaskar dan seluruh Mikronesia, Polinesia dan Indonesia. Saat itu diubah dalam dua cara; (a) dengan modernisasi, (b) dengan yang berbeda, mungkin sangat kuno, tradisi sampan panjang tipis tanpa kerangka keseimbangan kapal di mana manusia sering berdiri untuk mendorong perahu bersama-sama, misalnya perahu naga Asia, kano Asmat dan perahu yang diukir di sisi drum Dongson.

Gambar 1. Konstruksi dasar dari kerangka kano yang dibangun dengan lug ikat
Figure 1. Basic construction of the Austronesian lashed-lug built-up outrigger canoe.
(a) 5 bagian kano; (b) gambaran meledak atas lambung; (c) (d) dan (e) bagian hulls yang meningkatkan kompleksitas. (c) Tekanan yang menurun; (d) Tekanan melengkung; (e) gabungan palang bingkai ke bawah dan konstruksi fleksibel. Rincian dan variasi pada tema ini berbeda untuk setiap kelompok pulau.

(Gambar-gambar ini didasarkan pada kano Indonesia modern - penggunaan paku dinding bukanlah ciri khas prasejarah, seperti yang ditunjukkan dalam teks.)

Gambar 2. Tali temali dari kano pindah berkerangka tunggal di Satawal, Kepulauan Caroline, dari Pâris (1841)
Figure 2. The rig of a single-outrigger travelling canoe of Satawal, Caroline Islands, from Pâris (1841).
Kombinasi dari kerangka tunggal dan layar segitiga yang didorong oleh tiang miring (Horridge 1986:86) adalah keunikan Austronesians. Kerangka tiang yang terhubung ke pelampung dengan balok penghubung bersudut miring (Gambar 1) yang ditempa ke dalam pelampung kayu yang lembut. Bersama dengan tali temali dan cara berlayar kano dengan kerangka tunggal dengan kerangka kapal yang mengambang ke atas angin, kita mengamati bahwa Austronesians memiliki mesin pelayaran dengan gabungan ciri khas, setelah disempurnakan, akan selalu harus dibangun dan dijalankan di cara yang sama. Dua tiang layar segitiga (lihat Gambar 2) juga merupakan ciri khas dari Austronesians. Pasak tiang yang berporos pada titik, yang dapat miring ke depan dan belakang sebagai kendali kapal (seperti pada windsurfer), tersebar melintang untuk melawan angin, dan ketika layar ditarik ke dalam dan ke arah buritan kapal kemudi otomatis yang cukup dekat dengan angin. Karena itu, tidaklah perlu untuk menciptakan kemudi tetap, dan layar dorong dengan alat peraga yang bergerak sehingga tidak ada kebutuhan untuk menciptakan katrol atau tiang tetap. Bahkan, tali temali tidak terikat pada kain dan karena prinsipnya sama sekali berbeda dengan tiang tetap yang mungkin telah menyebar ke arah timur dari Samudera Hindia.

Ketika kita bertanya mengapa kerangka kapal kano dengan tambahan teknologi layar ungkit ditemukan, terdapat banyak faktor yang berinteraksi, bahwa jawaban tercepat dalah tidak ada solusi untuk semua tantangan bersama yang bertemu. Jawaban itu sendiri cukup untuk menjelaskan tiruan yang sungguh konservatip dari desain yang sukses diterapkan dari generasi ke generasi. Beberapa dari faktor teknis yang membuat teknologi tersebut menjadi sesuai adalah sebagai berikut:

1. Terdapatnya materi alami seperti kayu, yang bagus untuk bahan tempaan, dan serat-jalin seperti rotan atau serat sawit senit, yang cocok untuk tegangan.
2. Materi yang berasal dari Selulosa dasarnya lemah untuk konstruksi dan ada banyak untuk di distribusikan, menghindari pusat tekanan. Pertimbangan ini diatur menurut desain.
3. Materi yang berasal dari Selulosa dan keseluruhan kapal s dibongkar untuk penggantian suku cadang dan kadang-kadang dikeringkan ketika tidak digunakan sementara.
4. Di laut masalah utama mesin adalah untuk menghindari retakan yang disebabkan oleh ombak dan angin, terutama jika kerangka kapal ada di dalam air. Solusinya adalah menggunakan bahan berserat dan membuat struktur fleksibel, mirip kursi keranjang daripada meja kaku berkaki empat.
5. Seperti kulit telur, kelengkungan ganda dari lambung kapal memberikan keuntungan yang tak terduga dalam kekuatan dan tingkat kekakuan.
6. Tanpa katrol (yang mana tidak mereka miliki) ukuran layar dibatasi oleh beratnya ketika basah dan oleh kekuatan tiang yang mendorongnya. Untuk memaksimalkan kekuatan kompresi tiang, bebas untuk pivot pada akhir sehingga gaya lateral semua tinggal dipindahkan ke dalam ketegangan dan tidak ada membungkuk gaya pada tiang.
7. Papan melebar ketika basah dan serat ikatan menyusut, kemudian konstruksi bibir ikat terikat dengan erat di lautan, memapatkan papan-papan tersebut.

Prinsip utama dari konstruksi bibir ikat dan rakit sangat homogen di seluruh rentang Austronesia, kecuali untuk pengaruh yang selanjutnya tersebar kearah timur dari Samudera Hindia dan sebagai hasil dari pengenalan alat-alat logam dan katrol ke Indonesia dan Filipina dalam masa sejarah. Detail yang signifikan adalah kano tradisional Pasifik telah di jahit lapisannya dengan bibir dalam , seringkali mengambil bentuk dari punggung bukit di selutuh lapisan. Di busur Kepulauan Asia Tenggara, teknik jahitan telah digantikan selama 2000 tahun dengan pemasangan papan tepi ke tepi dengan paku semat internal. Detail lainnya adalah kano tradisional Pasifik mempunyai beberapa batang lurus yang pendek disematkan kedalam cadik apung untuk menghubungkannya dengan tiang cadik. Sebaliknya di Indonesia, beberapa desain mendatang dari konektor disesuaikan dengan penggunaan bambu besar sebagai daya apung. Di busur Kepulauan Asia Tenggara, kecuali Madura, segitiga tali temali memberikan jalan bagi layar trapesium pada tiang tetap dan ini juga berarti pengadopsian pada kemudi kuartal tetap. Batas penyebaran dari teknologi ini sesuai dengan perubahan batas penyebaran logam alat-alat dan barang-barang lain oleh para pedagang dari Asia. Kesimpulannya adalah bahwa ada sedikit kesempatan atau alasan untuk perubahan teknologi di Pasifik setelah desain dasar ini diambil timur Indonesia.

Ada juga faktor-faktor sosial. Seperti sebuah rumah atau perangkap ikan, perahu adalah struktur berbagi yang banyak memperoleh keuntungan. Dalam masyarakat Austronesia, biasanya, setiap desa maritim memiliki perahu desain sendiri dan mereka mengatakan bahwa rincian konstruksi mereka telah diwariskan dari nenek moyang mereka. Para murid belajar cara yang tepat untuk membangun setiap detail dan sikap konservatif diperkuat oleh mantra hafalan yang harus diulang tanpa kesalahan, dan dengan keyakinan universal bahwa setiap penyimpangan dari tradisi akan menyebabkan bencana di laut. Karena penggunaannya berbahaya, perahu terutama struktur konservatif dan semua budaya dipatuhi dengan menggunakan desain mereka sendiri. Tali layar lebih mudah disalin dari struktur lambung kapal (Horridge 1986). Ketika perubahan dalam desain diperkenalkan mereka tidak mengakuinya. Karena itu, teknik pembuatan kapal dapat bertahan dan tak berubah selama 1000 tahun atau dapat dengan cepat termodofikasi dalam satu generasi, seperti yang terjadi ketika desain yang ditransfer dari tempat lain. Ada sisi negatif untuk konservasi berharga ini yang terbaik yang tersedia desain: penemuan-penemuan yang tidak diperlukan tidak dipatenkan, menyaksikan katrol, cadik tetap, kil, layar topang, tiang tetap atau tiang ganda di Pasifik.

Kondisi Pelayaran di Pasifik
Kebanyakan catatan awal menggambarkan kano membawa lebih dari 15 m panjang 30-50 orang dan kano yang lebih besar membawa lebih dari 100 orang. Laporan lain menyebutkan bahwa tingkat kecepatan kano yang membawa sedikit angkutan , sekitar 10 knot dengan angin pada tiang. Ada juga banyak menyebutkan perjalanan lebih dari 800 km, dan armada-armada kecil kano. Salah satu detail penting adalah lambung kapal tertutup, yang lainnya adalah air hangat, ketersediaan hujan dan penggunaan perbekalan yang dikeringkan untuk perjalanan panjang. Paris (1841) menyebutkan bahwa buah sukun difermentasikan untuk membuatnya manis dan kemudian dibakar menjadi kue keras yang tahan tanpa batas waktu di laut. Di dalam Pasifik tropis, ikan terbang melompat ke dalam perahu di malam hari, terutama jika minyak kacang dapat dinyalakan untuk membuat lampu, sebagaimana para pelayar tersebut gambarkan. Jika kita menilai seluruh Polinesia, Mikronesia dan Melanesia, hanya beberapa daerah yang jauh dari jangkauan eksplorasi dengan perahu seperti yang kita ketahui, dengan perlengkapan yang kita tahu mereka miliki. Baru-baru ini telah ada beberapa pengulangan sukses dari perjalanan yang dijelaskan dalam mitos (Finney 1985; Irwin 1989). Bagian yang sulit itu berada di kedua sisi Pulau Paskah dan untuk pulau-pulau sekitar Selandia Baru, namun orang-orang berhasil mencapai Kepulauan Chatham bahkan pada zaman prasejarah.

Memanfaatkan campuran periode angin (Finney 1985), satu bulan perjalanan eksplorasi ke arah timur antara 20 ° N dan 20 ° S di Samudera Pasifik akan dengan mudah menutupi sekitar 1000 km. Agar menjadi aman pada sisi samping n arah angin balik mungkin memakan waktu dua bulan. Karbohidrat selama tiga bulan untuk delapan orang akan membebani sekitar 300 kg, yang bukan merupakan beban yang tidak masuk akal untuk kano tunggal 12 m. Kano ganda akan membawa barang bawaan dengan mudah, tetapi karena investasi yang lebih besar dalam kerja konstruksi, kano tersebut lebih cocok untuk membawa keluarga, tanaman, hewan dan kargo ke tempat-tempat yang sudah ditemukan.

Pelayaran selalu musiman, bahkan ketika tidak dipaksa oleh angin, karena bintang-bintang juga musiman. Peta dari Pasifik tropis dipersiapkan untuk hari pelayaran perdagangan menunjukkan angin bertiup cukup kuat namun tidak konsisten sepanjang tahun dari utara-timur ke utara khatulistiwa dan dari selatan-timur ke selatan katulistiwa. Namun, dari Oktober-Juni seluruh wilayah Melanesia dan Polinesia di sebelah selatan khatulistiwa, dari New Guinea ke Tuamotus, angin bertiup dari arah utara-timur sesering yang terjadi dari arah selatan-timur. Dengan angin perdagangan normal yang berlaku arus permukaan rata-rata 15-25 km per hari (Gambar 3) dan dapat membantu pelayaran melawan arah angin, tetapi tidak terlalu signifikan untuk sebuah kapal yang mencakup 50-150 km per hari. Sejauh timur Tonga, barat angin siklon menyertai pada bulan Desember sampai Maret. Di Mikronesia angin lebih konsisten dari timur atau utara-timur dan siklon kurang dapat diprediksi. Catatan Cook di Tahiti, Tupaia mengatakan bahwa orang-orang yang tahu betul bagaimana memanfaatkan angin barat (Lewis 1972: 297). Di Polinesia, angin-angin barat lebih cenderung ada pada bulan Desember dan Januari. Dengan semua ini, yang jelas waktu untuk berangkat ke arah timur adalah awal Desember, dimulai dengan angin barat, dan selalu dengan harapan dapat pulang dengan mudah.

Pelayaran dengan kano cadik akhirnya akan dibatasi oleh suhu permukaan air laut. Selain dari Selandia Baru, kolonisasi Austronesia berada dalam 21 ° C (70 ° F) isoterm di musim terpanas. Tanaman pertanian Austronesia yang sebagian besar terbatas pada zona ini, dan metode penyimpanan yang berbeda di Selandia Baru, seperti banyak jenis ubi jalar, digunakan pada batas-batas yang dipaksakan oleh dingin. Seluruh kebudayaan - tanaman, perumahan, pakaian, desain dan air perahu gaya hidup - disesuaikan dengan iklim hangat terestrial.

Gambar 3. Aliran arus di Pasifik dengan panjang setiap panah menunjukkan kecepatan dalam mil laut per hari. (1 km approx. = 0.625 nautical mile). (1 km approx. = 0,625 mil laut). Perbedaan musiman (diberikan oleh Lewis 1972:102) yang kecil.

Figure 3. Drift currents in the Pacific with the length of each arrow indicating velocity in nautical miles per day. (1 km approx. = 0.625 nautical mile). Seasonal differences (given by Lewis 1972:102) are small.
Ukuran perahu tidak menjadi masalah, seperti sampan besar berukuran 25 m bisa membawa 30 atau 50 orang plus barang bawaan. Kecepatan tidak menjadi masalah baik untuk tunggal kecil cadik kano (perahu terbang Mikronesia) bisa sampai 20 knot tetapi terbatas pada beberapa minggu berlayar. Masalahnya adalah bahwa kecepatan semacam itu dapat segera menghancurkan perahu besar di laut yang berat karena bahan-bahan bangunan tidak tahan tekanan yang berulang-ulang. Batas atas ditetapkan oleh efek skala yang bekerja pada batas-batas bahan-bahan, seperti pesawat kayu, kincir angin dan struktur serupa. Kompromi terbaik tampaknya adalah perahu perjalanan berukuran sedang, cukup besar untuk satu atau dua keluarga.

Jalan Lautan Terbuka Luas, Setelah Dijelajahi
Pada akhir abad ke-18, ketika eksplorasi dan deskripsi Barat yang utama telah diselesaikan tapi tradisi lokal tidak hancur, kita memiliki catatan yang kuat dari sebagian besar bagian Pasifik. Ketika catatan ini diperlihatkan mereka mengungkapkan terusan terbuka dalam serangkaian tahapan yang terpisah dari Indonesia dan Filipina ke ujung timur Polinesia, dan Hawai utara / selatan dan Selandia Baru. Lewis (1972) menunjukkan bahwa hampir semua pulau-pulau Pasifik dapat dicapai melalui penyeberangan laut yang tidak lebih dari 500 km, dan analisis Lewis dari metode navigasi menunjukkan bahwa perjalanan yang direncanakan bisa lebih lama lagi. Informasi tentang gerakan antarpulau dan perdagangan telah diringkas dari catatan lama untuk setiap area oleh Haddon dan Hornell (1936-38), bersama dengan ukuran kapal, kinerja dan jumlah orang yang dibawanya. Banyak dari data yang sama, dan materi baru, dinyatakan oleh Lewis (1972).

Mari kita mulai dengan Kepulauan Palau (Belau), sekelompok dari 100 km di seberang, hanya sekitar enam hari berlayar dengan sampan lokal dari Mindanao di Filipina. Jarak jauh kano kaep untuk perjalanan dalam kelompok adalah cadik tunggal hingga 10 meter. Batu uang itu dibawa secara teratur ke Palau untuk Yap, dan ada sebuah tradisi bahwa teripang dibawa ke pedagang Cina di Filipina. Ada koloni Mikronesia di Tobi dan Sonsorol, hampir di Maluku, dan tradisi perjalanan ke pantai selatan Pulau Papua dan pihak-pihak perampas datang dari arah lain.

Semua kelompok pulau dari Mikronesia telah berdagang secara reguler, kunjungan atau perang dalam kelompok utama, dengan banyak tradisi partai perang berkeliaran lebih jauh. Dari Palau ada rute berkelanjutan untuk perdagangan dan perang melalui Carolines melewati Puluwat, kemudian dari Kosrae ke Jaluit di Kepulauan Marshall, kemudian di Kiribati Tarawa (Kepulauan Gilbert), masing-masing tahap yang agak berbeda dengan kano cadik tunggal untuk akhir ganda jarak jauh (Haddon dan Hornell 1936-38, I: 439, mengutip Hambruch). Kepulauan Marshall membersihkan pulau-pulau lainnya dari Kosrae ke Kepulauan Ellice barat (Tuvalu) di selatan (Haddon dan Hornell 1936-38, I: 439). Tidak ada lagi tradisi eksplorasi, tetapi malah ada sekolah yang terorganisir dengan sangat baik dari navigator yang mempelajari rute antarpulau dan musim untuk melakukan perjalanan. Kano cadik tunggal lebih aman berlayar ke arah angin daripada melawan arah angin, tapi dapat pergi dengan cepat dan stabil dengan angin pada tiang. Di Carolines, popo kano berlayar dengan rute penumpang reguler (terutama di utara dan selatan) selama rentang total dari 3000 km dan setiap tahun pihak dari mereka mengunjungi Mariana (Haddon dan Hornell 1936-38, I: 438, catatan dari pelayaran Freycinet). Ini adalah detail yang menarik bahwa di Mikronesia kelas navigasi untuk mempelajari penafsiran bintang dilakukan di pantai menghadap ke timur untuk menandai munculnya bintang-bintang (Haddon dan Hornell 1936-38, I: 439).

Rute lain ke selatan terletak di sepanjang rangkaian pulau melewati Irlandia Baru dan Solomon ke pulau Santa Cruz, di Fiji dan terus ke Tonga. Perahu-perahu di sini lebih bercadik tunggal padat. Dari Tonga rute terus ke Polinesia ke Samoa, dari situ ke Tahiti, dari mana ada rute ke segala arah, ke arah timur ke Tuamotus dan dari situ ke Marquesas, utara ke Hawaii, selatan ke Kepulauan Cook. Dari Tonga, dan Samoa ada tradisi dari pihak pembersih di pulau Santa Cruz, membawa populasi Polynesia ke Outliers Polinesia seperti Tikopia. Tradisi tersebut adalah tradisi yang dari generasi yang lalu ada perjalanan antara Tahiti dan Hawaii, dan antara Rarotonga dan Marquesas. Pelayar Tangi'ia-nui yang hebat yang mengaku akrab dengan kelompok-kelompok pulau dari Fiji ke Pulau Paskah dan yang mengakhiri hidupnya di Rarotonga. Tupaia, para pendeta tinggi teman Raiatean Cook, tahu banyak pulau di Australs, Societies, Cooks, Tuamotus, dan ke barat Fiji. Menurut beberapa tradisi Maori, Tahiti ditemukan Kupe di Selandia Baru sekitar abad ke-10. Toi dan Whatonga diikuti 8-10 generasi kemudian dan kemudian Nuku berlayar di sana melalui Rarotonga dengan empat sampan. Untuk sementara, terutama pada awal abad kesembilan belas, perjalanan sampan ini tetap bertahan dalam kelompok-kelompok pulau di tengah dan timur Pasifik, sampai mereka menghilang, dan beberapa masih bertahan hingga abad kedua puluh (Lewis 1972).

Di perjalanan kita belajar tentang mitos-mitos tradisional Polynesia yang berbeda dari Mikronesia, menjadi kurang sering, lebih dari jarak jauh, dan terkait dengan eksplorasi asli daripada rute biasa. Kapal Polinesia jarak jauh adalah kano ganda di mana perjalanan akan lebih cenderung membawa tanaman, biji-bijian, wanita dan hewan, sehingga membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya untuk mempersiapkannya. Satu-satunya perdagangan jarak jauh antar pulau yang masih hidup yang kami ketahui dari kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas dari catatan Polinesia terjadi di Societies dan Tuamotus di Polinesia timur dan di segitiga Fiji-Tonga-Samoa di Polinesia barat.

Thor Heyerdahl, Going Westward(pergi ke arah barat)
Peta arus (Gambar 3) dan angin dari Samudera Pasifik menunjukkan angin perdagangan yang berhembus dari timur ke barat di atas wilayah air hangat yang meliputi sebagian besar dari Kepulauan Pasifik, dan arus tetap 8 sampai 35 km per hari yang mengalir di arah yang sama. Kayu apung, rakit dan kapal bertali persegi telah dipindahkan di arus ini, menyaksikan rakit balsa Kon-Tiki (Heyerdahl 1978:185). Pada tahun 1913, Dagonar, sebuah kapal layar yang ditinggalkan, hanya memerlukan 170 hari untuk pergi 8.000 km dari Peru ke Tuamotus dalam arus ini (Hornell 1945). Premis dasar Heyerdahl adalah bahwa kapal awal mengikuti angin dan arus, tapi ia hanya memikirkan buluh rakit dan perahu. Rakit dan perahu buluh di seluruh dunia dikenal di masa Neolitik sehingga orang bisa berlayar pada akhirnya ke berbagai tempat yang tidak mungkin, dan mungkin dari Peru ke Polinesia. Pulau Paskah terkenal karena suku Inca dan peninggalan arkeologi disana sangat mewakili beberapa aspek budaya dan tumbuhan Amerika Selatan tersebar di sana, dan mungkin di bagian lain Polinesia timur juga (Heyerdahl 1978). Mungkin ayam Asiatic dibawa ke Ekuador melalui Polinesia, dan kentang manis Amerika Selatan, sejumlah katun, labu, dan tanaman lainnya dikirim ke arah barat dengan rakit balsa ke Polinesia. Perdebatan telah berlangsung selama bertahun-tahun tetapi bukti dari transportasi di dua arah sebelum Masehi 1500 menjadi lebih jelas setiap dekade. Mengapung menurut jurusan angin pada perahu yang tidak efisien, bagaimanapun, adalah cara yang tidak cocok untuk menjajah pulau-pulau baru karena tidak ada jalan kembali (Irwin 1992).

Hanya mengambang dalam arus Kuro Siwo di Jepang ke pantai barat laut Amerika membutuhkan waktu 3-4 bulan, dan banyak nelayan Jepang dapat bertahan dalam perjalanan ini selama beberapa abad (Hornell 1945). Terdapat kata-kata Jepang dalam dialek pesisir barat laut Indian Amerika dan kapal papan kuno jenis Austronesia di pulau-pulau lepas pantai California. Arus berlanjut ke arah selatan di sepanjang pantai California sampai hampir ke busur khatulistiwa. Salah satu catatan arkeologi paling kontroversial adalah penemuan dari kompleks Valdivia di pantai Ekuador, dengan tembikar sekitar 3.200 SM mirip dengan yang di timur laut Asia pada masa itu (Estrada dan Meggers 1961). Dalam pandangan saya, penyebarangan Pasifik adalah hal yang tidak mungkin, dan juga tidak menarik, tapi beberapa tanaman, ayam (Langdon 1989) dan keterampilan pengrajin mungkin telah bepergian dengan cara ini. Sebagai cabang dalam bidang ini, arus berbalik ke arah barat laut di lepas pantai Oregon dan secara teratur membawa kayu pinus dari barat laut pantai Amerika ke Hawai di mana mereka disimpan dan digunakan untuk membangun perahu besar. Kemungkinan kadang-kadang orang juga pergi sengan cara tersebut, jauh sebelum Austronesia pindah ke Polinesia.

Rakit dikenal di Mariana, Yap, Fiji dan Melanesia ketika penjelajah Barat tiba. Terdapat tradisi tetap dari rakityang akan berlayar ke laut di Tonga, terdapat transportasi rakit di Mangareva, dan di Selandia Baru ada perahu buluh panjang 18 m terbuat dari rumput gajah dan rami. Rakit bambu yang biasa digunakan di Jepang, Taiwan dan Indonesia, kemudi depan dan belakang papan pusat seperti di Amerika Selatan. Rakit terdapat pada masa Neolitikum jika tidak lebih tua dan pada saat ini semua manusia adalah anggota dari satu spesies karena gen-pelaut terus-menerus tercampur dengan awak rakit.

Exploration Was Upwind(eksplorasi melawan arah mata angin)
Telah cukup dikatakan untuk memperlihatkan bahwa di Pasifik, setelah cara dikenal, terdapat cukup wisatawan. Mungkin perjalanan itu tidak terulang selama seabad atau lebih, tapi selama rute pola gelombang dan bintang-bintang ini diingat oleh tradisi di sekolah-sekolah navigator, jalan akan tetap terbuka. Adalah ketakutan pada manusia, bukan pada laut, yang membuat perahu di dekat rumah.

Sekarang mari kita bahas eksplorasi yang tidak diketahui dengan kapal yang tersedia. Untuk sebagian besar tahun, angin manapun di Pasifik datang dari arah pulau yang tidak diketahui, sehingga reruntuhan kapal akan mengapung ke daratan membuktikan bahwa lebih banyak lahan berbaring ke atas angin. Koloni Austronesia yang paling awal di Pasifik berada dalam situasi ketika Viking berada di pantai Norwegia, Portugis dan kemudian Inggris dan Belanda, yang dihadapi dengan angin barat selatan Samudra Atlantik yang berlaku. Situasi tersebut menciptakan stimulus yang berkelanjutan bagi para pelaut. Pada periode ketika angin berbalik, anda dapat berlayar ke tengah laut jika yakin bahwa angin akan mengantar kapal anda kembali pulang, atau melewati rumah ke pulau-pulau menurut jurusan angin asal anda. Irwin (1989, 1992) berhubungan dengan pertanyaan akan aksesibilitas dan detail angin, dan menekankan bahwa seni dari berlayar lintang cocok menjadi pola eksplorasi progresif ke arah timur dengan ingatan kembali pada setiap tahap. Satu-satunya syarat adalah bahwa andamemiliki kapal yang layak yang berlayar dengan angin bertiup cukup baik, atau bahkan mengikuti arus angin jika waktu tidak mendesak. Anda dapat menghabiskan waktu, mungkin berabad-abad, memperbaiki perahu dan kemampuan Anda untuk bertahan hidup di laut. Bahkan pada awal tahap eksplorasi, koloni pasti punya kapal cepat kedap air untuk membawa makanan, tanaman tunas dan benih.

Ketika kita melihat perahu cadik tunggal Mikronesia Besar pada masa sejarah (lihat sampul foto), kita perhatikan segitiga berlayar, konstruksi cadik, susunan berakhir ganda untuk paku keling, baik yang mendalam dan lambung kapal yang tertutup untuk keselamatan di atas laut, dan kecepatan tinggi ketika melakukan perjalanan pada titik terbaik pelayaran. Anson (1740-4), dikutip oleh Haddon dan Hornell (1936-38, I: 415), mencatat bahwacadik tunggal dari Mariana itu "dirancang untuk berlayar sedekat mungkin dengan angin", dan "oleh kelandaian dari sisi lambung kapal terletak jauh lebih dekat dengan angin dari kapal lainnya, dan memiliki keuntungan untuk dapat berjalan lebih cepat daripada angin, seperti layar dari sebuah kincir angin. "Dia memberikan kecepatan mencapai 20 knot untuk lambung kapal dari 12 meter. Lewis (1972:269) memberikan kinerja rata-rata dari cadik tunggal sebagai 75 ° -80 ° dari angin perdagangan. Paris (1841) menggambarkan bagaimana cadik tunggal dari Carolines berlayar dengan kondisi terbaik ketika dekat dengan angin dan sebaliknya mereka mengalami kesulitan pada kondisi mengambang saja, bahkan dengan angin pada kuartal. Paris juga melaporkan bahwa kano ganda dari Tonga (yang kalia) berlayar dengan buruk dengan angin di belakang, dan cadik tunggal Tonga (yang hamatafua) sulit berlayar dengan angin di samping atau di belakang tapi mudah ketika berlayar dekat dengan angin. Pada dasarnya layar segitiga diputar pada sendi universal dan berfungsi seperti windsurfer, kemudi manual ketika seimbang dengan angin, tetapi lambung kapal berlayar lebih dekat ke angin dibandingkan windsurfer karena lambung kapal dapat mencengkeram air. Windsurfer modern memberikan beberapa gagasan tentang kinerja layar segitiga di dataran lambung kapal; sebuah perahu dengan sisi lambung kapal yang diratakan pasti mempunyai peningkatan pada windsurfer, jika bahan-bahan dari kapal dapat menahan tekanan.

Mengikuti arah angin dari pulau yang belum ditemukan terdapat bau tanah dan pola gangguan dari angin yang diciptakan gelombang berkumpul di belakang pulau, selain runtuhan yang mengapung di permukaan, seperti yang banyak pelaut telah jelaskan. Oleh karena itu alam membantu dengan menyediakan petunjuk daratan sisi pendekatan dari pulau di mana tepat mereka dibutuhkan. Sebaliknya, ingat bagaimana Heyerdahl's Kon-Tiki rakit (dengan layar persegi) mengakhiri perjalanan dengan menerjang dengan tidak berdaya di sisi angin layar. Itu bukanlah cara untuk menjelajah ataupun menjajah. Pelaut yang bijaksana mendekati tanah melawan angin dan berdiam sampai mereka menemukan arahan yang tenang, sebagaimana yang anda akan lakukan dalam kano cadik dengan layar segitiga miring. Putra dari pemimpin muda mereka yang berhipotesis, mencari tanah baru, telah berlayar ke arah timur karena itulah arah yang membawa perahu mereka pada eksplorasi gila-gilaan dengan harapan akan kembali dengan selamat. Izinkan saya menambahkan bahwa, terlepas dari penjelajah awal, yang melihat kerajinan tangan pertama Pasifik, telah terdapat pelaut sampan kecil, khususnya Lewis (1972), Finney (1985) dan Irwin (1989, 1992), yang memiliki interpretasi yang benar dari pelayaran dan penjajahan Pasifik.

Kesimpulan
Permasalahan bagaimana Pasifik dijajah melawan arah angin dan arus yang berlaku dapat diselesaikan jika kita menerima bahwa jalan yang paling awal memiliki desain kapal serupa sampai dengan cadik tunggal jarak jauh dengan layar segitiga miring, karena perahu ini berlayar dengan baik ketika sedikit melawan angin atau dengan angin pada tiangnya. Mereka pasti mempunyai perahu cadik ini, kalau tidak mereka tidak akan pernah membuat penelitian eksplorasi dan kemudian menjajah, dan eksplorasi adalah cara yang lebih mudah daripada melakukan penjajahan berikutnya. Untuk beberapa alasan, cara alami untuk berlayar adalah ke arah timur dengan bantuan angin barat yang datang sesekali.

Referensi
Allen, J. and J.P. White
1989 The Lapita homeland: some new data and an interpretation. Journal of the Polynesian Society 98:129-146.
Ardika, I.W. and P. Bellwood
1991 Sembiran: the beginnings of Indian contact with Bali. Antiquity 65:221-232.
Chang, K.C.
1986 The archaeology of ancient China. 4th edn. New Haven: Yale University Press.
Christie, A.
1957 An obscure passage from the Periplus. Bulletin of the School of Oriental & African Studies 19:345-353.
Estrada, E. and B.J. Meggers
1961 A complex of traits of probable trans-Pacific origin on the coast of Ecuador. American Anthropologist 63:913-939.
Finney, B.R.
1985 Anomalous westerlies, El Niño and the colonization of Polynesia. American Anthropologist 87:9-26.
Haddon, A.C. and J. Hornell
1936-38 Canoes of Oceania. 3 volumes. Honolulu, Hawaii: Bishop Museum Press, Special Publication Nos. 27, 28 and 29.
Heyerdahl, T.
1978 Early man and the ocean. London: Allen and Unwin.
Hornell, J.
1945 Was there pre-Columbian contact between the peoples of Oceania and South America? Journal of the Polynesian Society 54:167-191.
Horridge, G.A.
1986 The evolution of Pacific canoe rigs. Journal of Pacific History 21:83-99.
Irwin, G.
1989 Against, across and down the wind: a case for the systematic exploration of the remote Pacific Islands. Journal of the Polynesian Society 98:167-206.
1992 The prehistoric exploration and colonization of the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press.
Langdon, R.
1989 When the blue-egg chickens come home to roost. Journal of Pacific History 24:164-192.
Lewis, D.H.
1972 We, the navigators. Canberra: Australian National University Press.
Pâris, François Edmund
1841 Essai sur la construction navale des peuples extra-européens. Paris: Bertrand.
Spriggs, M.
1984 The Lapita cultural complex: origins, contemporaries and successors. Journal of Pacific History 19:202-223.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/99/585/penaklukan-lautan-oleh
-austronesia-%E2%80%94-melawan-arah-angin
-

Arsip Blog

Recent Posts