Pengembangan Pariwisata Medis Belum Jalan

Jakarta - Pariwisata medis perlu dikembangkan di Tanah Air untuk mengantisipasi globalisasi sektor pelayanan kesehatan di Kawasan ASEAN. Sayangnya, hal itu belum berjalan akibat tidak terintegrasinya kebijakan pemerintah.

”Dengan beragam obyek wisata yang menarik, Indonesia berpotensi tinggi untuk mengembangkan pariwisata medis,” kata Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Adib Abdullah Yahya, dalam seminar nasional yang diprakarsai Persi, Selasa (4/11) di Jakarta.

Pada tahun 2006, lebih dari 500.000 warga Amerika Serikat berobat ke luar negeri, termasuk ke Singapura, Thailand, Malaysia, dan India. Banyak rumah sakit berstandar internasional, dengan biaya pengobatan 30-80 persen lebih murah, termasuk biaya perjalanan dan paket wisata.

Ada sejumlah alasan pasien berobat ke luar negeri, yaitu tidak memadainya fasilitas kesehatan di dalam negeri, biaya lebih murah, kecepatan layanan kesehatan, dan kemudahan akses ke dokter. ”Ini membuat makin banyak pasien Indonesia berobat ke luar negeri. Apalagi dengan maraknya kampanye pariwisata medis,” ujar Adib menjelaskan.

Globalisasi sektor kesehatan juga akan berdampak pada kehadiran rumah sakit luar negeri ke Indonesia sehingga persaingan antarrumah sakit akan makin ketat. Selain itu, bisa terjadi migrasi tenaga kesehatan khususnya perawat ke luar negeri yang akan berdampak pada kekurangan tenaga dan keamanan pasien.

”Rumah sakit dalam negeri sulit meningkatkan daya saing. Salah satunya, karena biaya operasional makin membengkak akibat beban rumah sakit swasta dalam pembayaran pajak, inefisiensi penggunaan peralatan diagnostik yang makin canggih, dan meningkatnya tuntutan pasien terhadap mutu layanan rumah sakit,” ujarnya menambahkan.

”Belum terwujudnya national incorporated juga membuat rumah sakit kita kalah bersaing dibanding rumah sakit luar negeri, terutama dalam hal biaya pelayanan,” kata Adib. Seyogianya, antardepartemen terkait, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata, memiliki langkah sinergis.

Sebagai contoh, saat ini pemerintah masih mengenakan pajak alat-alat kesehatan dan layanan di RS swasta. ”Seharusnya ada insentif pajak bagi rumah sakit yang berprestasi di bidang fungsi sosialnya dan rumah sakit komunitas,” kata Adib.

Dukungan pemerintah juga sangat diperlukan dalam mengembangkan pariwisata medis, dengan menggalakkan promosi paket wisata dan layanan kesehatan dan memperluas akses informasi bagi pasien dari luar negeri.

Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid W Husain menegaskan, pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk melindungi rumah sakit dan tenaga kesehatan pada era globalisasi. Salah satunya, membatasi keberadaan RS luar negeri dan tenaga kesehatan asing di Indonesia.

”Tentunya hal ini harus disertai peningkatan mutu layanan kesehatan di dalam negeri,” kata dia. Oleh karena itu, mulai tahun 2008, keamanan pasien merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi rumah sakit untuk mendapat akreditasi. (EVY)

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts