Pesona Topeng Lampung

Oleh Nurul Utami

Meskipun sinar matahari cukup terik hari itu (Minggu 28 Agustus 2005), Lapangan Saburai Bandar Lampung , sangat ramai oleh pengunjung yang antusias untuk menyaksikan Pesta Topeng Seribu Wajah yang pertama kali digelar di Bandar Lampung. Pesta ini adalah salah satu dari serangkaian acara Festival Krakatau XV. Beratus-ratus orang yang berasal dari sepuluh Kabupaten /kota di Propinsi Lampung turut berpartisipasi memeriahkan pesta tersebut. Mereka mengenakan aneka topeng dan atribut serta bergoyang dan menari sesukanya. Topeng yang digunakan menggambarkan berbagai mimik wajah, ada yang sedih, marah, senyum hingga tertawa. Turut dalam parade tersebut dua ekor gajah, kendaraan bendi dan becak yang dihias warna-warni. Aksi mereka membuat decak kagum para penonton baik yang berasal dari Lampung sendiri maupun beberapa turis mancanegara.

Sejak kapan masyarakat Lampung mengenal topeng tidak diketahui secara pasti. Informasi yang didapat sampai saat ini adalah bahwa topeng Lampung adalah salah satu produk seni budaya Lampung yang dapat dilihat pada pesta Sekura (Sekuraan), Drama Tari Tupping, Parade Topeng, dan yang baru-baru ini Pesta Topeng Seribu Wajah.

Ada dua jenis topeng Lampung, yaitu tupping dan sekura. Tupping berkembang di daerah Lampung Selatan seperti : masyarakat Kuripan, Canti, dan Kesugihan , sedangkan sekura terdapat di wilayah Lampung Barat seperti: Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa.

Sekura dan Sekuraan:
Pesta Sekura (sekuraan) adalah suatu pesta rakyat yang diadakan setiap awal bulan Syawal oleh masyarakat Lampung Barat dan sekitarnya . Sakura ditampilkan sebagai tarian topeng pada Pesta Sakura yang berlangsung selama satu minggu. Pesta ini merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan dalam rangkaian Idul Fitri untuk mengungkapkan rasa syukur, sukacita dan perenungan terhadap sikap dan tingkah laku. . Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari , sekura anak, sekura tuha, sekura kesatria, sekura cacat, sakura raksasa, dan sekura binatang. Namun dari enam jenis penokohan tersebut sekura dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama disebut sekura kecah yang artinya sekura bersih. Sekura ini sering disebut juga sekura betik atau sekura helau. Yang kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor atau sekura jahat.

Sesuai dengan namanya, sekura kecah mengenakan kostum yang bersih dan rapi. Sekura kecah khusus diperankan oleh menghanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. Mereka membawa senjata pusaka-kini simbolis saja , sebagai symbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat. Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik.

Sekura kamak berarti sekura kotor atau sekura jahat dikarenakan mereka mengenakan pakaian dan topeng kotor. Busana yang dikenakan tidak hanya pakaian sehari-hari yang digunakan dalam menggarap kebun, tetapi dapat juga dari segala jenis tumbuhan yang diikatkan di tubuh. Tingkahnya mengundang tawa penonton. Sekura kamak tidak terbatas meghanai , tetapi bisa juga dibawakan oleh pria yang sudah beristri. Mereka berfungsi sebagai penghibur dalam sekuraan. Kadang mereka mengganggu pengunjung yang menonton sekuraan. Sekuraan ini berkeliling kampung untuk kemudian singgah ke rumah-rumah penduduk. Masyarakat yang dikunjungi wajib menyediakan makanan dan minuman yang diperuntukkan sekura yang datang ke rumahnya. Dalam pesta sekuraan ini, kadang ditampilkan atraksi pencak silat (silek), nyambai ( menyanyikan bait-bait pantun yang diiringi dengan tetabuhan terbangan (rebana) satu. Pantun ini biasanya ditujukan pada muli (gadis).

Drama Tari Tupping adalah suatu pertunjukan tari yang menggambarkan patriotisme keprajuritan dari pasukan tempur dan pengawal rahasia Radin Inten I (1751-1828), Radin Imba II (1828 -1834) dan Radin Inten II (1834 - 1856) di daerah Kalianda Lampung Selatan. Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam Drama Tari Tupping terdiri dari : tokoh kesatria, tokoh kesatria kasar, tokoh kesatria sakti, tokoh kesatria putrid, tokoh pelawak, dan tokoh bijak dan sakti. Tari tupping juga dilakukan pada rangkaian pesta perkawinan sebagai symbol keselamatan keseluruhan upacara perkawinan atau pada acara penyambutan tamu besar.

Lain sekura lain juga tupping. Jumlah sekura tidak terbatas, bisa sedikit dan bisa banyakt. Kalau tupping, topeng yang berasal dari Lampung Selatan tepatnya di Canti dan Kuripan jumlahnya dua belas. Tidak bisa lebih dan tidak bisa kurang, dan tidak bisa ditiru. Topeng ini diyakini memilki kekuatan gaib. Tidak semua bisa memakai topeng ini, baik topeng Canti maupun topeng Kuripan. Meskipun sekarang sudah jadi bagian kesenian, berbagai ritual khusus harus dilakukan sebelum mengenakan topeng-topeng ini.

Topeng Kuripan dan Topeng Canti adalah sebutan topeng yang ada di masyarakat Marga Ratu yang tinggal di daerah Kuripan dan Canti. Topeng Kuripan hanya bisa dikenakan oleh keturunan 12 punggawa yang antara lain berada di Desa Tataan, Taman Baru dan Kuripan. Di Canti topeng mereka hanya bisa dikenakan oleh lelaki yang berumur 20 tahun. Karena jumlahnya harus dua belas, topeng ini sekali keluar harus 12. Topeng-topeng ini tidak bisa ditiru. Kalau ada warga yang ingin memakai, mereka bisa minta izin pada Dalom Marga Ratu. Kelalaian dalam mentaati aturan-aturan ini akan mengakibatkan kejadian yang tidak diinginkan pada yang memakainya. Kedua topeng ini, baik Topeng Kuripan dan Topeng Canti diyakini menyimpan beragam muatan seperti histories, simbol budaya, nilai ritual, dan struktur social politik.

Parade Topeng adalah suatu arak-arakan para tupping dan sekura yang menyusuri rute keliling desa dengan aneka atraksi. Pada parade ini para penari tupping melukiskan kewaspadaan untuk menjaga keselamatan kedua mempelai dan rombongannya pada saat menuju tempat perkawinan. Sedangkan para pesekura sambil berparade mereka mendatangi rumah penduduk meminta konsumsi bersukacita menuju arena pesta.

Jadi dapat dikatakan topeng Lampung mempunyai nilai simbolik perwatakan manusia sesuai dengan ajaran moral, dan etika social budaya masyarakat pedesaan waktu itu.

(Dosen, Universitas Lampung/Lampung Post 28/08/05)

Sumber: http://www.indonesiamedia.com
-

Arsip Blog

Recent Posts