Seribu Pesan dalam Selembar Songket

Songket kuno Minangkabau menyimpan banyak pesan kebajikan. Pesan ini disampaikan pembuatnya melalui aneka perlambang alam secara tersirat, tersurat, dan tasuruak (rahasia). Perlambang ini terangkai dalam rajutan benang emas dan sutra halus berusia ratusan tahun.

Di tengah arus pragmatisme masyarakat, pengembangan songket kuno Minangkabau menghadapi ujian berat. Belum banyak dokumentasi motif songket kuno. Sementara produk baru yang lebih sederhana dengan harga murah mulai bermunculan. Ahli waris tradisi pembuat songket menyadari perlu upaya revitalisasi songket kuno Minangkabau.

Sanuar (84), pemilik Rumah Tenun Pusako di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, bangga masih memiliki songket warisan keluarga. Songket berbenang emas buatan neneknya itu tersimpan di lemari pusaka. ”Berapa pun orang menawar takkan ambo beri,” katanya, Senin (8/2).

Sanuar menjelaskan pesan yang terkandung dalam songket melalui motifnya kepada para tamu, termasuk sejumlah turis asal Kuala Lumpur, Malaysia. Dia menyebut sejumlah motif, di antaranya kaluak paku (gelung tanaman paku atau pakis), pucuak rabuang (pucuk rebung), daun siriah (daun sirih), dan itiak pulang patang (itik pulang petang).

Setiap motif ini mempunyai makna sendiri. Motif kaluak paku mempunyai arti tersurat sebagai lambang keindahan dan kedinamisan. Makna tersiratnya, manusia diharapkan tidak lupa akan kodratnya. Pada awal pertumbuhannya, pucuk paku tumbuh melingkar ke dalam, kemudian pucuk itu tumbuh lagi keluar. Artinya manusia lebih baik mengenal dirinya terlebih dahulu sebelum bersosialisasi dengan lingkungan.

Begitu pula pengelola Rumah Songket Erikarianti di Bukittinggi, Nanda Wirawan (27). Dia antusias menjelaskan motif lain dalam songket kuno Minang. Misalnya, balah kacang (belahan kacang), batang pinang, buah palo bapatah (buah pala yang dipatah dua), tampuak manggih (tangkai manggis), aka cino (akar cina), bungo antimun (bunga mentimun), bijo bayam (biji bayam), dan ilalang rabah (ilalang rebah).

Motif songket Minangkabau umumnya berasal dari alam. Hal ini tidak lepas dari pepatah lama Minangkabau, alam takambang jadi guru. Ungkapan ini mengajarkan agar manusia belajar dari pertanda alam yang diciptakan Tuhan.

Sanuar dan Nanda merupakan sebagian dari warga Minangkabau yang menyimpan warisan leluhurnya. Kain songket ini sebagian mulai rusak, benangnya mengendur, dan sedikit robek. Sebagian warga yang terdesak oleh kebutuhan ekonomi menjualnya kepada orang lain. Tidak sedikit dari barang langka ini yang jatuh ke tangan kolektor asing.

Revitalisasi

Kondisi ini membangunkan keinginan untuk menyelamatkan songket kuno Minang. Rumah Songket Erikarianti mulai merevitalisasi songket kuno sejak lima tahun silam. Dimulai dengan mendokumentasikan motif kuno yang masih ada di masyarakat. Dokumentasi ini dicetak dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, November 2006.

Proses dokumentasi dilakukan oleh peneliti Swiss bernama Bernhard Bart dibantu oleh sejumlah budayawan Minangkabau, di antaranya Alda Wimar. Bart tidak saja mendokumentasikan gambar motif, tetapi juga sejarah, filosofi, teknik, dan kegunaan.

Rumah Songket Erikarianti juga mendidik warga di sekitarnya untuk menenun memakai alat tenun bukan mesin. Dengan alat ini, proses pembuatan songket kuno memakan waktu 1,5-5 bulan. Penenun harus menghitung setiap helai benang dengan tingkat akurasi tinggi. Tidak heran jika seorang penenun hanya mampu menyelesaikan tenunan sepanjang 3-7 sentimeter (cm) per hari.

Nilai jual songket kuno tergolong tinggi. Sebuah selendang pengantin (60 cm x 110 cm) dengan motif kuno dijual Rp 7 juta. Harga songket motif kuno di Rumah Songket Erikarianti Rp 5 juta-Rp 20 juta.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbar James Hellyward menyadari tingginya kekayaan tradisi songket Minang. Pemerintah Provinsi Sumbar mempunyai agenda tahunan dengan menggelar pameran songket di Museum Adityawarman, Padang. Pemerintah juga memfasilitasi perajin songket yang ingin mengikuti pameran di luar daerah. Daerah penghasil songket di antaranya Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sawah Lunto, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kota Payakumbuh.

Pemerintah juga tengah mendata aneka motif seperti yang telah dilakukan Bernhard Bart. Salah satu agenda wisata Sumbar, tutur James, adalah mengembangkan wisata songket. Untuk sementara sentra perajin songket di Pandai Sikek, Tanah Datar, jadi proyek percontohan.

Alda Wimar menyatakan, program tersebut sangat positif. Menurut dia, revitalisasi songket Minangkabau penting artinya karena merupakan bentuk refleksi budaya masyarakat. Masyarakat Minangkabau tidak mengenal aksara. Pencatatan dinamika budaya salah satunya dilakukan di lembaran kain songket. Bisa dikatakan, songket menjadi perekam budaya Minangkabau. (Andy Riza Hidayat)

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts