Tradisi Kehidupan Desa Adat Bali Tetap Kokoh

Denpasar - Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr Wayan P. Windia menilai, tradisi kehidupan desa adat (Pekraman) di Bali hingga kini tetap kokoh dan eksis sesuai perkembangan zaman, meski hal itu diwarisi jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Masing-masing desa pekraman mempunyai adat kebiasaan atau `awig-awig` untuk mengatur tatanan kehidupan, sesuai situasi dan kondisi objektif tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra," kata Wayan P. Windia di Denpasar, Senin.

Ia mengatakan, meskipun demikian bukan berarti desa adat di Bali bebas dari masalah, karena berbagai persoalan muncul dari aktivitas keseharian warga desa pekraman.

Hanya saja masalah yang muncul lebih sederhana yang dapat diselesaikan secara sederhana pula oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat, sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama, baik secara tertulis maupun lisan.

Semua itu didasarkan atas konsep keseimbangan, saling menghargaai dan menghormati satu sama lainnya, bahkan sangat jarang sekali kasus adat penyelesaiannya melalaui jalur hukum.

"Kondisi yang diterapkan desa adat di Bali menurut pakar hukum adat Indonesia koesnoe disebut sebagai cara penyelesaian sengketa yang dilandasi atas kerukunan, kepatutan dan keselarasan," tutur Wayan P. windia.

Di Bali hingga kini tercatat 1.453 desa adat, bertambah dibanding sepuluh tahun sebelumnya yang tercatat 1.371 desa tersebar di delapan kabupaen dan satu kota.

Prof P. Windia menilai, peran desa pekraman dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di wilayahnya masing-masing sangat besar. Jika ada masalah yang muncul, baik dipicu masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat pertama-tama akan diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa adat.

Jika kata sepakat tidak tercapai, permasalahan akan dibahas dalam rapat (paruman) yang melibatkan seluruh warga desa pekraman. Warga desa yang terbukti melakukan pelanggaran adat, namun tetap bersikukuh dengan pendiriannya, tidak bersedia menaati keputusan rapat dapat dijatuhi sanksi.

Sanksi tersebut mulai dari yang paling ringan berupa permintaan maaf kepada seluruh warga, sampai yang paling berat, berupa pemberhentian atau dikucilkan sebagai warga desa adat (kasepekang).

Wayan P. Windia, satu-satunya gurubesar bidang hukum adat di Bali itu menambahkan, desa pekraman setelah menjatuhkan sanksi menganggap permasalahannya telah selesai, tanpa perlu membahasnya lebih lanjut, apakah yang dikenakan sanksi itu menangis atau apakah sesuai atau tidak dengan hak azasi manusia (HAM).

"Apapun jenis sanksi yang dijatuhkan tidak menjadi soal bagi orang lain atau desa pekraman yang lain, karena hal itu dianggap urusan intern desa pekraman sesuai desa "mawacara", yakni tradisi adat dan kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun, tutur wayan P. Windia.(I006/K004)

Sumber: http://www.antaranews.com
-

Arsip Blog

Recent Posts