Danau Toba Masih Mempesona

Oleh Viktor Siagian

Berwisata ke Danau Toba, ketika saya mendapat tugas ke Sumatera Utara, pertengahan Agustus lalu, sangat mengasyikkan. Tidak hanya memanjakan mata dengan pesona alam, tapi juga sekalian menengok kampung halaman, yang sudah 11 tahun saya tinggalkan.

Danau bertipe vulkanik ini merupakan danau terbesar kedua di dunia sesudah Danau Victoria di Afrika. Secara administratif, Danau Toba berada di tujuh kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Tanah Karo, dan Simalungun.

Parapat, kota wisata di tepi danau, merupakan pintu masuk ke Danau Toba, berjarak sekitar 180 kilometer dari Medan dan sekitar 60 kilometer dari Kota Pematangsiantar. Kota yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Toba Samosir itu dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi sekitar tiga setengah jam dari Medan. Terletak di jalur lintas tengah Sumatera, kendaraan umum, baik taksi maupun bus, yang menuju kota ini cukup banyak. Ongkosnya dari Rp 20 ribu sampai Rp 65 ribu. Sebagian turis domestik dan mancanegara menggunakan kendaraan ini.

Dengan naik taksi dari Kota Padang Sidempuan, saya memulai perjalanan ke Danau Toba dengan ongkos Rp 110 ribu. Hari sudah sore, pukul 14.00, ketika saya berangkat bersama dua orang teman. Selepas Kota Medan, tampak pemandangan alam khas Sumatera Utara berupa perkebunan kelapa sawit dan karet yang silih berganti. Pemandangan ini bisa kita saksikan dari Tanjung Morawa sampai Tiga Dolok. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi, dapat singgah berteduh sambil makan-minum di perkebunan karet atau di rumah makan yang ada di daerah tersebut. Terkadang ada yang menjual durian di sekitar perkebunan ini.

Sesudah Kecamatan Tiga Dolok, pemandangan berganti dengan alam pegunungan, yang merupakan bagian Pegunungan Bukit Barisan: sawah, kampung, dan hutan pinus.

Kami sempat singgah di Balige, yang merupakan kampung kakek saya, 30 tahun lewat. Sekitar 6 kilometer sebelum Balige, ada suatu tempat strategis untuk menikmati pemandangan Danau Toba, dengan keindahan yang luar biasa berupa hamparan sawah nan hijau, kampung (huta) Batak dengan rumah adatnya, dan perbukitan. Dari tempat itu, terlihat dengan jelas Balige, Laguboti, dan Porsea. Bentangan Pulau Samosir pun terlihat hampir keseluruhan.

Ketika memasuki Kota Parapat, mulai terlihat hutan-hutan pinus yang masih tertata asri. Sebelumnya, saya beranggapan bahwa hutan-hutan di sekitar Danau Toba ini sudah gundul. Ternyata dugaan saya meleset, boleh dikatakan masih asri seperti 10 tahun lewat.

Hari sudah malam ketika kami sampai di Parapat. Selesai mandi, kami langsung pergi ke pantai Danau Toba. Tidak banyak aktivitas pada malam hari di daerah ini. Hotel-hotel berbintang umumnya menyuguhkan musik hidup yang dapat terdengar dari kejauhan. Sambil menunggu malam larut, kami minum kopi. Rasanya nikmat, apalagi udaranya sejuk. Cukup banyak turis yang menghabiskan waktu dengan minum kopi atau bandrek di kedai-kedai di Kota Parapat.

Berwisata ke Kota Parapat pada hari libur harus siap mengeluarkan dana yang lebih besar dari hari biasa. Hotel-hotel dan rumah makan menaikkan harganya 200-300 persen dari hari biasa. Hotel kelas melati yang terletak di dalam Kota Parapat tarifnya paling murah Rp 200 ribu. Hotel berbintang dan wisma di sini paling murah Rp 500 ribu per malam. Kami menginap dua malam di Hotel Sedayu, dengan tarif kamar standar Rp 150 ribu per malam. Bagi saya, itu sudah cukup.

Tak lupa kami menyempatkan pergi ke Pulau Samosir bertepatan dengan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Sore itu, dengan feri, kami meluncur ke Pulau Samosir, tapi hanya sampai Tuktuk Siadong. Ongkos feri untuk satu kali perjalanan, saya cukup merogoh kocek Rp 7.000.

Hanya setengah jam kami berada di Pulau Samosir, sebelum kembali lagi ke Parapat. Di Desa Tuktuk Siadong, Kecamatan Simanindo, saya sempat mengunjungi makam Raja Sidabutar, yang sudah ratusan tahun. Yang unik, di pulau itu terdapat kampung turis asing mancanegara, tepatnya di Desa Tukuk Siadong. Umumnya para turis itu menginap di sana sudah lama, satu sampai dua bulan. Sebagian adalah turis backpackers. Mereka menginap lama di sana karena tarifnya murah, yang berkisar Rp 60-120 ribu. Umumnya mereka membawa mobil atau sepeda motor ke Pulau Samosir, yang diseberangkan dengan menggunakan feri dari Pelabuhan Ajibata.

Di Tomok, saya mencari kendaraan untuk berkeliling Pulau Samosir. Saya pun mendatangi penyewaan sepeda motor milik Sinaga.

"Abang mau sewa motor?" tanya Sinaga.

"Syaratnya apa?" tanya saya.

"Hanya KTP."

"Berapa sewanya?"

Ia bilang Rp 25 ribu per jam. Saya tawar Rp 20 ribu minimal dua jam. Okelah. Yang unik, sepeda motor rental ini tidak dapat keluar dari pulau karena tidak ada nomor polisinya. Sampai saat ini rental mobil belum ada di Pulau Samosir, tapi sangat mungkin pada waktu mendatang.

Ada beberapa tempat wisata yang asyik untuk dikunjungi di pulau itu, seperti air terjun di Simanindo, pemandian air panas Kota Pangururan, Tuktuk Siadong, dan seminari di Nainggolan. Dengan motor sewaan itu, saya berkeliling ke sebagian pulau ini. Tapi saya tak sampai Nainggolan karena dibutuhkan waktu sekitar 10 jam pulang-pergi. Saya hanya sampai Kota Pangururan, yang merupakan ibu kota Kabupaten Samosir, sejauh 45 kilometer dari Tomok.

Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan khas pedesaan orang Batak, di sebelah kanan Danau Toba dan di sebelah kiri pegunungan. Jalannya cukup mulus, sudah diaspal dengan hotmix. Daerah ini terasa aman. Kabarnya di Pulau Samosir tidak ada pencurian dan perampokan. Masyarakatnya sudah terbiasa dengan turis. Mereka sudah dididik oleh pemerintah daerah setempat untuk menyadari bahwa salah satu pendapatan andalan daerahnya berasal pariwisata.

Terus terang ini pertama kalinya saya menjelajahi Pulau Samosir, biasanya hanya sampai Desa Tomok. Ternyata pulau ini sangat indah dan tenang. Suasana seperti itu cocok bagi pengantin baru untuk berbulan madu. Bayangkan, kita bisa memandang Danau Toba dari bukit di Simanindo, dengan airnya yang tenang, kemudian ada padang rumput dengan kerbau-kerbaunya, sawah yang menghijau, dan kampung dengan rumah adat Batak. Saya sendiri tidak sempat memasuki kampung-kampung yang ada di perbukitan. Mungkin lain waktu saya akan ke sana. Tapi saya melihat bahwa hotel dan cottage mulai banyak dibangun di sepanjang tepi Danau Toba, dari Tuktuk sampai Kota Pangururan.

VIKTOR SIAGIAN, penulis lepas, tinggal di Bandung

Sumber: http://www.korantempo.com
-

Arsip Blog

Recent Posts