Kekasih yang Hilang

Cerpen Djunaedi Tjunti Agus
Dimuat di Suara Karya

HARI ini entah sudah hari keberapa, Murni tak lagi mengingatnya. Akhir-akhir ini dia bekerja layaknya robot, pagi pergi ke hipermarket tempat di bekerja, sore kembali ke tempat kos.

"Lebih baik saya mati saja. Kenapa penderitaan tak pernah berakhir," tutur Murni.

Sriatun rekan kerjanya, yang juga teman sekamar Murni di tempat kos, merupakan orang paling setia menemani sahabatnya itu.

"Tak baik patah semangat. Jangan pernah berhenti berdoa. Selagi Tuhan mengujimu, berarti Dia masih menyayangimu. Yakinlah," kata Sri, demikian Sriatun akrab disapa.

Dewi Murni, itulah nama lengkap gadis sebatang kara ini. Sebenarnya dia telah mengalami berbagai terpaan. Tsunami yang menghantam Aceh telah merenggut orangtua dan seluruh keluarga dekatnya. Kerasnya Jakarta sempat memaksa dirinya jadi pemulung. Semua itu bisa diatasinya. Tapi gempa yang melanda Sumatera Barat membuatnya tak tahan.

Dia merasa telah kehilangan asa. Matahari kehidupan yang mulai menyinari, tiba-tiba bagai diregut. Ketika dia bisa hidup normal layaknya gadis-gadis sebaya, dia justru diuji lebih berat lagi.

Laki-laki yang ditakdirkan mengubah jalan hidupnya-tidak hanya mengantar Murni berubah yang tadinya seorang pekerja kasar menjadi karyawan sebuah pusat perbelanjaan terkemuka di kawasan Jakarta Timur, tapi juga membuat Murni bagai hidup kembali. Namun kenapa kini tiba-tiba saja laki-laki yang telah mengangkat derajatnya menghilang?

Gempa yang meluluhlantakkan kota Padang, akhir September 2009, juga beberapa kota atau daerah di Ranah Minang, membuat Murni kehilangan jejak. Pria pujaannya itu ketika gempa terjadi sedang berada di Padang, mewakili perusahaan garmen tempatnya bekerja, untuk urusan pemasaran.

Sejak musibah, berbagai upaya telah dilakukan. Murni pernah mendatangi salah satu stasiun televisi, guna memastikan gambar seorang korban meninggal yang dikiranya mirip sang pujaan. Tetapi setelah diberi kesempatan melihat berulang kali, mayat itu ternyata bukan calon suaminya.

"Apa lagi yang harus saya lakukan. Saya bersedia pergi ke Padang, tapi tak diizinkan pimpinan. Teman-teman, juga kamu bersikeras melarang, nggak percaya saya kuat menjadi sukarelawan," katanya pada Sri.

"Bukan tak percaya. Kami, mungkin juga atasan kita, tak mengizinkan kamu karena takut justru kamu ikut jadi korban. Kamu sedang dalam tekanan," kata Sri.

Murni benar-benar merasa tak berguna.

"Untuk apa lagi hidup. Semua orang yang saya sayangi. Setiap orang yang dekat dengan saya diambil. Meninggalkan saya. Lalu buat apa saya hidup?"

Berkata begitu membuat kesedihan Murni kembali terpancing. Air matanya mengalir lagi. Sri tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya bisa mengusap-usap punggung teman kosnya itu. Sri tak hendak meninggalkan Murni sendirian.

"Jangan pernah meninggalkan Murni sendirian dalam waktu lama. Nanti dia salah jalan," kata Juwita, salah seorang atasan Murni dan Sri di tempat kerja.

Sri betul-betul berusaha menjaga amanah. Dia dengan senang hati menemani Murni kemana dia mau. Lagi pula, sebagai teman sekamar di tempat kos, Sri tak ingin kehilangan Murni. Dia kasihan atas segala penderitaan yang dialami sahabatnya itu. Dia bahkan ingin menjadikan Murni sebagai saudara, malah sudah disetujui ibu dan bapaknya, ketika Sri bercerita pada orang tuanya saat Lebaran lalu mudik ke Kediri, Jawa Timur. Tapi hingga kini Sri belum berhasil mempertemukan Murni dengan orangtua dan saudara-saudaranya.

* * *

Tiba-tiba saja Murni tertegun. Matanya terpana melihat Herman, bekas bosnya di bengkel las, duduk di ruang tamu rumah pemilik kosnya.

"Mau apa Pak Herman datang ke sini?"

"Siapa dia? Kamu kenal di mana?" kata Sri yang jalan beriringan dengan Murni, sambil terus melangkah menuju orang yang dibicarakan.

"Maafkan saya Mur. Saya baru sekarang bisa datang menemui mu. Kamu sehatkan?"

"Ya, ya Pak. Dari mana bapak tahu tempat tinggal saya? Ada apa pak. Tumben bapak menemui saya?"

Banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Murni kepada Herman. Dia ingin tahu apakah kedatangan pemilik bengkel las dimana dia pernah berkerja ada kaitannya dengan kekasihnya, Agip. Agip sahabat Herman, ketika dia bekerja di tempat Herman itulah Murni mengenal Agip.

"Bapak sudah dapat kabar tentang Mas Agip?"

Murni merasa lega karena telah melontarkan pertanyaan itu. Dia berharap Herman membawa kabar baik, setidaknya mengababarkan dimana Agip dikuburkan. Dengan begitu dia bisa berdoa untuk ketenangan sang kekasih.

Herman sepertinya bingung. Dia bagai memendam rahasia yang tak boleh diketahui siapa pun.

"Sekali lagi saya minta maaf, karena baru bisa menenui mu Makmur..., eh Murni. Baru sekarang, setelah berbulan-bulan kamu tidak lagi bekerja di bengkel las kami," kata Herman.

Sriatun merasa ada yang tidak beres.

"Siapa Makmur? Siapa yang bekerja di bengkel las?"

Ditanya begitu, Herman kikuk. Dia salah tingkah. Herman terus memandangi Murni, seolah-olah minta dibantu. Murni senyum, dan kemudian berucap;

"Ya, tidak apa-apa pak. Katakan saja apa adanya. Saya nggak malu. Itulah jalan hidup saya," kata Murni.

Ucapan itu tampak melegakan Herman. Dia terlihat seperti baru lepas dari memikul beban amat berat.

"Jadi nggak apa-apa saya katakan pada temanmu ini. Apa dia nggak tahu sama sekali?"

"Silakan pak. Teman-teman saya belum ada yang tahu. Yang mereka tahu, saya ini penuh penderitaan. Luput dari bencana tsunami Aceh, pernah menjadi pemulung, dan selamat dari jebolnya Situ Gintung," kata Murni.

"Rahasia apa lagi yang ada dalam diri mu Murni? Masih adalah kesengsaraan lain yang pernah kamu alami? Atau kamu merahasiakan pada kami tentang berita gembira menyangkut dirimu?"

Murni hanya senyum menanggapi pertanyaan teman akrabnya Sriatun. Untuk sementara sepertinya dia lupa tentang dukanya kehilangan Agip.

"Ceritakan dong pak Herman. Rahasia apa lagi yang menyelimuti Murni?" kata Sriatun.

"Silakan pak, nggak masalah," kata Murni.

"Kalian siap! Sriatun jangan kaget ya..."

"Lho, kok pakai kaget segala. Emangnya petasan Pak," kata Sriatun.

"Baik. Sekarang saya jelaskan. Murni ini dulunya saya kenal sebagai Makmur, seorang laki-laki..."

Belum selesai Herman bicara, Sriatun yang duduk di samping Murni tiba-tiba berdiri.

"Jadi. Dia ini banci, laki-laki berdandan seperti perempuan?"

Dia mundur, merapat ke pintu menuju ruang dalam. Ibu pemilik kos yang dari tadi hanya diam, tiba-tiba berdiri.

"Ada apa? Kenapa Murni?"

"Nggak apa-apa bu. Murni baik-baik saja," kata Herman.

Tapi Sriatun memandangi Murni dengan mata nanar. Dia merasa bersalah selama ini telah satu kamar dengan Murni yang ternyata seorang laki-laki. Dia malu, karena sering tampil polos di depan Murni, ketika ganti pakaian.

"Jadi selama ini saya tidur sekamar dengan laki-laki. Laki-laki yang menyamar..."

"Sabar dek. Sabar, dengar dulu penjelasan saya," kata Herman.

Murni terlihat tenang. Tak ada guratan kecewa, malu, atau marah. Meski temannya Sriatun begitu jijik memandang ke arahnya.

"Ya. Murni awalnya saya kenal sebagai laki-laki. Tapi jangan khawatir. Dia sengaja menyamar untuk menghindari laki-laki jahil," kata Herman.

Herman kemudian menjelaskan panjang lebar, Murni menyamar menjadi laki-laki untuk mengamankan dirinya agar jangan diganggu orang. Itu terjadi ketika dia sempat jadi pemulung. Penyamaran dia pertahankan ketika bekerja sebagai tukang las di bengkel milik Herman. Murni baru berubah melepas penyamarannya setelah mengenal Agip.

Mendengar penjelasan itu Sriatun malu sendiri.

"Saya mohon maaf. Siapa yang nggak kaget, sekamar dengan banci," katanya sambil kembali mendekati Murni, kembali mengusap-usap punggung sahabatnya itu.

* * *

"Maaf. Boleh saya bertanya agak pribadi," kata Herman pada Murni.

"Silakan pak. Tak ada lagi yang rahasia dalam diri dan hidup saya."

"Apa dik Murni sudah memiliki pengganti Mas Agip?"

"Pak. Saya tak ingin lagi dekat dengan laki-laki manapun. Mungkin juga dengan teman-teman, saya tak ingin terlalu akrab. Khawatir mereka juga dipanggil, diregnggut dari saya," kata Murni. Kesedihannya kembali muncul, matanya terlihat redup, berkaca-kaca.

"Maaf sebentar," kata Herman, lalu mengeluarkan telpon genggamnya dan menjauh dari Murni, Sri, serta dari pemilik tempat kos yang dari tadi hanya diam. Dia bisik-bisik, kemudian mematikan teleponnya.

"Ada teman mau datang," katanya.

Tiba-tiba saja dari ujung gang terlihat Juwita, atasan Murni dan Sriatun.

"Mau apa Ibu Juwita datang ke sini," bisik Sriatun kepada Murni. Murni hanya geleng-geleng kepala, nggak mengerti.

Di belakang Juwita ada dua perempuan lainnya. Yang satu terlihat sudah paruh baya. Di belakangnya lagi ada dua laki-laki. Salah satu wanita dikenal Murni. Dia istri Herman.

Dari bentuk tubuh, gaya berjalan, Murni serasa mengenal salah satu dari laki-laki yang ada di bagian belakang. Tapi siapa?

Semakin dekat rombongan itu ke tempat kos, dada Murni berdebar-debar. Dia beberapa kali mengusap-usap matanya. Dia tak sadar Sri dan Herman, serta ibu kos memperhatikan tingkahnya.

"Apa mungkin itu Mas Agip?" Dia memandang pada Herman. Tapi Herman tak bereaksi.

"Ya, itu Mas Agip," kata Murni lagi. Tiba-tiba dia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, kemudian menangis tersedu-sedu.

Juwita mendekatinya, mengusap-usap punggung Murni.

"Sudah lah Mur. Mas mu sudah kembali. Kami datang untuk melamar. Saya ini sepupunya Agip," kata Juwita.

Murni masih terisak, Agip memandangnya dengan senyum.

"Maafkan saya Mur. Saya termasuk korban yang sempat tertimbun puing-puing, kemudian dirawat beberapa hari. Semua kartu identitas saya hilang, saya sempat dirawat di rumah sakit dan ditulis sebagai orang tak dikenal," kata Agip.

Agip menceritakan pergulatannya lepas dari maut dan bagaimana akhirnya ikut menjadi sularelawan, dan kenapa dia tak menghubungi Murni lama sekali.

"Sekali lagi maafkan saya. Ini ibu, dan itu kamu sudah kenal, istrinya Pak Herman. Kami datang untuk melamar," kata Agip lagi.

Murni tiba-tiba mencubit pahanya sendiri, kemudian lengannya. Perbuatan membuat Sriatun heran.

"Ada apa Mur, kenapa?"

"Saya ini tidak sedang bermimpi kan Sri?"***
Bekasi, akhir Oktober 2009

Sumber: http://www.sriti.com
-

Arsip Blog

Recent Posts