Menyusuri Jejak Peradaban di Batanghari

Oleh Feri Latief

Sungai Batanghari, Jambi, yang kami susuri pada Desember 2008 mengingatkan saya pada ekspedisi Pamalayu--sebuah ekspedisi oleh prajurit Kerajaan Singasari di bawah Raja Kertanegara untuk melakukan misi diplomatik ke Kerajaan Melayu. Dalam ekspedisi itu, pada 1286, tak lupa Kertanegara mengirimkan sebuah arca Amoghapasa dan ditempatkan di Dharmasraya (sekarang kabupaten baru di Sumatera Barat). Menurut catatan sejarah, pengiriman arca dari Pulau Jawa melalui rute Laut Jawa terus menyusuri laut bagian timur Pulau Sumatera, kemudian memasuki muara Sungai Batanghari. Pelayaran dilanjutkan ke arah hulu, menyusuri sungai sampai sepanjang seribu kilometer.

Dalam ekspedisi yang kami lakukan dua bulan lalu, kami seperti napak tilas ekspedisi Pamalayu namun dengan rute dibalik. Bukan dari muara ke hilir, melainkan kami memulai penyusuran dari hilir ke arah muara.

Ekspedisi yang diprakarsai oleh Dinas Kepurbakalaan Budaya dan Pariwisata itu bertujuan mencatat segala potensi yang ada di sepanjang rute untuk direncanakan pengembangan pariwisatanya. Saya sendiri bertugas memotret ekspedisi itu.

Ekspedisi kami mulai dari Desa Siguntur di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dan berakhir di Muara Jambi. Desa Siguntur berada 12 kilometer dari kota kabupaten, terletak di tepi hulu Sungai Batanghari. Selain banyak peninggalan bersejarah, di desa itu masih ada rumah adat Minang tempat tinggal raja-raja zaman dahulu yang berumur ratusan tahun. Rumah adat itu sekarang berfungsi seperti balai desa, tempat nini mamak, tetua adat, dan warga desa berkumpul untuk bermusyawarah.

Di rumah gadang itulah tim ekspedisi bermalam. Selepas subuh, beberapa jam sebelum tim ekspedisi resmi diberangkatkan, seorang ibu--yang ternyata ibu dari raja terakhir Siguntur--melakukan ritual kecil. Di salah satu tiang rumah gadang, ia membakar kemenyan dan membaca pantun. Menyan yang dibakar itu lalu diputarkan mengelilingi tiang kayu beberapa kali. Setelah itu si ibu raja menyebarkan bunga rampai ke seluruh penjuru rumah.

"Tadi itu apa?" tanya saya kepada ibu raja.

Dengan bahasa Indonesia berlogat Minang kental, ia menjawab, "Tiang itu tiang paling tua, rumah ini sudah beberapa kali dipugar. Dulu rumah ini besar sekali, kemudian diperkecil, lalu diperkecil lagi menjadi seperti sekarang. Ritual tadi adalah untuk menyapa raja-raja terdahulu, siapa tahu mereka nanti akan hadir juga dalam acara pelepasan."

Saya sungguh senang bisa berjumpa dan berkesempatan memotret keturunan raja-raja Siguntur di rumah gadang. Mungkin mereka akan menjadi the last kingdom generation.

Tepat di seberang rumah gadang, terdapat makam raja-raja tempo dulu, yang terdaftar sebagai tempat bersejarah yang dilestarikan. Beberapa hari sebelumnya terjadi kehebohan di desa terpencil itu. Sebelum saya tiba, telah ditemukan beberapa guci dan alat rumah tangga yang diperkirakan berasal dari abad ke-11-12. Benda-benda itu ditemukan para pekerja Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang sedang menggali untuk membuat fondasi penahan tanah buat kompleks makam raja-raja.

Kegemparan terjadi lagi. Untuk keperluan saya memotret, para petugas BP3 membersihkan tanah di sekitar lokasi ditemukan guci-guci itu. Ketika proses menyingkirkan tanah itu dilakukan, ditemukan lagi 13 guci. Orang desa segera berkerumun untuk melihat temuan itu.

Mata pencaharian penduduk Siguntur sebagian besar adalah petani, nelayan, pedagang, pendulang emas, dan pegawai pemerintah. Tanaman karet dan jeruk limau menjadi komoditas utama.

Beberapa radius kilometer dari desa itu ditemukan beberapa candi. Ada juga Candi Rambahan yang sampai masih berupa gundukan tanah. Dulu candi ini pernah diekskavasi untuk penelitian, tapi kemudian ditimbun tanah lagi untuk melindungi dari para penjarah. Diperkirakan di setiap peripih candi itu tersimpan benda berharga, seperti patung emas atau batu permata.

Emas memang banyak terdapat di hulu Batanghari. Tak aneh jika para penguasa dahulu memindahkan pusat pemerintahannya ke hulu Batanghari. Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Melayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan.

Ketika berlayar menuju hulu untuk menuju Candi Rambahan, kami sempat menjumpai beberapa orang yang sedang menambang emas di pinggir sungai--kegiatan yang sebenarnya ilegal. Mereka masih menggunakan peralatan konvensional. Dari hasil perbincangan saya dengan mereka, setiap hari mereka bisa mendapat uang minimal Rp 50 ribu per orang. Penambangan ini akan semakin banyak dijumpai jika kita berlayar ke hilir sungai, yang sudah menggunakan peralatan mesin modern. Mereka mendulang emas bukan di tepian sungai, melainkan di tengah sungai dengan mendesain mesin pendulangan menjadi satu dengan kapal yang biasa disebut dompeng. Mereka terapung-apung di tengah sungai mendulang emas sambil menyebarkan merkuri ke Batanghari--salah satu masalah yang sangat serius di Batanghari.

Saya juga sempat pergi melihat Candi Bukik Awang Maombiak, yang sampai sekarang masih dalam proses ekskavasi. Letaknya sekitar 1 kilometer dari jalan raya desa, di tengah hutan karet. Di tengah perjalanan menuju candi, kami berjumpa dengan lelaki tua membawa bedil.

"Sedang berburu apa?" tanya saya.
"Kucing!" jawab Pak Tua.
"Lho, kok kucing? Sadis amat."
"Iya, kucing. Ayam peliharaan saya habis dimakan kucing."

Dari Desa Siguntur, tim ekspedisi dengan menggunakan lima perahu bermesin mulai menyusuri Sungai Batanghari. Kami sempat berhenti di beberapa titik, di antaranya situs budaya Padang Lawas. Di sana masih bisa kita temui rumah gadang kuno yang sampai sekarang masih dihuni.

Iring-iringan rombongan perahu kami ternyata membawa heboh bagi penduduk di sepanjang Batanghari karena jarang ada rombongan besar menyusuri sungai itu, kecuali para pejabat daerah yang berkunjung. Berita cepat menyebar dari mulut ke mulut. Keberadaan rombongan kami rupanya sudah "terdeteksi" oleh para penambang emas ilegal, yang menggunakan dompeng. Mereka menyedot pasir dan kerikil di tengah sungai lalu memisahkannya mana yang mengandung emas dan tidak.

Ketika kami mulai menyusuri sungai, tak satu pun dompeng pendulang emas itu tampak beroperasi. Ketika kami menginap di Desa Tanjung, dari penduduk setempat kami mendapat penjelasan bahwa kami disangka rombongan aparat pemerintah dan rombongan raja-raja yang sedang melakukan inspeksi. Jelas saja mereka takut karena dikira mau ditertibkan, pikir saya.

Perjalanan menyusuri sungai kembali dilanjutkan dari Desa Tanjung menuju situs Candi Teluk Kuali di Muara Tebo. Berangkat pukul 8 pagi, kami baru tiba di lokasi sekitar pukul 4 sore. Dalam perjalanan inilah kami mencatat ada lebih dari 300 kapal dompeng penambang emas liar. Sebagian besar memang tak beroperasi, mungkin karena takut akan keberadaan kami. Tapi tetap ada satu-dua yang beroperasi, kebanyakan yang berada di cabang-cabang kecil sungai. Kami sempat memergoki mereka lalu menghampiri untuk memotret aktivitas mereka. Cukup mengejutkan ketika kami mengetahui bahwa para pekerja dompeng itu bukan penduduk tepian Batanghari, melainkan para perantau yang mencari keberuntungan di sana.

Sesampainya di situs Candi Teluk Kuali, pemandangan menyedihkan terpampang. Akibat illegal logging, yang menggunakan alat-alat berat, lokasi situs hancur tergusur. Candinya tertimbun tanah dan dipenuhi semak belukar. Yang bisa kami lihat hanya lubang yang dalam sebagai pusat candinya dan sebuah plang nama dari kayu yang menerangkan bahwa itu adalah lokasi situs purbakala yang dilindungi undang-undang.

Selama menyusuri sungai ini, kami juga melihat banyak hutan dan bukit gundul karena ditebang ataupun berganti fungsi menjadi kebun. Bahkan kami sempat memergoki aktivitas illegal logging di tepi sungai. Erosi tepi sungai banyak terjadi di beberapa titik dan pencemaran sungai dengan merkuri oleh para penambang emas liar cukup melengkapi masalah di Batanghari.

Dari Teluk Kuali, kami menuju kota kabupaten Muaro Tebo. Setelah bermalam di Muaro Tebo, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan darat ke Desa Sungai Lingkar. Mengapa jalan darat? Sebab, jika dengan perahu, rute ini akan memakan waktu dua hari dua malam. Adapun dengan jalan darat hanya memakan waktu hanya 4-5 jam. Dari desa itulah kami bisa menuju komunitas suku Anak Dalam.

Sesampai di Desa Sungai Lingkar, hari menjelang senja dan kami bermalam di sana. Rupanya di sana sedang ada keramaian, berupa pesta pernikahan dan panggung dangdut yang gaya penyanyi wanitanya sangat seronok. Sempat ada seorang penduduk desa yang menyumbang lagu. Penampilannya sangat mirip penyanyi Rhoma Irama, dengan model rambut ikal, jambang, dan jenggot serta model celana jins ala generasi 70-an.

Dari Sungai Lingkar ini, kami akan bertolak ke Situs Muara Jambi, yang memakan waktu seharian lewat jalan air. Perahu pun berganti dengan perahu yang lebih besar yang cocok dengan karakter muara sungai yang lebar.

Sebelum melanjutkan perjalanan, saya dan beberapa anggota tim sempat mampir sebentar ke tempat suku Anak Dalam. Dengan berjalan kaki 2 kilometer, kami melewati jalan tanah yang rusak berat karena bekas jalur pengangkutan illegal logging. Di kanan-kiri jalan tanah itu tidak ada lagi pohon besar--kondisi buruk untuk sebuah hutan taman nasional. Kami menjumpai suku Anak Dalam yang kebetulan sedang singgah di sana. Ah, menyedihkan sekali, hutan mereka digerogoti illegal logging dan kini mereka semakin masuk ke dalam hutan. Oleh pemerintah, hutan mereka telah ditetapkan menjadi taman nasional yang dilindungi sehingga aktivitas illegal logging menyusut.

Hanya sekitar satu jam kami berada di sana. Lalu kami segera kembali untuk menyusuri Batanghari. Perjalanan kali ini sangat membosankan karena tidak banyak yang kami temui di sepanjang jalur ini. Seharian kami di atas perahu. Diperkirakan pada senja hari kami akan tiba di Situs Muara Jambi. Perkiraan ternyata meleset. Kami baru tiba di sana pukul 9 malam. Mungkin karena sempat diterpa hujan lebat sehingga perahu diperlambat. Sebenarnya sangat berbahaya berlayar di tengah sungai saat hujan karena petir sering menyambar perahu.

Di sepanjang perjalanan menuju Jambi ini mulai tampak banyak usaha perikanan rakyat. Di kanan-kiri sungai banyak terdapat tambak ikan nila dan patin. Ini sangat berbeda dengan daerah hulu, yang penduduknya lebih senang memancing atau menjala ikan di sungai daripada memelihara ikan.

Setibanya di Situs Muara Jambi, kami disambut penduduk setempat dengan makan malam yang meriah. Paginya kami berkeliling mengunjungi candi-candi yang berada di situs itu.

Situs Muara Jambi adalah situs peninggalan kerajaan Buddha yang diperkirakan dari abad IX-XIV. Lokasinya terletak 22 kilometer dari arah timur Kota Jambi. Di situs itu berserakan peninggalan berharga. Penemuan benda bersejarah di sana amat padat, sedikitnya sudah delapan candi yang bisa diekskavasi dan ditampakan dan puluhan lainnya masih berada di bawah tanah tertutup semak belukar. Di situs inilah perjalanan kami menyusuri Sungai Batanghari sepanjang 600 kilometer lebih berakhir.

Feri Latief, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta

Sumber: http://www.tempointeraktif.com
-

Arsip Blog

Recent Posts