Tiga Lelaki Pemburu Babi

Cerpen Musyafak Timur Banua

Mendadak dusun Kramatjati digegerkan oleh babi-babi hutan yang menyerang perkampungan. Tiga malam terakhir, warga yang pemukimannya berdekatan hutan Telogojati itu berjaga-jaga agar tak jatuh korban lagi. Empat hari lalu, lima ekor kambing milik warga tewas dimakan binatang hutan yang buas itu. Malam berikutnya, delapan kambing tewas lagi. Jumlah itu sudah kelewat banyak menurut perhitungan mereka. Belum lagi babi-babi juga merusak tanaman singkong di ladang-ladang milik mereka.

Parlan, lelaki yang memegang senapan angin itu hampir saja kecolongan ketika dua ekor babi melintas di gang sebelah surau. Ia lalu membangunkan dua temannya yang sudah tidur pulas di gardu tak jauh dari surau itu. Siron dan Tasman yang matanya masih terkaput-kaput segera menyambar senapan yang tergeletak di samping tidurnya.

Parlan, Siron, dan Tasman merangsek perlahan-lahan mendekat ke arah babi yang tengah mengendus kandang kambing di sudut rumah Siron. Siron sudah tak sabar ingin membidik kepala babi-babi itu. Lelaki bertubuh bongsor itu tak mau keduluan babi itu menyergap kambingnya.

"Pelan-pelan, Ron. Jangan sampai mengagetkannya. Salah-salah babi itu malah lari," bisik Parlan.

Ketiga lelaki itu tiarap di balik pagar hidup bersusun pohon waribang yang berjarak duapuluh meter dari kandang Siron. Langit agak gelap malam itu. Namun sepotong rembulan masih bisa mengintip mereka melalui celah-celah mendung. Mereka sudah menahan nafas setenang-tenangnya, jemari telunjuknya bersiap menarik pelatuk senapan.

"Dor!"

"Kena!" teriak Parlan.

Tembakan Parlan tepat mengenai mata babi. Binatang hutan itu tersungkur dan roboh ke tanah. Babi yang satunya lari pontang-panting menerjang arus angin. Siron sempat membidiknya mengenai kaki kirinya. Babi lari terpincang-pincang dan ketiga lelaki itu mengejarnya. Diberondongnya babi itu bergantian sambil berlari. Babi kedua itu jatuh. Kepalanya melelehkan darah.

Gaduhnya tembakan-tembakan tadi membangunkan para perempuan dan anak-anak yang sudah pulas. Mereka keluar rumah dan terbelalak menamati Parlan, Siron, dan Tasman menyeret babi bersimbah darah.

Puluhan lelaki lain yang juga berjaga-jaga di tempat terpisah segera mendekat sumber kegaduhan tembakan. Mereka lantas memuji kelihaian ketiga lelaki yang berhasil menghabisi dua babi itu.

Parlan, Siron, dan Tasman memang lain. Ketiganya amat mahir memainkan senapan angin. Sejak muda mereka sudah pandai membidik burung dan tikus yang menyerang tanaman sawah. Mereka sering adu kemahiran, mengumpulkan sebanyak-banyaknya mangsa. Dan yang kalah biasanya diganjar mentraktir bakmi goreng di warung Mbok Siah.

Hampir semua lelaki di dusun Kramatjati memiliki senapan. Bedil menjadi lambang kejantanan bagi warga pinggiran hutan. Tak ayal jika lelaki yang tidak bisa menmbak selalu diolok-olok. "Pulang saja menyusu pada ibumu, Nak! Menembak saja tidak becus." Demikian olok-olok mereka pada lelaki yang gagap memantik pelatuk senapan angin.
Malam sudah hampir menepi. Orang-orang beramai-ramai membakar dua babi yang ditembak mati itu. Pikiran membakar babi muncul begitu saja. Entahlah, warga terdorong dendam pada babi yang telah memakan hewan-hewan ternak dan memporakporandakan ladang-ladang singkong milik mereka.

***
Belakangan diketahui penyebab babi-babi menyerang perkampungan itu. Tengah terjadi penebangan hutan besar-besaran di hutan Telogojati. Kabarnya, hutan itu akan dijadikan pabrik gula. Pabrik itu akan memakan seperempat luas hutan. Karena pembalakan itulah kemudian babi-babi lari menepi hingga ke batas hutan yang berdekatan dengan dusun Kramatjati.

Babi-babi makin sering menyerang perkampungan. Warga Kramatjati kian ketat menjaga dusun mereka. Memang belum ada korban manusia dari serbuan binatang-binatang liar itu. Tapi terus saja jumlah hewan ternak mereka berkurang dimakan babi. Ladang-ladang singkong juga makin morat-marit diserbu kawanan babi yang jumlahnya bertambah banyak keluar dari hutan.

Makin hari dusun Kramatjati kian tegang. Babi-babi datang tak kenal waktu. Di siang hari, orang-orang sibuk berjaga-jaga di ladang. Malam harinya mereka ronda di perkampungan. Meski tiap hari ada puluhan babi mati tertembak, toh babi-babi yang menyerang kampung itu tak susut jumlahnya.

Warga merasa tak cukup bisa membendung serangan babi hanya dengan memburunya. Mereka bertekad menutup penyebab babi-babi itu keluar dari hutan.

"Penebangan hutan harus dihentikan. Pabrik gula itu tidak boleh dibangun. Bisa-bisa kampung kita ini nanti menjadi sarang binatang buas," kata Parlan.

"Benar. Penghidupan kita terancam, Pak," sambung Tasman. Siron mendukung lewat anggukan kepala.

Petinggi dusun Kramatjati menganggukkan kepala dalam-dalam. "Baiklah, kalau begitu besok kita datangi orang-orang pabrik itu."

"Tapi ronda malam harus tetap diperketat," kata Petinggi dusun itu tegas.

Esok harinya warga dusun Kramatjati mendatangi tempat bakal pabrik gula akan didirikan. Mereka menuntut agar pembangunan pabrik dibatalkan. Penebangan hutan harus dihentikan karena membuat hewan-hewan buas lari menuju pemukiman. Hari itu Petinggi dusun Kramatjati maju sebagai juru bicara warga.

Namun perundingan buntu. Pimpinan proyek pendirian pabrik gula berdalil memiliki ijin resmi dari pemerintah dan benar-benar ditunjukkan kepada warga. Orang-orang Kramatjati kembali pulang dengan kekecewaan.

Mereka tak kurang akal untuk menghentikan pembalakan hutan itu. Warga Kramatjati mendatangi kantor Pemerintah Kabupaten Wonosekar untuk mengkaji ulang dampak lingkungan pembangunan pabrik gula itu. Tapi pemerintah mengatakan tidak mempunyai wewenang untuk membatalkan pembangunan pabrik gula itu. Warga Kramatjati terpaksa menyerah oleh alasan bahwa pemberi ijin pendirian pabrik gula itu adalah pemerintah provinsi.

Maka satu-satunya yang bisa dilakukan warga Kramatjati adalah membantai habis-habisan babi-babi yang menyerang perkampungan mereka. Kemarahan warga sudah memuncak sampai ubun-ubun. Tenaga mereka habis terkuras untuk memburu babi-babi.

***
Mendadak timbul wabah demam menyerang anak-anak. Flu dan batuk pilek mudah sekali menular. Menurut dokter yang memeriksa dusun Kramatjati, penyakit demam becampur flu, batuk, dan pilek itu disebabkan udara kampung yang tercemar bakteri dari asap pembakaran babi. Juga berasal dari bakteri-bakteri yang tumbuh subur di bangkai hewan ternak yang menjadi korban santapan babi.

Hari-hari berikutnya warga tidak lagi membakar babi. Bangkai-bangkai babi yang mati ditembak maupun ditombak itu dikubur. Ayam-ayam dan kambing-kambing yang menjadi korban kebuasan babi-babi liar itu juga ditanam di dalam tanah. Namun wabah batuk belum juga surut. Anak-anak mulai kurus dan layu karena dirongrong wabah yang muasalnya diyakini dari bangkai babi itu.

Parlan, Siron, dan Tasman mengusulkan agar babi-babi liar di buru di dalam hutan saja. Mereka bertiga beralasan bakteri yang lahir dari bangkai babi akan tetap mengendap di hutan dan kemungkinan tidak bisa menjangkau dusun.

Namun orang-orang tak semudah menerima usul ketiga lelaki yang diakui paling piawai memburu babi di antara orang-orang sedusun itu.

"Jangan. Masuk kawasan hutan sangat berbahaya. Memburu babi-babi sampai di hutan sama artinya mengantar nyawa. Sebab yang kita hadapi di sana bukan hanya babi. Singa, macan, dan binatang yang buas-buas akan menjadi musuh pula," kata salah seorang warga.

"Tapi kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita terserang wabah batuk. Sama halnya membiarkan penyakit menghabisi desa kita," sangkal Siron.

Orang-orang tetap tidak sepakat pada usul ketiga pemburu paling jitu itu. Warga tetap memilih berjaga-jaga dan memburu sebisanya tiap-tiap babi liar yang meresahkan perkampungan.

***
Parlan, Siron, dan Tasman tetap akan berburu babi ke hutan Telogojati. Meski takkan ada orang lain yang ikut ke hutan itu. Mereka berangkat petang hari ketika matahari baru saja surup. Mega merah tembaga yang menggantung di kaki langit sebelah barat laut menjadi saksi ketiga lelaki pemburu babi itu memasuki hutan Telogojati.

Ketiganya membawa persediaan peluru dan bekal makanan untuk perhitungan lima hari. Tombak dan parang juga melengkapi persenjataan mereka. Orang-orang dusun tahu bahwa tiga di antara mereka nekat memburu babi-babi ke hutan. Namun mereka enggan menyusulnya.

Perburuan di hari pertama mulus. Dibantainya semua babi-babi yang mendiami hutan itu. Hari kedua dan ketiga, mereka benar-benar berpesta kematian babi. Anak-anak babi menjadi bulan-bulanan kepiawaian mereka membidik dengan senapan angin. Mereka bersemangat dan tergiak-giak girang lantaran sepertiga hutan Telogojati sudah disisirnya. Namun, mereka sadar tiap-tiap peluru yang melesing dari senapan angin justru menandaskan peperangan baru dengan binatang-binatang buas selain babi. Maka di hari keempat mereka berperang melawan serigala dan anjing yang lebih merepotkan ketimbang babi.

Tenaga mereka serasa hampir habis di hari kelima. Mereka lelah dan memutuskan pulang tengah hari. Namun, datanglah sekawanan macan kumbang. Sorot-sorot mata lima macan kumbang itu menyiratkan rasa lapar yang amat mengancam. Cara macan-macan itu mengaum sudah cukup membuat ciut nyali mereka.

Tiga lelaki pemburu itu mau tidak mau harus menghadapi lima macan kumbang itu. Mara bahaya itu sudah tak kepalang untuk dihindari. Kalau mereka masih menuntut hidup, maka macan-macan itu yang harus mati.

Entah, nasib buntung akan berpihak pada Parlan, Siron, dan Tasman atau pada macan-macan kumbang itu. Sementara macan kumbang tak mempan ditembak senapan angin, tiga lelaki pemburu babi itu merasa tenaganya sudah tak sepadan dengan buasnya macan. Lantas senjata yang tersisa hanya tombak dan parang. Mau tak mau mereka bertiga harus bertempur dengan macan dari jarak dekat.

***
Keadaan dusun Kramatjati berangsur-angsur aman semenjak Parlan, Siron, dan Tasman memasuki hutan Telogojati. Tak ada lagi babi-babi hutan yang menyerang kampung dan ladang mereka. Namun orang-orang hampir lupa bahwa tiga lelaki pemburu babi itu belum juga kembali sampai hitungan hari kelima belas meninggalkan dusun.

Soeketteki, 2009

Sumber: http://www.harian-global.com
-

Arsip Blog

Recent Posts