Wisata Masa Silam di Manglayang

Oleh Dwi Wiyana

Tak, tek, tok, dung, dung / Tok, tok, dung, dung…. Suara lodang ditimpali pukulan kendang memecah kesunyian sore itu. Lupakan soal lagu, tak usah peduli soal irama, pokoknya main, dan ramai. Pemukul lodang, alat musik yang terbuat dari bambu, juga pemain kendang, boleh cengengesan sambil mempertontonkan giginya. Tak usah takut salah, yang penting happy.

Kok, main musik tanpa aturan? Itulah asyiknya main di Kampung Seni dan Wisata Manglayang, Bandung. Jika alat musik lodang tak sedang dimainkan oleh awak grup yang sebenarnya, pengunjung boleh menabuh sepuasnya. Anak-anak boleh memilih ruas bambu mana yang akan dipukul, begitu juga orang tuanya. Kalau capek, tak usah khawatir, banyak saung yang bisa dipakai beristirahat. Menyelonjorkan kaki, menikmati semilir angin.

Kampung Seni dan Wisata Manglayang berada di kawasan Bukit Manglayang, tepatnya di Kampung Ciborelang, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Keberadaan area seluas hampir dua hektare ini diawaki sepasang sarjana seni, yakni Kawi dan Ria Dewi Fajaria. Hasil ide pasangan suami-istri ini mulai diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan pada akhir Agustus 2007. "Butuh waktu dua tahun untuk menyiapkannya," kata Kawi, 49 tahun, kepada Tempo. "Dulu kawasan ini kebun terpencil."

Selain lodang, ada beragam permainan lain yang disediakan di kampung wisata ini. Misalnya permainan naik egrang, yakni berjalan sambil naik potongan bambu dengan pijakan kaki berketinggian sekitar setengah meter di atas tanah. Terlihat sederhana, tapi mesti berhati-hati. Saat satu kaki melangkah, kaki satunya lagi harus menahan keseimbangan supaya tidak jatuh.

Permainan bedil-bedilan lain lagi. Untuk memainkan permainan zaman baheula ini, pengunjung mesti menyiapkan kertas basah sebagai peluru. Kertas basah diremas-remas hingga bulat, lalu dimasukkan ke potongan bambu kecil, terus disodok ke dalam. Jika peluru pertama sudah ada di ujung bambu, siapkan peluru kedua dari bahan yang sama, lalu disodok lagi. Tekanan udara di dalam bambu akibat sodokan peluru kedua akan membuat peluru pertama lepas ke udara. Dor! Lawan yang tubuhnya terkena peluru boleh berpura-pura terguling sambil menahan sakit, atau berpura-pura mati.

Bagi anak-anak yang mau main gasing kayu atau bermain karet gelang, permainan ini juga tersedia. Saling patok gasing atau melompati tali karet laiknya bermain loncat tinggi tak kalah asyiknya. Ingin memegang dan memainkan wayang golek, ayo aja. Si Cepot, salah satu tokoh kesohor wayang ini, pasti tak akan marah.

Nurdin, 38 tahun, salah seorang pengunjung, merasa senang membawa putrinya, Humaira, 7 tahun, ke Kampung Seni Manglayang. "Di sini anak saya bisa mencoba beragam permainan tradisional yang makin sulit ditemukan," katanya. Maklum, anak-anak sekarang lebih betah bermain PlayStation, Nintendo, atau bermain di kawasan permainan modern, seperti TimeZone, yang banyak bertebaran di mal besar.

Memainkan alat musik tradisional, juga permainan tradisional, hanya salah satu bagian dari sajian Kampung Seni dan Wisata Manglayang. Di sini pengunjung berkesempatan mengenal budaya Sunda, termasuk rumah adat dan kelengkapannya. Di area yang ditanami beragam pohon, seperti tangkil, lengkeng, bambu tali, asam, dan peuteuy, itu terpacak tegak sejumlah rumah panggung dengan dinding bambu dan beratap rumbia. Untuk melongok nama dan isi rumah, pengunjung tinggal menelusuri jalan setapak dengan undak-undakan yang tertata rapi.

Saung Kamonesan, sekadar contoh, dibangun dua tingkat. Di dalamnya tersimpan benda-benda menarik, seperti topeng dan wayang golek. Sedangkan di Saung Wreti tersimpan perabot rumah tangga, seperti gentong, kentongan, dan caping. Bagi mereka yang ingin melihat tempat penyimpanan padi, datangi saja leuit alias lumbung padi. Jika hendak mengetahui seperti apa bentuk lesung kayu yang biasa dipakai menumbuk padi menjadi beras, pengunjung bisa menengok Saung Lisung.

Mengobrol sembari menikmati pemandangan hamparan padi di sawah bisa dilakukan di Saung Binangkit, semacam teras bagi rumah kebanyakan. Jika azan berkumandang dan pengunjung ingin salat, tak usah repot-repot, datang saja ke bangunan tajug (musala). Di sela-sela saung dan beragam pepohonan, pemilik kampung seni juga membangun sejumlah kolam ikan. Juga ada tempat duduk dari tembok batu tanpa diplester sehingga terlihat artistik, lengkap dengan meja bundar dari bahan serupa.

Selanjutnya, jika penasaran ingin tahu seperti apa bangunan khusus untuk memelihara manuk alias burung dan domba lengkap dengan rak tempat rumput, pelototi saja kandang manuk dan kandang domba di sana. Jika capek setelah muter-muter, selain beristirahat di saung, pengunjung bisa membeli beragam makanan dan minuman di Saung Tamba Hanaang.

Namanya berada di kampung seni dan wisata Sunda, nama saung dan pengumuman di kawasan ini ditulis dalam bahasa Sunda. Jadwal pertunjukan rutin juga ditorehkan dalam bahasa Sunda.

Pada malam Minggu, kampung seni ini memang rutin menyajikan beragam pertunjukan. Pekan pertama pertunjukan wayang golek, kedua seni benjang, ketiga ketuk tilu, dan pekan keempat warna-warni, seni tradisional dan modern ditampilkan, misalnya pop Sunda. Acara digelar dari pukul delapan hingga tengah malam.

Pertunjukan tersebut rata-rata diawaki oleh warga yang tinggal di sekitar kampung seni. Itulah cara Kawi menghidupkan seni di area yang dibangunnya. Heri, 19 tahun, dan Rahmat, 18 tahun, adalah dua pemuda Ciborelang yang rutin memainkan lodang, seni reak, dan gamelan di situ. "Lumayan untuk mengisi waktu, daripada diam di rumah," kata Heri.

Sumber: http://www.tempointeraktif.com
-

Arsip Blog

Recent Posts