Danau Kelimutu di Flores

Oleh Metta Dharmasaputra

Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di pucuk gunung, suatu pagi pada Maret lalu. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Johannes Voda, 61 tahun, me-nyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi ke-rongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.

Seperti semua turis lain yang sudi mendaki satu kilometer anak tangga sampai ngos-ngosan, tujuan saya adalah menikmati keelokan kawah tiga warna di puncak gunung itu: Danau Kelimutu. Tak ada catatan pasti kapan danau tiga warna ini mula-mula ditemukan penduduk setempat. Warna airnya berubah-ubah dari masa ke masa. Namun kelir air danau paling terkenal adalah merah, putih, dan biru. Inilah warna yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah dasar di berbagai belahan Pulau Flores. Dari masa ke masa, warna ini berubah-ubah seturut dengan musim, cahaya matahari, serta aneka perubahan kimiawi di dasar kawah.

Di sebuah tugu kecil di puncak gunung, saya bertemu Johannes Voda, 61 tahun. Dia penduduk setempat yang telah "merawat" Kelimutu selama 26 tahun terakhir sembari berjualan sekadar minuman bagi para turis. Dia pula yang memandu saya ke puncak menunjukkan kawah tiga warna. Indah, te-nang, dan mistis, air danau terbentang jauh di dasar kawah dalam warna hijau kebiru-biruan, hitam, dan cokelat pekat seperti Coca-Cola. Pak Tua Voda ibarat "juru kunci tak resmi" bagi para pelancong di Kelimutu.

Di sebuah pelataran dekat tugu kecil, Voda "menjamu" tamunya setiap pagi-turis lokal dan asing. Mereka datang pagi-pagi benar, mengejar matahari terbit agar keindahan puncak ketiga danau gunung itu dapat dilahap mata secara maksimal. "Saya sudah 26 tahun berjualan di sini," ujar Voda. Berdiam di sebuah desa di kaki gunung, dia berjalan kaki enam kilometer setiap hari untuk menjajakan kopi jahe khas Ende, teh hangat, serta lembar-lembar tenun ikat.

Kain-kain itu bersepuh warna alami dari akar mengkudu dan daun nila. Selembar kain dia hargai Rp 125 ribu. "Agak mahal karena selembar kain butuh tiga bulan untuk membuatnya," kata Voda. Puncak Kelimutu bukan sekadar tempat dia mencari nafkah. Tiga kawah itu dia yakini sebagai tempat bermukim para arwah leluhur Suku Lio, suku asli di Kabupaten Ende Lio.

"Tempat ini keramat dan disucikan," kata Voda. Karena itu, ia meminta setiap pengunjung tak sembarangan memetik buah dari tanaman khas berdaun merah yang tumbuh di sepanjang bukit. "Itu makanan para arwah. Kalau mau petik, izin dulu," dia menambahkan.

l l l

Terletak 60 kilometer dari Ende, ibu kota Kabupaten Ende Lio, kawah di puncak Kelimutu telah lama menjadi andalan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Namanya masyhur bahkan hingga ke berbagai belahan dunia, terutama melalui getok tular para turis asing yang pernah melancong ke sana.

Bentuknya mirip danau, membuat sisa kawah ini pun disebut Danau Kelimutu atau danau triwarna. Berada di lahan sekitar 5.000 hektare, sejak 1997 kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Wilayahnya masuk lima kecamatan. Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Wolojita, dan Kelimutu.

Van Schuktelen, warga negara Belanda, yang mula-mula "membuka" informasi danau tiga warna ini ke dunia luas pada 1915. Keindahan Kelimutu kian tersiar setelah Y. Bouman, juga seorang pelancong Eropa, menuliskannya pada 1929. Sejak saat itulah turis asing mulai berdatangan. Misionaris asing di Flores turut membawa kabar tentang danau unik ini ke belahan Eropa dan negeri lain. Belum lagi peneliti yang amat tertarik mencari tahu penyebab fenomena alam yang amat langka ini.

Di Ende Lio, penduduk menyebut ketiga danau ini sebagai Tiwu Ata Mbupu (danau orang tua), Tiwu Nua Muri Ko'o Fai (danau muda-mudi), dan Tiwu Ata Polo (danau tukang tenung) yang dikenal angker. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri hanya dipisahkan dinding terjal selebar 15-20 meter. Sekitar 300 meter di sebelah barat Tiwu Nua Muri terletak Tiwu Ata Mbupu. Masyarakat sekitar percaya, Danau Kelimutu adalah tempat semayam arwah para leluhur. Setelah meninggal, arwah mereka pindah dari kampung ke puncak Kelimutu untuk selamanya. Kawah mana yang akan ditempati, tergantung usia dan amal perbuatannya semasa hidup.

Sebelum masuk ke salah satu danau, menurut kepercayaan, para arwah terlebih dulu menghadap Konde Ratu. Dialah penjaga gerbang Perikonde, yang diyakini sebagai pintu masuk arwah menuju Danau Kelimutu. Di sini setiap pengunjung diperkenankan memberikan kepingan uang logam, sirih pinang, atau rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu.

Kelimutu juga memiliki tempat tersendiri di hati Soekarno. Menurut Voda, presiden pertama Indonesia itu biasa bersemadi di puncak gunung semasa keluarganya dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Ende pada 1934-1938. Sebagian jejak Soekarno masih terekam di Museum Bung Karno di Jalan Perwira, Ende. Sejumlah barang koleksi miliknya masih tersimpan baik. Seperti foto keluarga dan pribadi Bung Karno, barang-barang keramik, dua tongkat berkepala monyet, lemari pakaian, dan tempat tidur.

Di halaman belakang ada sumur yang digali sendiri oleh Soekarno untuk keperluan sehari-hari. Sebagian kalangan percaya, airnya berkhasiat menyembuhkan penyakit dan obat awet muda. Musa, penjaga museum, mengaku, "Ada pengunjung khusus datang untuk mengambil air dari sumur itu."

Peninggalan lain yang menjadi daya tarik museum adalah ruang semadi Bung Karno. Dalam ruang senyap dan dingin berukuran tiga kali dua meter itu, Soekarno biasa menghabiskan malam untuk bersujud memohon "bantuan" bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Anggota DPR Permadi pernah juga bersemadi di situ," kata Musa. Di kota ini pulalah, Soekarno mencetuskan ide lahirnya Pancasila. "Jika ke Kelimutu, Bung Karno pergi dengan berkuda," Musa menambahkan.

Guntur Soekarnoputra, anak tertua Bung Karno, meneruskan kebiasaan ayahnya. Voda menuturkan, dua tahun lalu Guntur datang mengendarai ojek untuk mengambil air dari dasar kawah. Setelah bersemadi dari malam hingga subuh, ia melepas ayam merah. "Sayalah yang menjaga ayam itu," kata Voda.

Bagi para turis yang tidak suka pada urusan klenik, "keajaiban" tiga kawah Kelimutu tetap punya daya tarik. Warna air di ketiga kawah itu terus berubah. Kawah Tiwu Ata Mbupu yang pada 1915 berwarna merah darah, kini berwarna hitam kecokelatan. Begitu pula Tiwu Nua Muri. Kawah aktif dengan keda-laman 127 meter ini terus berubah warna dari hijau zamrud menjadi putih, biru, dan akhirnya hijau muda. Sedangkan Tiwu Ata Polo dari putih, hijau, biru, merah, dan kini cokelat kehitaman.

Menurut sejumlah peneliti, perubah-an warna di kawah itu bisa jadi akibat pembiasan cahaya matahari dan pantulan warna dinding kawah, biota air, pantulan dasar danau, serta perubahan zat kimia yang terlarut di kawah. "Luar biasa indah," kata Mary, turis asal Amerika berdarah Indian, kepada Tempo.

Sayang, keindahan itu tak bisa dinikmati lama-lama. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, kabut sudah menyelimuti permukaan kawah. Karena itu, para wisatawan harus berangkat dari Ende ketika hari masih gelap, agar setelah dua jam perjalanan mobil, mereka bisa mencapai danau ketika matahari terbit.

Pilihan lain adalah menginap semalam di Kampung Moni, 12 kilometer dari Kelimutu. Kebanyakan turis asal Eropa bahkan biasa menghabiskan 4-5 hari di sana. "Pagi-pagi mereka berlari menuju puncak gunung," ujar seorang staf penginapan. Setelah kabut menyer-gap, barulah mereka turun.

Perjalanan pulang biasanya menja-di saat-saat menarik karena banyak "lukisan alam" yang luput terlihat sebelum terang tanah. Persawahan, air terjun, pemandian air hangat, serta jalanan terjal yang melingkar di punggung bukit-bukit Flores yang permai.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com
-

Arsip Blog

Recent Posts