Menengok Atraksi Anak Krakatau

Oleh: Erwin Dariyanto

Menyaksikan dari dekat Anak Krakatau meletus, menyemburkan pasir, gumpalan asap, dan batu-batu pijar menyala, disertai gemuruh, tentu sungguh asyik. Akhir Agustus lalu, saya bersama 15 wartawan dari Jakarta berkesempatan menonton atraksi eksotis itu.

Rombongan berangkat dari kawasan Rasuna Episentrum, Jakarta Selatan, pukul 09.00, menggunakan bus antarkota antarprovinsi menuju Pelabuhan Merak, Banten. Setelah dua setengah jam menyusuri jalan tol Jakarta-Merak, menjelang tengah hari, kami tiba di Pelabuhan Merak.

Suasana pelabuhan tidak begitu ramai, sehingga kami tak perlu menunggu lama untuk masuk ke kapal feri yang akan membawa kami menyeberangi Selat Sunda. Hidayat, pemimpin rombongan, mengajak kami ke lounge kapal sambil menikmati makan siang yang dibawa dari Jakarta. Dari dek kapal, beberapa penumpang tampak asyik menyaksikan atraksi lima orang anak yang tengah berenang, sebelum kapal berlayar. Sebagai imbalan, biasanya orang melempar uang ke arah mereka.

Jam di tangan saya menunjuk pukul 15.00 ketika kapal yang kami tumpangi berlabuh di Pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Perjalanan kami lanjutkan menuju kawasan Kalianda, sebuah kecamatan kecil di tepi Teluk Lampung di kaki Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Suasana alam jalan trans-Sumatera yang masih alami dan asri menemani kami selama satu jam perjalanan itu.

Menjelang sore, kami tiba di Kalianda, langsung menuju tempat menginap, Krakatau Nirwana Resort. Petang itu kami, saya dan beberapa teman wartawan lain, menikmati suasana matahari tenggelam di Teluk Lampung. Beberapa remaja tampak asyik bermain banana boat, sementara lima tukang kayu tengah mempersiapkan pelampung kayu yang akan digunakan dalam acara puncak Festival Krakatau keesokan harinya.

Esok hari, perjalanan menuju kawasan Gunung Krakatau tentu menguras tenaga. Karena itu, malam itu saya memutuskan untuk tidur lebih awal.

* * *

Pagi itu, Minggu, 24 Agustus, saya bangun lebih awal. Seusai salat subuh, suara canda anak-anak yang tengah asyik bermain di pantai menarik perhatian saya untuk segera keluar dari kamar. Bersama teman satu kamar, Ruth alias Uthe, seorang wartawan foto, saya menuju dermaga, berharap mendapat momen menarik untuk mengabadikan sang surya muncul dari peraduan. "Waduh mendung, sunrise tidak akan seindah yang kita bayangkan," kata Uthe.

Kekhawatiran kami tidak menjadi kenyataan. Semburat merah marun menghiasi langit di atas Selat Sunda. Perlahan-lahan matahari muncul dari balik laut menyapa alam. Keindahannya membangunkan semangat kami untuk mengabadikan momen tersebut dengan kamera.

Perjalanan ke Gunung Krakatau dimulai sekitar satu jam setelah atraksi penyambutan 20 duta besar negara sahabat yang diundang dalam rangka penyelenggaraan Festival Krakatau 2008. Ada atraksi jetski, paralayang, dan pentas tari tuping (tari topeng tradisional).

Rombongan dibagi menjadi dua bagian. Rombongan pertama terdiri atas duta besar perwakilan negara sahabat, undangan, pejabat pemerintah daerah Lampung, dan pejabat Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Rombongan ini berangkat dari Pelabuhan Bakauheuni menggunakan kapal feri.

Sementara itu, rombongan kedua adalah para wartawan dan pemain serta penari reog, yang berangkat dari dermaga Kalianda menuju Gunung Anak Krakatau dengan menggunakan speedboat. Widodo, seorang aktivis dari Universitas Lampung, ditunjuk menjadi pemandu untuk menemani kami selama perjalanan.

Sayang, keberangkatan kami harus tertunda setengah jam. Speedboat yang harusnya mengantar kami belum juga tiba. Untuk mengisi waktu, di pinggir dermaga, kami mengobrol dengan Dodo--panggilan akrab Widodo. Dengan antusias, pria keturunan Jawa ini menjelaskan pesona yang bisa dinikmati di sekitar Gunung Krakatau. Di tengah bercerita, datang rombongan paralayang, yang batal terbang menuju Anak Krakatau karena angin yang tidak bersahabat. Rombongan paralayang bersama rombongan jetski rencananya menyertai kapal feri yang membawa rombongan duta besar.

Speedboat tiba dan membawa kami menyibak laut, yang diperkirakan memakan waktu tiga jam, melintasi Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi. Setelah dua jam, Pak Doel, sang motoris, memberi tahu bahwa gugusan Anak Krakatau mulai terlihat. Benar saja, saat kami melongok keluar, dari jarak kurang-lebih empat mil gunung api itu terlihat jelas menyemburkan gumpalan asap. Semburannya bergerak menuju arah timur laut menimbulkan bekas hitam di langit.

Rombongan wartawan sangat antusias mengabadikan moment tersebut. Pak Doel harus mengingatkan agar tidak semua berdiri di bagian kiri. "Ayo, gantian, jangan sampai boat miring ke kiri," teriak Pak Doel. Teriakan pria paruh baya itu sempat tidak dihiraukan oleh rekan-rekan wartawan. Kami seperti terhipnotis oleh keindahan gumpalan debu dari kawah Anak Krakatau.

Semburan abu dari kawah Anak Krakatau berhenti pukul 11.35 ketika boat yang membawa kami merapat di pantai Legon Cemara, pantai Anak Krakatau. Di sini tidak ada dermaga. Karena itu, kami harus mencebur ke laut yang dalamnya sepinggang setelah melepas sepatu terlebih dulu.

Tanah berpasir akan menyambut setiap pengunjung yang datang. Buru-buru kami mengenakan alas kaki karena panas pasir sangat menyengat.

Tabuhan rebana yang dimainkan 10 pria paruh baya dari Desa Sebesi menyambut kedatangan kami. Sesepuh adat dan camat turut hadir. Rupanya, tepat pukul 11.00 tadi digelar upacara sedekah laut yang dilakukan untuk memperingati meletusnya Gunung Krakatau, 26 Agustus 1883, tepat pukul 11.00. Sedekah laut di sini, kata Camat Rajabasa, Lampung Selatan, Azwan, adalah dengan menanam kepala kerbau di laut. Tidak ada larungan hasil bumi.

Seusai berbincang-bincang dengan camat dan sesepuh Desa Sebesi, kami meminta izin untuk mendaki. Namun, pihak Badan Konservasi Sumber Daya Alam tidak mengizinkan karena kemungkinan Gunung Anak Krakatau masih akan menyemburkan abu. Siang itu angin berembus menuju timur laut. Kemungkinan abu menuju ke arah kami yang berada di posisi tenggara.

Dodo, yang sudah berpengalaman melakukan penelitian di wilayah Gunung Krakatau, mengajak kami menikmati eksotisisme Anak Krakatau dengan memutarinya menggunakan boat. Benar saja, baru lima menit kami di atas boat meninggalkan tepian Pantai Legon Cemara, semburan abu kembali terjadi. Tidak kurang dari lima menit, gumpalan abu itu keluar dari kawah.

Meski sudah melihat semburan dari dekat, Dodo masih mengajak kami mengelilingi Anak Krakatau. Kali ini kami memutar menuju Pantai Legon Cabe di Pulau Rakata, yang dulu merupakan induk Gunung Krakatau. ”Dari situ kita bisa melihat dengan jelas semburan abu dan kawah Krakatau,” ujar Dodo, meyakinkan kami.

Sepuluh menit dari semburan sebelumnya, terjadi semburan lagi. Kali ini kami beruntung bisa menyaksikan keluarnya semburan dari kawah Anak Krakatau dengan lebih jelas dari jarak yang sangat dekat. ”Luar biasa,” kata Uthe sambil tidak henti-hentinya menjepretkan kameranya.

Menurut Dodo, apabila dilihat di malam hari, letusan Anak Krakatau ibarat kembang api di tengah pesta. Setiap sepuluh menit, debu dan lava panas menyembur ke udara mencapai ketinggian 30 hingga 50 meter dari puncak. “Itu bisa dilihat dari Pulau Sebesi,” ujarnya.

Puas menyaksikan atraksi Anak Krakatau, kami kembali ke Kalianda. Pak Doel mengajak kami mengitari Pulau Rakata Besar, Pulau Setiga yang berupa gugusan tiga pulau kecil, Pulau Sebesi, dan Pulau Sebuku. Karena waktu sudah sore, Pak Doel tidak merapatkan boat ke dermaga. Meski hanya sempat melihat dari kejauhan, kami bisa menikmati keindahan yang disuguhkan gugusan-gugusan pulau tersebut. Wisata Anak Krakatau tidak akan terlupakan sepanjang sejarah hidupku.

Sumber: http://ip52-210.cbn.net.id
-

Arsip Blog

Recent Posts