Motif Jumputan, dari Palembang untuk 2011

Tahun 2011, rencananya Kota Palembang, Sumatera Selatan, bakal menjadi tuan rumah SEA Games. Meski masih rencana, Ny Eliza Alex Noerdin, istri Gubernur Sumsel, sudah berancang-ancang akan menampilkan jumputan palembang sebagai motif yang ditampilkan. Dia berharap SEA Games bisa kembali ”mengangkat” pamor jumputan palembang atau sering disebut kain pelangi.

”Kalau songket palembang relatif sudah dikenal luas. Orang di luar Palembang pun tahu songket kami patut dihargai. Padahal, di Sumsel, kerajinan kain di luar songket juga banyak, seperti jumputan dan tajung atau blongsong,” kata Eliza, akhir April lalu.

Apalagi, lanjutnya, bila perancang nasional seperti Ghea Panggabean saja bisa ”melihat” keindahan jumputan palembang, seharusnya masyarakat Sumsel pun dapat menjadikannya sebagai kain untuk berbagai kesempatan. ”Songket sudah menjadi kain untuk acara adat, seperti pernikahan, bahkan suvenir. Kain tajung juga sudah digunakan untuk seragam, setidaknya oleh karyawan di 15 kabupaten di Sumsel. Saya ingin jumputan pun bisa menyaingi ’batik jawa’,” ujarnya.

Eliza ingat, sekitar tahun 1980-an jumputan mengalami booming. Namun, akhir 1990-an permintaan terhadap jumputan semakin menyurut. Memang, dulu, pernah ada anggapan memakai jumputan membuat orang merasa turun gengsi karena harga songket lebih mahal. Jadilah orang memilih memakai songket untuk berbagai acara.

Demi menaikkan gengsi jumputan, Eliza bertekad menggandeng berbagai pihak, seperti perajin, desainer, Kementerian Perindustrian, ataupun Kementerian Perdagangan untuk membuat jumputan menjadi kain layak jual bagi siapa saja.

Dia berharap pelatihan bagi para perajin jumputan, misalnya, bisa meningkatkan kualitas kain itu. Pada sebagian produk jumputan, teknik pewarnaan ataupun pilihan zat pewarna dan bahan bakunya belum bagus. Akibatnya, dalam beberapa kali pencucian, warna bisa pudar dan kainnya pun relatif cepat tampak kusam.

”Jumputan sebenarnya tak pernah benar-benar musnah. Selama ini sebagian orang tetap memakai jumputan, setidaknya untuk latar belakang pelaminan pada pernikahan,” tutur Eliza.

Tahun 1981, Ghea Panggabean menggunakan jumputan palembang untuk rancangan busananya. Dia kembali menggunakan kain dari Palembang itu untuk desainnya pada tahun 2010 ini.

Awalnya selendang

Koordinator Museum Tekstil di Palembang, M Yusef Rizal, bercerita, jumputan awalnya berupa selendang dan umumnya digunakan untuk menari. Akan tetapi, dalam perkembangannya, jumputan selain dipakai sebagai kain dan selendang juga digunakan untuk bahan baju, bahkan kemeja untuk pria.

Dalam kesempatan terpisah, Haji Aceng (30-an), perajin jumputan di kawasan Kebun Pisang, Sebrang Ulu, Palembang, bercerita, sebagian orang menggunakan jumputan untuk berbagai acara, selain pernikahan. Jumputan digunakan, misalnya, dalam perhelatan sunatan, syukuran memberi nama bayi, atau acara yang diadakan pada hari Senin.

Dalam pembuatan jumputan palembang juga dikenal teknik rincek-tritik. Caranya adalah kain dijelujur sesuai dengan pola motifnya. Lalu, benangnya ditarik kuat-kuat hingga berkerut-kerut. Setelah itu, barulah kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna.

”Pengerjaan kain pelangi ini berbeda dengan songket. Teknik pengerjaannya dengan menjahit dan mengikat bagian-bagian tertentu, lalu dicelup dalam larutan pewarna untuk mendapatkan motif yang diinginkan. Teknik ini disebut tie and dye,” kata Yusef.

”Biasanya para perajin jumputan menggabungkan kedua teknik itu,” kata dia menambahkan.

Motif jumputan yang populer adalah bintik tujuh. Namun, belakangan muncul berbagai motif lain, seperti kembang jamur, bintik lima, bintik sembilan, cucung atau terong.

Warna kain jumputan pun mengalami perkembangan. Apabila dulu warnanya cenderung gelap, seperti kehitaman, kecokelatan, atau merah hati, belakangan ini bisa didapatkan kain jumputan dengan warna-warna pastel atau warna yang bergradasi. (BOY/CP)

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts