Nawit, Surga Pesepeda Gunung di Timur Bekasi

Oleh: Tulis Wijanarko

Iming-iming perjalanan kali ini adalah lintasan cross-country yang menantang dan suguhan sop daging sapi untuk makan siang. Soal lintasan, aku tahu pasti trek menuju Nawit ini memang mengasyikan. Aku sudah beberapa kali ke sana dan tak pernah bosan menjelajah bentangan medan yang amat bercorak itu. Tetapi sop daging sapi? Hm, aku benar-benar belum tahu tempatnya dan bagaimana pula rasanya. ”Saya jamin mak-nyus,” ujar Ade Subrata, teman seperjalanan, sebelum kami berangkat, Sabtu, 19 Juli lalu.

Pagi itu, kami berempat berangkat dari gerbang Komplek Gading Timur Indah sekitar pukul 09.00. Sudah agak siang memang untuk memulai sebuah perjalanan. Apalagi di musim kemarau seperti ini sinar matahari sudah menyengat bahkan sebelum tengah hari. Tetapi tak apa, toh, nantinya kami akan banyak mengenjot di bawah rimbun tetumbuhan.

Setelah sepenanak nasi lamanya menggowes, persinggahan pertama adalah Danau Cibeureum—sebuah situ alami dengan luas sekitar satu pedukuhan. Aku agak takjub, sebab biasanya pada puncak musim kemarau situ ini mengering. Bahkan kadang sampai memperlihatkan bagian dasarnya.

Kali ini genangan air terlihat masih cukup lumayan meski tak sepenuh seperti di musim penghujan. Banyak orang asyik memancing hari itu. Beberapa diantaranya ada yang menyeberang ke tengah dan mendarat di ”pulau-pulau” yang muncul akibat susutnya air di sana. Kami berhenti sejenak di bawah pepohonan. Angin bertiup lembut melenakan.

Juli Hantoro mengajak segera meneruskan perjalanan. Aku tahu apa yang ada di benaknya. Sebab, lepas dari danau ini kami akan segera ”blusukan” di pedukuhan-pedukuhan. Di sana kami bagaikan akan memasuki dimensi lain yang jauh berbeda dari keseharian dunia kerja--sebuah rutinitas perkotaan yang begitu menguras perasaan.

Setelah melewati padang yang lengang kami pun memasuki desa Lubang Buaya untuk seterusnya menuju Telajung. Di kawasan perkampungan semacam ini tentu saja kami tak berniat mengayuh pedal dengan cepat. Atmosfer kampung begitu nyaman dan sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Di kota besar kami telah berpacu dengan waktu setiap hari. Kenapa pula di sela-sela pohon besar, halaman-halaman rumah yang luas, bau khas tetanahan, kandang ayam besar berbentuk panggung dari bambu, tatapan ternak yang dilepas bebas, dan senyum warga bersahaja ini, kami mesti berlaku serupa?

Belum lagi hamparan persawahan yang menghijau hingga ke batas gerumbul semak dikejauhan. Komposisi semua itu membuat sang waktu bagai ”seorang” sahabat. Ia tak mengejar-ngejar lagi dengan tongkat gadanya yang siap mementung siapa saja yang lelet. Taufik Kamil yang mengayuh sepeda di depanku bergumam pendek,” Ini semua mengingatkan pada kampungku di Palembang.”

Aku hanya menganggukan kepala. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Karena konsentrasiku saat ini sedang terayun-ayunkan oleh sayup suara perempuan mengaji dari loudspeaker mushola kampung. Dalam kelengangan sekitar, dan hanya ada suara serangga serta angin yang mendesis sayup, lantunan ayat suci dari pengeras suara tua itu justru terasa menghanyutkan. Perasaan kami --aku dan Taufik-- sepertinya sama-sama tengah terbius meski oleh sebab berbeda.

Trek di fase ini cenderung flat. Hanya ada satu turunan tajam dan tanjakan landai menjelang jalan utama yang menghubungkan Lubang Buaya dengan Telajung. Tetapi itu pun sifatnya optional. Para pesepeda bisa memilih jalur alternatif jika tengah segan menjajal nyali di turunan itu . Dan, kami memilih jalur yang aman saja.

Ujian ketahanan fisik (endurance) serius mulai terasa ketika roda sepeda menyusuri perkampungan Cisaat di Kertarahayu. Cukup banyak tanjakan dan turunan panjang yang menguras tenaga di kawasan ini. Nafas mulai memburu. Indera pendengaran seperti tertalu-talu oleh swara ngos-ngosan-ku sendiri. Butiran keringat menyembul lebih banyak di dahi dan kepala. Bahkan sebagian menetes ke tanah yang berwarna coklat dan mulai retak-retak dirajam kemarau itu.

Tetapi tanah yang mengeras oleh kemarau itu sebenarnya menguntungkan kami. Aku ingat waktu menyusuri kawasan ini saat musim hujan dulu. Waktu itu sepeda hanya mampu merayap bagai siput. Tanah yang menjadi lunak sebagian menempel di ban hingga membentuk bulatan tebal seperti kue donat raksasa. Roda hanya mampu berputar pelan.

Hari ini kayuhan tak terganjal kue donat. Memang ada sedikit debu mengepul, tetapi tak sampai menggangu. Dari atas terik matahari menghujam bumi. Untunglah kerimbunan kebon salak yang ujung daunnya saling bertaut mampu menangkis sengatan surya. Kanopi dari daun salak itu seperti undangan bagi kami untuk melesak lebih dalam menyelami rahasia sederhana sang alam.

Lolos dari kebon salak, kami menyusuri sela-sela gerombolan pohon bambu. Kutaksir jumlahnya mencapai ratusan batang di setiap area. Di sini cahaya matahari berusaha menerobos celah bambu membentuk mosaik bayangan yang enak ditonton. Serakan daun bambu kering yang terlindas ban sepeda menimbukan suara berkertap. Meningkahi semua itu, derit batang bambu yang saling bergesekan karena digerakkan angin menimbulkan suara mistis. Kembali aku terbius. Betapa sederhananya cara Sang Pencipta memberi karunia kenikmatan bagi umat-Nya ini.

Tetapi ”Cantik Itu Luka”. Aku segera teringat judul novel karya Eka Kurniawan itu begitu kami menemu gubug tua yang mengenaskan di balik suguhan orkestra alam itu. Sebuah gubug reyot yang terbuat dari papan dan ditinggali seorang janda tua beserta anak cucunya. Kami minta ijin menumpang rehat di pendapa rumah Mak Salim, janda sepuh itu.

Kemiskinan ternyata tak membikin keluarga itu kehilangan keramahan. Empat gelas air putih dihidangkan. Mak Salim terlihat masih energik dengan gaya bicara ceplas-ceplos. Juli iseng bertanya apakah mereka sudah didaftar sebagai penerima BLT. ”BLT? Apa itu?” tanya si mak tak paham. Hatiku gawal. Rupanya masih ada kaum papa yang luput dari jamahan pemerintah.

Hm, rasanya kini aku tahu, ”luka” itu rupanya tergores dari ironi di depan mataku ini. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini nyatanya tak membuat orang-orang seperti Mak Salim bisa lolos dari belitan kemiskinan. Semua ini karena salah urus para penguasa. Pikiran itu masih saja mengganduli benakku ketika perjalanan mesti dilanjutkan.

Salak dan bambu, juga tetumbuhan besar di halaman-halaman luas, terus membayangi sampai kami menembus sebuah singletrack panjang dan berkelok. Jalur tunggal ini berujung pada sebuah jalan tanah lebar yang tampaknya baru ”dibangun” dan segera diaspal. Belakangan aku tahu di ujung Utara lintasan ini tersambung pada jalan aspal yang menghubungkan Setu dan Cibening.

Sebenarnya bisa saja kami mencari singletrack lain. Maklum, trek menuju Nawit memang menyimpan banyak pilihan. Dan, semua alternatif itu saling berhubungan bagai jaring laba-laba. Tetapi kami ingin menjajal lintasan utama ini. Lagipula Nawit sudah dekat.

Kami belok kanan untuk segera menempuh beberapa tanjakan dan turunan landai panjang. Di sebelah kiri membentang terasering petak-petak sawah dan kebon pepaya. Beberepa gerumbul tunas bambu tumbuh tersebar di beberapa tempat bagai para penjaga kawasan hijau ini. Tetapi panorama molek itu harus berebut dengan rasa lelah yang mulai menggerogoti konsentrasi. Matahari telah melewati kulminasi. Sinarnya terasa mendidihkan tubuh. Kami merayap.

Akhirnya, persis ketika cyclometer sepedaku menunjuk angka 27 kilometer, kami mencapai Nawit. Saat itu sudah sekitar pukul 13.30. Misi pertama telah tuntas. Kami istirahat dan mencoba mencecap lingkungan sekitar.

Tempat ini berupa dataran terbuka seluas dua lapangan futsal yang dibatasi Kali Cikarang dan kebun warga di sisi lain. Sebuah warung berdiri persis diujung jembatan bambu yang membentang di atas kali. Inilah warung persinggahan para pesepeda. Di belakang warung ada kebun penduduk. Dan sekitar 100 meter arah ke Timur terdapat sebuah sumber mata air murni. Kebun bambu membuat kawasan ini menjadi sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi menggoda kami berlama-lama rehat di sana.

Dua orang pengunjung --tampaknya warga sekitar-- tengah asyik ngobrol di warung. Tampaknya mereka tak keberatan saat kami ikut nimbrung. Obrolan menjelajah topik banyak hal—termasuk kelangkaan minyak. ”Saya tak percaya lagi pada pemerintah saat ini,” celetuk seorang diantaranya.

Dari Nawit, biasanya para pesepeda melanjutkan ke Bondol—sebuah tempat dengan waktu tempuh tak sampai satu pemutaran kaset ke arah Barat. Rute ini langsung terhubungkan ke berbagai jalur menuju arah kembali ke Bekasi Timur.

Tetapi kami tak mengikuti rute ”tradisonal” itu setelah istirahat kelar. Kang Ade masih punya hutang membawa kami ke warung sop daging sapi di Jayasampurna (Serang Baru) yang ternyata berlawanan arah dengan Bondol. Warung yang baru bisa kami ketemukan setelah sempat nyasar sejauh 10 kilometer.

Tetapi kang Ade memang tidak asal ngecap. Aroma dan rasa sop daging andalan warung sederhana di pinggir jalan (persisnya di samping SD Jayasampurna 02) itu benar-benar nyamleng. Hati yang kesal akibat nyasar pun sontak lumer. ”Wah, kalau warung ini gak ketemu bisa pecah koflik horisontal diantara kita,” celetuk Juli bercanda.

Misi kedua, yakni menikmati sop daging sapi, telah tunai. Dan itulah bekal kami menempuh jalan pulang yang masih menyisakan jarak 20 kilometer...

Sumber: http://gragot.multiply.com
-

Arsip Blog

Recent Posts