Nunik Was Here...

Oleh: Idha Saraswati

Mengikuti sifat mahameru atau mehru, pucuk candi meruncing seperti hendak mempertautkan angkasa, langit, dan bumi. Candi peninggalan zaman Mataram Kuna atau Mataram Hindu bernama Candi Gedongsongo di Bandungan memahkotai kawasan ini sebagai wilayah yang boleh jadi merupakan kawasan terindah di Jawa Tengah.

Udara pagi musim kemarau seperti saat ini membuat kompleks Candi Gedongsongo di Desa Candi, sekitar lima kilometer dari pusat keramaian daerah wisata Bandungan, sempurna keelokannya.

Langit biru sebiru-birunya. Cahaya matahari tidak mengusik kesejukan udara, sebaliknya malah sedemikian menyegarkan paru-paru.

Candi-candi di kompleks Candi Gedongsongo tersebar di lima wilayah, yang satu sama lain terpisah jauh oleh lembah berikut jajaran cemara serta perladangan penduduk dengan tanaman seperti kol dan sawi. Pada kelompok candi kelima, yang berada di posisi bukit paling puncak dengan ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, orang seperti dibawa ke ilusi mengenai ”rumah dewa”-candi kha gra, bahasa Sanskerta yang kemudian menurunkan kata ”candi”.

Tak ada lagi yang melebihi posisi tertinggi candi itu. Ia menyatu dengan kontur lereng Gunung Ungaran—memberikan suatu pekerti mengenai ruang, yang seharusnya dicontoh para pengembang atau siapa saja yang berurusan dengan pembangunan gedung, rumah, vila, dan lain-lain. Dimensi kesakralan alam itulah yang pada umumnya sekarang diacak-acak para pengembang.

Mungkin disebabkan keterjalan kompleks Candi Gedongsongo, kompleks candi ini—setidaknya sampai sekarang—terjaga lingkungannya. Agak berbeda dari kompleks Candi Dieng di Dataran Tinggi Dieng di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo, juga di Jawa Tengah, yang dari waktu ke waktu didesak pertanian penduduk. Sama seperti Candi Dieng, diperkirakan candi-candi itu dibangun pada sekitar abad ke-8-ke-9 Masehi ketika Jawa dikuasai Dinasti Sailendra.

Menurut catatan yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Semarang dalam buku Sejarah Kanupaten Semarang (2007), kompleks Candi Gedongsongo pertama kali ditemukan pada tahun 1740 oleh Loten. Selanjutnya, pada awal 1800-an, Raffles memberi nama ”Gedong Pitoe”, yang mungkin didasarkan pada jumlah temuan candi yang waktu itu masih berjumlah tujuh buah.

Beberapa kali pemugaran dilakukan, seperti di tahun 1928-1929 dan 1930-1931, serta di tahun 1977-1983. Yang terakhir itu dilakukan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah.

Hening

Tak banyak yang berubah dari Candi Gedongsongo, kecuali menara pandang di kawasan ini yang malah ”merusak” pemandangan (menara itu sebaiknya ditiadakan saja. Percayalah, dari perspektif candi yang merupakan hunian dewa, tak dibutuhkan menara lain).

Candi Gedongsongo tetap hening, setidaknya kalau dibandingkan kawasan wisata Bandungan, yang beberapa tempat karaokenya berdentum sepanjang malam sampai pagi. Jika dalam musim liburan seperti sekarang Bandungan bisa kebanjiran sekitar 5.000 pelancong per hari, kira-kira hanya seperlimanya mampir ke Gedongsongo. Pada hari biasa, jumlah pengunjung Candi Gedongsongo antara 100-200 orang per hari.

Menurut Supeno, Kepala Pengelola Candi Gedongsongo, pengunjung Candi Gedongsongo umumnya rombongan anak sekolah, keluarga yang punya minat akan wisata candi, serta para wisatawan asing.

Seperti suatu pagi pekan lalu, selain beberapa turis asing, terlihat sejumlah murid SD dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, dikawal ibu guru mereka yang manis. ”Kalau Bandungan kan tamunya bawa mobil, kalau di sini kebanyakan menengah ke bawah,” kata Supeno.

Untuk menikmati candi-candi di situ, terlebih sampai kompleks candi teratas, dibutuhkan sedikit energi. Dari pintu masuk kompleks candi, diperlukan waktu tempuh sekitar satu jam untuk mencapai dataran paling atas. Bagus untuk olahraga.

Atau pengunjung bisa memilih naik kuda. Di situ banyak penduduk setempat menyewakan kuda. Mereka tergabung dalam Paguyuban Turonggo Mulyo dengan jumlah anggota sekitar 60 kusir kuda. Salah satunya Nur Aziz (18), pemilik kuda, yang mengaku mendapat rata-rata satu sampai dua penumpang setiap hari.

Uang sewa untuk naik kuda adalah Rp 50.000. Dari uang sewa itu para penyedia kuda sewaan ini harus membagi penghasilannya untuk makanan kuda, kira-kira Rp 30.000 per hari. ”Kalau hari biasa (maksudnya bukan musim libur), yang kerja paling hanya setengahnya. Yang lain milih kerja di ladang,” kata Muhtarom (33), yang juga penyedia kuda sewaan di situ.

Jelas ada suasana berbeda di Candi Gedongsongo. Puncak-puncak gunung seperti Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di kejauhan membuat candi-candi di kompleks Candi Gedongsongo terlihat makin anggun. Di antara pembangunan kawasan wisata Bandungan yang menunjukkan tanda-tanda kian berkembang, mudah-mudahan keanggunan Candi Gedongsongo ini tak terusik. Juga janganlah sampai ada tangan-tangan jahil, yang di dekat relief arca Durga Mahisasuramardini di situ, membuat coretan, ”Nunik was here”.

Aduh, siapa Nunik, siapa setega ini…. (BRE)

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts