Perawan yang Mendebarkan

Oleh: Wahidin Soedja

Provinsi Jabar, khususnya di wilayah selatan, memiliki banyak tempat wisata menarik. Selain Pantai Pengandaran di Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran, Kota Banjar, juga ada Cagar Budaya Astana Gede, Gua Donan Kalipucang, Batu Hiu, dan seabrek lokasi wisata lainnya.

Dari deretan objek wisata yang ada, yang suka wisata petualangan, pergilah ke Green Canyon di Desa Kertayasa Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, atau sekitar 31 km dari Pangandaran. Ini perwisataan yang penuh tantangan, membuat tegang, dan tentu saja mengasyikkan. Betapa tidak membuat jantung berdegup-degup, bayangkan saja pewisata mesti menyusuri aliran Sungai Cijulang dengan perahu dan menembus kawasan hutan belantara serta masuk ke dalam gua penuh stalaktit dan stalagmit yang sungguh memesona.

Kali pertama mengikuti wisata air di loka tersebut, saya membayangkan tengah berada di kawasan Hutan Amazon di Amerika Tengah dan Selatan. Yang pasti memang menegangkan ketika perahu kami menerobos stalakmit yang diapit dua bukit batu. Ketika menoleh ke kiri dan kanan pada bagian atas tebing, yang tampak hanyalah kerimbunan pohon: hutan yang jarang dijamah manusia.

Untuk melihat atraksi alam yang yang khas dan menantang itu, wisatawan bisa naik perahu mesin tempel berkapasitas enam penumpang dari dermaga Ciseureuh, Cijulang. Harga sewa per perahu sebesar Rp 70 ribu untuk sekali jalan. Sebelum berangkat, nakhoda meminta penumpang mengenakan pelampung untuk keselamatan selama perjalanan. Pasalnya kedalaman Sungai Cijulang berkisar antara 5 hingga 8 meter, dengan lebar sekitar 40 meter

Detakan cepat jantung bahkan sudah bermula sejak mesin perahu dihidupkan. Apalagi ketika melihat sisi-sisi sungai yang berupa rimbunan pohon, wah tak terkira betapa tegangnya kami. Tapi itu tak bertahan lama-lama. Pasalnya, kami terpesona oleh aliran sungai yang tenang. Airnya pun begitu bening sampai-sampai dasar sungai terlihat jelas. Baru berlalu sekitar satu kilometer, kami merasakan suasana yang begitu sunyi dan mencekam. Hanya suara mesin perahu saja yang terdengar. Pemandangan pun berganti, dan lebih mendebarkan saat perahu menembus hutan belantara dengan pepohonan menjulang tinggi.

***

TENTU saja kami seperahu tak mau terlarut oleh ketegangan dan kesunyian di situ. Ini tips yang pantas dicamkan pelaku wisata petualangan tersebut. Yakni, tetap menjaga kesiapan dari hal yang tidak diinginkan. Meski awak perahu mengatakan bahwa selama ini tidak pernah terjadi kecelakaan perahu terbalik, namun kami memang harus selalu waspada. Dan dengan tetap waspada dan untuk mengalihkan perasaan takut, sesekali penumpang melempar guyonan. Itu supaya suasana jadi cair. Lebih-lebih nakhoda kami adalah orang yang mau memberi penjelasan apa saja mengenai wilayah itu. Dan satu hal lagi, perasan takut itu kami lebur dengan mengobrol bersama teman seperjalanan.

Tapi memang selayaknya pewisata tak perlu terlalu cemas. Sebab, pihak pengelola Green Canyon telah menyediakan tenaga terlatih (SAR) untuk mengantisipasi kecelakaan perahu. Apalagi di perahu tersedia pelampung untuk tiap penumpang.

Perjalanan dari dermana sampai ke hulu yang berjarak tiga kilometer itu kami tempuh dalam waktu 15 menit. Rute tersulit barangkali pada bagian hulu karena sungainya semakin dangkal oleh bebatuan. Maka kami semua mesti turun dan menapaki bebatuan di dasar sungai. Perahu itu kami hela di gua berbentuk terowongan. Di situ udaranya begitu terasa sejuk. Tetesan air dari stalakti mericik ke atas aliran sungai. Memesona benar.

Di situ, yang suka tantangan bisa sekalian saja menembus terowongan dengan berjalan kaki sebelum berenang di bawah Air Terjun Palatar. Aktivitas lain yang dapat dilakukan adalah panjat tebing atau memancing. Menurut Jupri, nakhoda kapal, beberapa pemuda pecinta alam dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta biasanya menembus sampai ke hulu dengan berjalan kaki menapaki bebatuan besar atau memanjat tebing. Jadi, sebelum sampai ke situ, kita bisa menyiapkan perlengkapan panjat tebing atau pakaian renang.

Betapapun penuh tantangan mendegupkan, rekreasi air itu sangat cocok untuk keluarga dan rombongan. Khususnya untuk mereka yang telah penat oleh hiruk pikuk kota besar, dan kesibukan sehari-hari yang menyita waktu. Tempat itu bagus untuk penyegaran pikiran. Paling tidak dengan berperahu di alam bebas, kita pasti akan merasakan sebuah sensasi baru. Pun kita bisa merenungkan sejenak tentang kebesaran Tuhan lewat panorama yang jarah dijamah manusia tersebut. Masih ada lagi. Selama dalam perjalanan, kita juga bisa melihat sebenarnya masih banyak kekayaan alam kita yang belum dieksplorasi. Buktinya, kami melihat begitu banyak buah yang matang di pohon. Tak terambil, termasuk buah kelapa yang mengering kering di pohonnya.

''Betapa mengesankan melintasi Sungai Cijulang ini. Tak rugi berpenat-penat melakukan perjalanan ratusan kilometer dari tempat saya ke sini,'' ujar Sasono (52), seorang wisatawan.

Sang nakhoda menyarankan, kalau ingin berlama-lama di hulu, sebaiknya kita membawa perbekalan makanan dan minuman. Sebab, di sana tidak ada orang jualan. Bagian di sekitar hulu itu, lanjut dia, sering dijadikan tempat syuting film laga dan iklan produk tertentu. Pada hari Minggu atau libur, lalu lintas perahu yang melintasi Sungai Cijulang cukup padat. Karena itu, pengelola usaha perahu yang ditangani kelompok penggerak pariwisata (Kopepar) Ciamis, menangani lalu lintas perahu secara profesional. Terutama ketika akan melewati batu besar di tengah sungai bagian hulu, salah satu perahu harus berhenti menepi. Itu agar tidak terjadi tabrakan antarperahu. Seorang petugas yang berdiri di atas bebatuan memberi aba-aba dengan tanda merah dan hijau layaknya lampu bangjo di jalan.

Yang pasti, Green Canyon sangat menarik untuk didatangi. Kealamian alamnya membuat tempat itu mirip seorang perawan yang membuat jantung berdebar-debar tapi selalu menggoda lelaki untuk mendekatinya.

Cukang Taneuh dan Bill John

KAWASAN wisata Green Canyon mulai ramai dikunjungi wisatawan sekitar tahun 1990. Sebelumnya tempat itu hanyalah kawasan wisata air yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Warga setempat semula menyebutnya dengan Cukang Taneuh (jembatan tanah). Sebab, pada hulu sungainya terdapat terowongan yang merupakan jembatan tanah selebar 3 meter dengan panjang 40 meter. Jembatan itu merupakan penghubung Desa Kertayasa dengan Desa Batukaras. Perlu ditambahkan bahwa di Desa Batukaras itu terdapat Pantai Batukaras yang terkenal sebagai kawasan berselancar air (water surfing).

Nama Green Canyon kali pertama dilontarkan oleh turis Amerika bernama Bill John yang datang ke lokasi itu. Sekitar tahun 1989, dia menyusuri Sungai Cijulang dengan perahu kayuh (tanpa mesin). Sepulang dari perjalanannya, dia memberikan komentar bahwa sungai tersebut persis dengan Green Canal di Colorado-Amerika Serikat atau di Okazaki, Kyoto, Jepang.

Namun kata Hasan, ketua Kopepar di Cijulang, ada juga yang berpendapat, sebutan Green Canyon itu dari dua orang wisatawan asal Prancis dan Swiss bernama Frank dan Astrid. Entah siapa yang benar, yang jelas, nama tersebut kini sudah melekat di hati masyarakat setempat.

Bisa dibilang, awal perwisataan ke Green Canyon bermula dari Dermaga Ciseureuh. Sarana parkir yang luas memudahkan pelancong yang datang dengan mobil pribadi atau pun bus. Tentu saja ada juga fasilitas lain berupa warung makan, toilet, dan mushala. Jadi, setelah penat menyusuri sungai, kita bisa menikmati aneka makanan khas Jabar di situ.

Hasan mengatakan, pengelolaan jasa angkutan perahu dari dermaga ke hulu telah mampu menghidupi masyarakat setempat. Kepemilikan perahu memang harus melalui Kopepar, termasuk pengoperasiannya. Mereka mengangkut penumpang berdasarkan nomor urut yang sudah ditetapkan.

”Jadi kalau hari ini hanya sepuluh perahu yang jalan, maka nomornya 1 sampai 10. Besoknya dilanjutkan nomor 11 dan seterusnya,” tandasnya seraya menginformasikan ada 150 perahu yang siap mengantar wisatawan.

Dia juga menambahkan, sebelum dikelola Kopepar, pengelolaannya kurang teratur. Masing-masing perahu terkadang saling berebut penumpang sehingga sering jarang muncul keributan. Sekarang semua jadi lebih tertib. Pengaturan itu juga berlaku dalam penghasilan pemilik perahu. Catat saja, perolehan Rp 70 ribu untuk sekali jalan itu dibagi-bagi untuk setor kas daerah, asuransi, pemilik perahu, dan kas Kopepar.

Oh ya, untuk mengunjungi kawasan tersebut, sebaiknya kita memilih waktu pada musim kemarau. Sebab, pada musim tersebut air sungainya sangat jernih dan berwarna hijau toska. Itu pesona yang bisa membuat pengunjung merasa betah berada di atas perahu. (Wahidin Soedja/73)

Sumber: http://suaramerdeka.com
-

Arsip Blog

Recent Posts