Potret Desa Dalam Pembangunan

Peresensi : Supriyadi*)

Judul Buku : Gagalnya Organisasi Desa Dalam Pembangunan Di Indonesia
Penulis : Budi Winarno
Penerbit : Tiara Wacana, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : xviii + 242 halaman
Harga : Rp 30.000,-

Mungkin, dalam masa yang sering dikatakan orang adalah era modern ini banyak orang risih jika mendengat kata desa. Konotasi-konotasi buruk yang mereka asumsikan terhadap desa menjadikan desa tak lebih dari tempat kumuh. Desa yang dikonotasikan oleh orang-orang perkotaan atau orang-orang yang ‘sok kota’ sebagai pelosok, tidak modernis, dan penduduknya kolot serta tradisionalis seolah menjadi ungakapan yang semakin membuat citra buruk pada desa.

Di balik itu semua, sebenarnya pedesaan adalah salah satu jantung suatu negara. Tanpa desa, negara tidak akan berisi icon-icon penting. Bahkan orang-orang kota atau yang sok kota itu akan menyesali asumsinya jika mengetahui bahwa desa merupakan pemeran penting dalam suatu kemakmuran dan kesejahteraan negara. Selain itu, desa juga merupakan varian utama yang sebading dengan kota.

Memang benar jika istilah desa itu identik dengan masyarakatnya yang miskin, tradisionalis, dan kolot. Namun sebenarnya desa mempuyai keluhuran dan kearifan lokal yang luar biasa. Desa terkait erat dengan yang namanya tanah luas. Dan tanah luas itu dijadikan lahan untuk pertanian. Sementara hasil pertanian itulah yang mampu menyuplai dan mendistribusikan bahan makanan ke seluruh negeri, bahkan hingga diekspor ke luar negeri. Tentunya suplai dan distribusi tersebut juga tidak terkecuali kepada perkotaan. Jadi, desa juga mempunyai peran penting dalam kemakmuran suatu negara.

Buku “Gagalnya Organisasi Desa Dalam Pembangunan Di Indonesia” yang ditulis oleh Budi Winarno menggambarkan bagaimana potret organisasi desa dalam pembangunan Indonesia yang mana fokusnya adalah pada bidang pertanian dan industri desa. Dengan mengkomparasikan dengan sistem pemerintah terhadap organisasi desa di Taiwan, Thailand, dan Filipina.

Dari komparasi Negara-negara tersebut, Taiwan merupakan negara yang berhasil dalam pembangunan desa. Penerapan pendekatan teknokratis yang ditunjang dengan reformasi lembaga-lembaga pertanian, memungkinkan perhimpunan petani secara efektif memenuhi kebutuhan semua warga desa dalam program pembangunan desa. Redistribusi tanah secara signifikan melemahkan pengaruh tuan tanah dan dominsai elit desa terhadap perhimpunan petani dapat dihilangkan. Dengan demikian, semua petani dapat berperan dan memiliki akses yang sama dalam perhimpunan petani (hal. 39). Tidak hanya para tuan tanah saja yang bisa mengakses dan mendominasi perhimpunan petani, namun semua petani bisa melakukannya baik itu petani buruh ataupun tuan tanah. Semuanya merata dan tidak ada diskriminasi.

Berbeda dengan Taiwan yang berhasil dalam organisasi desanya, Thailand dan Filipina gagal dalam pembangunan desa. Pembangunan desa yang menekankan peningkatan produksi pangan dijalankan dengan mengorbankan petai miskin. Strategi dan kebijakan pemeritah dalam pembangunan desa telah dselewengkan oleh tuan tanah. Akhirnya, kapitalisme yang terjadi.

Lembaga-lembaga yang didirikan untuk menpromosikan pembangunan pedesaan dan untuk mendorong partisipasi masyarakat miskin tidak sanggup dan tidak memadai dalam mengartikulasikan kepentingan petani miskin. Di samping itu, lembaga tersebut didominasi oleh elit-elit desa yang menggunakan organisasi tersebut untuk melayani kebutuhan mereka sendiri. Karena hal itu, peningkatan produktivitas dan produksi pertanian secara dramatis beriringan dengan meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan dalam distribusi pendapatan di antara penduduk desa.

Potret di Thailand dan Filipina tersebut merupakan sampel buruk dalam pembangunan desa. Lain halnya dengan Taiwan, pembangunan pedesaan dan keberhasilan dalam menerapkan land reform menjadi model ideal dalam melakukan pembangunan desa. Begitu juga diiringi dengan meningkatnya produksi pertanian serta kemakmuran dan kesejahteraan para petani kecil yang bukan tuan tanah.

Bagaimana dengan di Indonesia? Keadaan para petani dan organisasi petani di Indonesia tidak lebih baik dari Thailand dan Filipina. Pada masa rezim orde baru (era Soeharto), pemerintah memang menyediakan fasilitas seperti KUD untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun sayang, fungsionalisasi dari fasilitas tersebut lambat laun didominasi oleh para elit pedesaan. Sementara para buruh dan petani miskin menjadi korban dari sistem tersebut. Memang benar pada masa itu produktivitas pertanian terutama padi meningkat secara signifikan. Namun seiring dengan hal itu, diikuti dengan semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran.

Kemudian bagaimana nasib kehidupan desa saat ini yang bergantung pada pertanian sementara pertumbuhan penduduk meningkat tajam? Dengan meledaknya pertambahan penduduk tersebut, semakin sempit area (tanah) yang digunakan untuk lahan pertanian. Pastinya, akan bertambah pula kesulitan para petani kecil. Hal itu diperparah dengan maraknya beras impor yang merajai pasar saat ini.

Sudah menjadi kemasyhuran bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang mana tidak sedikit penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Nasib mereka sebenarnya sangat naïf jika melihat kondisi perekonomian Indonesia sekarang. Sudah banyak berita yang menginformasikan tentang gagalnya para petani. Bahkan, para petani yang malang tersebut masih dicekoki dengan penipuan-penipuan. Salah satunya, bibit padi super toy yang katanya adalah bibit unggul ternyata tak lebih bagus. Super toy tersebut ketika diujicobakan terbukti tidak berkualitas. Bukankah itu suatu penipuan?

Kemudian pada tahun 2006, banyak petani bahkan mayoritas petani mengalami kebangkrutan. Pada waktu itu, panen bawang merah yang seharusnya menguntungkan, ternyata malah menjadi hal yang membangkrutkan. Hasil panen bawang merah yang melimpah itu ternyata harganya turun drastis padahal ketika musim tanam, harga bibit bawang merah tersebut sangat melambung. Akibatnya, para petani mengalami kerugian yang sangat besar.

Dan sekarang yang masih menjadi keresahan para petani adalah distribusi pupuk yang tidak merata. Hal itu diperparah dengan kenaikan harga pupuk dan prosedur pembelian pupuk yang dipersulit. Akibatnya, para petani yang mengolah sawahnya harus lebih kalkulatif dalam menggunakan pupuk karena ada pembatasan pembelian pupuk.

Potret organisasi desa di Indonesia masih dirasakan gagal dalam pembangunannya karena organisasi desa banyak diselewengkan oleh kaum elit desa dan mengorbankan para petani miskin. Sebagaimana buku “Gagalnya Organisasi Desa Dalam Pembangunan Di Indonesia”, penulis sepertinya mengasumsikan strategi land reform Taiwan sebagai model ideal yang boleh jadi relevan bila diaplikasikan di Indonesia. Apalagi, Indonesia adalah negara agraris. Dengan demikian, desa yang merupakan salah satu bagian dari Indonesia terhapus dari marginalisasi.

*) Peresensi adalah Pustakawan dan Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta.

Sumber: http://oase.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts