Robo-robo di Negeri Opu

Oleh: Muhlis Suhaeri

Mereka percaya, ritual ini merupakan satu cara melakukan tolak bala.

Rabu minggu terakhir bulan Safar, pada kalender Hijriah, bagi masyarakat keturunan Bugis di Kalimantan Barat merupakan hari yang selalu diperingati dengan sebuah tradisi Robo-robo. Pada hari istimewa itu saya pun tidak melewatkan kesempatan untuk menikmati kegiatan memperingati kedatangan pendiri Kota Mempawah itu.

Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Dari Kota Pontianak, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Jaraknya sekitar 40 kilometer. Meski agak bergelombang, jalan relatif mulus dan beraspal. Tanah gambut membuat jalan selalu ambles dan retak, terutama pada setiap sambungan jembatan.

Hari itu saya berkendara menuju Mempawah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, di beberapa daerah saya berhenti untuk melihat prosesi itu. Masyarakat Bugis yang tersebar di sepanjang garis pantai utara Kalimantan Barat, dari Mempawah, Sungai Purun, Segedong, Sungai Kakap, sampai Kubu Raya, dan lain-lain, melakukan kegiatan Robo-robo.

Di Sungai Purun, 22 kilometer dari Pontianak, saya berhenti di Sekolah Dasar 1 Sungai Purun. Pagi itu semua murid di sana, yang terdiri dari beragam etnis, berkumpul. Ada Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, Dayak, Madura, dan lain-lain. Mereka membawa ketupat, lepat lao, apam, atau makanan kecil lainnya. Ketupat merupakan makanan wajib yang harus dibawa.

Saya menghampiri seorang murid. "Bawa apa itu?" "Ketupat." "Bawa berapa?" "Empat butik."

Murid itu bernama Sahrul, 9 tahun. Sambil berkata, ia memperlihatkan ketupat di kantong plastik hitam yang dibawanya. Ketupat berisi mi, sambal, dan rebon udang.

Tak hanya Sahrul yang bawa ketupat ke sekolah. Sarnela dan Edi Gunawan, murid kelas III, juga bawa. Sebagian besar siswa di sana membawa makanan. Namun, ada sebagian siswa yang tak bawa makanan.

Tak hanya siswa. Guru juga bawa ketupat. Sebagai lauk, ada opor ayam, ikan, telur, dan lain-lain. Menjelang pukul 08.00 WIB, siswa berkumpul dan berderet di depan kelas. Mereka duduk memanjang dan berderet di lantai sekolah yang terbuat dari kayu.

Pipin, 38 tahun, guru olahraga, segera membawa nampan dan mengedarkannya ke barisan siswa. Siswa meletakkan satu atau dua ketupat yang mereka bawa ke nampan. Dalam sekejap, nampan itu telah penuh. Ketupat segera dibagikan lagi kepada siswa yang tak bawa makanan.

Sebelum siswa dan guru makan bareng, guru agama membaca doa tolak bala. Doa berisi harapan supaya kehidupan yang dijalani dijauhkan dari malapetaka. Dalam kegiatan itu, soal makanan nomor dua. Yang penting kumpul bareng antara siswa dan guru.

"Apa makna Robo-robo?" tanya saya. "Robo-robo punya nilai kebersamaan dan kesatuan," jawab Pipin.

Setelah makan bareng, mereka mengikuti berbagai kegiatan. Ada pertandingan olahraga atau perlombaan, seperti lomba makan kerupuk, panjat pinang, dan tarik tambang.

Wagiyem, 57 tahun, yang sudah mengajar di SD 1 sejak 1977, mengatakan setiap tahun kegiatan itu pasti diadakan. "Biarpun kecil, kegiatan memperingati Robo-robo selalu dilakukan," ujarnya.

Sang kepala sekolah, Surip, 50 tahun, baru empat tahun mengajar di sana. Ia berasal dari Jawa. Meski bukan dari suku Bugis, ia juga merayakannya. Ini bentuk pembauran dan mengikuti perkembangan lingkungan. "Ada kebersamaan dan saling menghargai," kata Surip.

Pagi itu tak hanya murid di SD tersebut yang makan bersama. Masyarakat Bugis di sepanjang jalan dari Pontianak menuju Mempawah memperingati acara Robo-robo dengan makan bersama keluarga di luar rumah. Mereka percaya, hal itu merupakan satu cara melakukan talak balak dalam kehidupan yang mereka jalani kelak.

Selepas mengikuti kegiatan di SD itu, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Mempawah. Mempawah merupakan kota transit. Meski terlihat bersih dan tertata, dari segi pembangunan, kota ini terlihat jalan di tempat. Tak ada sentra industri atau kegiatan ekonomi yang cukup berarti di sini.

Yang bisa menunjukkan kota ini ada, di sini terdapat berbagai bangunan dan kantor pemerintah. Itu pun, sebagian besar pekerja dan pegawainya tinggal di Kota Pontianak. Mereka pulang sore hari, setelah bekerja.

Tiba di Kuala Mempawah, suasana sudah terlihat ramai. Jalanan penuh orang. Di sudut kiri dan kanan jalan, orang mendirikan warung kecil. Ada warung makan dan minuman, pakaian, serta suvenir, yang berlangsung setahun sekali saat Robo-robo.

Kuala Mempawah merupakan pertemuan antara Sungai Mempawah dan Laut Cina Selatan. Tempat ini menjadi pusat pelaksanaan kegiatan Robo-robo. Tempat ini dibagi dua. Sisi sebelah kiri menjadi pelabuhan penangkapan ikan, dan sebelah kanan pusat armada Angkatan Laut.

Pelaksanaan kegiatan Robo-robo dipusatkan di sebelah kiri Kuala Mempawah. Sebuah tenda besar berisi kursi dan tenda berdiri di sana. Pagi itu Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat, dan beberapa pejabat teras di Kabupaten Pontianak, hadir di sana.

Saya mengikuti sebuah perahu yang menuju ke ujung Kuala Mempawah. Di pinggir laut itu puluhan perahu telah berada di sana. Semua perahu dalam kondisi diam, dan melempar sebuah jangkar agar perahu tak terseret ombak.

Sebuah perahu warna kuning terlihat mencolok berada di antara puluhan perahu. Perahu ini bernama Lancang Kuning, yang merupakan perahu Kerajaan Amantubillah Mempawah. Di dalam perahu itu puluhan orang mengenakan seragam kebesaran kerajaan. Ada warna kuning, merah, hitam, dan lainnya. Berbagai simbol dan bendera kerajaan berkibar diterpa angin.

Pagi itu laut di pinggir kuala terasa berbeda. Kesemarakan warna-warni bendera, baju, dan berbagai perlengkapan upacara terasa kontras dengan warna langit yang mendung dan gelap.

Dari arah laut, tampak sebuah perahu berisi puluhan orang sedang mendekati kuala. Perahu itu diikuti puluhan perahu kecil. Perahu agak besar itu berisi Raja Kerajaan Amantubillah, Mempawah, Pangeran Ratu Dr Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim. Ia menggunakan perahu Bedar.

Sejenak kemudian, perahu Bedar mendekati perahu warna kuning. Pangeran Pemangku Adat, yang berada di perahu Lancang Kuning, segera melakukan ritual Buang-buang.

Perangkat Buang-buang terdiri dari telur ayam, bertih, kemenyan, dan setanggi. Telur ayam diulas atau diusap dengan minyak wangi. Telur melambangkan awal kehidupan. Bertih adalah padi dari beras kuning yang diongseng. Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran di seluruh penjuru angin, air, dan darat.

Setelah Pemangku Adat membacakan doa, semua perangkat Buang-buang dilempar ke laut. Selepas acara itu, Pemangku Adat mengumandangkan azan dan doa talak balak.

Buang-buang mempunyai makna ada keterikatan dan silaturahmi dengan air. Di air ada makhluk dan kehidupan. Ini sangat khas sekali dengan budaya dan tradisi masyarakat Bugis, yang tidak bisa dipisahkan dari air. Terkenal sebagai pelaut yang mengarungi berbagai lautan, Bugis selalu dekat dengan air.

Inilah makna dan inti Robo-robo. Penyambutan Opu Daeng Menambon, ketika berlayar menuju Kuala Mempawah dari Kerajaan Tayan di Kalbar. Tayan sekarang ini termasuk wilayah Kabupaten Ketapang.

Ketika itu, 1737 Masehi atau 1148 Hijriah, seluruh masyarakat di Mempawah menyambut dengan antusias kedatangan Opu Daeng Menambon. Masyarakat berdiri di sepanjang bantaran Sungai Mempawah. Saking senangnya, Opu Daeng Menambon melemparkan sisa bekalnya berupa ketupat kepada masyarakat.

Nah, sekarang ini, setiap kali acara Robo-robo, ketupat merupakan makanan yang harus selalu dihidangkan. Robo-robo merupakan napak tilas Opu Daeng Menambon dan istrinya. Opu keturunan Bugis dan Melayu. Istrinya, Ratu Kesumba, keturunan Dayak, Melayu, dan Jawa. Opu punya panglima dari berbagai suku. Patih Kumantar dan Panglima Itam dari Dayak. Panglima Amangkuru, Parewang, dan Sigentas Alam dari Melayu. Lo Tai Pak dari kelompok etnis Tionghoa. Karaeng Talibe, Matalampang, dan Bontiak dari Bugis. Panglima Daeng Siti Fatimah, anak Sultan Hasanuddin, meninggal dan dimakamkan di Tanjung Matoa, Kalbar.

Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas bukit. Jaraknya sekitar delapan kilometer dari Mempawah. Makam itu dijaga oleh juru kunci, Gusti Amar, seorang mukti, atau orang yang ahli dalam masalah agama.

Makam terletak di atas bukit. Dari bawah menuju puncak bukit, melalui tangga semen sebanyak 256 undak. Ada mitos mengatakan, bila orang menghitungnya dari bawah, jumlahnya tidak akan sama setiap orang.

Selesai ritual Buang-buang, perahu Bedar dan Lancang Kuning segera menyusuri Sungai Mempawah, menuju tempat berlangsungnya upacara. Di panggung kegiatan, puluhan pejabat dan undangan sudah hadir. Ribuan masyarakat dengan sabar berdiri di sisi kiri dan kanan sungai. Mereka dengan antusias menunggu pelaksanaan kegiatan dan perlombaan perahu yang bakal dilaksanakan, selepas upacara selesai.

Selepas kegiatan seremonial, kegiatan para pejabat dan undangan dilanjutkan di Istana Amantubillah. Bangunan Istana Amantubillah mempunyai karakteristik khas sebagai bangunan Melayu. Seluruhnya dari kayu belian atau kayu besi. Ini jenis kayu paling kuat dan keras dari Kalimantan. Bangunan dari kayu belian sanggup bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Seluruh bangunan istana dicat biru muda. Di sebelah kiri bangunan utama ada ruang untuk menyimpan peralatan musik, sejenis gamelan. Ada gong, kimung, dan lain-lain. Seluruh peralatan itu persembahan dan oleh-oleh dari kerajaan di Jawa, ratusan tahun silam. Dua buah meriam tergeletak di sisi kiri dan kanan halaman istana.

Istana Amantubillah mempunyai lambang ayam jantan dan buaya. Ayam warna hitam dan putih. Ayam melambangkan kejantanan dan keberanian. Hitam melambangkan kejahatan, putih kebaikan. Artinya, kehidupan jangan terlalu memandang duniawi. Buaya melambangkan keperkasaan dan kekuatan.

Sekarang ini, mereka yang memegang tampuk dan kerabat istana merupakan generasi ke-13 dari Opu Daeng Menambon. Ada hierarki dan struktur di Istana Amantubillah. Masing-masing memiliki tugas tersendiri.

Jabatan tertinggi dipegang Pangeran Ratu, berperan dalam urusan kenegaraan. Tugas ini dipegang oleh Mardan Adijaya. Pangeran Pemangku Adat, mengurusi masalah adat, dipegang Gusti Zulkarnaen. Pangeran Laksamana, berhubungan dengan kelaskaran, prajurit, atau massa, dipegang Gusti Heri Ansari. Pangeran Bendahara, berhubungan dengan manajerial dan urusan rumah tangga Istana, dipegang oleh Utin Sri Beta Candramidi.

Penunjukan jabatan berdasarkan aura kepemimpinan, juga kecakapan pada diri orang yang menjadi anak para ahli waris istana. Penunjukan diputuskan melalui rapat Majelis Amantubillah, dilihat dari keturunan terdekat dengan keluarga sebelumnya.

Siang itu seluruh undangan dari berbagai kerajaan di Nusantara hadir. Ada utusan dari Kerajaan Sambas, Sintang, Landak, Sekadau, Tayan, Kubu, Ketapang, Solo, dan Kanoman. Tamu dijamu di Istana Amantubillah dengan saprahan.

Hidangan makanan saprahan dijaga rasa dan keasliannya. Endun, juru masak istana, mengemukakan, dalam saprahan menunya khas berupa udang sere, ikan pindang, ayam opor, osengan, dan sop.

Minumannya, air serbat, terbuat dari serai cengkih, kayu manis, dan cengkih. Minuman ini berfungsi mengembalikan kesehatan tubuh. Kue terdiri dari bingka labu kuning, kue jorong, dan tepung beras dibungkus daun pandang wangi. Makanan yang tak boleh diubah, ayam masak putih dan udang sere. Kue jorong tak boleh tertinggal. Setiap tahun harus ada.

Dengan melaksanakan ritual Robo-robo setiap tahun, para kerabat Istana Amantubillah merasa bisa menjaga dan meneruskan puak Opu Daeng Menambon serta menghormati dan menjaga tradisi warisan turun-temurun sehingga tetap eksis.

Muhlis Suhaeri, Penikmat Wisata

Sumber: http://www.korantempo.com
-

Arsip Blog

Recent Posts