Selamatkan Stasiun Tawang!

Oleh: Mohammad Agung Ridlo

KEBERADAAN Stasiun Tawang Semarang sebagai salah satu bangunan kuno harus diselamatkan dan dilestarikan. Stasiun rancangan JP de Bordes, dan dibangun 29 April 1911, sekarang dalam keadaan sekarat menghadapi rob dari Laut Jawa maupun banjir di musim hujan.

Selain itu, aset-aset PJKA berupa lahan tidak terkelola dengan baik, sebagian dimanfaatkan masyarakat sebagai kawasan permukiman. Termasuk kawasan di koridor atau bantaran jalur rel kereta api (lihat saja koridor dari arah Jakarta ke Stasiun Tawang). Sampai saat ini, kawasan ini sudah demikian rapat dan padat oleh permukiman slums dan squatters.

Kondisi eksisting tersebut tentu menyalahi peraturan Aanvullende Bepalingen Spoor en Tramwegen (ABST) Pasal 21 tentang larangan menanam tumbuhan dan mendirikan bangunan (gedung, tembok, pagar, tanggul) di dekat jalur rel kereta api. Tertulis pada peraturan tersebut, ’’Dalam jarak 11 m dari sumbu jalan baja terdekat bagi tanaman dan dalam jarak 20 m bagi gedung-gedung atau lain-lain bangunan, jika jalan baja lurus. Pada jalan baja yang membelok, maka jarak tersebut menjadi 23 m untuk yang terletak di lengkungan dalam’’. (Sumber: Keputusan Direktur Jenderal Perkeretaapian dan Menteri Perhubungan, 2000:21).

Bantaran rel KA adalah garis batas luar pengamanan jalur rel kereta api. Jalur KA adalah daerah yang meliputi daerah manfaat jalan kereta api, daerah milik jalan kereta api, dan daerah pengawasan jalan kereta api, termasuk bagian bawah dan ruang bebas di atasnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.

Ruang bebas dalam pengertian jalur rel KA adalah ruang tertentu yang senantiasa bebas dan tidak menganggu gerakan kereta api sehingga kereta api dapat berjalan dengan bebas dan aman (Keputusan Menhub Nomor: KM 52 tahun 2000, Pasal 1 ayat 3 dan 7).

Kondisi eksisting permukiman warga yang berupa slums dan squatters dibangun sangat dekat dengan jalur rel kereta api, yaitu sekitar 3 m. Kawasan ini tentu merupakan kawasan yang rawan terjadi kecelakaan, baik terhadap warga maupun permukimannya.
Pengembangan Tawang Oleh karenanya, ke depan Stasiun Tawang perlu dikembangkan. Pertama, penataan area / kawasan jalur transportasi dan penyelamatan aset-aset lahan milik PT KAI. Artinya, permukiman slums dan squatters yang makin rapat dan padat di sepanjang koridor jalur rel kereta api tampaknya memerlukan ketegasan dari Pemerintah Kota Semarang.

Kebijakan dan peraturan mengenai peruntukan bantaran rel kereta api harus dilaksanakan secara konsekuen, guna menghindari kecelakaan dan korban jiwa saat terjadi kecelakaan kereta api. Namun demikian perlu dipikirkan solusi yang tepat dalam merelokasi penduduk dari bantaran rel kereta api.

Kedua, pengembangan bangunan Stasiun Tawang. Dalam pengembangan bangunan stasiun perlu difikirkan pelestarian bangunan kuno sebagai peninggalan budaya. Contohnya Stasiun Manggarai dan Gambir di Jakarta, yang tetap melestarikan bentuk bangunan kunonya.

Pengembangan bangunan Stasiun Tawang sangat diperlukan, karena kapasitas stasiun ini sudah padat oleh penumpang (beserta pengantar dan penjemput). Bangunan yang ada seka-rang mungkin tetap dilestarikan, namun tak menjadi stasiun utama. Bisa saja dijadikan bangunan untuk ticketing, restoran, lobi, dan lain-lain.

Di sisi lain, perlu dibangun stasiun yang lebih modern, yang berfungsi sebagai stasiun masa depan yang mampu mengantisipasi kemajuan teknologi perkeretaapian yang berkembang pesat saat ini. Konsekuensinya adalah pengelolaan aset-aset lahan PT KAI.

Saat ini banyak aset-aset lahan yang dimanfaatkan masyarakat sebagai area permukiman. Hal ini karena masih kurang dan lemahnya manajemen PT KAI dalam pengawasan aset-aset yang dimiliknya.

Ketiga, bagaimana jika sarana KA dikembangkan sebagai moda angkutan transportasi massal Kota Semarang dan sekitar. Gagasan ini dilontarkan karena melihat sejarahnya dulu, Gedung Lawang Sewu merupakan kantor pusat Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda (NIS), dengan stasiun-stasiun trem yang tersebar di Semarang seperti stasiun pertama Samarang NIS di Tambaksari, dan Halte Kemijen yang tidak jauh dari Samarang NIS, berada pada jalur Semarang-Demak.

Ketika NIS membangun stasiun baru di Tawang, sebagian Stasiun Samarang NIS dirobohkan dan hanya menyisakan gudang barang (sekarang dikenal sebagai Stasiun Semarang Gudang).

Tentunya dibutuhkan ahli-ahli perkeretaapian seperti Djoko Setiyowarno, Tjahyono Rahardjo dan lainnya untuk memikirkan kereta api sebagai angkutan massal di Semarang dan sekitarnya. Ini untuk menjawab problem kepadatan dan kemacetan lalu lintas akibat moda angkutan darat lain yang penuh polusi. (32)

— Ir Mohammad Agung Ridlo MT, ketua Pusat Studi Planologi Fakultas Teknik, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Sumber: http://suaramerdeka.com
-

Arsip Blog

Recent Posts