Daya Tarik Turis yang Terpinggirkan

Oleh A Ponco Anggoro

Delapan anak muda yang terbagi dalam dua kelompok bersiap-siap di garis start. Masing-masing kelompok membawa sebilah bambu dengan panjang 50 sentimeter dan lebar 10 sentimeter. Saat aba-aba lomba dimulai, setiap anak dari masing-masing kelompok secara bergantian berlari membawa bambu tersebut.

Jangan bayangkan bambu itu digenggam di tangan. Hampir setiap bagian tubuh, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala digunakan untuk membawa benda tersebut. Awalnya ditaruh di atas telapak kaki, kemudian beralih ke punggung kaki, atas paha, bahu, telinga, dan terakhir ke atas kepala.

Menjaga keseimbangan bambu agar tetap berada di setiap bagian tubuh merupakan hal terpenting selain berupaya menjadi yang tercepat mencapai garis finis. Hal itu tentu tak mudah. Karena itu, tak jarang beberapa kali bambu itu terjatuh.

Itulah gambaran salah satu olahraga tradisional yang ada di Pulau Babar, Maluku Barat Daya. Namanya lew lyewi. Permainan khas Pulau Babar ini mewakili Provinsi Maluku dalam Festival Olahraga Tradisional Ke-7 yang digelar di Ambon, Maluku, Jumat (16/7/2010) dan Sabtu (17/7/2010).

Lew lyewi kerap dimainkan warga Babar seusai panen raya jagung, antara Maret dan April setiap tahunnya. Olahraga ini sengaja diciptakan nenek moyang warga Babar untuk mengingat aktivitas selama masa panen.

”Ko’ot (kantong dari anyaman daun lontar) yang membawa jagung dipikul di kepala, punggung, dan bahu. Kaki yang kuat dibutuhkan untuk membawa ko’ot. Makanya, bambu yang dimainkan saat lew lyewi ditaruh di setiap bagian tubuh, mulai dari ujung kaki sampai kepala,” kata Niko Mose, Manajer Anak Jemaat Asal Letsiara, yang menampilkan permainan lew lyewi dalam festival olahraga tradisional itu.

Tidak banyak masyarakat Maluku yang mengenal permainan ini. Di Kabupaten Maluku Barat Daya, menurut Niko, olahraga ini pun sudah jarang dimainkan. Kalaupun ada, pemainnya belum tentu tahu makna di balik olahraga tersebut.

Olahraga ujungan dari Bekasi yang mewakili Jawa Barat dalam festival itu pun mengalami nasib serupa. Menurut Nomir Ismail, Ketua Kelompok Putra Budaya, yang menampilkan ujungan pada festival itu, kini tinggal tersisa dua kelompok yang sering menampilkan olahraga tradisional itu. ”Sudah hampir punah. Pemain di dua kelompok seni yang tersisa itu pun usianya mayoritas sudah di atas 40 tahun,” ujar Nomir.

Ujungan seperti olahraga pencak silat. Hanya bedanya setiap pemain membawa sebilah rotan sebagai senjata dan rotan itu tidak boleh dipukulkan ke badan atau kepala lawan. Rotan hanya boleh dipukulkan ke kaki. Ujungan pun sering diselingi canda pesilat yang bertarung agar penonton tidak bosan atau tegang menonton pertarungan tersebut.

Konon, ujungan telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Olahraga ini sering dimainkan seusai panen raya sebagai cara tuan tanah mencari jawara yang bisa dijadikan tangan kanannya.

Sangat disayangkan jika ketangkasan dan kecepatan yang disajikan dalam lew lyewi atau kekuatan dan jenaka pesilat yang diperagakan dalam ujungan tidak dapat dilihat lagi di kemudian hari karena kian terjepit arus globalisasi.

Tidak akan pula kita melihat warga Kepulauan Yappen, Provinsi Papua, yang melukis tubuh mereka saat memainkan permainan hantu, yang mereka sebut wori, atau adu kepala dalam olahraga tradisional asal Desantori, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, yang disebut ntumbu.

”Padahal, sudah jelas yang ditawarkan oleh olahraga tradisional ini tidak kalah menarik dengan olahraga modern yang sudah dikenal selama ini,” kata Bambang, perwakilan kontingen dari Jawa Tengah, yang memainkan olahraga tradisional lempar bola atau disebut balangan.

Daya tarik
Olahraga tradisional sebenarnya tidak hanya mampu meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Apalagi, jika mengingat olahraga tradisional sering menampilkan gerak dan kostum yang tergolong menarik serta sarat sejarah dan makna.

Asisten Deputi Olahraga dan Rekreasi Kementerian Pemuda dan Olahraga Bambang Laksono mengatakan, festival olahraga tradisional yang digelar dua tahun sekali ini merupakan upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali olahraga tradisional di setiap daerah. Setidaknya, olahraga tersebut tidak punah dan tak dilupakan masyarakat.

Pemerintah, katanya, juga berupaya menetapkan olahraga tradisional sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan secara rutin. ”Sekarang sudah ada 11 olahraga tradisional yang ditetapkan menjadi cabang olahraga dan dua lagi sedang dalam proses,” ujar Bambang.

Memang, kata Bambang lagi, tidak semua olahraga tradisional bisa ditetapkan sebagai cabang olahraga. ”Hanya olahraga tradisional yang berkembang di sejumlah daerah yang mirip permainannya yang berpeluang menjadi cabang olahraga,” katanya.

Upaya lain yang ditempuh untuk melestarikan olahraga tradisional adalah memperkenalkannya di sekolah. ”Ini mengingat banyak anak-anak yang tidak lagi tahu olahraga tradisional di setiap daerah,” tutur Nomir Ismail.

Upaya tersebut tentunya perlu dukungan banyak pihak. Dengan begitu, olahraga tradisional yang sejatinya merupakan bagian dari keragaman budaya sekaligus menjadi jati diri bangsa akan lebih mengakar dan tak hilang ditelan perubahan zaman.

-

Arsip Blog

Recent Posts