Keragaman Budaya dan Etnik

Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma-Jakarta

Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform, Joseph Check (2004), mengajukan pertanyaan menarik tentang muatan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. "Dapatkah sistem pendidikan sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang isu ras, bahasa, dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang diharapkan?" Pertanyaan sangat serius ini mengundang kita untuk menjawab bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-isu tersebut sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality) pendidikan juga masih rendah.

Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan itu salah satunya dengan membuat atau memasukkan agenda keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional. Menurut Ronal Ferguson (2002), respons dan pendekatan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap prestasi anak di sekolah, terutama menyangkut sikap dan perilaku siswa dalam memandang perbedaan.

Selain kebutuhan instingtif dari siswa dalam memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam kurikulum juga akan meminimalisasi pemahaman siswa terhadap monopoli kebenaran dalam beragama. Selain itu, alasan lainnya mengapa kita membutuhkan muatan keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum adalah untuk mengubah dan menambah respons pedagogis guru dalam mengajar. Jika guru memiliki kepekaan budaya dan etnik yang kuat, respons pedagogis guru akan meningkat dengan sendirinya.

Melalui pendekatan muatan kurikulum berbasis budaya, respons pedagogis para guru terhadap siswa juga akan berbeda, dan hal tersebut dengan sendirinya akan membantu siswa dalam mengaksentuasinya keragaman budaya di lingkungan sekolah (Gordy & Pritchard, 1995).

Mencintai keragaman dapat berarti banyak hal bagi bangsa Indonesia. Apalagi di tengah mencuat dan menguatnya ancaman terorisme yang jelas sangat tidak pro terhadap fakta keragaman. Jelas sekali bahwa kebutuhan memasukkan muatan budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan akan menjadi tonggak penting dalam mereduksi paham-paham keagamaan yang salah. Kritik sekaligus pukulan dari para pelaku teror sesungguhnya menguatkan asumsi tentang kebutuhan akan muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan kita.

Harus diakui bahwa acuan utama terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif adalah pemahaman tentang ragam budaya atau multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Watson 2000).

Dalam konteks keragaman budaya, multikulturalisme sangat menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Paham multikulturalisme yang akan kita kembangkan melalui muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum di sekolah harus mampu mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu pola pembelajaran yang demokratis, pendidikan dan pengembangan SDM yang mengakui kesederajatan (equity and equality), keadilan, dan penegakan hukum, juga memikirkan tema-tema tentang kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Sekolah yang ingin mengembangkan paham multikulturalisme juga harus mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang akan digunakan serta ruangan pendukung sekolah sesuai dengan pola keragaman budaya, agama, dan suku bangsa seluruh siswa. Sementara itu, penilaian siswa dilakukan dengan mempertimbangkan asas sensitivitas kultural dan agama siswa sehingga secara proporsional mampu mengembangkan bakat dan minat siswa yang secara langsung juga dapat mendukung budaya sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang juga merefleksikan keragaman budaya, agama, dan etnik.

Pendidikan multikultural berangkat dari konsep atau teori melting-pot, yakni satu proses seseorang atau kelompok dengan latar belakang etnik dan budaya berbeda berlebur dan menjadi bagian dari proses sosiologis yang lebih luas, suatu proses kompromi yang ditandai dengan saling menghargai dan menghormati di antara kelompok dan pada saat bersamaan menghargai identitas budaya lain dalam masyarakat. Pengertian semacam itu selanjutnya bisa dilihat dalam empat elemen berikut, yaitu (1) gerakan; (2) pendekatan kurikulum; (3) proses; dan (4) komitmen.

Dengan demikian, dalam pendidikan multikultural, aspek-aspek seperti sikap yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami perbedaan ideologi, dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya dan agama), diakui sebagai modal penting bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat.

Agen pertama yang akan menyampaikan paham dan ideologi keragaman budaya itu adalah para guru yang lebih dapat mengerti aspek kebutuhan pedagogis dalam mengajar. Artinya, tanggung jawab dan respons guru secara budaya juga akan memperkuat proses pemahaman siswa terhadap keragaman budaya dan etnik sebuah suku bangsa.

Lampost 27 Agustus 2009

-

Arsip Blog

Recent Posts