Alam dan Adat Dayak sebagai Aset Wisata

Oleh Muhammad Syaifullah dan Defri Werdiono

”Sebelum pilkada Juni lalu, salah satu tim sukses calon gubernur Kalimantan Selatan sempat diusir oleh Damang (kepala adat masyarakat Dayak) ketika menawarkan penambangan modern di Loksado. Tim sukses itu pun langsung pulang,” tutur Kinoi, salah seorang warga Loksado, dua pekan lalu.

Apa yang diceritakan Kinoi menjadi gambaran bahwa masyarakat setempat ingin Loksado dengan kondisi alamnya yang indah bergunung-gunung tetap dipertahankan. Keindahan alam ditambah atraksi budaya masyarakat menjadi aset besar yang bisa digali untuk kepentingan masyarakat.

Sekarang tinggal bagaimana pengelolaan kekayaan alam dan potensi masyarakat itu menjadi sumber yang lebih menguntungkan. Jangan sampai Meratus, khususnya Loksado, yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, habis oleh keserakahan sebagian orang, seperti yang sudah terjadi di daerah lain, berupa kerusakan lingkungan.

Efek selanjutnya diharapkan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat karena selama ini masyarakat lebih banyak bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan. Mereka mengandalkan dari karet dan kayu manis, yang harganya terkadang membaik, tetapi tidak jarang juga merosot.

Kegiatan budaya
Mindri, Kepala Desa Tumingki, salah satu dari 11 desa di Kecamatan Loksado, menyatakan sangat setuju jika kegiatan budaya, utamanya upacara adat, seperti aruh ganal, dijadikan obyek wisata. Alasannya, upacara yang dilakukan dalam rangka panen ini menarik perhatian masyarakat luar. Sebutlah wisatawan dalam negeri pun tertarik menyaksikannya.

Apalagi, tidak ada aturan yang membatasi kedatangan pengunjung. Siapa saja boleh masuk kampung dan balai adat selama masih dalam waktu yang ditentukan. Artinya, mereka tidak datang terlambat. ”Datanglah sebelum prosesi dimulai,” ujar Mindri.

Apa yang dikatakan Mindri cukup beralasan karena di Loksado terdapat 43 balai adat, yang mana sebagian di antaranya menggelar ritual secara berkesinambungan, minimal dua kali dalam setahun. Wisatawan yang ingin menikmati upacara adat bisa bermalam di kampung dan menikmati alam pegunungan yang masih asli.

Senada dengan Mindri, Udin Semprong, Kepala Desa Kamawakan, mengaku, selama ini belum ada sentuhan optimal terhadap ritual masyarakat Dayak. Aruh masih digelar apa adanya.

”Semestinya bisa diolah sedemikian rupa sehingga lebih menarik untuk disuguhkan kepada wisatawan,” katanya.

Sejauh ini, menurut Udin Semprong, masih ada beberapa kendala yang dihadapi, salah satunya adalah menyangkut promosi. Kurangnya promosi membuat wisatawan yang datang masih dalam jumlah terbatas. Mereka umumnya mendengar keberadaan aruh dari mulut ke mulut.

”Kalau ada yang menginformasikan, ya mereka datang. Kalau tidak ada yang menginformasikan, tidak ada yang tahu,” ucapnya.

Masalah ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku pariwisata. Bagaimana menyinergikan obyek wisata yang sifatnya alam dengan obyek wisata budaya.

Diakui, jumlah obyek wisata alam di Loksado cukup banyak. Di kawasan ini terdapat sedikitnya enam air terjun, yakni Air Terjun Haratai, Riam Hanai, Kilat Api, Rampah Menjangan, Pemandian Anggang, dan Tinggiran Hayam. Satu lagi obyek menarik adalah pemandian air panas Tahuni.

Selain air terjun, obyek yang juga menarik untuk dirasakan adalah menyusuri hulu Sungai Amandit dengan menggunakan rakit bambu (bamboo rafting). Dengan membayar Rp 250.000 untuk sekali jalan, kita bisa menikmati suasana tepian Sungai Amandit sejauh 8 kilometer ke arah hilir.

Kita tidak saja bisa melihat pepohonan dan kebun, tetapi juga aktivitas warga Dayak yang tinggal di tepi sungai: bagaimana mereka mencari ikan, mencuci dan mandi di sungai, hingga membelah bambu untuk dijual ke daerah lain.

Satu buah rakit—terdiri atas sejumlah batang bambu yang diikat menjadi satu—bisa dinaiki oleh dua orang plus satu petugas (joki). Berbeda dengan rafting pada umumnya, rafting menggunakan rakit bambu membawa sensasi tersendiri dalam merasakan kondisi jeram yang terkadang tenang dan terkadang terjal.

Di tengah perjalanan terkadang joki turun ke air untuk mengendalikan rakit yang menyangkut di batu. Tak jarang mereka beristirahat sejenak mengganti tali-temali rakit yang putus akibat gesekan dengan batu.

Transportasi
Selain promosi, masalah lain yang juga menghadang untuk tujuan wisata adalah transportasi. Mindri dan Udin Semprong mengaku, masalah transportasi masih menjadi kendala utama.

Untuk masuk ke Kampung Tanginau, misalnya, pengunjung harus berjalan kaki atau naik ojek yang disediakan warga dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit. Ongkos satu kali jalan dari Loksado ke kampung yang berjarak kurang dari 6 kilometer itu mencapai Rp 25.000 per orang.

Akses masuk ke kampung Tanginau masih berupa jalan setapak yang cukup sulit ditempuh saat hujan. Kondisi jalan berbatu dan berlumpur kerap membuat roda sepeda motor selip. Kalau sudah begini, tentu pembonceng harus turun.

Di beberapa ruas, pengendara juga harus berhenti untuk memberi kesempatan kepada pengendara lain dari arah berlawanan. Kita harus turun dan menunggu karena jalanan berkelok dan naik-turun cukup curam.

Begitu pula jika ingin pergi ke Desa Haratai yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Loksado. Cara yang sama harus ditempuh oleh pengunjung. Padahal, di tempat ini ada obyek wisata menarik berupa air terjun dan listrik tenaga mikro hidro hasil pengembangan masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah.

Transportasi ke Loksado sebenarnya cukup mudah dijangkau. Jika menggunakan mobil pribadi dari arah Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, diperlukan waktu sekitar empat jam (jarak tempuh 150-an km). Sementara jika langsung dari Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, diperlukan waktu sekitar 30 menit (jarak tempuh 35-an km).

Camat Loksado Rubingan mengatakan, sejauh ini kegiatan aruh memang masih dilakukan secara alami. Kecuali ada tamu, seperti pejabat atau wisatawan yang datang dalam jumlah besar, baru disuguhkan atraksi budaya seperti aruh. ”Kalau aruh yang benar-benar tradisi ini kan sifatnya menyangkut keyakinan, asli. Jadi, sangat bergantung pada masyarakat sekitar,” ujarnya.

Rubingan mengaku bahwa aset wisata lain yang terkait alam sudah sangat dikenal, seperti Air Terjun Haratai dan pemandian air panas Tanuhi.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Suriani sendiri mengaku telah membina pengembangan tradisi dan kekayaan alam itu sebagai bagian dari aset wisata.

Promosi pun sudah dilakukan, selain mengembangkan fasilitas penginapan dan kolam renang, seperti pemandian air panas Tanuhi.

-

Arsip Blog

Recent Posts