Dik Pardjo

Cerpen Dharmadi

“Hati-hati lho Mas, siapa tahu Dik Pardjo ikut aliran sesat, atau kaki tangan teroris. Dan yang jelas Dik Pardjo perlu diwaspadai karena latar belakang orang tuanya,” kata Pak Bagio suatu sore, mengingatkanku, ketika dia datang ke rumah menjelang maghrib untuk menyerahkan kartu keluargaku yang baru.

Ketika aku tanyakan tentang apa yang dimaksud dengan latar bekang orang tua Dik Pardjo, Pak Bagio hanya berkata, ”Kapan-kapan Mas, panjang ceritanya”.

Dik Pardjo dapat dikatakan penghuni baru, unda-undi denganku, ya paling selisih sekitar dua tiga tahunan, lebih dulu aku. Tetapi kalau dikatakan baru juga tidak untuk dik Pardjo karena ia yang bertempat tinggal di rumah ibunya, yang sekaligus bersama ibunya, sepintas pernah mengatakan padaku pada awal-awal kenal, “Sesungguhnya saya penduduk asli kampung ini lho Mas”.

Nenek moyang sampai orang tuanya dan juga kelahiran dan masa kecilnya, Dik Pardjo bertempat tinggal di desa ini.

Tentang aku sendiri kenapa bisa bertempat tinggal di sini dan kenal Dik Pardjo, begini ceritanya; karena kebijakan pemerintah daerah, salah satunya dalam pengembangan kota, desa ini dimasukkan menjadi salah satu bagian wilayah kecamatan kota.

Harga tanah menjadi mahal, karena banyak orang luar membeli tanah di desa ini, ada yang untuk rumah, untuk simpanan, untuk kegiatan usaha, salah satunya usaha perumahan, dan aku mengambil kredit perumahan dari salah satu pengembang.

Akhirnya banyak penduduk asli desa tergiur untuk memiliki uang banyak, mereka menjual sawah ladangnya, dan tak sedikit yang menjual rumah yang didiami beserta tanahnya, kemudian memilih pindah membangun rumah di tempat lain yang lebih minggir.

Tinggal beberapa penduduk asli yang masih tetap tinggal, di antaranya orang tua Dik Pardjo, yang tinggal ibunya, dan Pak Bagio.

Untuk menuju ke kompleks perumahan itu, harus melewati jalan utama desa, yang kebetulan ada di depan rumah dik Pardjo. Dan kebetulan, rumah yang kuamibl lokasinya sekitar sepuluh rumah setelah rumah dik Pardjo.

***
Suatu malam, sehabis isya Pak Bagio datang ke rumah. Nampaknya memang khusus untuk bercerita tentang Dik Pardjo. Khususnya tentang latar belakang orang tuanya, yang pernah dijanjikan Pak Bagio dulu, kapan-kapan akan diceritakan padaku.

“Orang tua Dik Pardjo dulu termasuk 'tokoh' lho Dik. Rumahnya sering digunakan untuk kumpul-kumpul warga desa yang komunis. Malah kepala desanya juga sering datang. Bukan itu saja; ada polisi, ada tentaranya, malah sesekali pak camat juga datang. Alasannya berkesenian.

Bapak Dik Pardjo membentuk paguyuban kesenian Jawa. Rumahnya untuk latihan gendingan dan nari. Juga membentuk perkumpulan wayang orang. Ternyata itu hanya untuk alat dalam penyebaran ideologi dan pembentukan kader.

Maka ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI, bapak Dik Pardjo ikut diciduk. Dan hilang tak pernah ada kabarnya sampai sekarang. Beberapa bulan kemudian, juga ibunya diciduk, tetapi tak lama, hanya sekitar dua bulan ditahan, kemudian dikembalikan.

Tak lama setelah ibunya kembali, Dik Pardjo dengan dua adiknya diambil oleh saudaranya dari pihak ibunya. Adiknya yang bungsu, yang masih menyusu waktu itu, tetap tinggal bersama ibunya.

Puluhan tahun tak ada kabarnya. Dan sekarang Dik Pardjo kembali. Maka kita harus waspadai dia, segala solah tingkahnya dan juga tamu-tamunya. Siapa tahu kalaupun dia tidak langsung mendapat indoktrinasi tentang ajaran komunisme dari bapaknya, karena waktu itu masih kecil, paling tidak dia kan mendengar dari pembicaraan tamu-tamu bapaknya waktu itu.

Dan paling tidak, kita waspadai, karena siapa tahu, selama ini, sebelum pindah ke sini, Dik Pardjo masuk aliran sesat dan menjadi anggota teroris.” Begitu cerita Pak Bagio.

***
Tamu-tamu Dik Pardjo memang banyak. Tiap hari sejak pagi hingga sore, sebagian besar dari lain daerah. Ada juga warga kampung, tetapi tak sebanyak dari luar. Ternyata itu pasien-pasiennya, ada yang baru ada yang langganan. Ternyata Dik Pardjo menjalankan penyembuhan alternatif dengan cara pemijatan.

“Bagaimana mulanya Dik, kok bisa mijat ?” pertanyaan awalku membuka percakapan ketika aku penasaran ingin tahu tentang kemampuan mijatnya sehingga banyak pasiennya; aku datang ke rumahnya, kupilih hari di mana Dik Pardjo libur tak membuka praktek, untuk minta dipijat.

“Panjang ceritanya Mas, dan belum tentu Mas Wachid percaya.”

“Coba ceritakan Dik, aku percaya.”

“Tentang siapa aku mestinya Mas Wachid sudah tahu dari Pak Bagio.”

“Ya, sepintas.”

“Tentang orang tuaku?”

“Ya.”

“Ya, itu benar yang diceritakan Pak Bagio. Pada rame-ramenya peristiwa G30S, bapakku dianggap PKI, sehingga dianggap terlibat dan diambil. Tak pernah kembali sampai sekarang.. Beberapa bulan kemudian, setelah bapak diambil, ibuku juga diambil, tetapi tak lama, kalau tak salah ingat sekitar tiga bulan, ibuku kembali.

Kami, aku dan kedua adikku, kemudian diambil saudara-saudara dari pihak bapak dan ibu. Kecuali adikku yang ragil, waktu itu tetap dengan ibuku, karena umurnya baru setahun dan masih nyusu.

Aku diambil budhe, kakak dari ibuku yang ada di kota lain, sedang kedua adikku diambil oleh saudara lain dari garis bapak. Sekarang mengkureb mas”, perintah dik Pardjo, agar aku merubah posisi tubuh yang semula telentang.

“Kenapa mesti di PKI-kan dik?”

“Bapakku punya gamelan dan mendirikan paguyuban kesenian Jawa. Di rumah menjadi tempat latihan njoged dan nggamel, juga mendirikan paguyuban wayang orang.”

“Di samping itu?” Aku kaget dengan pertanyaanku sendiri. Kok seperti penyelidik saja; ”maaf Dik,” aku takut Dik Pardjo tersinggung.

”Ndak pa-pa mas. Terkadang habis latihan, bapak-bapak dan ada juga ibu-ibu tak terus pulang. Mereka ngobrol-ngobrol sambil minum kopi. Apalagi kalau pas pak lurah atau pak camat datang.
Yang sering aku dengar mereka membicarakan bagaimana meningkatkan mutu pementasan, menyiapkan untuk pentas kalau ada tanggapan, dan bagaimana meningkatkan kesejahteraan anggota paguyuban; ya penabuh gamelan, ya penarinya.”

“Lalu bagaimana Dik Pardjo kok bisa mijat?”

“Bukan aku yang mijat mas.”

“Lha wong jelas dik Pardjo yang mijat kok.”

“Aku hanya sebagai sarana. Aku tak pernah belajar mijat, dan tak pernah berpikiran untuk menjadi tukang pijat mas, tiba-tiba saja bisa mijat.”

“Aneh, dik Pardjo belajar ngelmu?”

“Tidak juga.”

“Lalu?”

“Sejak kecil bapakku selalu mewejang aku. Kamu jangan berpikir untuk menjadi apa-apa. Tapi engkau harus berpikir untuk menjadi orang baik dan berguna; baik dan berguna bagi dirimu sendiri dan bagi kehidupan. Mengasihi pada sesama, mencintai milik Tuhan yang ada di dunia; ya manusia, ya hewan, ya tanam-tanaman, serta alam seisinya. Sudah mas mijatnya.”

“Lho, satu jam sendiri. Tadi mulainya kan setengah delapan, sekarang setengah sembilan”, kataku, setelah mengambil jam tangan yang kuletakkan di bawah bantal dan melihatnya.

”Teruskan dik.”

”Apanya mas?”

“Ceritanya.”

"Ndak bosan mas ?”

“Menarik.” Kami tetap duduk di dipan berkasur tempat mijat.

”Sebentar mas, aku bilang istri untuk buatkan kopi dulu sambil cuci tangan.”

“Dan bapakku sering mengatakan bahwa Tuhan itu ada pada diri sendiri sambil ujung jari telunjuk kanannya disentuhkan ke dada sebelah tengah. Kalau kita berbuat jahat, berarti Tuhan tak ada di diri kita. Dan sebaliknya; kalau kita berbuat baik, berarti Gusti Allah ada di diri kita,” kata dik Pardjo kemudian setelah kembali dari cuci tangan.

Terlintas dalam pikiranku, apakah ini yang menjadikan orang-orang PKI dicap tak bertuhan, mempertuhankan diri sendiri?

“Dan kata bapakku, Gusti Allah ada di mana-mana yang selalu bisa mengawasi kita. Ketika aku sedang duduk bersama dengan bapakku, bapakku sering berkata; Gusti Allah ada di sini lho Le, begitu bapakku memanggilku Thole; melihat perilaku kita. Maka jangan senang berbohong. Kita bisa membohongi orang lain, tapi tak bisa membohongi diri sendiri. Dan Tuhan selalu tahu , karena Tuhan ada di diri sendiri itu Le. Begitu bapakku sering mulang aku."

“Gila,” tak sadar terucap kata itu.

“Siapa yang gila mas, bapakku?”

“Oh, tidak, bukan,bukan bapakmu. Gila benar wewarah itu; sangat dalam.”

“Dan bapakku selalu mengingatkan; agar aku terus ingat Gusti Allah. Ketika akan tidur, sedang duduk, waktu makan, ketika jalan, bepergian, dengan cara menyebut nama Allah. Sesukanya menyebutnya; bisa Gusti Yang Maha, atau Allah, Allah, Allah, atau Gusti Kang Murbeng Dumadi. Selalu. Tak usah dengan kata-kata, tetapi dengan dibatin saja. Katanya biar selamat hidup saya, karena Gusti Allah akan selalu menemani. Tuhan tak di mana-mana. Begitu kata bapakku.. Dan wulangan itu aku jalankan terus sampai sekarang.”

“Lalu tentang kebisaanmu mijat dik?”

“Ini ghaib mas, sulit untuk dipercaya. Yang jelas suatu ketika, sekitar tujuh tahun yang lalu, ada tamu datang ke rumah. Aku tak kenal. Dia menganjurkan, kalau pas berdoa malam, aku kalau malam memang sering bangun duduk merenung sambil menyebut-nyebut nama Allah, seperti yang diajarkan bapakku dulu, agar telapak tanganku saling dirapatkan posisi menyembah di dekatkan dada.

Entah dari mana dia tahu aku sering bangun malam. Dan benar malamnya aku coba, telapak tanganku bergetar, kemudian bergerak memijiti tubuhku sendiri dari kepala sampai ujung-ujung jari kaki.

Sejak itu, aku bisa mijat dan sepertinya ada yang menuntun tanganku ketika mijat dengan gerakan yang tak aku sadari. Ada suara dalam batinku, yang menyuruh untuk mijat ini, mijat itu. Aku hanya mengikuti secara otomatis.

Sudahlah mas, sudah malam, nanti ditunggu mbakyu. Tapi aku wanti-wanti lho mas, pesan jangan diceritakan kepada siapa-siapa. Baru mas saja yang aku ceritai. Sebab aku percaya, akan perkawanan kita Mas.”

“Kenapa Dik Pardjo kok mesti pulang ke sini?”

“Aku kasihan ibu sudah tua, sendirian. Umurnya sudah berjalan tujuhpuluh tahun. Dan ibu sendiri menghendaki aku pulang untuk menemani sampai saatnya nanti-sampai saat meninggal dunia. Aku minta agar ibu ikut aku atau salah satu anaknya, ibu tak mau. Katanya ingin tetap di rumah ini sampai saatnya mati, karena rumah ini punya riwayat dalam hidupnya. Rumah dari orang tuanya.”

***
“Nampaknya mas Wachid tambah akrab saja dengan dik Pardjo,” kata pak Bagio malam ini, ketika pak Bagio kembali datang ke rumah untuk mendata kami, sebagai calon pemilih dalam pemilu.

“Ah, ya biasa-biasa saja mas. Lha wong namanya tetangga, apalagi saya kan orang baru.”

“Tapi hati-hati lho mas, dengan keramahan dik Pardjo. Jangan sampai nanti mas Wachid bisa-bisa terlibat dengan gerakannya.”

“Gerakan apa mas?”

“Kan kita harus waspada. Bahaya latent komunis. Siapa tahu di samping gerakan terorisme yang dilakukan oleh pengikut Islam yang fundamental, yang garis keras, orang-orang PKI memanfaatkan ikut numpang untuk mengacaukan keadaaan sehingga terganggu kestabilan kehidupan bangsa.”

“Lha wong PKI sudah tidak ada kok ditakuti mas.”

“Tapi ideologinya kan tak pernah mati. Yuk, kapan-kapan rumah dik Pardjo kita datangi, kita selidiki, siapa-siapa saja tamunya. Siapa tahu kegiatan mijatnya untuk kamuflase.”

“Jangan Pak jangan. Kan dik Pardjo sudah punya ijin buka praktek penyembuhan alternatif. Dan ditempuh dengan prosedur yang benar. Lewat rt, rw, kelurahan, dan dinas kesehatan. Dan saya kira dari banyaknya orang yang mendatanginya, penyembuhan alternatif yang dijalankan banyak yang cocok.

Aku juga cocok, pinggangku yang selalu nyeri kalau dingin, setelah dipijat dua kali oleh dik Pardjo sembuh. Padahal sudah tahunan lho Pak, sudah aku pijatkan ke mana-mana tak sembuh-sembuh juga.”

***
“Kenapa sih Dik, Pak Bagio begitu tak senang pada Dik Pardjo”; aku tak tahan lagi, ingin tahu tentang begitu tak senangnya Pak Bagio pada Dik Pardjo, ketika Dik Pardjo datang ke rumah, suatu hari untuk meminjam gergaji.

“Biarkan saja Mas, yang penting tak merugikan saya.”

“Tak merugikan bagaimana, lha wong ingin nggropyok rumah Dik Pardjo segala”. Secara ethika sesungguhnya tak benar aku menceritakan itu. Adu domba. Tapi aku sudah tak sabar lagi ingin tahu yang sebenarnya, agar tak sepihak hanya dari Pak Bagio tentang Dik Pardjo.

“Lha biarkan saja nggropyok to mas, dari pada sas-sus di luar; kan kasihan Pak Bagio tersiksa batinnya sendiri.”

“Ceritakan Dik, khusus untuk aku saja.”

“Aku takut kalau dikatakan memfitnah mas. Ini katanya lho mas, pak Bagio dulu menyenangi ibuku.”

“Tak mungkin kalau hanya karena cinta tak sampai masih dendam pada anaknya; mesti ada yang lebih prinsip dari hanya masalah percintaan.”

“Ya.”

"Apa?”

“Sudahlah mas, tak usah aku ceritakan, malah bikin nelangsa saja. Biarkan mas, masa lalu berlalu.” Aku tak memaksanya lagi, dik Pardjo pamitan pulang.

***
Beberapa hari terakhir ini aku tak melihat dik Pardjo, dan rumahnya sepi, tak ada pasien. Pintunya lebih sering tertutup kalau aku kebetulan lewat di depannya. Ah, mungkin ada panggilan ke luar kota, sebab dik Pardjo memang sering terima panggilan.

Suatu sore ketika aku sedang nyirami tanaman, istri dik Pardjo datang.

”Wah rajinnya mas; mbakyu ada?”

“Cari keringat; ada..ada, di dalam; Bu, jeng Pardjo,” agak berteriak kupanggil-panggil istriku. “Silahkan Jeng”. Istri dik Pardjo terus masuk, aku meneruskan nyirami. Tak lama istriku balik memanggilku, ”Pak, pak sebentar.”

Kuletakkan slang plastik, kumatikan kran setelah aku mencuci tangan dan kaki. Kudekati istriku yang masih berdiri di pintu samping. ”Sebentar pak, jeng Pardjo mau bicara”. Nampaknya serius, batinku.

“Maaf mas, mengganggu” kata Jeng Pardjo begitu aku duduk di depannya. Sebelum aku menjawab Jeng Pardjo sudah menyambung, ”sudah dua belas hari ini bapaknya anak-anak tak pulang mas.”

“Ke mana? Kan biasanya ada panggilan ke luar kota?”

“Ya memang. Tapi tak selama seperti sekarang ini. Biasanya paling lama lima hari. Kalaupun dilanjutkan, dia pasti pulang dulu dua tiga hari.”

“Jeng tahu ke mana perginya?”

“Katanya mau mijat ke luar kota. Ada seorang laki-laki bawa motor menjemput mas Pardjo, katanya ibunya sakit.”

“Katanya apa sakitnya, kok tidak langsung datang saja?”

“Katanya stroke sudah agak lama tak bisa jalan.”

“Tahu namanya? alamatnya?”

“Tidak.”

***
Aku datang ke rumahnya sore ini sehabis ashar. Pak Bagio sakit. Dia berusaha bangkit dari tempat tidurnya, untuk menyambutku; masih nampak lemas.

”Sudah Pak, tiduran saja, maaf baru bisa nengok, pekerjaan kantor numpuk, harus dilembur; sudah berapa hari ?”

“Sekitar lima hari.”

“Sudah ke dokter? katanya apa?”

“Sudah, gejala tiphus.”

Kami bicara ngalor ngidul. Cerita apa saja.

“Mas, mas, apakah orang yang telah mati ruhnya bisa mendatangi yang masih hidup?” tanya pak Bagio setelah kami sesaat saling berdiam.

"Ada apa sih Pak, kok tanya tentang itu?”

Pak Bagio tak langsung menjawab; pandangnya menerawang; sepertinya ada sesuatu yang ditakutkan. “Dik Pardjo apa mungkin sudah….?” Pak Bagio menghentikan kata-katanya, nampak takut.

Aku tahu apa yang dimaksud; Dik Pardjo apa mungkin sudah mati.

“Lho kok bertanya begitu; yah mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan pada dik Pardjo; kita doakan saja semoga dik Pardjo selamat, malah tambah pasien sehingga belum sempat pulang.”

Pak Bagio kembali diam. Kemudian kembali berkata, ”Aku sering membaui bau kembang ketika lewat di depan rumah dik Pardjo lho Mas; panjenengan tak pernah?”

“Ah mungkin bau kembang tetangga.”

“Tidak mas, baunya seperti bau kembang orang mati, juga aku sering mimpi, dik Pardjo datang, tapi diam saja tanpa berkata-kata.”

Aku tak berkomentar, kualihkan pembicaraan, tak lama; kemudian aku pamit pulang; ”Semoga lekas sembuh Pak, jangan berpikir yang bukan-bukan."

Adzan maghrib mengiringi langkahku pulang; aku ingat cerita isteriku, menceritakan cerita jeng Pardjo yang diceritakan padanya.

"Dulu Pak Bagio menguasai tanah orang tua dik Pardjo. Waktu itu Pak Bagio sebagai Komandan Anti PKI menggerebek rumah orang tua dik Pardjo. Di samping ‘membawa’ bapak dik Pardjo, juga membawa berkas-berkas yang ada termasuk di dalamnya berkas bukti pemilikan tanah.

Tanah orang tua dik Pardjo yang katanya telah dikuasai pak Bagio itu, dijual pada pengembang perumahan yang salah satu rumahnya aku kredit ini.

Dan juga cerita jeng Pardjo, yang ‘mengambil’ ibunya dik Pardjo untuk ditahan, ya atas perintah pak Bagio, meskipun pak Bagio tak langsung datang sendiri seperti ketika menangkap bapaknya.

Ibunya dilepaskan dengan perhitungan, mau dinikahinya kelak. Ternyata ibunya tetap menolak.

Aku tak bisa mengatakan benar atau tidak cerita istri Dik Pardjo; yang katanya ia tahu dari suaminya, juga ibu mertuanya sendiri yang bercerita.

Tetapi yang jelas Pak Bagio nampaknya benci sekali dengan dik Pardjo, seperti yang kutangkap dalam ceritanya, yang sampai sekarang belum juga pulang, dan perginya dijemput orang untuk minta tolong mijat ibunya.

Kini pak Bagio sakit, sering mimpi didatangi dik Pardjo, juga sering membaui bau bunga kubur ketika lewat di depan rumah dik Pardjo.

*****
2005-2007

-

Arsip Blog

Recent Posts