"Gladiator" dari Bumi Sasak

Tubuh seringan kapas, tangan secepat kilat, dan kuda-kuda sekuat baja. Sorot mata tajam tak berkedip mengintai lawan seperti elang menandai mangsa. Satu gerakan salah, batok kepala taruhannya. Saat bilah rotan mulai mengayun, hanya ada dua pilihan; tertunduk pulang sebagai pecundang atau diarak sebagai pemenang.

Begitulah permainan tradisional perisean yang berlangsung selama berabad-abad di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Seni tradisional suku Sasak (suku asli Lombok) yang mempertemukan dua lelaki petarung di satu arena. Pertunjukan adu kejantanan ini mirip-mirip tradisi gladiator zaman Romawi kuno.

Para petarung disebut pepadu. Masing-masing dilengkapi sebuah perisai kayu yang dilapisi kulit sapi atau kerbau, berbentuk bujur sangkar berukuran 50 x 50 cm. Perisai itulah yang menjadi asal nama permainan ini. Sebilah rotan sepanjang kira-kira 1 meter yang disebut penjalin menjadi senjatanya.

Ritual
Konon, perisean sudah dimainkan sejak abad ke-13, berawal dari ritual masyarakat agraris Lombok untuk mendatangkan hujan pada musim kemarau. Pertarungan biasanya digelar di pematang sawah yang kering.

Untuk memulai laga, dua pekembar (wasit) akan mencari calon petarung atau pepadu dari kerumunan orang yang datang. Kadang, sang pepadu sendiri yang mengajukan diri.

Sambil berjoget jenaka, kedua pekembar akan saling menawarkan jagonya. Jika dirasa kedua calon pepadu yang ditunjuk pekembar seimbang, pertarungan dimulai. Kalau belum, pekembar mencari calon lain.

Sebelum bertarung, kedua pepadu dipasangi ikat kepala (saput) dan kain pengikat pinggang (bebadong). Selanjutnya, mereka diberi sepotong daun sirih untuk dikunyah. Saat wasit meniup peluit, saling gebuk dan tangkis pun dimulai.

Jalannya pertarungan diiringi gamelan sasak yang terdiri dari tabuhan gendang, suling, gong, dan rincik dalam tempo cepat. Tembang yang dibawakan merupakan tembang khusus perisean yang beraura mistis. Tembang itu biasanya akan mendongkrak semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit akibat sabetan rotan.

Aturan perisean sederhana. Pepadu hanya diperbolehkan memukul bagian tubuh dari pinggang ke atas, dengan sasaran utama kepala lawan. Dengan kata lain, masing-masing harus bisa melindungi kepalanya dari sabetan rotan.

Biasanya pepadu yang terkena pukulan atau merasa pukulannya mengenai lawan akan berjoget seperti meledek. Ada yang bilang ini untuk mengurangi rasa sakit atau untuk meredam emosi.

Jika kepala berdarah, pekembar akan menghentikan pertarungan dan pemenang pun diumumkan. Darah yang jatuh di arena perisean itulah yang diyakini mendatangkan hujan. Jika hingga 3-4 ronde kedua pepadu masih sama kuat, wasit akan menyatakan hasil seri.

Tanpa dendam
Meski saling gebuk hingga memar dan berdarah-darah, pepadu tak pernah membawa dendam ke luar arena. Menang atau kalah, seusai bertarung, kedua pepadu pasti bersalaman dan berpelukan. Segalanya dimulai dan selesai di dalam arena.

Karena sakral, perisean tak digelar sembarang waktu. Pada masa sekarang, perisean diadakan menjelang perayaan-perayaan khusus, seperti ulang tahun kemerdekaan (17 Agustus), hari jadi kabupaten/kota, atau menjelang Ramadhan.

Kompas berkesempatan menyaksikan penyelenggaraan perisean di lapangan umum Kelurahan Monjok, Selaparang, Mataram, NTB, Senin (19/7/2010). Perisean ini digelar selama seminggu penuh dengan mendatangkan berbagai pepadu dari seantero Lombok.

”Setiap tahun paling tidak sekali digelar di kelurahan kami. Jika dalam setahun tak digelar, biasanya masyarakat akan bertanya ke lurah,” ujar Lurah Monjok, Budi Wartono.

Antusiasme warga menyaksikan tarung perisean selalu tinggi. Tua, muda, anak-anak, dan perempuan akan memadati pinggiran arena setiap kali perisean diselenggarakan. Mereka tidak hanya dari kawasan sekitar, tetapi juga dari kawasan lain yang jaraknya cukup jauh.

Tidak ada hadiah besar bagi pemenang. Panitia hanya memberikan uang sekadarnya, hanya puluhan ribu rupiah atau disesuaikan dengan anggaran panitia—berdasarkan hasil penjualan karcis masuk arena, parkir, dan donatur.

”Kadang diberikan sabun (kepada pemenang) pun akan diterima. Karena memang bukan hadiah yang dikejar, melainkan rasa bangga menjalankan tradisi,” ujar Budi.

Mengukur kesaktian
Layaknya tradisi yang telah berakar ratusan tahun, perisean pun tak lepas dari nuansa mistik. Bukan rahasia jika para pepadu yang bertarung membekali diri dengan berbagai jimat dan mantra. Selain adu kekuatan fisik dan teknik bertarung, perisean juga dikenal sebagai ajang mengukur kesaktian, khususnya bagi pepadu level tinggi.

Beragam cerita beredar dari pepadu yang bisa membengkokkan rotan lawan tanpa disentuh, melipatgandakan sakit lawan dari sekali sabetan rotannya, hingga kebal pukulan.

Perisean berakar dan hidup di tengah masyarakat Lombok sebagai aset budaya bernilai tinggi. Karena itu, Pemerintah Kota Mataram berencana mengemas seni tradisional ini sebagai atraksi wisata yang bisa meningkatkan daya tarik Pulau Lombok, yang saat ini terkenal dengan keindahan pantai-pantainya. ”Kami sedang mengarah ke sana,” ucap Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Mataram, Alwi. (ENG)

-

Arsip Blog

Recent Posts