Jenis Dan Bentuk Pengobatan Pada Relief Candi Borobudur

Oleh Wiwit Kasiyati, SS dkk

Pendahuluan
Pada awalnya konsep tentang penyakit selalu dihubungkan dengan segala sesuatu yang tidak enak. Konsep ini menganggap keadaan sakit adalah kejadian yang dikehendaki oleh dewa-dewa penguasa dengan maksud tertentu atau balasan dari roh-roh jahat. Penyakit dapat juga timbul karena akibat fisik, tetapi pada dasarnya selalu dihubungkan dengan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, misalnya karena kekuatan black magic. Keadaan tersebut dianggap tidak dapat sembuh kecuali melakukan perbuatan yang juga tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, misalnya berhubungan dengan alam supranatural atau dengan memanggil dewa atau roh (Graeve, 1978:586).

Pada perkembangan berikutnya, konsep tentang penyakit mulai agak berubah. Manusia mulai menyadari bahwa penyakit disebabkan oleh alam, dimana mereka tidak dapat beradaptasi dengan baik (Risse, 1978:583). Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang obat-obatan di Indonesia sudah ada sebelum masuknya pengaruh India (Satyawati Sulaiman, 1986:177). Pendapat tersebut mengatakan bahwa sebelum orang-orang Indonesia dapat membaca dan menulis, sudah ada seorang pemimpin yang didampingi seorang pendeta untuk upacara-upacara dan seorang dukun untuk soal magis dan obat-obatan.

Pengetahuan tentang kesehatan semakin tampak pada masa Klasik. Berdasarkan data relief, prasasti, dan naskah kesusasteraan pada masa klasik menunjukkan adanya profesi dibidang kesehatan. Dari data relief dapat diamati pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur terdapat panil yang menunjukkan adegan pertolongan terhadap orang sakit, rasa bersyukur atas kesembuhan dari sakit, juga proses kelahiran yang dilakukan oleh dukun beranak.

A. Data Relief
Data artefaktual di bidang kesehatan terutama mengenai pengobatan pada masa Jawa Kuna terdapat pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Relief mempunyai maksud dan peranan penting dalam seni bangunan candi, relief sebagai media visual yang memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi edukatif. Fungsi edukatif ditunjukkan pada inti filosofi penggambaran relief yang berisikan tuntunan atau pendidikan moral bagi kehidupan manusia. Ungkapan unsur-unsur pada relief dapat memberikan petunjuk tentang perkembangan budaya, teknik, seni, religi, keadaan sosial masa lalu, bahkan mengenai kesehatan masyarakat Jawa kuna.

Pada relief Karmawibhangga panil 18 menggambarkan seorang laki-laki mendapat perawatan beberapa wanita, ada yang memijat kepalanya, memegang tangan dan kakinya. Orang-orang di sekitarnya tampak bersedih.

Pada panil 19 menunjukkan adegan beberapa orang yang sedang memberikan pertolongan pada seorang laki-laki yang sedang sakit. Ada yang memijat kepalanya, menggosok perut serta dadanya, juga ada seseorang yang membawa obat. Di sampingnya terdapat adegan yang memperlihatkan suasana bersyukur atas kesembuhan seseorang.

Pada panil 78 juga terdapat adegan yang sama yaitu seorang wanita sedang memegang lengan laki-laki yang sedang sakit, sementara adegan yang lain beberapa orang sedang mengobati dua orang laki-laki sakit kepala dengan cara memegang kepalanya. Pada panil 3 terdapat adegan proses kelahiran, tampak seorang wanita hamil sedang dibantu beberapa wanita, diantaranya seorang dukun beranak. Relief kelahiran juga terdapat di Candi Brahma kompleks Candi Prambanan. Proses kelahiran tersebut digambarkan dibantu oleh seorang wanita yang dianggap sebagai dukun beranak.

B. Data Prasasti
Data prasasti tidak langsung menyebut tentang masalah kesehatan, melainkan hanya nama-nama profesi yang dapat dihubungkan dengan kesehatan. Dari data prasasti yang dikeluarkan pada sekitar abad XIV – XV M, terdapat nama-nama yang berhubungan dengan profesi kesehatan. Prasasti tersebut yaitu prasasti Balawi, Sidoteka, Bendosari, Biluluk, dan Madhawapura. Uraian isi prasasti-prasasti tersebut yaitu :

1. Prasasti Balawi
Prasasti Balawi berangka tahun 1305 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
V.2. …, juru gusali (pandai besi), tuha nambi (tukang obat), tuha dagang (ketua pedagang), pinta palaku, sakupang satak (?), pakuda (pengurus kuda),……..
3. pang (?), parajeg (?), pacicim (?), pajle (?), pa -, patelung kupang (?), pana -, panakupang (?), paprayaccita (penjaga kebersihan upacara), kdi (dukun wanita), walyan (tabib), widu mangidung (penyanyi kidung), ….

2. Prasasti Sidoteka
Prasasti Sidoteka disebut juga prasasti Jayanegara II. Prasasti tersebut berangka tahun 1323 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
6.b. …, tuha dagang (ketua pedagang), tuha nambi (tukang obat), ………………………….wli tamba (orang yang mengobati penyakit),…………………

3. Prasasti Bendosari
Prasasti Bendosari disebut juga prasasti Manah i Manuk dan prasasti Jayasong. Prasasti Bendosari berangka tahun 1360 M. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
5. kepada orang-orang tua dalam pertapaan di Pakandangan, sebidang sawah 16 lirih (satuan ukuran luas tanah), kepada lingkaran perdikan di Kuku 2 lirih, kepada janggan (tabib desa) di …………………

4. Prasasti Biluluk
Prasasti Biluluk berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350 M – 1389 M) dan Wikramawardhana (1389 M – 1429 M). Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
Sisi muka :
4. “ …, selanjutnya segala penjaga tanah perdikan yang menjalankan usaha pekerjaan, semuanya masing-masing satu, mereka itu dibebaskan dari segala macam beban bea dan cukai, yaitu (yang berkaitan dengan) padadah (pemijatan), pawiwaha (perkawinan),

5. Prasasti Madhawapura
Prasasti Madhawapura tidak berangka tahun, akan tetapi dari gaya bahasanya dapat diketahui dari masa kerajaan Majapahit. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah:
Sisi muka :

2. pembuat pakaian (abhasana) tiga dasar (ukuran), angawari (pembuat kuali) acaraki (penjual jamu), ….

C. Data Naskah Kesusasteraan
Data naskah kesusasteraan kutipan isinya lebih jelas menyebut tentang profesi kesehatan, berbagai jenis penyakit, dan obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit. Naskah kesusastraan periode Jawa Timur pada abad XIV – XV M terdapat kutipan pada bagian cerita yang menunjukkan kegiatan dibidang kesehatan yaitu kitab Agama, Sarasamuccaya, Rajapatigundala, Korawacrama, dan Pararaton. Uraian isi naskah kesusasteraan tersebut yaitu:

1. Kitab Agama

Kitab Agama disebut juga kitab Kutaramanawa. Kitab ini berasal dari masa pemerintahan Rajasanegara (Slamet Muljana, 1967: 10). Kutipan dari masing-masing pasal tersebut:
62. “Barang siapa kena perang akibat kelalaian, karena yang memerang tidak sengaja atau tidak tahu, jika tidak menderita luka atau sakit, yang memerang itu tidak dikenakan denda. Jika yang kena perang itu menderita luka, supaya yang memerang membayar uang pembeli obat cukup sampai lukanya sembuh, dan dikenakan denda lima ratus oleh raja yang berkuasa”.

113. “Seorang gadis berhak membatalkan perkawinannya, setelah di tempat tidur mengetahui bahwa lakinya menderita penyakit (yang mengurungkan perkawinan) misalnya sakit kuming, impoten untuk persetubuhan, bukan laki-laki (banci), mempunyai penyakit budug pada perut, pada paha, pada pantat, tidak kelihatan dari luar; menderita sakit ayan atau gila. Dalam hal yang demikian itu gadis tersebut berhak untuk membatalkan perkawinannya. Ia wajib mengembalikan tukon tanpa lipat dua”.

190. “Jika ada orang menebang pohon, menjatuhi orang atau melempar tidak dengan sengaja kena orang atau binatang, kemudian mengatakan bahwa itu adalah kesalahan orang yang kena lemparan atau tertimpa pohon, …, jika orang yang kena lemparan atau tertimpa pohon itu menderita luka supaya penebang itu memberi uang pembeli obat hingga pulih kembali lukanya kepada si penderita, dan dikenakan denda lima tali oleh raja yang berkuasa sebagai penebus tangannya. Jika orang yang tertimpa pohon itu meninggal, supaya penebang itu memberikan uang pakuramas…”

274. “Jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, tanpa mengetahui mantra yang banyak, tanpa mengetahui soal penyakit, hanya karena menghendaki hadiah dari orang yang sakit, orang yang demikian supaya diperlakukan sama dengan pencuri. Pengobatan yang demikian tidak akan berhasil. Jika dia mengobati binatang, dan akhirnya binatang itu mati, supaya dikenakan denda empat kali tiga atak. Jika mengobati orang, karenanya tidak menjadi sembuh kemudian malah mati, dendanya selaksa, jika mengobati brahmana, karenanya tidak sembuh malah mati, yang mengobati dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Demikianlah ketetapan undang-undang”.

2. Kitab Sarasamuccaya

Kitab Sarasamuccaya adalah salah satu kitab hukum pada masa Majapahit. Di dalam kitab ini terdapat keterangan yang berhubungan dengan masalah kesehatan, Kutipan dari bagian tersebut yaitu:

168. “ Demikian perincian yang dinamakan temannya, yaitu, seorang pedagang, temannya adalah pedagang (pembeli), (dan) juragan, sahabat bagi seorang pengembara, perpisahan (dan) berjauhan, sahabat bagi orang berumah tangga istrinya itulah, sedangkan orang yang sakit, walyan (tabib), mamimami (pembuat obat-obatan), sahabatnya, apa pun orang yang mampir akan mati, sedekah (amal kebajikan) sebagai temannya”.

234. “ …, bhrunaha (menggugurkan kandungan), singkatnya sangat besar dosa orang itu”.

325. “ Inilah macamnya orang yang tidak pantas dijadikan kawan bergaul, yaitu pisakit (orang yang menyebabkan orang lain sakit atau menderita, misalnya dengan melakukan guna-guna), …”.

369. “ Tidak ada obat, tidak ada mantra, tidak ada persembahan, tidak ada japa, yang mampu menolong, membebaskan seseorang dari kematian itu, atau dapat menangkis maut itu, sia-sialah ucapan mantra yang berulang-ulang yang disebut japa itu”.

501. “ …, sebaliknya obat yang berempah-rempah, minyak, gulika, akar, dipergunakan mengobati sakitnya badan, lenyap karenanya, kekuatan ilmu melebihi kekuatan badan, kesaktian tubuh”.

3. Kitab Rajapatigundala

Kitab Rajapatigundala merupakan salah satu kitab dari masa Majapahit. Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang yang tidak mematuhi hukum yang telah ditetapkan. Kutipan dari bagian tersebut adalah:
17.a. “ …, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan, …, hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh raja Patigundala yang suci,
b. maka terjadilah, semua kesengsaraan, sakit dan penyakit akan diderita oleh orang yang tidak mematuhi, tidak ada kemungkinan untuk diobati, untuk selama-lamanya mereka akan menderita. Ini adalah kutukan cri bhagati yang patut dihormati, seorang ratu pada masanya, untuk seluruh pulau Jawa, …”.

4. Kitab Korawacrama

Kitab Korawacrama diperkirakan berasal dari abad XIV M. Kutipan dari bagian tersebut adalah:

23. “ …, terkejutlah Bhattara guru ketika melihat manusia, ternyata banyak yang menderita sakit, ada wudug (lepra), ana buyan (gila), ana wiket (mempunyai banyak luka), pincang welu (hernia), beser (selalu ingin buang air), turuh (kerusakan pada salah satu organ tubuh), apus (kehilangan tenaga), wuta (buta), tuli (tuli), bisu (bisu), barah (lepra yang sudah parah), uleren (cacingan), umis (pendarahan), lampang (sejenis penyakit kulit), bule (albino), gondong (leher membengkak), amis antem (berbau amis), masegir (berbau tidak enak), apek (berbau apek), demikian keadaan manusia, …”.

30. “ …, berlarilah Bhattara Cri dengan Bhattara Wisnu masuk ke dalam rumah acaraki (penjual jamu), pucat pasilah mukanya, dia sedang menggiling bahan untuk wangi-wangian, …, pucatlah sang macaraki, …”.
5. Kitab Pararaton

Kitab Pararaton berbentuk prosa dan digubah pada akhir abad XV M. Kutipan dari bagian tersebut adalah:
27. “ … Ketika itu raja Jayanegara sedang gering tidak keluar dari istana karena di badannya tumbuh bisul (bubuhen). Tanca diperintahkan untuk mengoperasi bisul tersebut di peraduan. Dua kali dibedah tetapi tidak berhasil. Akhirnya Tanca memohon agar sang raja segera menanggalkan kemitannya. Raja pun menurut dan melepasnya, kemudian diletakkan di atas peraduan. Tanca lalu membedah bisul tersebut lalu diambil penyakitnya, …”.

D. Jenis-Jenis Penyakit dan Pengobatannya

Pada masa Klasik sistem kesehatan pada umumnya terdiri dari suatu sistem teori penyakit dan sistem perawatan kesehatan. Sistem teori penyakit meliputi kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, pengobatan, dan teknik penyembuhan. Dalam teori penyakit terdapat konsep dasar yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori personalistik dan teori naturalistik. Teori personalistik didasari anggapan adanya kekuatan supranatural, sedangkan teori naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, apabila keseimbangan terganggu maka akan timbul penyakit (George M. Foster dan Barbara Gallatin, 1986: 46-47).

Pada teori personalistik, secara umum jenis-jenis penyakit yang dikenal pada masyarakat Jawa Kuna pada abad XIV – XV M disebabkan oleh kuasa dewa-dewa dan kuasa makhluk jahat. Penyakit yang disebabkan oleh kuasa dewa-dewa seperti dalam prasasti Surodakan, beberapa jenis penyakit disebutkan pada bagian sapatha atau kutukan. Penyakit-penyakit tersebut akan diderita oleh orang yang melanggar aturan. Penyakit akibat kutukan dikatakan tidak akan dapat diobati dan untuk selamanya akan menderita.

Pada teori naturalistik, sebab-sebab sakit berhubungan dengan keadaan sehat. Penyakit disebabkan karena tidak adanya keseimbangan cairan dalam tubuh manusia. Selain karena tidak adanya keseimbangan cairan, penyakit dapat disebabkan pula karena adanya gangguan atau kerusakan bagian tubuh tertentu sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Termasuk dalam jenis penyakit ini adalah awatuk (batuk), bhara gigil (panas dingin), karis (sakit kepala), bubuhen (bisulan), umis (pendarahan), uleren (cacingan), dan slema (batuk berlendir).

Penyakit-penyakit tersebut di atas karena disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam tubuh manusia, maka pengobatannya bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan tubuh. Selain menggunakan ramuan obat, pengobatan penyakit naturalistik juga mempercayai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia yang dapat membantu proses penyembuhan. Hal tersebut terlihat dengan digunakannya mantera-mantera yang dianggap mempunyai kekuatan qaib.

Pada relief Karmawibhangga tampak adegan seorang laki-laki sedang mendapat perawatan beberapa wanita dengan dipijat kepalanya (mungkin oleh padadah orang yang pekerjaannya memijat). Adegan yang lainnya beberapa orang sedang memberikan pertolongan pada seorang laki-laki yang sedang sakit dengan memijat kepalanya (padadah), menggosok perut serta dadanya dengan ramuan obat. Dapat dikatakan adegan tersebut adalah proses penyembuhan dengan ramuan obat karena tampak pula seseorang yang sedang membawa obat atau mungkin wli tamba orang yang pekerjaannya membuat obat. Dengan demikian proses pembuatan obat pun pastinya dengan menggunakan batu pipisan untuk menghaluskan ramuan obat tersebut. Alat semacam pipisan terdapat pada panil 19, seseorang tampak duduk di depannya terlihat benda dengan bentuk seperti pipisan. Kemungkinan orang tersebut sedang membuat ramuan jamu dengan cara dihaluskan dengan alat batu pipisan.

Tidak kalah menarik pada relief Karmawibhangga terdapat adegan proses kelahiran. Pada relief tersebut tampak seorang wanita hamil sedang dibantu beberapa wanita, diantaranya seorang dukun beranak (kdi). Penggambaran proses kelahiran tersebut oleh beberapa ahli diartikan pula sebagai proses aborsi karena merupakan hasil prostitusi. Apabila dicermati, relief Karmawibhangga yang menggambarkan kehidupan manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi, maka di sana semua aspek kehidupan manusia baik yang bagus maupun yang buruk tercerminkan di relief ini. Proses aborsi atau menggugurkan kandungan semakin terlihat pada masa Majapahit, terbukti dari isi kitab Sarasamuccaya, terdapat kata bhrunaha (menggugurkan kandungan) merupakan dosa yang sangat besar bagi orang yang tega melakukannya.

E. Bentuk-Bentuk Pengobatan
Dari adanya jenis-jenis penyakit yang ada tentunya memerlukan penyembuhan atau pengobatan agar penyakit tersebut hilang. Proses penyembuhan dapat dibedakan menjadi empat cara yaitu cara magis, keagamaan, fisik, dan obat-obatan. Pengobatan dengan cara magis dilaksanakan dengan menggunakan mantera-mantera, cara keagamaan dengan mengadakan upacara ritual, cara fisik dengan memijat atau mengurut, dan cara obat-obatan dengan menggunakan khasiat bahan-bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Pengobatan dengan cara magis dan ritual keagamaan biasanya dilakukan untuk jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh perantara atau kuasa supranatural, sedangkan pengobatan dengan cara fisik dan obat-obatan dilakukan untuk jenis-jenis penyakit karena ketidakseimbangan dalam tubuh manusia.

Pengobatan secara magis caranya dengan membaca mantera-mantera yang dianggap mempunyai kekuatan qaib. Pembacaan mantera-mantera ini ditujukan kepada kekuatan dewa-dewa atau kekuatan lainnya yang menguasai dunia. Pengobatan secara keagamaan biasanya dalam bentuk upacara ritual dengan melarung sesajian di laut diikuti dengan doa-doa agar penyakit yang diderita seseorang sembuh dengan memberikan sesajian di laut. Pengobatan secara fisik dengan melakukan pemijatan atau pengurutan yang dilakukan oleh padadah. Sebagai seorang penyembuh, padadah menggunakan sarana pemijatan. Pengobatan dengan bentuk pijat biasanya menggunakan ramuan yang dilumatkan kemudian dioleskan pada anggota badan yang salah uratnya. Dalam melakukan pemijatan tersebut menggunakan minyak atau ramuan lainnya untuk memudahkan proses pemijatan. Pengobatan dengan cara obat-obatan dilakukan dengan memberikan obat-obatan yang dibuat dari bahan alami terutama tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat tertentu untuk mengembalikan keseimbangan dalam tubuh.

F. Profesi di Bidang Kesehatan
Sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, paling tidak antara pasien dan penyembuh. Pada dasarnya profesi yang bekerja untuk menyembuhkan masalah-masalah kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tabib, ahli ramuan, dukun bayi, dan tukang pijat. Dari data arkeologi yang ada, terdapat banyak profesi yang berhubungan dengan proses penyembuhan dalam masyarakat Jawa kuna. Profesi kesehatan tersebut adalah walyan, kdi, tuha nambi, wli tamba, janggan, padadah, mamimami, dan acaraki. Dilihat dari arti masing-masing profesi tersebut, maka profesi kesehatan dapat dikelompokkan menurut fungsinya yaitu perawat kesehatan (tabib atau dokter) dan pembuat obat. Termasuk dalam kelompok perawat kesehatan yaitu janggan, kdi, padadah, dan walyan, sedangkan kelompok pembuat obat yaitu acaraki, mamimami, tuha nambi, dan wli tamba.

Arti profesi kesehatan pada masyarakat Jawa Kuna adalah walyan artinya tabib atau dokter yang menggunakan kuasa qaib atau sihir (arti lainnya orang yang menguasai pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan sebagai obat ), kdi artinya dukun wanita, yang membantu proses kelahiran seorang bayi, tuha nambi artinya tukang obat atau orang yang tugasnya membuat ramuan obat-obatan, wli tamba artinya orang yang pekerjaannya membuat ramuan obat-obatan, janggan artinya orang yang menguasai pengetahuan tentang penggunaan tumbuhan (arti lainnya adalah tabib desa atau dokter desa), padadah artinya orang yang pekerjaannya memijat untuk memulihkan kesehatan, mamimami artinya tukang pembuat obat, acaraki artinya orang yang menciptakan ramuan obat-obatan (arti lainnya penjual obat atau jamu).

DAFTAR PUSTAKA
G. Pudja. 1983. Manawa Dharma Sastraa: Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik Indonesia.

Graeve, Frank de. 1978. “Religion Concepts”, Encyclopedia of Bioethics.
I.G.A.G. Putra dan I Wayan Sadia, Wrhaspati-tattwa. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Nico S. Kalangie. 1981/1982. “Peranan dan Sumbangan Antropologi dalam Bidang Pelayanan Kesehatan: Suatu kerangka Masalah-Masalah Penelitian, Analisis Kebudayaan, Th. II. No. 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pungkie Lelly Kumarasari. 1991. Sistem Kesehatan Dalam Masyarakat Jawa Kuna Pada Abad XIV Sampai XV Masehi: Kajian Berdasarkan Data Tertulis. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Risse, Guenter B. 1978. “History of the Concepts”, Encyclopedia of Bioethics.

Satyawati Sulaiman. 1986. “Local Genius Pada Masa Klasik”, Kepribadian Kebudayaan Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Slamet Muljana. 1967. Perundang-undangan Madjapahit. Jakarta: Bhratara.

Tyler, Varro E. 1981. Farmakognosi, terj. Philadelphia: Lea and Febiger.

-

Arsip Blog

Recent Posts