R e b o n d i n g

Cerpen Sam Edy Yuswanto*

Jagat dunia perempuan geger. Pasalnya MUI mengeluarkan fatwa baru; Rebonding haram. Sulastri, artis dangdut yang tergabung dalam group dangdut “Kembang Goyang” yang sering dapat job manggung di acara-acara walimahan mencak-mencak mendengar berita itu.

“Waah, kalau apa-apa diharamkan aku nggak bisa nyari duit dong. Mbok ya para ulama itu memikirkan juga nasib kita-kita, profesi artis lokal yang bayarannya hanya cukup buat makan dan beli bedak,” katanya sambil membenahi bedaknya yang mulai luntur.

“Loh, apa hubungannya fatwa MUI itu dengan nasibmu, Las,” sahut Farah, sesama profesi artis dangdut, cuma bedanya dia berjilbab walau masih ketat seperti jilbab yang biasa dipakai salah satu personil Kangen Band; Eren.

“Ya, ada hubungannya dong. Kamu itu gimana sih. Rambutku kan keriting aslinya. Ntar kalau rebonding dilarang, para penggemarku lari semua lihat rambut asliku ini,” ujar Sulastri seraya mengelus-elus rambut ikalnya yang setelah direbonding berubah halus, lurus, wangi dan mengkilap bak bintang iklan shampoo yang kerap nongol di televisi itu.

Farah mengulas senyum.

“Tapi kalau menurutku, penonton itu nggak memedulikan masalah rambut deh, Las. Yang paling penting bagiku, kita bisa menjaga kualitas suara agar bisa tetap oke. Kan kita jual suara, bukan rambut atau yang lainnya. Nyatanya selama ini aku nyanyi sambil pakai kerudung juga nggak ada masalah,” dalih Farah.

“Ya, beda kali, Far. Kamu kan emang sudah berjilbab dari dulu, semenjak belum nyanyi malah. Jadi para penggemarmu emang udah nggak mempermasalahkan rambutmu yang aslinya emang keriting kan,” Sulastri melirik Farah sambil tersenyum geli.

“Sama-sama keriting nggak boleh ngolok,” gemas Farah sambil mencubit pipi sahabatnya itu.

“Aduh! Far, bedakku luntur nih,” pekik Sulastri.

Farah terkekeh.

“Las, giliranmu manggung, tuh! Buruan!” Mas Joko, MC andalan group dangdut “Kembang Goyang” nongol tiba-tiba sembari memberikan instruksi Sulastri untuk segera tampil.

“Oke, bos!” Sulastri menutup bedaknya, lalu beranjak keluar, menuju panggung yang telah gegap gempita menanti penampilannya.

***

Yah, saat ini, di segala penjuru negeri, memang sedang pada heboh membicarakan fatwa yang baru digelontorkan MUI itu, khususnya kaum perempuan yang mendadak kebakaran jenggot (padahal mereka nggak punya jenggot, he he he…) yang telah bersepakat mengharamkan me-rebonding rambut. Di antara dalihnya adalah karena rambut itu termasuk bagian aurat perempuan yang mesti ditutupi. Rebonding itu kan proses menyulap rambut yang ikal dan kusam biar jadi rambut yang lurus, hitam, mengkilat dan tentu saja; wangi. Menipu orang lain, itu dalih lainnya sebagaimana yang ditayangkan di televisi beberapa waktu lalu.

Boleh sih sebenarnya merebonding rambut, tapi bagi istri-istri yang diperbolehkan suaminya, dan memang cuma buat dinikmati oleh suaminya saja hasil rebondingannya, begitu kata juru bicara MUI. Yang nggak boleh sebenarnya adalah buat para gadis-gadis yang tak berjilbab, yang tujuannya emang buat memikat kaum adam. Wah, kalau itu yang jadi alasan MUI sih, sebenarnya nggak usah pake sibuk mengeluarkan fatwa haram pun kalau ditinjau melalui kaca mata syariat Islam memang tak memperbolehkan jika cewek atau cowok nyari-nyari perhatian atawa tepe-tepe – tebar pesona – di hadapan orang-orang yang bukan mahramnya. Kecuali kalau negara kita adalah negara Islam. Mungkin fatwa itu nggak perlu dipermasalakan lagi. Benar, to?

Dan, hari itu, para artis dangdut “Kembang Goyang” bersama dengan group-group artis dangdut lainnya sengaja berkumpul, merapatkan barisan. Mereka berencana akan menggelar aksi demo; menolak tegas fatwa MUI karena menganggap telah menyudutkan profesi mereka.

“Las, kamu mau ikut ke Jawa Timur nggak besok pagi?” tanya Sulastri.

“Jawa Timur? Ngapain?” Farah yang nggak ikut kumpulan semalam tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya.

“Iya, semalam kita sesama artis dangdut sepakat mau mengadakan demo besar-besaran menolak fatwa haram rebonding ke gedung MUI di Jawa Timur, besok pagi berangkatnya,” terang Sulastri yang langsung membuat Farah spontan menggeleng lemah.

“Kayaknya aku nggak ikut deh, Las.”

“Kok, gitu,” sahut Sulastri dengan ekspresi tak suka.

“Aku besok pagi mau pulang ke Kebumen,” kata Farah datar.

“Pulang?” giliran Sulastri yang kaget.

Farah mengangguk lemah.

“Tadi pagi aku ditelpon sama adikku, katanya ibu sakit, beliau nyuruh aku pulang, Las,” terang Farah.

“Ya, udah kalau gitu alasannya, aku maklum kok, ntar aku bilangin ke teman-teman,” kata Sulastri, raut wajahnya kini berubah; ikut prihatin dan memaklumi.

“Sekalian sampaikan salamku sama teman-teman ya, dan juga permintaan maafku, mungkin selama aku bergabung dengan group dangdut “Kembang Goyang” aku banyak salah,” ucap Farah lirih yang langsung membuat raut Sulastri berubah serius diliputi tanda tanya.

“Memangnya kamu…,”

“Las, orangtuaku selain menyuruh pulang juga mau menjodohkanku dengan Mas Yanto, tentanggaku yang belum lama ini diangkat jadi PNS. Orangtuaku telah menerima lamaran keluarganya Mas Yanto dua hari yang lalu, Las,” potong Farah.

“Kamu suka sama cowok itu,” tanya Sulastri.

Farah terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan.

“Tapi kok kamu terlihat nggak bahagia,” tanya Sulastri saat melihat raut sedih meremang di wajah Farah.

“Aku sedih bukan karena tak bahagia dengan pernikahanku, tapi karena nggak bisa bareng kalian lagi. Setelah menikah, aku akan keluar dari profesi ini,” ujar Farah.

Sulastri tercenung. Raut wajahnya turut bersedih, seperti bisa merasakan pergolakan batin sahabatnya itu. Walau sejujurnya, ia memang benar-benar bersedih, ia akan merasa kehilangan jika Farah tak bersamanya lagi. Selama ini Farah lah teman sesama artis dangdut yang paling akrab dan paling baik menurutnya, nggak sombong dan tak merasa tersaingi seperti beberapa teman sesama artis lainnya.

***

“Udah, nggak usah nangis terus, ah! Buruan, gih, ntar ketinggalan kereta. Aku minta maaf tak bisa mengantarmu sampai stasiun, soalnya teman-teman udah pada nunggu,” Sulastri mengusap bulir-bulir bening di kedua pipi Farah.

“Hati-hati kamu, Las,” kata Farah masih tergugu. Entahlah, Farah merasa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Sulastri.

“Iya, kamu juga hati-hati. Kabari kita-kita kalau kamu menikah nanti, loh. Kita usahakan datang dan kamu nggak usah khawatir, kita-kita nggak bakal minta bayaran kok kalo disuruh manggung di pernikahanmu nanti,” Sulastri mengulaskan senyum.

Farah tersenyum kecil mendengar selorohan Sulastri. Dalam suasana sedih seperti itu, dia masih sempat-sempatnya bergurau.

“Kamu itu bisa aja, Las.”

Sulastri menyunggingkan senyum.

***

Dalam perjalanan pulang, saat kereta telah memasuki stasiun Kutoarjo, handphone Farah berdering. Sulastri memanggil.

“Assalamualaikum, ada apa Las,” tanya Farah begitu memencet salah satu tuts selulernya.

“Wa’alaikumussalam, nggak apa-apa kok. Cuma pengen dengar suaramu aja, nggak tahu kenapa kok tiba-tiba aku ngerasa kangen sama kamu, padahal kita berpisah baru beberapa jam, he he he. Kok mendadak aku jadi sentimentil gini ya, Far,” balas Sulastri.

Farah tersenyum, walau ia sadar senyumnya itu tak bisa terlihat oleh Sulastri dari ujung sana. “Iya, aku sebenarnya juga berat ninggalin kamu dan juga teman-teman kita yang lain, kok,”

“Far…,” Sulastri tak meneruskan kalimatnya.

“Iya, kenapa Las,” ada semacam perasaan tak enak tiba-tiba menyeruak menembus dada Farah. Tapi Farah buru-buru menepisnya.

“Nggak apa-apa, kok. Aku hanya kepikiran saja, kapan aku bisa berjilbab kayak kamu, ya? He he he…”

Farah tercenung mendengar kata-kata Sulastri, namun jauh di dasar lubuk hatinya terbetik rasa syukur mendengar ucapan sahabatnya, walau mungkin itu hanya sekadar candaan saja.

“Ya, aku doain semoga suatu saat kamu bisa menutupi rambut keritingmu itu,” merasa tak yakin dengan ucapan sahabatnya, Farah menanggapinya dengan gurauan.

“Iiih, kamu kok malah ngeledek gitu. Aku serius nih.” ujarnya dengan nada gemas.

“Iya, iya. Tak doain deh. Baguslah kalau kamu ada kemauan seperti itu, tapi bukan karena terpaksa kan,” Farah masih tak yakin kalau Sulastri serius dengan keinginannya.

“Ya nggak lah. Pokoknya kalau aku menikah nanti, aku janji deh akan menutup rambutku, paling tidak biar nggak ribet dan banyak ngeluarin duit buat bolak-balik ke salon hanya demi ngrebondingin rambut, boros tau! Dan mungkin secepatnya aku juga akan keluar mengikuti langkahmu, berhenti dari profesi ini, capek rasanya jadi penyanyi,” ucapan Sulastri membuat Farah tiba-tiba merasa bahagia, walau Farah merasa ada yang aneh dengan kata-kata yang terlontar dari bibir sahabatnya. Setahu Farah, Sulastri orangnya anti banget sama yang namanya jilbab.

“Ya, syukur deh kalau…,”

Tut! Tut! Tut!

Belum selesai Farah berbicara, telepon terputus. Beberapa menit kemudian, handphone Farah kembali berdering. Sebuah pesan masuk.

Sori, batreku low bat, he he. Farah membaca pesan singkat sahabatnya itu sembari tersenyum kecil.

***

Farah tersentak saat handphone-nya berdering. Masih dalam setengah kantuk, diraihnya handphone yang ia taruh di saku tas cokelat yang dipangkunya.

Sulastri memanggil. Farah tersenyum.

“Iya, Las.”

“Far, ini Ismi,” suara di seberang sana bergetar menahan isak.

Ismi? Kenapa handphone Sulastri ada di tangannya? Farah langsung diserbu tanda tanya.

“Iya, Is. Ada apa? Mana Lastri?”

“Bus yang membawa ka…kami kecelakaan di Ma… Madiun, Far, ada dua teman kita yang me…ninggal, dia Nurma dan…, Las… Lastri,” Ismi terbata sambil menahan isak saat menguraikan berita yang langsung membuat seluruh persendian di sekujur tubuh Farah terasa melemas.

“Apa, Is? Las…Lastri…,” kantuk Farah mendadak terloncat begitu saja dari kelopak matanya. Farah tak mampu lagi meneruskan kalimatnya, rasanya ia tak percaya mendengar kabar duka yang datang secara tiba-tiba itu. Tak kuasa Farah menahan bulir-bulir bening yang langsung luruh membasahi kedua pipi putihnya. Dan, tangisnya pun makin menjadi saat ia ingat kata-kata terakhir Sulastri, katanya dia kepingin berjilbab seperti dirinya, agar tak repot-repot lagi mengeluarkan biaya buat ngrebonding rambut keritingnya.

***

Kebumen, 03 Februari 2010
Mengenang Fatwa MUI….
*Penulis adalah Mahasiswa STAINU Kebumen, bergiat di FPK (Forum Penulis Kebumen)
*Cerpen-cerpennya telah dimuat di berbagai media seperti; Seputar Indonesia, Pontianak Post, Radar Banyumas, Tabloid Cempaka, Koran Merapi, Kompas. Com, Kompasiana, Kedaulatan Rakyat dan Annida-online. Salah satu cerpennya masuk antologi 12 Cerpen Pilihan www.annida-online.com sudah diterbitkan oleh SMG Publishing.
*Tulisan lain tersebar di Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Rindang, Misykat, Buletin Kesehatan, Buletin Pesantren, majalah Community dan buletin Forkis STAINU.
*Alamat email Penulis: edysam48@yahoo.co.id

-

Arsip Blog

Recent Posts