Sujana Arja, Maestro Topeng Cirebon

Setiap daerah memiliki kesenian rakyat tersendiri. Dan setiap kesenian tradisional akan melahirkan seorang maestro yang akan mengawal kelanjutan kesenian tradisional itu. Pada akhirnya, nama sang maestro itu akan melekat erat dengan kesenian yang dikawalnya. Ini seperti yang terjadi di kesenian Topeng Cirebon. Kesenian ini telah melahirkan seorang maestro. Sujana Arja, namanya. Hingga di usianya yang 73 tahun, Sujana masih menari dan mengawal Topeng Cirebon pada pakem yang semestinya.

Sujana Arja lahir di Desa Slangit di kawasan Klangenan, Cirebon, Jawa Barat, dari seorang keluarga seniman. Ayah ibunya, Arja dan Wuryati adalah penari topeng legendaris di zamannya. Karena itu, Sujana dan delapan saudaranya yang lain terbiasa dengan ritmis dan tetabuhan dinamis tari topeng.

Sujana bersama delapan saudara kandungnya memang mendapat warisan bakat dari kedua orang tuanya. Tapi, setelah keenam saudaranya meninggal, tinggal Sujana dan adik bungsunya, Keni Arja yang masih setia mempertahankan Topeng Cirebon versi Slangit agar tak punah dari desanya. Kakak-beradik ini bukan hanya menunggu panggilan berpentas dan mengamen dari kampung ke kampung atau bebarang. Tapi, juga mereka menjadi duta kesenian yang mewakili Indonesia ke berbagai negara.

Adalah Sujana sosok penari yang paham benar tentang makna filosofi topeng yang diperankannya. Tari Topeng Cirebon memiliki lima jenis yang masing masing menggambarkan tentang fase kehidupan manusia semasa hidupnya. Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia. Samba melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa. Rumyang melambangkan pernikahan yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung melambangkan kewajiban seseorang yang menikah untuk bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Terakhir, Kelana adalah kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak sombong dalam menghadapi hidup.

Di usia senjanya, Sujana memang masih meluangkan seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya untuk tari topeng. Sesekali dirinya menerima undangan dari warga desa yang sedang mengadakan hajatan besar. Di saat saat itulah Sujana menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang penari topeng. Berbeda dibanding tahun 60-an ketika sepi undangan main, Sujana dan rombongannya memilih mengamen dari kampung ke kampung sambil membawa seperangkat alat gamelan.

Masa-masa sulit seolah tiada henti menimpa kesenian tradisional topeng. Beberapa kelompok tari topeng terpaksa bubar terlebih ketika dikaitkan dengan isu Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) di tahun 60-an. Namun, itu tak berlaku buat Sujana. Lantaran kecintaan pada tari topeng yang digeluti bertahun-tahun membuat Sujana mampu bertahan meski zaman terus berubah.

Bagi Sujana, satu-satunya kebahagiaan yang didapatkan adalah kedua putranya, Inu Kertapati dan Astori yang bisa melanjutkan usahanya mempertahankan kesenian tradisional ini. Bahkan, kedua putranya pun telah dikenal sebagai pengganti sang maestro untuk berpentas di berbagai tempat.

Sujana seperti tiada henti mencari harapan masa depan seni tradisi warisan nenek moyangnya. Makna spiritual tari topeng yang dulu hanya dimiliki keluarga-keluarga tertentu kini tak berlaku lagi pada diri Sujana. Baginya, gerakan gemulai tari yang dipertontonkannya setidaknya mampu menggugah minat generasi muda terhadap kesenian yang hampir punah di desanya.

Tapi, semangat, keyakinan serta nilai-nilai yang diajarkan Sujana pada akhirnya berpulang kembali pada ketertarikan masyarakat sebagai penjaga terdepan kelangsungan hidup seni tradisional. Jika orang ingin menonton dan penari ingin menarikannya maka tarian itu akan hidup. Akan tetapi jika tidak maka tarian itu akan punah. Kisah hidup Sujana menghargai tradisi leluhurnya seperti tak pernah henti meski dimakan oleh usianya yang renta. Kesenian kuno ini dijalani seperti falsafah hidup yang dianutnya. Jika mati meninggalkan keharuman.(ORS/Syaiful Halim dan Antok Susanto)

-

Arsip Blog

Recent Posts