Tiga Kota Pantai Sulawesi Tenggara

Peresensi: RN Bayu Aji

Judul Buku : Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara
Penulis : La Ode Rabbani
Penerbit : Ombak
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : xxvii + 177 Halaman; 14,5 x 21 cm

Perkembangan kota tidak bisa terlepas dari letak geografisnya terutama terletak di pinggir pantai. Dahulu, transportasi yang memungkinkan untuk melakukan perhubungan, baik hubungan perdagangan dan lintas budaya adalah melalui laut. Meskpiun telah ada jalur darat, namun transportasi melalui laut dan kemudian bersandar di pantai merupakan konsekuensi logis yang harus dijalani.

Indonesia (Nusantara) memiliki letak geografis yang strategis sebagai jalur perdagangan dan juga lintas budaya yang menghubungkan antara benua Asia dan Australia. Selain itu, wilayah perairan Indonesia lebih besar daripada wilayah daratan. Keadaan dan letak geografis ini menjadikan sebagian besar perkembangan sejarah kota di Indonesia berkembang di wilayah pantai.

Oleh sebab itu, muncul aktivitas ekonomi, budaya, politik dan sosial melalui jalur laut. Salah satu daerah yang terkenal dengan kota pantainya adalah Sulawesi. Hal inilah yang hendak diungkap oleh La Ode Rabbani dalam bukunya yang berjudul Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara.

Dalam bukunya ini, La Ode Rabbani memberikan gambaran bagaimana kota Buton, Kendari dan Muna yang berada di Sulawesi Tenggara memiliki sejarah panjang sebagai kota pantai. Perkembangan tiga kota tersebut memiliki peran penting dalam hal pelayaran, perdagangan maupun hubungan dagang dan politik.

Wilayah Sulawesi Tenggara termasuk dalam jaringan perdagangan internasional. Hal ini mengharuskan tiga kota tersebut berkembang melalui perdagangan yang cenderung bergerak ke arah pantai.

J.P. Coen pada tahun 1614 melaporkan bahwa kota Buton telah mimiliki hasil ekonomi terutama kayu yang banyak diminati oleh para pedagang serta pembuat perahu sehingga laku di pasar internasional. Hubungan awal ekonomi itu kemudian berubah menjai hubungan politik. Hal ini menurut La Ode Rabbani disebabkan adanya pejanjian persabatan antara Buton dengan Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-17. tarik menarik kepentingan akhirnya terjadi saat itu.

Selanjutnya, kunjungan pertama J.N. Voemaer di kendari tahun 1831 melaporkan bahwa Kendari adalah tempat untuk menimbun barang-barang dagang. Penimbunan itu dilakukan oleh orang-orang Bajo dan Bugis yang kemudian dikirim ke Makassar.

Fungsi itu menempatkan teluk Kendari sebagai pusat pelabuhan dan perdagangan sekaligus sebagai port collecting untuk salah satu komoditas dagang. Kemudian pelabuhan Kendari juga berfungsi sebagai pelabuhan ekspor-impor. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda akhirnya berkepentingan untuk menarik pajak dari kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan teluk Kendari. (hlm. 38-41)

Kota yang ketiga yakni Muna. Dalam Memorie van Overgave dan tulisan Couveur, Muna merupakan pendukung perluasan aktivitas ekonomi Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan kayu. Hasil utama kota Muna berasal dari hasil hutan terutama kayu jati.

Sedangkan untuk perkebunan adalah kapuk dan tembakau. Sementara itu hasil perikanan kota Muna juga tidak kalah penting sebagai komoditi ekspor. Terbentuknya kota Muna tidak terlepas dari Buton dan Kendari. Letak kota Muna yang juga berada di pinggir pantai mengharuskan kota ini memiliki pelabuhan.

Selain menjelaskan mengenai perdagangan, buku yang berasal dari tesis ini menerangkan bagaimana proses dinamika sosial masyarakat di Sulawesi Tenggara, khususnya di tiga kota tersebut. Sebelum era kolonial Hindia-Belanda, masyarkat Pribumi telah mempunyai hubungan dengan orang-orang Cina, Eropa, dan Arab. Terbentuknya pemukiman permanen orang-orang Cina setelah Belanda masuk menyebabkan pemukiman tersebut tidak jauh dari sekitar pemukiman Belanda dan Pasar.

Lebih lanjut, La Ode Rabbani menyimpulkan bahwa perkembangan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam lima fase. Pertama, adalah fase antara abad ke 14 sampai 17 di mana kontrol kerajaan Buton begitu kuat. Kedua, fase pasca penandatanganan perjanjian Bungaya 1667 sampai 1824. periode ini menunjukan dominasi perkambangan politik sehingga terjadi konflik antarkerajaan di Sulawesi.

Ketiga, fase 1824 sampai 1906 yang diwarnai dengan perkembangan politik dengan sasaran kepentingan ekonomi yang dominan. Keempat, berlangsung dari 1806 sampai 1920-an dengan ditandai meningkatnya berbagai hasil perkebunan, pertanian sehingga Sulawesi Tenggara ikut dalam pengembagan ekspor-impor. Kelima, berlangsung dari 1920-an sampai 1942. Fase ini ditandai oleh perkembangan dan pembangunan infrastruktur dan eksplorasi sumber-sumber ekonomi Sulawesi Tenggara oleh pemerintah Hindia Belanda. (hlm 107-113)

Meskipun buku ini merupakan hasil dari sebuah tesis S-2 di Jurusan Ilmu Sejarah, namun tidak mengurangi nilai pembahasan dan menariknya kajian kota-kota pantai di Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara. Buku ini, bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengubah pola pikir kita semua bahwa jangan sampai mabuk lautan apalagi lupa lautan karena laut merupakan penunjang kemajuan daerah dan juga bangsa.

R.N. Bayu Aji
Alumnus Departemen Ilmu Sejarah Unair
Peneliti HISTra (History Institute for Society Transformation)

-

Arsip Blog

Recent Posts