Tradisi Meugang di Bumi Serambi Mekkah

Banda Aceh, NAD - Warga Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan suci Ramadan. Meugang hari—yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga—diperingati sehari menjelang masuknya bulan suci.

Sejak pagi masyarakat setempat sudah berbondong-bondong menyerbu pasar-pasar daging, yang khusus hari ini tumbuh hampir di semua lokasi.

Seperti terlihat di kawasan Peunayong, Beurawe, Ulee Kareng dan Keutapang. Ruas jalan ini macet, karena warga menyemut di meja-meja penjual daging. Suasana seperti ini terjadi hampir di seantero Aceh. Ribuan ternak dipotong hari itu untuk menutupi tingginya permintaan. Jauh sebelumnya peternak lokal sudah menyiapkan hewan siap potong.

Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh mencatat, ada sekira 10.957 ekor sapi dan 6.411 kerbau siap potong di hari meugang. “Untuk menutupi kebutuhan di hari meugang, diperkirakan cukup dengan memotong 8 ribu ekor ternak saja,” kata Kepala Helmi, seorang pejabat di Diskeswannak Aceh, Selasa (10/8/2010).

Tingginya permintaan membuat harga daging gila-gilaan. Jika di hari biasa hanya Rp60 ribu perkilogram, kali ini tembus Rp120 ribu perkilogram, tercatat termahal di Indonesia. Namun, warga tetap antusias membeli. Daging yang dibeli pun mesti daging ternak lokal yang dinilai lebih berkualitas dan padat.

Bagi masyarakat di Aceh, hari meugang tanpa membeli atau makan daging rasanya tak lengkap, bahkan bagai aib. Kaya miskin seakan wajib memilikinya. Bagi mampelai pria, akan jadi aib besar kalau meugang tak membeli daging untuk mertuanya.

“Meugang kalau tidak membeli daging rasanya tidak sah masuk bulan puasa besok, orang-orang di rumah bisa sedih kalau tidak ada daging,” kata seorang warga Banda Aceh, Usman (40).

Daging yang dibeli disantap bersama keluarga. Di beberapa daerah di pesisir barat selatan Aceh, warga menyantapnya bersama-sama di pantai. Di kampung-kampung, orang mampu juga banyak yang membeli daging kemudian membagikannya kepada warga miskin atau anak yatim.

Konon, meugang mulanya digelar sejak Kerajaan Aceh, tepatnya di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa, 1607-1636 Masehi.

Menurut Ketua Majelis Adat Aceh, Teungku Badruzzaman Ismail, saat itu Iskandar Muda tersohor dengan raja yang adil, memotong banyak ternak jelang bulan suci, kemudian membagikannya kepada rakyat miskin atau anak yatim.

“Ini bentuk kegembiraan sultan dengan datangnya bulan Ramadan. Beliau mengajak rakyatnya ikut bergembira. Sultan melakukan itu karena beliau peka terhadap rakyatnya,” kata Badruzzaman kepada okezone.

Itu juga dilakukannya pada jelang Idul Fitri dan Idul Adha. Kala itu, meugang diatur dalam qanun Meukuta Alam Al Asyi, Undang-Undang Kerajaan Aceh dulu.

Sebulan sebelum Ramadhan, kata dia, sultan sudah memerintahkan perangkat Gampong (Desa) untuk mendata warga miskin dan anak yatim, kemudian data itu diverifikasi oleh lembaga resmi kesultanan (Qadhi) untuk memilih penerima daging meugang yang layak.

Lambat laun, meugang mentradisi bagi masyarakat Aceh yang mayoritas Islam. Meski modelnya berbeda dengan masa Kesultanan, makna terkandung dibaliknya sama.

"Meugang punya makna silaturrahmi,” ujar Badruzzaman. “Semua anggota keluarga berkumpul di rumah saat meugang, begitu juga orang kaya membagi daging untuk tetangganya yang kurang mampu atau anak yatim,” lanjutnya.

Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan menyambut Ramadan. Bulan suci bagi warga Aceh punya arti tersendiri. Tak heran, jauh hari sebelumnya, warga sudah menyiapkan persiapan dari perlengkapan ibadah sampai kebersihan lingkungan.

Di kampung-kampung warga juga berbondong mencari kayu bakar ke gunung, untuk persiapan memasak. Puncak kegembiraan adalah di hari meugang. Tak heran, aktivitas perekonomian sebagian warga khususnya di kampung-kampung, lumpuh hari itu, karena warga larut dalam kemeriahan meugang.

-

Arsip Blog

Recent Posts