Festival Kesenian Gunungkidul Berlangsung Meriah

Gunungkidul, Yogyakarta - Festival Kesenian Gunungkidul (FKG) 2009 yang diawali dengan penampilan berbagai kesenian asli daerah ini, Jumat, berlangsung meriah.

Ketua panitia FKG 2009 Eko Sumantri Wibowo mengatakan festival yang berlangsung hingga 15 November ini, bertujuan membangkitkan semangat para seniman di Gunungkidul untuk lebih aktif berkarya.

Menurut dia, sejumlah penggiat seni dan berbagai kelompok kesenian yang ada di kabupaten ini ikut dalam festival tersebut.

Ia mengatakan FKG juga merupakan kegiatan untuk melestarikan budaya bangsa serta sebagai ajang menumbuhkan kreativitas seni di kalangan seniman serta kelompok kesenian yang ada di Gunungkidul.

"FKG bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga merupakan momentum untuk melestarikan budaya dan kesenian warisan leluhur," katanya.

Ia menyebutkan berbagai macam kesenian di antaranya tari, musik dan teater daerah unjuk kebolehan dalan acara tahunan ini.

Untuk itu, kata dia, setiap tahunnya peserta festival dituntut kreatif menggarap karya-karyanya tanpa menghilangkan ciri khas aslinya.

Pada hari pertama FKG 2009 menampilkan 26 kelompok kesenian. Mereka tampil mengikuti pawai pembukaan festival ini. Mereka berasal dari 10 desa di Kecamatan Semin, dan sejumlah desa dari Kecamatan Ngawen, Karangmojo, dan Ponjong.

Pembukaan FKG 2009 ditandai dengan pemukulan kentongan oleh Wakil Bupati Gunungkidul Badingah.

Seusai membuka festival ini, ia mengatakan secara pribadi dirinya mengapresiasi antusiasme masyarakat dalam menyukseskan pelaksanaan FKG 2009.

"Selain sebagai upaya pelestarian kesenian daerah, dengan adanya Festival Kesenian Gunungkidul yang akan diselenggarakan secara rutin setiap tahun ini, para pelaku seni dapat lebih berkreasi serta mengembangkan diri, sehingga kesenian dapat terus lestari dan menjadi daya tarik tersendiri termasuk laku dijual khususnya kepada wisatawan," katanya.

Menurut dia, berkesenian dapat dijadikan salah satu alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ia juga mengimbau kepada dewan juri dan peserta untuk menjunjung sportivitas dan objektivitas selama festival berlangsung, sehingga dihasilkan juara yang betul-betul berkualitas untuk memotivasi grup lain agar lebih kreatif.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Gunungkidul Sudodo mengatakan keterbatasan dana menjadi alasan utama seluruh kecamatan di kabupaten ini, sehingga mereka tidak semuanya dapat berpartisipasi dalam FKG 2009.

"Kami berharap pada masa mendatang FKG akan lebih berkembang dan mampu menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisatawan ke Gunungkidul," katanya.

Disbudpar Dinilai Tidak Inovatif

Bandar Lampung, Lampung - Ketua Komisi B DPRD Bandar Lampung Septrio Frizo menilai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bandar Lampung kurang inovatif. Hal tersebut dilihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan Disbudpar cenderung monoton dan tidak kreatif.

"Dinas Pariwisata merupakan penunjang terhadap peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Promosi yang dilakukan Dinas Pariwisata belum efektif untuk menggaet wisatawan," kata Ketua Komisi B DPRD Bandar Lampung Septrio Frizo usai rapat kerja dengan Disbudpar, Kamis (12-11).

"Dinas Pariwisata kurang inovatif. Promosi yang dilakukan Dinas Pariwiata kurang bagus," ujarnya.

Septrio mengatakan Disbudpar seharusnya lebih memfokuskan pada promosi dalam negeri. Promosi ke luar negeri dengan mengikuti sebuah festival tidak efektif. Promosi ke luar negeri sebaiknya dilakukan melalui website atau kerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dalam rapat kerja dengan Disbudpar, Septrio sempat menanyakan alamat website yang dimiliki dinas. Namun, perwakilan dari Disbudpar tidak mampu menjawab. Mereka mengaku lupa dengan alamat website pariwisata Bandar Lampung.

"Dalam hearing mereka mengaku gaptek (gagap teknologi)," kata Septrio. Politisi Partai Demokrat itu menilai penghargaan yang didapat Kota Bandar Lampung saat melakukan promosi ke Belanda hanya sebagai peserta. Tidak ada dampak yang besar setelah melakukan promosi ke luar negeri.

Berdasarkan data dari Disbudpar, besar alokasi anggaran untuk promosi wisata ke luar negeri tahun anggaran 2009 mencapai Rp423 juta. Sementara itu, dana untuk mengadakan kegiatan Begawi Bandar Lampung tahun anggaran 2009 mencapai Rp239 juta.

Septrio juga mengatakan promosi pariwisata dan kegiatan yang dilakukan Disbudpar kurang bagus. Harusnya Disbudpar lebih menarik. Ia meminta agar program kerja yang dibuat Disbudpar dikonsultasikan ke DPRD. Disbudpar juga harus meminta masukan-masukan dari pihak lain agar program kerja lebih variatif.

"Selama ini kegiatan pariwisata hanya sebatas rutinitas. Tidak ada yang inovatif," kata dia.

Septrio meminta agar Disbudpar membuat profil pariwisata Bandar Lampung untuk menjadi panduan bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Tapis Berseri. DPRD akan membantu anggaran promosi Disbudpar.

Pariwiata, kata Septrio, sebagai salah satu penunjang PAD. Disbudpar perlu memiliki media informasi. Namun, perlu diimbangi dengan sumber daya manusia yang bisa mengelola pariwisata Bandar Lampung.

Anggota Komisi B Dolly Sandra juga mempertanyakan promosi wisata ke luar negeri dan anggaran kegiatan Begawi. Promosi wisata ke luar negeri dan kegiatan Begawi menghabiskan dana yang cukup besar. "Begawi jangan hanya menghabiskan dana seperti itu. Harus ada dampak bagi Bandar Lampung," kata Dolly.

Kepala Seksi Rekreasi Disbudpar Bandar Lampung Ellya Saleh mengatakan kegiatan Begawi mempunyai dampak terhadap jumlah hunian hotel di Bandar Lampung. Saat kegiatan Begawi, hunian hotel meningkat. n MG2/K-1

Sumber: http://www.lampungpost.com

Semarak dan Meriah, Festival Mahakam 2009

Samarinda, Kalimantan Timur - Semarak masyarakat yang menonton di Sepanjang tepian Mahakam, tepatnya didepan kantor gubernur, minggu (15/11) menjadi saksi kemeriahan pesta rakyat Samarinda dalam rangkaian kegiatan seni dan budaya Festival Mahakam 2009.

Cerahnya sinar matahari pagi mewarnai pembukaan acara tahunan sekali yang diusung dinas pariwisata dan infokom kota samarinda. ratusan warga begitu antusias memadati sepanjang tepian mahakam untuk melihat langsung acara pesta rakyat tersebut.

Festival Mahakam 2009 sendiri dibuka Asisten III, Diwansyah mewakili Walikota Samarinda Achmad Amien yang berhalangan hadir.

Dikatakan, pemerintah akan terus mendukung kegiatan seni dan budaya kota samarinda tersebut, dan akan terus meningkatkan kulitas kemeriahan tiap tahunnya. Dengan terciptanya peningkatan budaya tentunya diharapkan pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Samarinda untuk bisa menjaga kelestarian yang sudah tertanam baik selama ini.

“Panitia penyelenggara harus terus bekerja keras memberikan peningkatan kegiatan acara, diharapkan acara tahunan ini bisa melibatkan semua masyarakat, sehingga kebudayaan kita tetap selalu terjaga,”katanya.

Dikatakan, budaya masyarakat bisa menjadi modal dasar untuk mensejahterakan masyarakat dengan menjadikannya sebagai tujuan wisata yang menarik. Pariwisata juga harus dikembangkan secara bersama-sama oleh semua pihak dan instansi terkait. Pariwisata tak mungkin maju jika hanya dikerjakan sendiri, karenanya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.

“Saya juga mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat Samarinda agar seni budaya ini dikemas dengan baik dalam membawa ketertarikan wisatawan asing,” ujarnya.

Masyarakat antusias di sepanjang tepian untuk melihat perlombaan andalan bergengsi di festival Mahakam tiap tahunnya tersebut.

Acara yang disebut sebagai andalan tersebut, yaitu lomba menyeberangi sungai mahakam, parade ketinting hias, lomba ketinting / CES dan lomba Speed Boat. Diwansyah dan para panitia penyelenggara menyempatkan ikut naik kapal ketinting untuk menyebrangkan peserta penyelam di Sungai Mahakam.

Festival Mahakam 2009 dimeriahkan pula dengan suguhan pawai budaya dari 29 peserta, yang meliputi drumband, barongsai, tari pendet, tari melayu dan lainnya.

Sementara panitia penyelenggara, H Syahruddin SY mengatakan pihaknya akan terus melestarikan, mengembangkan dan menjaga kebudayaan yang sudah nyata terlihat ada dikota samarinda tersebut.

Ia mencontohkan, seperti pawai budaya yang diselenggarakannya, dinilai jarang sekali ditampilkan selama ini, sangat disayangkan bila kreatifitas itu jarang diperlihatkan kepada masyarakat.

“Tentunya ini suatu kebanggaan, ternyata kegiatan ini sangat didambakan masyarakat, namun kami tetap akan banyak melakukan evaluasi-evaluasi agar untuk ke depan acara dan kordinasi akan berjalan lebih baik lagi,” katanya.

Acara Festival Mahakam ini dimeriahkan juga dengan lomba parade band, pameran souvenir dan pasar murah. Hari terakhir Fetival Mahakam masih lanjutan pameran souvenir dan pasar murah ditambah konser brass section dan group breakdance hip hop. Di ujung acara diakhiri dengan pembagian hadiah untuk parade band dan drum band.(vb-rah).

Festival Teluk Semaka Dibuka

Kotaagung, Lampung - Pemkab Tanggamus kembali menggelar kegiatan Festival Teluk Semaka, di Lapangan Merdeka, Kotaagung. Kegiatan untuk kedua kalinya sejak tahun 2008 ini, merupakan ajang promosi budaya dan pariwisata Bumi Begawi Jejama, dan rencananya akan dibuka Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Senin (16-11).

Prosesi pembukaan Festival Teluk Semaka yang dirangkai dengan kegiatan sakral ruwat laut para nelayan Teluk Semaka. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus, Ahmad Syafe'i, kepada Lampung Post mengatakan Festival Teluk Semaka II yang akan diselenggarakan Pemkab Tanggamus bertujuan mempromosikan khazanah budaya dan pariwisata yang ada di daerah yang dijuluki Bumi Begawi Jejama ini.

Selain itu, acara ini diselenggarakan sekaligus dalam rangkaian mempromosikan tahun kunjungan wisata Kabupaten Tanggamus 2010 atau Visit Tanggamus Years 2010. "Kegiatan ini juga dalam upaya menggali potensi pariwisata dan budaya, serta adat-istiadat yang adiluhung. Dimana, selama ini sudah mulai terkikis akibat modernisasi dan sudah mulai dilupakan masyarakat kita," kata Syafe'i.

Mulai 16--20 November, kata dia, masyarakat luas akan diberi informasi dan diperkenalkan sejumlah objek wisata di Kabupaten Tanggamus, baik melalui darat, laut maupun udara melalu kegiatan paramotor. Selain itu, juga digelar sejumlah perlombaan, di antaranya lomba memancing, lomba lagu pop daerah, lomba gambus tunggal, lomba tari kreasi, lomba pantun, dan upacara ngumbai laut (ruat laut), dan seminar bedah budaya.

"Pada acara pembukaannya juga, akan disuguhkan kreasi budaya, seperti tari budaya, atraksi para layang, dan parade pawai budaya," ujar dia.

Syafe'i menambahkan untuk acara pembukaan akan dilangsungkan di Lapangan Merdeka, Kecamatan Kotaagung, sementara untuk perlombaan, pesertanya berasal dari perwakilan dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Tanggamus. Perlombaan juga akan diselengarakan di Dermaga II Pantai Laut, Islamic Center, dan Lapangan Merdeka. n UTI/D-3

’Enjoy Jakarta’ Bidik Wisatawan Rusia

London, Inggris - Pemda DKI Jakarta memboyong Abang dan None Jakarta 2009, Ahmad Murtadhod dan Wammy, untuk membidik wisatawan di Rusia dalam perhelatan akbar yang digelar di dua kota utama, Moskow dan St. Petersburg yang bertema 'Enjoy Jakarta'.

Banyaknya jumlah wisatawan Rusia ke berbagai pelosok dunia, termasuk Bali, menjadi incaran banyak pihak termasuk Pemda DKI Jaya yang terjun langsung dalam penetrasi pasar wisata, ujar Counsellor, KBRI Moskow M. Aji Surya, Senin (16/11).

Selain melakukan peragaan busana dan pentas seni di sebuah mal ternama di Moskow, Pemda DKI Jakarta juga menggelar pameran di Moskow dan St. Petersburg selama lima hari sejak Minggu (15/11).

Selain mempromosikan obyek wisata yang ada di ibu kota, Pemda DKI Jakarta juga memperkenalkan makanan nasional dalam acara 'Indonesian Food Festival' di sebuah hotel bergengsi di Rusia.

Menurut M Aji Surya, melengkapi promosi pasar wisata secara besar-besaran, Pemda DKI juga menggelar konfrensi pers yang dipandu langsung oleh Abang dan None Jakarta.

Sementara itu, Kadinas Pariwisata dan Budaya DKI, Arie Budiman, mengatakan persaingan merebut pasar wisatawan harus dikerjakan secara serius.

Jakarta yang menjadi pusat budaya dan metropolitan Indonesia tidak boleh kalah dengan daerah lain di Indonesia. "Segalanya ada di Jakarta, tidak ada istilah kalah dalam persaingan," katanya.

Pemilihan pusat belanja sebagai salah satu tempat pertunjukan dengan menggelar pameran aneka batik karya Allure dan Ramli itu dimaksudkan untuk menggaet masyarakat Rusia berkantong tebal.

Dalam pentas seni budaya Pemda DKI Jakarta menampilkan 10 penari, di antaranya rampak gendang, jonjotan dan nyanyian Jali-jali.

Menurut rencana pada tanggal 17 Nopember digelar pertemuan tour operator dari Jakarta dan Moskow dan sekitarnya, disambung dengan pertemuan dengan kalangan wartawan setempat.

Selai itu juga akan diadakan one-on-one meeting, para tamu akan disuguhi makan malam khas Indonesia dengan juru masak yang khusus didatangkan dari tanah air.

Selama lima hari berturut-turut, masakan Indonesia dapat dinikmati masyarakat Rusia pada saat makan siang dan malam di Swissotel.

Menurut Kabid Promosi Pariwisata DKI, Sri Juniarty, wisata kuliner merupakan salah satu cara ampuh dalam promosi wisata. "Orang tidak perlu berargumentasi, bila memang enak di lidah," katanya. Perhelatan yang sama nantinya juga akan dipindahkan di kota kedua terbesar di Rusia, St. Petersburg.

Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Hamid Awaludin, menanggapi positif kegiatan ini dan menggarisbawahi bahwa upaya tiap daerah untuk penetrasi pasar wisatawan harus dilakukan, bila tidak ingin kalah oleh Bali.

Menurut Dubes, semua daerah memiliki tujuan wisata yang unik dan kaya akan budaya, sayangnya belum banyak diketahui oleh orang asing untuk itu perlu promosi terpadu, jitu dan kontinyu. (Ant/OL-04)

Tari Serampang Duabelas Sumut Pecahkan Rekor MURI

Medan, Sumatra Utara - Pemerintah Provinsi Sumatra Utara menorehkan prestasi luar biasa di bidang kebudayaan sekaligus memecahkan Rekor MURI Tari Serampang Duabelas yang diikuti 1.386 personil di event Sumut GEMPAR (Gema Pariwisata) di Lapangan Merdeka Medan, Minggu (15/11).

Penganugerahan Rekor MURI itu diserahkan oleh Manager Rekor MURI, Ngadirin ke Gubernur Sumatera Utara H Syamsul Arifin SE didampingi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Nurlisa Ginting, Pj Walikota Medan Rahduman Harahap dan Direktur Utama Trans Kreasindo Production, Didit Mahadi Kadar.

Menurut Syamsul Arifin pemecahan Rekor MURI ini membuktikan bahwa Sumut kaya kebudayaan. Salah satunya tari Serampang Duabelas yang berhasil sempurna dibawakan kalangan pelajar di Kota Medan dengan jumlah 1.386 personil. "Sumut Luar Biasa, saya benar I Love You Full kepada anak-anak (pelajar) yang berhasil mencetak rekor MURI ini," ujarnya.

Gubsu mengaku salut dan bangga atas pelaksanaan event Sumut Gempar 2009 yang merupakan event pembuktian kekayaan potensi kebudayaan Sumut. Seperti serangkaian acara karnaval Amazing North Sumatra yang menampilkan tari multi etnis Sumut, busana khas etnis Sumut, festival drum band, karnaval odonk-odonk dan becak motor yang penumpangnya mengenakan busana adat, penampilan atraksi budaya reog, sigalegale tari Nias, Melayu dan sebagainya.

"Event ini tetap diprioritaskan untuk menjadi agenda tahunan di sektor pariwisata. Karena di Sumut Gempar juga dihadiri para konsulat negara tetangga, Pulau Penang, Jepang dan turis asing," ujarnya.

Manajer Rekor MURI, Ngadirin mengakui Sumut memiliki prestasi luar biasa sebagai pemerakarsa sekaligus personil Tari Serampang Duabelas terbanyak. "Kami mencatat terdapat 1.386 personil, ini sangat luar biasa. Ini membuktikan Sumut kaya dengan kebudayaan daerahnya, selamat," ucap Ngadirin.

Kepala Dinas Kebudayan dan Pariwisata Sumut, Ir Hj Nurlisa Ginting MSc menambahkan prestasi kebudayaan dengan pemecahan rekor MURI untuk Serampang Duabelas itu menjadi momen pembuktian untuk peningkatan sekaligus pengembangan budaya di Sumut. Mengingat Tari Serampang Duabelas merupakan salah satu tarian daerah budaya Sumut yang saat ini terus dipertahankan dan diperlihatkan di berbagai event nasional maupun internasional.

"Kita bersyukur apa yang menjadi tujuan dari event ini dapat tercapai dan sukses. Pelaksanaan karnaval budaya Amazing North Sumatera, berbagai kegiatan festival dan perlombaan berlangsung meriah dan mendapat sambutan luar biasa dari seluruh stakeholders dan masyarakat Sumut," ujarnya.

Hal ini terbukti dengan banyak masyarakat yang memadati trotoar jalan yang ingin menyaksikan seluruh rangkaian kegiatan.

Sementara itu Didit Mahadi Kadar menjelaskan persiapan untuk pemecahaan rekor MURI Tari Serampang Duabelas itu sudah jauh hari dipersiapkan bekerjasama dengan Pemerintah Kota Medan c/q Dinas Pendidikan Kota Medan, Dinas Pariwisata Sumut. Termasuk juga dengan karnaval budaya Amazing North Sumatera dengan parade budaya multi etnis, pakaian adat dan lain-lain.

"Sumut Gempar benar-benar mampu menjadi momen yang luar biasa bagi kebangkitan industri pariwisata Sumut. Kami selaku pelaksana event yang dipercayakan mengucapkan terima kasih kepada seluruh stakeholder yang turut mendukung kegiatan ini hingga berjalan lancar dan sukses," tandasnya.

Bersamaan dengan acara tersebut, Gubsu juga sempat menyerahkan penghargaan kepada keluarga pencipta Tari Serampang Duabelas Almarhum Sauti yang diterima anaknya, Akhiruddin. (mc)

Ubud, Tujuan Wisata Spiritual

Denpasar, Bali - Bupati Gianyar Tjokorda Artha Ardana Sukawati menyambut gembira kegiatan Festival Meditasi Internasional Bali (IBMF) diselenggarakan di Ubud, Bali, pada 13-15 Nopember 2009.

"Kami menyambut gembira kegiatan tersebut dilaksanakan di desa wisata internasional. Kita berharap Ubud bisa menjadi daya tarik tujuan wisata spiritual," kata Bupati Tjokorda Artha Ardana Sukawati saat pembukaan IBMF di Ubud, Bali, akir pekan lalu.

Ia mengatakan, meditasi merupakan kegiatan spritual untuk menghadap Tuhan dan kegiatan tersebut tidak memandang dari satu agama melainkan semua agama. "Siapa pun boleh melakukan meditasi, karena sesungguhnya kegiatan ini adalah cara untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta," kata Tjokorda Artha Ardana Sukawati yang lebih akrab dipanggil Cok Ace.

Desa Ubud kata Cok Ace, memiliki sejarah panjang dalam kegiatan spritual sejak berabad-abad lalu, hal itu tertulis dalam lontar purana Rsi Markandya pada abad ke-9 Masehi.

Dalam lontar itu disebutkan, Rsi Markandya setibanya dari tanah Jawa singgah di Desa Taro yang masih wilayah Ubud, lalu melakukan meditasi atau tapa semadi sebelum melakukan perjalan suci ke wilayah kaki Gunung Agung di Kabupaten Karangasem.

"Dari catatan sejarah ini membuktikan bahwa sejak zaman lampau Ubud telah menjadi tempat untuk melakukan yoga semadi. Maka dari itu kegiatan IBMF menjadi semangat baru guna lebih memperkenalkan Ubud selain desa wisata juga tujuan wisata spiritual," ucapnya.

Pendiri Yayasan Anand Ashram, Anand Krishna yang telah menulis ratusan buku spiritual mengemukakan, bahwa melalui kegiatan meditasi, dirinya ingin menyebarkan semangat untuk mengajak individu bertanggung jawab, bukan hanya kepada diri sendiri.

"Kami ingin mengajak masyarakat yang berkesadaran. Kami ingin mewujudkan dunia yang baru. Kami ingin menciptakan masyarakat yang menyadari bahwa kita satu bumi, satu langit dan satu umat manusia," katanya.

Pihaknya bercita-cita membentuk masyarakat dunia yang damai, rukun dan sentosa yang didasari oleh cinta, kedamaian dan harmonis lewat aktivitas meditasi.

Bagi Anand, meditasi bukanlah duduk diam dalam kesunyian, melainkan terus berkarya secara dinamis di tengah masyarakat dengan segala kegalauannya, namun tetap menjaga keheningan hati dan pikiran.

Sementara Ketua Panitia IBMF Oka Ratnayani mengatakan, kegiatan tersebut diikuti sedikitnya 300 pelaku meditasi dari berbagai negara. Menurut dia, lewat kegiatan tersebut, pihaknya ingin mempertemukan berbagai kelompok meditasi, termasuk dari beberapa agama.

"Peserta berasal dari Indonesia, Amerika Serikat, Brazil, Jepang, Prancis dan Kanada," katanya.

95 Kelompok Kesenian Meriahkan Festival Budaya Temanggung

Temanggung, Jawa Tengah - Aksi dari 95 kelompok kesenian tradisional yang menampilkan 31 jenis kesenian tradisional, memeriahkan Festival Budaya Temanggung 2009, yang digelar, Minggu (15/11). Salah satu diantaranya adalah jenis kesenian tradisional yang sudah nyaris punah dan hanya ada satu-satunya di Indonesia, yaitu Cengklungan dari Kecamatan Kaloran. Selain itu, terdapat juga ragam kesenian lain yaitu kuda lumping, zan-zanen, barsomah, calung, dan prajuritan.

Festival Budaya Temanggung 2009 ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan sekaligus Hari Jadi Kabupaten Temanggung ke-175.

Kelompok-kelompok kesenian tradisional tersebut menampilkan aksi pementasan di 23 tenda yang tersebar sepanjang satu kilometer, mulai dari Alun-alun Kabupaten Temanggung hingga jalan MT Haryono, Kabupaten Temanggung. Selain itu, kemeriahan ini juga masih ditambah dengan kehadiran lima pelukis eks presionis, pengukir tembaga, serta stan-stan yang menampilkan berbagai potensi Kabupaten Temanggung, mulai dari produk pertanian, hingga kerajinan.

Masyarakat pun penuh tumpah ruah, penuh sesak memadati jalan-jalan, menyaksikan aneka pentas pertunjukan seni yang diminati.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Temanggung Bekti Prijono mengatakan, semua kesenian yang ditampilkan tersebut semuanya merupakan potensi kesenian yang ada di Kabupaten Temanggung.

"Terlepas apakah itu merupakan kesenian khas Kabupaten Temanggung atau tidak, kami berniat ingin menampilkan berbagai jenis kesenian tradisional ini agar budaya bangsa ini dapat diketahui oleh khalayak luas," ujarnya.

Menurut Bekti, festival budaya ini sebenarnya menjadi acara rutin yang digelar setiap perayaan hari jadi Kabupaten Temanggung. Namun, jika biasanya dikemas dalam bentuk pawai, maka pada tahun ini, pihaknya mencoba menyajikan inovasi baru, di mana setiap seniman mementaskan kesenian cukup di satu lokasi tertentu saja.

"Dengan cara ini, seniman pun dapat lebih ekspresif dalam mementaskan keseniannya, dan pengunjung dapat menyaksikan pentas kesenian yang dia sukai secara utuh, tanpa terpotong-potong oleh kesenian yang lain," ujarnya.

Bupati Temanggung Hasyim Affandi mengatakan, diharapkan ke depan akan muncul lebih banyak ide dan inovasi baru dalam menampilkan kesenian dan potensi Kabupaten Temanggung. "Sebab, dengan kemasan yang menarik, maka acara kesenian dapat menjadi acara yang menarik wisatawan dan meningkatkan pendapatan asli daerah," ujarnya.

Nia, dan Fitri, pelajar SMP dan SMA dari Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, menyukai acara kesenian semacam ini karena menjadi ajang hiburan dan berjalan-jalan. Sekalipun tidak terlalu menggemari kesenian tradisional, mereka pun mengaku tetap tertarik menonton karena beberapa kesenian diantaranya dianggap cukup unik. "Kami suka menonton kuda lumping, terutama ketika pemainnya sedang kesurupan," ujarnya.

Pelajar Asing Asyik Lukis Topeng Cirebon

Bandung, Jabar - Sekitar 30 peserta Workshop Lukis Topeng Cirebon terlihat begitu antusias dan asyik melukis topengnya. Sesekali, mereka bertanya lalu memperhatikan arahan dari seniman topeng lukis Cirebon Ade Supriyadi.

Seperti itulah suasana Workshop Lukis Topeng Cirebon Pra Event Pasar Seni ITB 2010 yang dilakukan di Campus Center Barat ITB, Jalan Ganeca, Selasa (28/9/2010).

Dua orang pelajar asing yang sedang sekolah di Bandung yang mengikuti acara ini pun, terlihat sangat tertarik dengan budaya tradisional khas Jabar ini.

"I'm very interesting with traditional culture," ujar Eliza siswa asal USA, yang sedang sekolah di SMA 3 kelas 2, saat ditanya panitia kenapa dirinya mau mengikuti workshop tersebut.

Acara workshop ini diarahkan langsung oleh Ade Supriadi Pemilik Sanggar Kreasi Cipta di Cirebon yang bergerak di bidang pembuatan topeng lukis Cirebon. Dibuka oleh seniman dan juga dosen FSRD Tisna Sanjaya.

Sementara itu, Dilla (16) siswa kelas 2 SMA Taruna Bakti mengaku mengikuti acara tersebut karena tertarik dengan seni lukis. "Saya emang suka melukis. Ini baru pertama kali melukis topeng. Lumayan gampang-gampang susah juga," ujarnya sambil mewarnai topengnya.

Humas Pasar Seni ITB Maharani Mancanagara menuturkan, dibuatnya workshop lukis topeng Cirebon ini adalah untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan tradisional yang kini mulai terlupakan.

"Topeng lukis ini adalah bagian dari kesenian Jabar yang mulia terlupakan. Kita angkat lagi untuk kembali mengingatkan, sekaligus mengenang Mimi Rasinah (seniman tari topeng-red)," ujar Maharani.

Topeng yang sudah dilukis hari ini, akan dipakai saat pawai pra event dilakukan pada 1 Oktober mendatang. "Topeng-topeng yang dilukis hari ini akan dipakai saat konvoi yang dimulai dari kampus menuju Taman Cikapayang. Ada yang berjalan kaki, pakai sepeda, dan performing art lainnya. Ini dilakukan untuk menarik masyarakat untuk datang ke acara Pasar Seni ITB 2010. Jadi euforia-nya sudah kita rasakan," tutupnya. (tya/ern)

Ratusan Alat Musik Bambu Meriahkan FBN

Bandung, Jabar - Ratusan alat musik dari bambu akan meramaikan Festival Bambu Nusantara (FBN) ke-4 tahun 2010 di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), Sabtu-Minggu (2-3/10). Tidak hanya itu, sekitar 500 siswa dari 11 sekolah menengah pertama (SM) dan sekolah menengah atas (SMA) di Bandung akan tampil memainkan musik angklung secara serempak dalam parade angklung.

"Bahkan, sejumlah seniman bambu dari berbagai daerah di Nusantara serta dari luar negeri sengaja datang untuk meramaikan Festival Bambu Nusantara IV," ungkap Dadang Johari dari Republik Entertainment dalam jumpa persnya di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jln. Perintis Kemerdekaan Bandung, Rabu (29/9).

Dadang mengungkapkan, Festival Bambu Nusantara merupakan rangkaian peringatan HUT ke-200 Kota Bandung. Festival ini tak hanya dimeriahkan seniman asal Indonesia, tetapi juga dari luar negeri seperti pemusik bambu dari Jepang dan Norwegia.

"Pemusik dari Jepang dan Norwegia sudah menyatakan ketertarikannya pada tahun lalu dan tahun ini mereka secara khusus datang untuk ikut andil dalam Festival Bambu Nusantara," ujarnya.

Festival Bambu Nusantara, lanjutnya, merupakan kegiatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang digelar tiap tahun di Bandung. Tahun ini, tema festival adalah "Re - Invention Bamboo Music and Culture and Nature".

"Diharapkan tema ini bisa mengangkat musik bambu ke tingkat dunia. Karenanya, tahun ini festival akan mengarah pada world music sekalipun alat musik yang digunakan sebagian besar dari bambu," katanya.

Dikatakannya, dalam festival kali ini tidak kurang dari 10 hingga 20 jenis bambu yang ada di Indonesia akan dihadirkan, seperti bambu wulung, bitung dan sebagainya. Menurutnya, jenis pohon bambu di Indonesia kurang lebih mencapai ratusan 360 jenis.

"Namun semuanya tidak bisa dihadirkan dalam festival kali ini. Kabanyakan bambu yang dihadirkan adalah jenis bambu yang bisa digunakan alat musik," ujarnya. (B.81)**

Kunjungan Wisata Sulsel Naik 15%

Makassar, Sulsel - Tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Sulsel mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Tercatat pertumbuhan ekonomi provinsi tertinggi dibanding provinsi lain. Salah satu sektor yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Sulsel yakni sektor pariwisata. Pertumbuhan kunjungan wisata Sulsel mengalami kenaikan sekira 15%.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, HM Suaib Mallombassi menjelaskan, tahun ini jumlah wisatawan yang datang ke Sulsel mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Apalagi, dengan kehadiran Trans Studio dan beberapa event pariwisata yang dikemas untuk menarik wisatawan.

Menurut Suaib, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel menargetkan tahun 2010, dari Januari hingga Juli, kenaikan jumlah wisatawan yang datang ke Sulsel mengalami kenaikan sekitar 15% atau sudah sekitar 4 juta.

Ke depan, dua agenda kembali digagas oleh pemerintah daerah yakni Visit Makassar tahun 2011 dan Visit South Sulawesi tahun 2012 mendatang.

"Diharapkan kedua agenda tersebut bisa berlangsung dengan baik dan mampu mendongkrak pariwisata Sulsel lebih baik lagi," kata Suaib di sela-sela pembukaan Direct Promotion Makassar, di Trans Studio Makassar.

Sementara itu, Direktur Promotsi Dalam Negeri Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Drs Fathul Bahry, MM menjelaskan, untuk mendongkrak kehadiran wisatawan ke daerah-daerah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menggagas acara Direct Promotion di 20 kabupaten/kota. Dan, Sabtu kemarin, Direct Promotion mulai digelar di Kota Makassar. Program ini menggagas promosi pariwisata secara langsung khususnya untuk wisatawan nusantara di mal-mal dan tempat-tempat strategis.

"Direct promotion dilakukan di 20 provinsi. Makassar merupakan kota ke-12 yang melakukan direct promotion," tuturnya.

Direct Promotion bertujuan untuk memperkenalkan negara dan daerah yang memiliki potensi wisata yang menjanjikan. Untuk program ini, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyiapkan anggaran sekira Rp250 juta di setiap daerah yang ikut melaksanakannya.

"Direct promotion adalah promosi langsung. Jadi setiap travel dan pengelola pariwisata kita fasilitasi sarana dan prasana untuk melakukan promosi gratis potensi potensi yang ada," tandasnya.

Menurut Fathul, dua daerah yang sangat siap mengembangkan pariwisatanya adalah Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Utara (Sulut). ()

Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir

Oleh: Meutia Farida Hatta Swasono

Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.

Namun kita juga telah melihat bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah ?bangsa yang sedang sakit, suatu kesimpulan yang tidak pula menawarkan solusi.

Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh bangsa lain Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, Saya malu menjadi orang Indonesia dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan, Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga menjadi bahan olok-olok orang banyak. Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intelektual, kemudian menganggap Pancasila harus disingkirkan sebagai dasar negara? Kaum intelektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan asas tunggal). Di samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak, perubahan UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh.

Perjalanan panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke beslissing dan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara

Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia: Identitas Nasional dan Kesadaran Nasional
Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.

Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa identitas kita) Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita??

Jawaban terhadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pembangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi kebudayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres kebudayaan yang lalu. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Makalah ini akan membatasi diri pada dua hal pokok yang menurut hemat penulis? perlu menjadi titik-tolak utama dalam membentuk kebudayaan nasional, yaitu: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional. Dalam kaitan ini, Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus merupakan? suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain, kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.

Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Secara internal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan. Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pembentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan kesadaran nasional.

Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus? memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.

Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir
Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistik ini adalah rakyat yang juga warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan? dan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita juga harus membuka diri untuk memahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan absurd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang telah menyebabkan Pancasila dikambinghitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya kediktatoran. Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profesional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap perkataan Pancasila. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat lahirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas pertanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat:Apa dasar negara kita nanti.

Kelima butir Pancasila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo (Sastro Gending di zaman Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegangan, jati diri, harga diri dan percaya diri).

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat kita baru-baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum mampu menyusun suatu? pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disintegrasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara.

Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat reformasi adalah pembaharuan dan juga back-to-basics, dalam arti meluruskan yang keliru dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna? sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan.

Nilai-nilai dalam UUD 1945 menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat ?mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat, tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini? terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajarkannya pula), yaitu adanya pembodohan sosial di hadapan kita, antara lain dengan diajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan predatorisme. [6] Pelaku dan korban pembodohan sosial ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi.

Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis
Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara. Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-program pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis Beberapa contoh akan dikemukakan di bawah ini.

Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum buhkan pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi "proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai siswa sekolah Indonesia, di manapun tempat bersekolahnya.

Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. Sosialisasi dari platform rnasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah suatu kecelakaan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.

Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki, suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh esensi persaudaraan (brotherhood) dan keluarga luas (extended family), dengan makin meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memelihara identitasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita.

Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa. Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi, menjangkau pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan jarak sosial-politik dan jarak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik. Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah air.

Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan. Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh dari pola pikir persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh gagasan untuk membentuk Gerakan Pembangunan Mina Bahari. Penulis menyaksikan semangat menggebu-gebu dari para camat dan bupati yang mulai merancang program kerja antar daerah yang termasuk dalam jangkauan gerakan pembangunan di Teluk Tomini itu. Percikan semangat kebersamaan itu bahkan juga menjangkau komuniti nelayan Bajo yang masih hidup dalam kondisi keterbatasan sosial-ekonomi di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Luwuk, Sulawesi Tengah, yang berharap memperoleh partisipasi pula dalam gerakan pembangunan ini melalui pemanfaatan potensi budaya mereka sebagai nelayan. Dengan demikian, manfaatnya tidak saja berupa keuntungan ekonomi yang bersifat regional melainkan juga nasional. Selain itu proyek ini juga dapat memberikan kebanggaan daerah dan kebanggaan nasional, perluasan tenaga kerja, sekaligus meningkatkan harkat ekonomi dan sosial rakyat di daerah-daerah, termasuk rakyat kecil, yang bersemangat untuk membangun daerah mereka agar menjadi tuan di negeri sendiri. Semangat ini telah mulai membentukkan suatu kohesi sosial, yang makin luas jangkauan teritorialnya, dan akan makin luas pula dampaknya terhadap penjalinan persatuan nasional. Di samping itu perlu pula diberikannya peluang yang mendorong kemampuan entrepreneurial dalam masyarakat.

Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupakan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu kelompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia Penataan pola pikir perlu dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu.

Berbagai contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersamaan dan kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit diperkirakan tentang akan tercapainya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (mengabaikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan bangsa.

Penutup
Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk membentuk kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strategis: (1) identitas nasional dan (2) kesadaran nasional Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat
adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya. Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan kebhinekaan menjadi ketunggalikaan dalam identitas dan kesadaran nasional. Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa. Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu jawabannya adalah menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia. Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya upaya membentuk secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.

DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, Wonder: Verso.

Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa Gagasan. Jakarta: SET.

Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.

Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cambridge, Mass.: Harvard University Press

Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with Strangers. Boston: McGraw Hill.

Kompas (2003). ?Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?, hlm. 11 kol. 1-3, 12 Oktober.

Lustick, Ian S. (2002). ?Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East?, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.

Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20 th Century. London: Zed Books, 2001. ?

Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century, New York: M.E. Sharpe.

Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

--- (1999). ?Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Persatuan dan Kesatuan Bangsa?, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.

(2000a). ?Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa?, makalah diajukan dalam Simposium dan Lokakarya Internasional dengan? tema ?Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa?, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, di ?Makassar, 1-5 Agustus 2000.

--- (2000b). ?Kebudayaan? Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa?, makalah dalam Seminar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diselenggarakan oleh DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25 November.

--- (2002). ?Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata? Menjelang AFTA 2002?, Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15.

--- (2003a). ?Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi?, makalah diajukan dalam Seminar Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP-UI di Depok, 30-31 Januari.

--- (2003b). 4. ?Membangun Kebudayaan Nasional?, majalah Perencanaan Pembangun?an, No.31,? April-Juni 2003,? hlm. 42-48.

--- (2003c). ?Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang Kesehatan Jiwa, dan Membangun Jiwa Bangsa?, makalah diajukan pada Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta, 9-11 Oktober.

Swasono, S.E. (2003a). ?Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanya?kan Jatidiri Bangsa?, makalah utama diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta 25 Februari 2003.

Swasono, S.E. (2003b). Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan Entre?preneurship Indonesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.

Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002 Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.

Beberapa Catatan Karya Sastra Pilihan Riau Pos 2007

Oleh UU Hamidy

Pada acara Anugerah Sagang 26 November 2007, Yayasan Sagang telah meluncurkan 4 karya sastra yaitu Kumpulan Sajak Pilihan Komposisi Sunyi yang merupakan pilihan 51 sajak karya 16 penyair, Keranda Jenazah Ayah pilihan 24 cerpen karya 24 pengarang, Krisis Sastra Riau dan Kumpulan Sajak Orgasmaya, karya Hasan Aspahani. Tiga karya yang pertama masing-masing dengan editor Hary B Kori’un. Sementara itu dalam tahun 2007 itu pihak UIR Press menerbitkan pula Malam Api, yakni Kumpulan Cerpen M Badri, kemudian Antologi Puisi Selat Melaka, dan Membela Marwah Melayu Kumpulan Esai Musa Ismail.

Catatan ini masih merupakan pembicaraan yang sederhana. Dikatakan demikian, karena tidak semua karya dapat diulas. Sementara yang mendapat ulasan, juga belum memadai, karena terbatasnya waktu untuk membaca lebih teliti serta membuat perbandingan satu dengan yang lain. Catatan ini bertumpu pada tiga masalah, yakni judul, muatan isi dan bahasa. Ketiga masalah ini dipilih, karena ketiganya cukup menentukan untuk menarik minat khalayak membaca karya sastra, terutama para kritikus yang akan memberikan apresiasi maupun pandangan.

Judul suatu karya kreatif seperti sajak, cerpen dan novel, amat penting diperhatikan, karena judul itu bagaikan pintu pada rumah. Jika pintu itu indah dan menarik maka tamu (pembaca) akan ingin masuk (membaca) untuk melihat (mengetahui) apa yang ada dalam rumah (isi karangan) itu. Muatan isi karangan tentu saja penting, karena di sinilah konsepsi pengarang berupa ide, gagasan serta pesan-pesan dilarutkan atau disangkutkan oleh pengarang. Muatan isi tersusun ke dalam alur atau pola baris. Sebab itu keindahan isi di samping ditentukan oleh konsepsi pengarang, juga diperlihatkan oleh bentuk susunan karya, yang ditampilkan oleh pengarang. Sedangkan bahasa tentu juga penting, karena bahasa bagaikan bahan baku oleh karya sastra. Sebab itu, pilihan kata, susunan kata (kalimat) serta ungkapan yang dipakai akan sangat menentukan terhadap keindahan karya sastra.

Dalam masalah judul, catatan ini membuat 4 kategori, yaitu indah, menarik, gelap (membingungkan) dan biasa. Judul dikategorikan indah apabila judul itu tertulis dalam rangkai kata yang bagus atau memakai metafor yang indah. Judul dikatakan menarik, apabila judul itu terkesan unik, jarang terdengar (dipakai) dalam belantara bahasa bahasa sehari-hari, sehingga terkesan pengarang memakai metafor yang relatif baru. Judul karangan juga bisa tampil gelap atau membingungkan. Ini terjadi, ketika pengarang memakai kata (rangkai kata) yang aneh, sehingga pembaca sulit memahami arti atau maknanya. Judul tidak memberi arah kepada konsepsi apa yang hendak disampaikan oleh pengarang. Lalu judul dikatakan biasa, ketika pengarang memakai kata-kata, ungkapan dan metafor, yang memang lazim terpakai dalam peristiwa bahasa, baik bahasa tulis maupun lisan. Dengan memakai 4 kategori itu, maka kumpulan puisi Komposisi Sunyi dapat tergambar sebagai berikut:

a. Judul yang indah dan menarik: “Semua Sepi Padam Sendiri” karya Marhalim Zaini dan “adakah kau dengar desah kabut malam ini kasihku” karya Syaiful Bahri.

b. Judul yang indah: “Hujan Bulan Desember” karya Hary B Kori’un, “Bukit Uhud” karya Husnu Abadi, “Batu Hitam” karya Husnu Abadi, “Kelambu Rindu I” karya Jefry Al Malay, dan “Angin Malam Mencatat Kenangan” karya Syaiful Bahri.

c. Judul yang menarik: “Inisial Namamu Hadi di Koran” karya Dian Hartati, “Melindap Sunyi” karya Dian Hartati, “Prosa Senja” karya Dien Zhurindah, “Taipun Kata-kata” karya Fakhrunnas MA Jabbar, “Hati Tenggelam Bersama Jaring” karya Hang Kafrawi, “ Suara di Belakang Rumah” karya Jefry Al Malay, “Kembali ke Langit” karya Mila Duchlun, dan “Meracau” karya Sobirin Zaini.

d. Judul yang gelap: “Perjalanan Bulan Mati” karya Dian Hartati, “Bertanyakah Dia tentang Kepak Nun yang Aku Bakar?” karya Ellyzan Katan, “Penerjemah Luka” karya Ellyzan Katan, “Manila Extravaganza” karya Fakhrunnas MA Jabbar, “Menyulam 27 Mei 2006 di Bbenakku” karya Hang Kafrawi, “Ordinat” karya Nina R Isna, dan “Galau Menjelma Pisau” karya Sobirin Zaini.

e. Judul biasa: ada sebanyak 29 sajak.

Selanjutnya kumpulan cerpen Keranda Jenazah Ayah dapat terurai sebagai berikut:

a. Judul yang indah: “Perempuan dengan Seribu Satu Tikaman Pisau di Tubuh, Juga Hatinya” oleh Aliela, “Getah Damar” oleh Ellyzan Katan, “Lagu Purnama Sungai Duku” oleh M Badri, dan “Mumbang” oleh Saidul Tombang

b. Judul yang menarik: “Pisau dalam Diri” oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo, - “Rumah di Seberang Kuburan” oleh Labibah Zain, “Kisah di Tengah Ilalang” oleh Murpasaulian, “Fitnah Ular” oleh Mhd Amin MS, “Kurap” oleh Nyoto, “Laut Ini Pernah Marah” oleh Syaifuddin Abdullah, dan “Bus Misterius”, karangan Syafrizal Sutan Malano

c. Judul yang gelap: “Rumahku untuk Pulang” oleh Pandapotan MT Siallagan, dan “Lantai Hotel untuk Menangis” karangan Ragdi F Daye.

Dengan empat kategori itu kita mendapat panduan memberi penilaian. Komposisi Sunyi dengan 51 sajak, mempunyai judul yang bagus lebih kurang 15 sajak, yakni meliputi kategori indah dan menarik. Selebihnya 29 judul kategori biasa dan 8 judul gelap, relatif kurang bagus. Jadi hanya kira-kira sepertiga kumpulan sajak itu yang punya judul bagus. Sedangkan Keranda Jenazah Ayah, dengan 24 cerpen, mempunyai judul bagus 11 judul. Selebihnya judul yang kurang bagus relatif 13 judul. Jadi hampir separuh judul kumpulan cerpen itu tergolong bagus. Dari uraian yang sederhana itu dapat dikesan, bahwa penulis cerpen relatif lebih berhasil daripada penulis sajak.

Sebenarnya judul itu bukanlah harga mati dalam arti tak dapat diganggu gugat, digeser atau diganti. Memang hampir tak mungkin seorang pengarang berangkat tanpa judul dalam proses menulis karangannya. Namun, ketika karangan sudah selesai ditulis, kemudian dibaca ulang oleh pengarang, bisa timbul pikiran untuk mempertajam bahkan memperindah judul yang sudah ada. Perhatikanlah misalnya, judul cerpen Aliela “Perempuan dengan Seribu Satu Tikaman Pisau di Tubuh, juga Hatinya”. Judul ini terlalu panjang, sehingga berkurang keindahannya. Keindahannya menjadi lebih cemerlang kalau digeser menjadi “Perempuan dengan Seribu Satu Tikaman Pisau”. Kata “di tubuhnya, juga hatinya” tak perlu lagi, sebab hal itu akan digambarkan oleh isi karangan.

Bersabit dengan itu judul yang terkesan gelap, juga bisa digeser menjadi judul yang lebih bagus. Perhatikan judul cerpen “Rumahku untuk Pulang” dan “Lantai Hotel untuk Menangis”. Kedua judul itu menjadi redup karena kata untuk. Jika kata itu dibuat, maka judul “Rumah Pulang” dan “Lantai Hotel Menangis” berubah menjadi metafor. Meskipun kedengarannya agak aneh, tetapi sebagai metafor dapat diterima. Coba perhatikan beberapa judul; Selimut Bertuah, Pertemuan Tak Terduga, Burung Tiung Sri Gading, Bulang Cahaya dan Tempuling. Tidakkah judulnya sudah menarik, sehingga pembaca tersentak untuk membacanya?

Selanjutnya juga ada catatan tentang muatan isi terhadap karya-karya terbitan 2007 itu. Muatan isi disajikan terkesan kurang pendalaman. Sebagian karya-karya itu mungkin terlalu didominasi oleh faktor inprovisasi yang segera dituliskan oleh pengarang. Hasilnya mungkin kurang dibaca ulang, apalagi direnungkan. Padahal kalau suatu karangan sudah ditulis, lalu dibaca lagi dengan sungguh-sungguh, niscaya terbuka peluang melakukan pendalaman. Sebaiknya karangan itu diendapkan beberapa hari baru dibaca ulang. Pendalaman isi karangan dapat dilakukan antara lain dengan merenungkan kenyataan hidup, memperhatikan peristiwa hidup yang sarat nilai serta melihat arti hidup dan mati yang semuanya dalam kekuasaan Allah SWT.

Tiap pengarang hendaklah merenungkan apa nilai karangannya terhadap khalayak. Karena itu, karyanya janganlah hanya ditampilkan sekadar untuk hiburan semata, sebatas memenuhi hawa nafsu yang rendah. Lebih dari itu, tiap karya seyogyanya juga mampu memandu khalayak kepada jalan yang benar, sehingga karya itu juga dapat dipandang sebagai cara membuat amal saleh. Hanya karya serupa itu yang bisa jauh gaungnya, serta punya kemampuan melampaui ruang dan waktu.

Selanjutnya, beberapa lambang dalam sajak, terkesan kurang dikembangkan dengan baik dalam baris dan bait sajak, sehingga kiasan pada tiap bait tidak indah atau tidak tajam. Metafor (lambang dan kiasan) hanya bagaikan bermain-main dalam sajak, tanpa jelas ke mana arahnya. Begitu pula pembentukan konflik dalam cerpen. Konplik yang dibuat kurang erat kembarannya, sehingga ketegangan (suspen) dalam cerita kurang menyentak.

Aspek rasional dalam karangan jangan diabaikan oleh pengarang. Sebab, walaupun karya itu bersifat kreatif imajinatif, namun karangan yang tidak wajar (rasional) akan terasa mengganggu serta merusak nilai-nilai keindahan. Perhatikan, contoh kecil dalam cerpen “Keranda Jenazah Ayah”. Ini adalah judul biasa. Cerpen ini menarik dibaca, karena menggambarkan konflik antara rakyat kecil yang miskin dengan pengusaha yang serakah bekerja sama dengan kaki tangan pemerintah yang zalim serta didukung oleh orang bagak yang jahat. Kalau pengarang memahami lebih mendalam kearifan puak Melayu memelihara hutan tanah, niscaya konflik itu dapat lagi dibuat tajam sehingga lebih menarik. Sebab itu, judul ini agaknya akan lebih menarik jika diganti dengan “Tunggul Kayu”. Sebab di hadapan makhluk serakah itu, rakyat kecil hanya bagaikan tunggul kayu. Sebagai tunggul, rakyat kecil itu sedikit menghalangi hawa nafsu mereka. Tapi itu cuma sepele. Dengan teknik yang licik, rakyat kecil dengan mudah dilumpuhkan.

Di samping itu, aspek kewajaran bisa dikesan dari tokoh cerita. Dalam cerpen “Keranda Jenazah Ayah” dikatakan umur tokoh 12 tahun. Kalau demikian halnya, bagaimana tokoh ini mampu menyeret jenazah ayahnya sejauh 10 kilometer dalam tempo lebih kurang 6 jam. Tentu sedikit banyak tidak wajar. Supaya wajar, barangkali umur itu harus ditinjau lagi atau jarak menyeret lebih pendek. Kalau maksudnya untuk memberi efek tragis, tentu peristiwa ini harus ditata lagi.

Mengenai aspek kewajaran isi ini masih bisa kita lihat contoh kecil lagi dalam sajak “Dongeng Negeri Empat Musim” karya Hasan Aspahani; //Ada empat musim di negeri itu/pertama, musim berdusta,/kedua musim berjanji,/ketiga musim berpura-pura,/keempat musim lupa.//

Karena sajak punya judul tentang musim, maka musim mempunyai urutan. Meskipun sajak ini tidak bicara tentang musim alam, tapi musim berdusta mendahului musim berjanji, tentu tak mungkin, walau dalam konteks ambiguitas sekalipun. Tak mungkin berdusta dulu, baru berjanji. Sebab dusta timbul dari janji. Sajak ini dapat agaknya menjadi lebih bagus, jika masing-masing musim itu digambarkan dalam bait berikutnya.

Hampir sejalan dengan itu juga berlaku pada sajak “Orgasmaya”. Pada tingkat orang awam, judul puisi ini mungkin gelap atau membingungkan. Sebab tak terjangkau oleh perbendaharaan kata-kata mereka. Pembaca mungkin membayangkan sebagai perkawinan di dunia maya atau cinta erotis di alam imajiner. Tetapi pembaca bisa jadi heran, sebab sajak itu bukan menggambarkan bayangan dunia maya, melainkan dunia nyata yang terkesan vulgar. //”Surga itu mungkin trampolin!”/”Dan kita tak bisa membedakan lagi/tubuhkukah di atas tubuhmu/atau tubuhmu di dalam tubuhku/ketika mereka-reka adegan sempurna:/persetubuhan terindah di dunia”//

Barangkali pengarang hendak membayangkan perkawinan erotis Adam dan Hawa, yang melahirkan anak-pinak umat manusia, seperti terbayang dalam bait berikutnya. Jika ini ambiguitas puisi itu, metafor yang dipakai tak memadai. Dunia Adam dan Hawa tak dapat dibayangkan sebanding dengan perkawinan primitif manusia purba. Sebab Adam adalah nabi, bukan manusia biasa semata-mata. Membayangkan Adam dan Hawa pada tingkat imajinasi, salah-salah bisa tergelincir menjadi penghinaan terhadap nabi tersebut.

Kalau memang dunia maya, yang dapat dibuat-buat sesuka hati (seperti misalnya dilihat melalui layar) maka cinta birahi di sana, tentu banyak keanehan, karena tidak seperti terjadi di dunia nyata. Di sana bisa dikatakan manusia kawin dengan makhluk lain, nikmat hubungan intim tidak perlu melalui alat kelamin tapi entah dengan apa, yang tak ada di dunia nyata. Itu baru “surga trampolin” (surga petualang). Tapi khalayak barangkali akan bertanya, apa maknanya membayangkan persetubuhan di dunia maya. Sungguhpun begitu, barangkali ada pengamat lain yang dapat mengungkapkan ambiguitas sajak ini.

Tentang masalah bahasa, karya-karya terbitan 2007 itu juga pantas diberi catatan. Seperti telah diperlihatkan oleh empat kategori judul, maka beberapa metafor yang dipakai kurang memuaskan. Kekurangannya akan segera dikesan, setelah kita mencoba mencari (membayangkan) ke mana arah lambang dan kiasan sajak itu. Ada beberapa metafor yang bagus seperti mumbang, angin malam, taipun kata-kata, hujan bulan desember dan batu hitam. Tetapi metafor ini sebagian belum “diolah” dengan tangan yang lasak dan hati yang gelisah. Akibatnya tampil kurang cemerlang.

Jadi dalam mencari lambang dan kiasan (metafor) ini para pengarang sudah cukup kreatif. Lambang-lambang sudah menarik pembaca. Kalau metafor ini ditarah dan diketam lagi dengan kehalusan bahasa, niscaya karya-karya itu akan tampil lebih cemerlang. Sebagai bandingan, perhatikanlah betapa indahnya lambang bunga untuk perempuan dalam puisi tradisional. Bunga punya penampilan indah, merekah, harum, bahkan juga layu. Ini semuanya sebanding dengan penampilan perempuan, terutama anak gadis. Perhatikan juga lambang perahu oleh Hamzah Fansuri, dunia oleh Raja Ali Haji, dan angan-angan oleh Tuan Guru Abdurrahman Siddik. Sementara pengarang Melayu yang baru misalnya, memakai lambang pucuk mali-mali (Ibrahim Sattah), kapak (Sutardji Calzoum Bachri), banjir (Idrus Tintin), Burung Tiung Sri Gading (Hasan Junus), elang (Ediruslan Pe Amanriza), Bulang Cahaya dan Tempuling (Rida K Liamsi), ceri (Fakhrunnas MA Jabbar), pipa darah (Abel Tasman), Sri Batam (Samson Rambah Pasir), dan getah bunga rimba (Marhalim Zaini).

Mendapatkan metafor yang bagus tentu saja memerlukan berbagai cara dan jalan. Membaca karya-karya yang bagus (indah) bahasanya seperti karya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Soeman Hs, Hamka, Hasan Junus, BM Syamsuddin, Tenas Effendy dan sebagainya. Di samping itu memperhatikan alam semula jadi, peristiwa alam dan peristiwa kehidupan serta dirangkai dengan sirih pinang puak Melayu, niscaya akan terbuka peluang mendapatkan metafor yang relatif baru. Hindari memakai bahasa pasar (kecuali jika konteks memaksa) sebab bahasa pasar kalau tidak hati-hati memakainya, dapat merendahkan mutu bahasa yang sudah terpelihara. Bagaikan pelukis memakai cat kualitas rendah untuk lukisannya. Walaupun komposisi lukisan sudah harmonis, namun tidak mampu memancarkan keindahan yang diharapkan, karena kualitas cat yang dipakai tidak bagus.

Pengarang harus sadar, setelah karyanya diterbitkan, Karyanya itu tidak lagi sebatas diri pengarang, tetapi sudah berbicara terhadap khalayak (pembaca). Maka, kalau karya itu tak dapat dinikmati dan dipahami oleh khalayak, sungguh suatu pemakaian tenaga yang sia-sia. Lebih daripada itu, karangan atau karya itu seyogyanya mendorong pembacanya agar punya martabat, bukan menggiring mereka kepada budaya egois, hedonis, materialistik bahkan munafik. Sebab, berdiri di atas budaya materialistik-munafik, bagaikan berdiri di atas lumpur. Makin banyak berbuat (berkarya) makin jauh terpuruk ke dalam lembah kehinaan.***

UU Hamidy, adalah kritikus sastra dan dosen sastra senior. Bermastautin di Pekanbaru.

Inferioritas Anak Negeri dalam ”Pipa Air Mata” dan ”Jalan Sumur Mati”

Oleh Dr Junaidi

Cerpen “Pipa Air Mata” (karya M Badri) dan “Jalan Sumur Mati” (karya Olyrinson) sama-sama menampilkan potret masyarakat tempatan yang menderita meskipun mereka tinggal di lingkungan perusahaan minyak yang sangat kaya. Kedua cerpen ini dihimpun dalam buku Pipa Air Mata terbitan Yayasan Sagang Pekanbaru. Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengungkapkan kondisi inferioritas masyarakat tempatan berbanding dengan superioritas perusahaan minyak besar.

Eksplorasi Bumi untuk Siapa?
Judul kedua cerita ini menunjukkan bahwa cerita ini berkaitan dengan keberadaan sebuah perusahaan minyak. Kata “pipa” dalam judul cerita pertama berkaitan dengan alat utama yang digunakan perusahan minyak untuk mengalirkan minyak. Bila kita berjalan mengelilingi area ladang minyak, maka kita akan melihat begitu panjangnya pipa. Bagi perusahaan minyak, pipa sangat penting untuk mengalirkan minyak dari satu tempat ke tempat lainnya. Kalau tak ada pipa entah dengan apa minyak itu dialirkan. Tetapi dalam cerita pertama, kata “pipa” disandingkan dengan kata “air mata”. Penyandingan ini memberikan makna yang sangat ironis sebab pipa yang seharusnya berisikan minyak ternyata berisikan air mata.

Ini bermakna bahwa ada penderitaan yang sangat mendalam dirasakan oleh masyarakat tempatan dengan kehadiran perusahaan minyak. Perusahaan minyak memang identik dengan kekayaan dan kemewahan sebab harga minya memang sangat mahal di dunia. Makna pipa bersifat paradoks terhadap hubungan perusahaan minyak dan masyarakat tempatan. Bagi perusahan minyak, pipa merupakan alat untuk menghasilkan dolar sedangkan bagi masyarakat tempatan pipa itu adalah penderitaan sebab perusahaan itu telah menghancurkan kampung, masyarakat, dan identitas masyarakat tempatan. Bagi masyarakat tempatan pipa minyak merupakan bencana teknologi yang telah meluluhlantakkan kehidupan mereka.

Judul “sumur mati” menegaskan bahwa cerita ini berkaitan dengan keberadaan sumur minyak milik sebuah perusahaan minyak. Frasa “jalan sumur mati” bermakna kehidupan masyarakat tempatan tidak jelas lagi sebab telah dihambat oleh perusahaan minyak. Tanah dan hutan telah dirampas oleh perusahaan minyak sehingga masyarakat tempatan tak punya lahan lagi untuk dikembangkan. Bagi perusahan minyak, kandungan minyak yang terdapat dalam perut bumi adalah uang sedangkan bagi masyarakat tempatan itu tidak menghasilkan manfaat, padahal minyak itu terdapat di negeri mereka sendiri. Masyarakat hanya menjadi objek penderita sedangkan pihak perusahaan terus mendapat keuntungan yang melimpah ruah dari minyak yang terus disedot dari perut bumi. Bagi perusahaan minyak, setiap tetes minyak yang terdapat dalam pipa adalah dolar. Sedangkan bagi masyarakat setiap tetes minyak yang terdapat dalam pipa adalah penderitaan yang mereka rasakan.

Inferioritas Masyarakat Tempatan
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat tempatan menjadi isu utama dalam kedua cerpen ini. Kemiskinan itu pula yang membuat masyarakat tempatan sangat inferior dibandingkan dengan pihak perusahan minyak. Dalam “Pipa Air Mata” gambaran kemiskinan ditampilkan melalui tokoh Awang atau Gabriel yang berasal dari Suku Sakai. Pengeboran minyak di kampung Awang tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sebaliknya ia mendatang penderitaan yang amat mendalam dan bahkan telah menghancurkan kehidupan masyarakar Sakai seperti ungkapan Awang: “Setelah menancapkan pipa berkarat di kampung kami, lalu menaminya dengan luka. Mengoyak kehidupan hingga mengalirkan air mata abadi.” Begitu sangat menyedihkan gambaran nasib masyarakat tempatan. Mereka tiada kuasa untuk menolak keberadaan perusahan minyak sebab mereka miskin, lemah, dan tak berpendidikan. Mereka kalah menghadang kekuatan maha besar perusahaan minyak yang bertaraf internasional. Masyarakat kecil terlalu inferior untuk memperjuangkan nasib mereka. Nasib mereka sekarang benar-benar ditentukan oleh kekuatan perusahan minyak.

Dalam “Jalan Sumur Mati” potret kemiskinan masyarakat tempatan terlihat dari dua tokoh wanita yang mencuri pipa bekas dari tempat pembuangan pipa di sekitar ladang minyak. Kedua wanita itu terpaksa harus mencuri pipa untuk mendapat sesuap nasi bagi cucunya yang sedang kelaparan. Mencuri pipa adalah keterpaksaan sebab tak ada lagi yang bisa mereka perbuat untuk memberi makan keluarganya. Mereka bukan mencuri pipa yang sedang berfungsi untuk mengalirkan minyak. Mereka juga pasti tak sanggup untuk mencuri minyak. Mereka terlalu lemah untuk melakukan itu. Mereka hanya mengambil pipa bekas yang tak berguna lagi bagi perusahan minyak seperti yang diungkapkan oleh salah seorang wanita tua: “Sudah empat hari kami tidak makan nasi, Bapak. Kalau aku tidak pulang membawa besi itu, cucuku akan makan tanah. Kasihanilah kami. Kami hanya mencari besi bekas, apa itu akan merugikan, Bapak? Kami lapar! Kami lapar! Kami hanya makan dari remah-remah perusahaan ini. berilah kami sedikit, Bapak!”

Tetapi mereka tetap saja dianggap mencuri oleh sang petugas sekuriti sebab pipa itu diklaim milik perusahaan minyak. Kondisi ini sangat ironis sebab disekitar area perusahaan yang kaya itu ternyata ada orang yang kelaparan dan ketika masyarakat tempatan mencari sisa-sisa pipa mereka pun dianggap pencuri.

Superioritas Barat
Kegiatan ekplorasi minyak bumi di Indonesia selalu diatur oleh pihak luar negeri atau pihak asing. Ini menyebakan hasil bumi kita sendiri lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi orang asing dari pada untuk bangsa sendiri. Kita memang pemilik sah bumi ini tetapi karena ketidakberdayaan, kita tak mampu mengelola bumi kita sendiri untuk kesejahteraan bangsa. Kita hanya jadi penonton yang baik sedangkan orang asing semakin kaya karena mengeksplorasi bumi kita. Bagi pihak asing, tidak perlu memiliki bumi Indonesia, tetapi yang terpenting bagi mereka adalah mampu mengeruk kekayaan alam atau bumi Indonesia. Superioritas Barat memang sangat berperan dalam eksplorasi minyak. Bahkan mereka mampu membuat “zona eksklusif” beralakan Barat di bumi kita sendiri. Sehingga ketika kita masuk ke zona mereka kita pun diperlakukan sesuai dengan prosedur mereka. Tetapi apa boleh buat, superioritas Barat telah menentukan “takdir” kita. Mereka sangat kuat dan bahkan kekuatannya seperti “tuhan” yang menentukan masyarakat tempatan yang lemah.

Dalam “Pipa Air Mata”, orang asing berperanan besar dalam menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat Sakai. Orang asing tidak hanya menghancurkan aspek fisik masyarakat tetapi juga menghancurkan kebudayaan dan identitas orang Sakai. Secara fisik, hutan sebagai tempat berteduh orang Sakai telah dihancurkan oleh orang asing yang membuka ladang minyak di tanah orang Sakai seperti cerita Awang: “Saat itu hutan masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan cernih. Lalu datanglah orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah. Mereka datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survey katanya, sebab di hutan itu ditengarai terdapat banyak minyak bumi”.

Secara kultural, identitas orang Sakai juga telah mengalami perubahan. Ini dapat terlihat dari persoalan identitas diri anak orang Sakai yang bernama Awang. Orang asing yang bernama William yang bekerja di perusahaan minyak telah merubah nama Awang menjadi Gabriel. Dengan kekuasaanya ia mampu merubah nama Awang menjadi Gabriel sebab ia telah mengangkat Gabriel menjadi anak angkat. Ini bermakna orang Barat telah menjadikan orang Sakai tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalam konteks poskolonialsime, dominasi Barat telah membuat orang Timur semakin tersingkirkan. Meskipun Awang telah menjadi Gabriel, Awang tetap berupaya untuk mempertahankan jati dirinya: “Aku bukan Gabriel, si malaikat itu. Bukan, aku bukan malaikat. Aku Awang si anak sakai degil, si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah kampungku luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”

Dalam diri Awang ada pertentangan. Akankah ia menyalahkan orang Asing yang telah menghancurkan kampungnya? Tetapi sulit bagi Awang untuk menyalahkan orang Asing sebab ia sendiri telah dibesarkan oleh orang asing. Ini lah perangkap orang asing yang sebenarnya. Ia seolah-olah menolong kita tetapi ada perangkap yang mengikat kita supaya kita terus bergantung dengan mereka.

Dalam “Jalan Sumur Mati” keterlibatan orang asing dalam mengekploitasi hasil bumi Indonesia terlihat dari keberadaan perusahaan minyak yang dimiliki oleh orang asing. Meskipun secara eksplisit cerita ini tidak menggunakan sebuatan orang asing, citra perusahaan minyak di Indonesia selalu berkaitan dengan dominasi orang asing. Apalagi di Riau, perusahaan minyaknya berkaitan erat dengan perusahaan asing. Dengan demikian, kekuatan Barat juga sangat membelenggu dua orang wanita tua yang mencuri pipa. Kekuatan Barat telah menyebabkan mereka tidak mampu hidup secara layak di tanah air mereka sendiri.

Penutup
Bila kita pergi ke Minas, Duri, Dumai dan beberapa daerah sekitarnya, kita akan lebih merasakan kondisi masyarakat sekitar area ladang minyak seperti yang digambarkan kedua cerita ini. Kedua cerita ini telah mengangkat realitas kehidupan masyarakat sekitar area operasional perusahaan minyak. Kedua cerita ini dapat menggugah hati ketika kita melihat penderitaan, kemiskinan, dan inferioritas masyarakat tempatan. Adalah ironis ketika pipa minyak yang mengantarkan ribuan dolar bagi orang asing, bagi pemerintah pusat, bagi pejabat, dan bagi kelompok elit lainnya. Tetapi bagi masyarakat tempatan ternyata pipa itu bermakna penderitaan sebab perusahaan telah mengancurkan tatanan kehidupan mereka.
Masyarakat tempatan menjadi semakin hilang jati diri akibat dipaksa untuk meninggalkan kebudayaan mereka. Mereka terpaksa meninggalkan cara hidup dan tradisi mereka. Mereka dipaksa hidup secara modern tetapi sayangnya mereka tidak disiapkan untuk itu sehingga mereka selalu kalah bersaing dengan orang lain. Untuk kembali hidup dengan tradisi mereka, mereka tak bisa lagi sebab hutan dan alam mereka telah dirusak. Untuk bersaing dengan orang modern mereka juga tak sanggup. Akibatnya, mereka menjadi masyarakat yang mengambang, inferior, dan tidak tentu arah sehingga mereka akan selalu menjadi objek penderita dalam persaingan di dunia ini.***

Dr Junaidi adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah Riau.

Sumber: Riau Pos, 29 November 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts