Kesenian yang Menjunjung Lingkungan

Oleh Iwan Gunadi

Penyanyi dan pencipta lagu Ully Sigar Rusadi menunjukkan kepeduliannya terhadap pelestarian alam tak hanya melalui sepotong lirik lagu, tapi juga banyak lirik lagu lain yang digubahnya. Sebagian besar lirik lagu atau bahkan hampir semua lirik lagu gubahannya memang menunjukkan kepeduliannya terhadap pelestarian alam.

Boleh jadi, hanya ada dua orang pekerja di industri musik Indonesia yang mudah diingat lantaran keterlibatannya melakukan penyadaran melalui musik tentang pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat. Yang pertama adalah Ully Sigar Rusadi itu. Yang kedua adalah Nugie dan kelompok musiknya, Alv. Keduanya berasal dari generasi pekerja musik yang berbeda dengan warna musik yang tak serupa. Hal lain yang membedakan keduanya: Ully kemudian dan sampai sekarang melengkapi perjuangannya melalui tindakan yang lebih konkret berupa gerakan fisik, bukan sekadar gerakan audio-verbalistik.


Memang, hanya sedikit pekerja seni atau kelompok seni yang peduli terhahap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup yang sehat dengan intensitas tinggi, apalagi sampai total. Kalau di industri musik Indonesia saja yang memang jauh lebih semarak ketimbang cabang-cabang kesenian yang lain, orang atau kelompok seperti itu tak mudah dicari untuk saat ini. Apalagi di cabang-cabang kesenian yang lain, seperti film cerita layar lebar atau film cerita televisi —hampir semua orang menyebutnya dengan istilah yang salah kaprah, yakni sinema elektronik atau sinetron— teater, tari, seni rupa, dan sastra.

Amsal lain dapat kita kutip dari sastra. Memang, banyak pekerja sastra mutakhir yang menulis karya sastra dengan tema lingkungan hidup. Sekurangnya, latar atau setting-nya lingkungan hidup. Sejumlah sayembara menulis karya sastra dengan tema lingkungan hidup pun pernah beberapa kali digelar, terutama dalam bentuk sayembara menulis puisi dan cerita pendek (cerpen). Tak sedikit pekerja sastra yang turut serta dalam sayembara-sayembara itu. Tapi, tak ada seorang pun pekerja sastra yang sampai sekarang dikenal dengan spesialisasi lingkungan hidup. Mereka menulis karya sastra dengan tema lingkungan hidup cenderung bersifat temporer, khususnya untuk mengikuti sayembara menulis karya sastra dengan tema yang sama.

Kesenian sebenarnya dapat menjadi media yang strategis sekaligus populis untuk menebarkan kesadaran tentang pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat kepada masyarakat luas, terutama kalangan muda. Sebab, kesenian merupakan salah satu sisi kehidupan yang dekat dengan masyarakat. Sangat sulit menemukan seseorang yang sama sekali tak bersentuhan dengan kesenian. Entah musik, film cerita layar lebar atau film cerita televisi, sastra, teater, seni rupa, atau tari.

Dua atau tiga jenis kesenian yang disebut lebih dahulu tersebut merupakan cabang-cabang kesenian yang lebih merakyat ketimbang tiga cabang kesenian yang disebut belakangan. Artinya, kalau kesenian hendak dijadikan media untuk menularkan kesadaran mengenai pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat, ketiga cabang kesenian tersebut dapat dijadikan wahana strategis yang lebih diprioritaskan. Pilihan tersebut tentu bukan untuk menganaktirikan tiga cabang kesenian yang lain. Pilihan itu lebih merupakan suatu kompromi terhadap realitas sebelum akhirnya menyentuh cabang-cabang kesenian yang lain. Bahkan, kalau mau dipersempit lagi, prioritas utama dapat dijatuhkan pada musik. Sebagaimana di banyak negara lain, cabang kesenian yang satu itu memang memiliki publik yang luas di Tanah Air ketimbang cabang-cabang kesenian yang lain.

Kompromi tak hanya dapat dilakukan pada tataran keluasan publik, tapi juga pada tataran ketercerapan format atau corak kesenian oleh publik yang lebih luas. Kalau sekarang yang merajai blantika musik Indonesia adalah format kelompok musik atau atau grup band, menyodorkan penyanyi solo yang mengusung tema-tema pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup yang sehat, boleh jadi, bukanlah gagasan yang cerdas. Hal yang sama berlaku untuk penawaran musik bercorak balada ketika publik menyenangi musik bercorak ska, misalnya. Atau, menawarkan musik campursari kepada penggemar house music.

Namun, memang, menjadikan kesenian sebagai media penyadaran tentang pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat bukanlah semudah membalikkan tangan. Perintang terbesar, boleh jadi, akan datang dari pekerja seni sendiri. Sebab, tak sedikit pekerja seni akan menafsirkan frase atau kelompok kata “media penyadaran tentang pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat” sebagai upaya memperalat atau menunggangi kesenian bukan untuk kemajuan kesenian itu sendiri. Mereka akan tak rela kalau pelbagai karya seni yang mereka hasilkan harus menghamba pada sesuatu yang menepiskan kaidah-kaidah artistika dan estetika yang menjadi fondasi kesenian.

Karena itu, upaya menjadikan kesenian sebagai media penyadaran tentang pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan hidup yang sehat tetap mesti bertolak dari kaidah-kaidah artistika dan estetika. Minimal, ia merupakan produk ketegangan antara tujuan-tujuan kesenian dan tujuan-tujuan sosial kemasyarakatan.

Upaya penyadaran itu sendiri selayaknya menjadi bagian yang integral dari seluruh upaya gerakan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup yang sehat. Bukan upaya yang berdiri sendiri. Kalau gerakan tersebut secara sederhana dipilah menjadi gerakan fisik dan psikis, upaya penyadaran melalui kesenian itu tentu menjadi bagian dari gerakan psikis. Upaya penyadaran melalui musik, misalnya, tentu menjadi bagian dari upaya penyadaran melalui kesenian secara menyeluruh, dan seterusnya. Semua itu memang sebuah kerja besar dengan taruhan yang besar pula bila gagal: kehancuran lingkungan yang identik dengan kemusnahan makhluk hidup, termasuk manusia.

Seluruh bentuk gerakan pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup yang sehat itu pun cenderung tak akan banyak manfaatnya kalau hanya dijalankan seperti hangat-hangat tahi ayam. Misalnya, tahun ini, ada lomba mencipta lagu dengan tema pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup, tapi tahun-tahun berikutnya kegiatan tersebut hilang. Tahun ini, ada film cerita televisi, baik satu episode maupun beberapa episode atau serial, tentang lingkungan hidup, tapi tahun-tahun berikutnya ditiup angin entah ke mana.

Di sisi lain, pemahaman masyarakat tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup harus diperkaya. Kalau kerja besar tersebut merupakan upaya memelihara keberlangsungan kehidupan, termasuk manusia, maka, seperti tadi disebutkan, kegagalan kerja besar itu mempertaruhkan sesuatu yang besar pula: kehancuran lingkungan yang identik dengan kemusnahan makhluk hidup, termasuk manusia. Dengan logika seperti itu, tindakan yang mengarah pada perusakan atau penghancuran lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan kekerasan. Dengan begitu, setiap anggota masyarakat tak lagi menganggap enteng persoalan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup.

Misalnya, berbagai bencana bencana alam, seperti banjir, badai, gempa bumi, dan gunung meletus. Bencana alam memang tak dapat dipastikan datangnya, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan teknologi. Bahkan, banjir merupakan bencana yang rutin terjadi di negeri ini. Hujan yang menjadi salah satu penyebab banjir memang tak dapat dipastikan kapan turunnya, tapi kita mengenal rentang masa ketika hujan biasa luruh ke bumi. Kita paham wilayah-wilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum bahwa ketakbiasaan masyarakat membuang sampah di tempatnya turut berpotensi mengundang banjir.

Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat memicu terjadinya banjir kurang atau tidak diantisipasi atau bahkan dibiarkan, pada saat yang sama, kekerasan telah dimulai. Ketika banjir meratakan banyak wilayah serta pelbagai alasan langsung dan tak langsung meluapkan ketidakmampuan atau kekurangmampuan penanganannya, kekerasan telah sungguh-sungguh meneggelamkan tubuh-tubuh masyarakat.

Ketika limbah-limbah pabrik dan rumah tangga mengalir leluasa di kali-kali dan sungai-sungai yang masih dijadikan tempat hidup ikan-ikan dan tetumbuhan yang dikonsumsi masyarakat sekitar serta tempat mandi dan mencuci makanan penduduk sekitar, wajah kekerasan dalam bentuk beragam penyakit siap menyerang dalam waktu yang tak terlalu lama. Ketika seseorang menyunat dana untuk penanaman kembali alias reboisasi hutan yang gundul, diam-diam, penyunatan tersebut telah mengundang kekerasan dalam bentuk tanah longsor pada suatu hari kelak. Ketika pola tanam yang penuh bahan kimia justru menyurukkan tingkat kesuburan tanah dan menghasilkan makanan-makanan yang beracun, kekerasan telah benar-benar siap menjerat nyawa manusia.

Sayangnya, pemahaman kekerasan seluas itu cenderung tak diterapkan di negeri ini, termasuk untuk karya-karya seni yang memikul tema-tema pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup. Padahal, dengan pemahaman kekerasan seluas itu, upaya-upaya penyadaran pentingnya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup pun dapat dieksplorasi secara lebih luas. Tekanan kepada orang-orang atau pihak-pihak yang merusak dan menghancurkan lingkungan hidup dapat lebih bergigi kalau pemahaman kekerasan secara luas menyemangati ketentuan-ketentuan hukum, misalnya. Kalau slogan-slogan yang bombastis tak efektif menyadarkan masyarakat, kita berharap, upaya penyadaran secara halus melalui pelbagai bentuk karya seni dapat lebih meresap.***

Iwan Gunadi adalah peminat seni dan menulis esai budaya/sastra di berbagai media. Tinggal di Kelapa Dua, Tangerang.

-

Arsip Blog

Recent Posts