Menggarap Tradisi dengan Interpretasi Kekinian

Menggarap Tradisi dengan Interpretasi Kekinian
(catatan tentang parade tari daerah)
Oleh Faisal Amri, S.Pd
Ketua komite tari Dewan Kesenian Prov. Kepri / Guru SMA N 4 Batam

Parade tari daerah se provinsi Kepulauan Riau, 6 Juni 2009 yang diadakan di Pamedan Kota Tanjungpinang, cukup mendapat sambutan. Menonton dua belas karya tari pada malam itu, ada isyarat bahwa koreografi di daerah ini tidak sepi. Pertunjukan malam itu telah menjadi indikasi bahwa para koreografer muda di Kepri punya kemampuan yang perlu di asah, baik secara koreografi, wawasan, penggalian akar tradisi serta usaha pencarian gagasan karya yang baik.

Potensi penari yang dimanfaatkan oleh masing-masing koreografer muda itu, mendekati keseimbangan satu sama lainnya. Kendati, pada banyak bagian, ada kehadiran penarinya yang belum lagi mengarifi seni tari sebagai pengekspresian jiwa yang mempengaruhi segala bentuk psikis atau psikologis dari gerak dan isi tari yang dipagelarkan. Sehingga persepsi tentang tari sebagai hiburan, dunia lengang lenggok, mengikuti irama masih tercermin dalam karya yang tampil pada malam itu.

Parade tari yang digagas oleh Dinas Pariwisata provinsi Kepulauan Riau ini mendatangkan tiga eksekutor dari Jakarta, yakni Dedi Luthan, penari dan koreografer Nasional yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta, Evi Martison yang pada dasarnya adalah seorang penari dan koreografer, akan tetapi di ranah publik lebih dikenal sebagai komposer dan yang terahir adalah Suryandoro dari Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Dedi dalam sepatah dua katanya jelang pengumuman pemenang mengatakan, kecendrungan karya lebih kepada gerak dalam tempo cepat. Kelembutan yang bertahan dengan kekuatan vokal tidak lagi menjadi sumber yang menggiurkan. Lebih jauh, teknik menari, kemampuan melahirkan gagasan karya lalu penggunaan properti yang tidak sekedar akrobatik haruslah menjadi pertimbangan, sehingga karya yang lahirpun tidak hanya mengarah kepola entertainment saja, demikian dedi mengahiri sambutannya. Sedangkan Evi Martison mengkritisi masalah musik. Jika dilihat dari musik tari secara keseluruhan mempunyai kemajuan yang luar biasa, enak di dengar, akan tetapi ada yang terpisah dari tarinya. Evi juga menegaskan, seharusnya musik tari bisa menjadi cabang ilmu musik yang mempunyai tugas tersendiri, antara lain di samping untuk iringan, juga bisa mempertegas gerak, membentuk perbedaaan ritme, tempo, suasana dan karakter dari koreografi itu. Sehingga musik tari benar-benar diperuntukan untuk tari.

Prinsip sederhana dalam karya tari yang begitu percaya kepada tubuh, masih terabaikan. Kecendrungan ini bahkan melahirkan tudingan, bahwa, karya koreografer yang tampil pada malam itu terasa verbal dalam menerjemahkan ide. Mereka tidak bisa bergerak lebih banyak untuk mengeksploitasi tubuh dalam melahirkan metafor atau simbol-simbol bagi sebuah wacana di balik itu. Akhirnya lahirlah anggapan, bahwa, karya yang tampil terkesan hanya memindahkan apa yang terdapat dalam kehidupan keseharian lalu di bawa ke atas panggung. Lebih jauh, apa yang dinamakan dengan stilisasi gerak belum mendapat prioritas bagi seorang koreografer.

Tari Balairong Sri, misalnya, yang ditata oleh Raju dari Tanjung Balai Karimun sebagai pembuka lomba tampil dengan kesederhanaannya. Mengusung tiga penari cewek dan lima penari cowok tanpa menggunakan properti. Tari Penggalah dan tari Kembu Berpaut dari Kabaputen Lingga, Putri Dayang Sembilan dari Anambas, adalah koreografi yang hampir belum tersentuh dengan kaidah-kaidah luar. Artinya karya mereka belum banyak terkontaminasi dengan gaya, corak, gerak yang melebihi kemampuan dari seorang penari pendukungnya. Keinginan berbuat, berkreativitas lebih menonjol dari pada menyalin, mengkopi faste bentuk-bentuk kekinian. Akan tetapi keluguan, gaya garap mereka telah memberi warna tersendiri dalam kancah parade pada malam itu. Satu hal yang mesti dipuji dari mereka adalah semangat mereka dalam berbuat dan berkarya.

Congkak Bertingkah yang tampil diurutan kedua, mengusung properti sesuai nama tariannya “Congkak”. Tarian ini muncul dengan konsep permainan yang sedikit menggigit. Koregrafer juga piawai dan trampil memanfaatkan kesederhanaan kwalitas penari yang centil dan mungil. Congkak tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat permainan, tapi ia telah pula menjadi properti dalam pengertian lain. Kalau saja kwalitas kesembilan penari ini matang dengan teknik, ditambah dengan keberadaan musik yang melebihi dari kesan meriah, maka, tarian Congkak Bertingkah akan memberikan nuansa tersendiri. Demikian juga endingnya, kalaulah penari bisa bertahan 3 sampai 4 detik saja di tengah panggung dengan arah hadap diagonal kiri, yang kemudian di akhiri oleh lampu yang makin lama redup, mungkin tarian ini akan berbicara lain.

Lain dengan tari Kajang Sapulimo, tari Nyiru Bara dari Bintan, Cermin Tekat dari Batam. Karya mereka telah memasuki ranah koreografi yang mempunyai keinginan untuk bercerita. Menembus batasan tari tidak hanya sekedar gerak berirama. Kelebihan lain penari sudah memiliki kwalitas gerak, ditambah kemampuan tehnik penari yang mulai dirasakan, akan tetapi belum mempunyai kesamaan pandangan dalam menerjemahkan sesuatu. Vokabuler yang digunakan terjebak kepada hal-hal yang sudah lazim selama ini. Sehingga hampir dipastikan alasan pemilihan motif ini agar mereka terkesan tampil dengan aroma kekinian. Keinginan yang kuat untuk mengenyampingkan kesederhaan telah membuat mereka gagap dalam berbuat. Anehnya lagi, tempat kreatif yang berberjauhan, tidak membuat karya mereka berbeda dipanggung, ibarat saudara kandung, mereka memiliki sifat, warna kulit dan kemauan yang sama. Kedepannya, kita meyakini proses secara terus menerus akan membuat mereka jujur dalam berbuat, dan hakikat tari menjadi pilihan yang tidak boleh ditawar. Kemungkinan-kemungkinan untuk pendewasaan seorang koreografer masih terbuka luas, jika mereka selalu berproses. Apalagi mereka berbuat tidak hanya karena sebuah iven.

Tari Senandung Ujung Utara ke Jakarta
Tari Pongkes tampil dengan keberanian yang luar biasa. Ia menawarkan sesuatu hal yang baru. Kebebasan ekspresi yang mempunyai keinginan besar untuk keluar dari konfensi-konfensi mereka lakukan. Pongkes memiliki musikalitas tersendiri dalam memainkan ekpresinya berikut gagasan yang mewakili bahasanya sendiri, dia juga memiliki intuisi dalam tubuhnya. Tubuh penari dibungkus dengan baju jauh dari kegemerlapan. Pongkes seolah-olah bertutur dan meyakinkan ke penonton bahwa, kekuatan serta identitas (melayu) garap tidak hanya terdapat pada kostum. Saya meyakini, ketiga dewan juri merasa menemukan sesuatu hal yang baru di beberapa menit awal garapan. Sayang, ketika dewan juri baru saja memperbaiki duduknya, alur tari pongkes tidak bertahan, kemudian terasa tidak sabar untuk masuk ke hal-hal yang konfensional.

Puncaknya, berkompetisi dengan kekuatan penari, ide, gagasan dan saling berperang dengan keindahan, manisnya pola garap musik, ritme yang semakin ritmis, betul-betul dirasakan di dua nomor tari. Dua karya itu adalah, Senandung Ujung Utara dari Natuna dan tari Ancak Bertuah dari Sanggam Tanjungpinang. Vevi, koreografer Ancak Bertuah memiliki kecendrungan pada gerak yang berpariasi dan cepat. Bloking penari berganti dengan cepatnya untuk memperpendek transisi. Dua kelompok penari berpapasan, yang satu berbalik dan bergabung dengan yang lain, berlari ketengah panggung kemudian berpencar mengisi kekosongan panggung. Properti Ancak lahir dengan interpretasi yang lain juga menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa. Sedangkan Nurul, korerografer Senandung ujung utara tampil dengan lebih kepada keindahan, permainan properti dan surprise pada musik. Terlepas dari kesan musik yang gemuruh, gerak yang hanya sekedar melenggok di atas penggung. Hakikat tari hampir saja sempurna dari karyanya ini. Keunggulan lain dari karya Nurul adalah kehadiran musik, yang notabene bisa menambal kekurangan sisi lain dari karya tari. Kelebihan ini barangkali yang membuat keputusan tiga eksekutor (Dedi, Evi dan Suryandoro) untuk mengirim Senandung Ujung Utara ke Jakarta.

Sebaliknya, kelemahan dari dua tarian ini terletak pada gerak yang didominasi oleh pola-pola yang sangat kita kenal sebelumnya sehingga mudah sekali untuk diramalkan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak barang yang sering kita gunakan secara berulang-ulang. Akan tetapi begitu memasuki wilayah estetik orang ingin mendapatkan surprise dan kejutan. Artinya adalah, pengulangan yang dilakukan secara berlebihan akan mudah kehilangan daya tarik estetiknya. Etika dan estetika memiliki kesamaan karena keduanya saling terkait dengan nilai-nilai. Bedanya, etika lebih dititikberatkan kepada tingkah laku manusia, maka estetika lebih terkait dengan laku kontemplasi (perenungan), mengamati, dan mencermati suatu obyek.

Barangkali pada Nurul, Caping bisa menjadi metafor selain penutup kepala dan Vevi Candra, Ancak disulap menjadi bertuah dan Ahadian, pongkes menjadi metafor senjata. Pengayaan makna menjadi sangat penting untuk memberi ruang imajinasi, sebagaimana terjadi pada puisi. Bukankah menjadi lebih kaya jika membiarkan tubuh bergerak tanpa dibebani sebuah drama turgi, yang kadang tampil dengan pergerakan alur yang sangat linier.

Nurul, di panggung Taman Mini Indonesia Indah Jakarta karya anda akan lebih bermakna karena di soroti lighting serta penataan sound yang baik. Saya juga menjamin, waktu tenikal meting anda tidak akan bertengkar dengan stage menejer, apalagi soundmennya. Karena pertunjukan anda di tangani oleh orang-orang yang matang dan profesional. Anda trauma, dan sangsi?, hubungi Vevi Candra dan Alhadian yang telah kembali sebelum anda berangkat. Selamat berjuang kawan!.

-

Arsip Blog

Recent Posts