Sudut Pandang Adat Budaya Melayu terhadap Konsep NKKBS

Prapat: Pentaloka BKKBN, 1990

1. Pendahuluan
Gerak pembangunan di Indonesia baik fisik maupun non-fisik memerlukan arah dan perencanaan "bottom-up" daripada "top down". Hal ini sejalan dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mendasarkan kenyataan bahwa desa sesungguhnya merupakan benteng terdepan Pancasila sehingga karenanya perlu menggalakkan partisipasi aktif serta rasa ikut bertanggung jawab seluruh lapisan masyarakat termasuk mereka yang mendiami daerah-daerah pedesaan. Dari sudut pandang budaya, penyaji tulisan ini cenderung menerima pendapat yang mengatakan bahwa akar budaya bangsa sebenarnya terletak di daerah pedesaan bukan di perkotaan. Karenanya, untuk tercapainya keberhasilan pembangunan termasuk konsep NKKBS perlu memperhitungkan secara tepat peran dan potensi masyarakat pedesaan melalui penyertaan pemuka adat dan pemimpin non-formal lainnya yang merupakan panutan masyarakat.

Demikianlah dalam upaya pencapaian kemantapan, keberhasilan dan keberdayagunaan konsep nasional NKKBS perlu melibatkan seluruh potensi masyarakat dengan tidak melupakan mereka yang berada di daerah pedesaan. Pemasyarakatan dan pembudayaan masyarakat untuk dapat terdukungnya konsep gerak nasional ini oleh ciri, sikap dan pandangan manusia Indonesia. Dari sudut pandang inilah terlibat ketepatan kesepakatan upaya bersama melalui SKB BKKBN Propinsi Sumatera Utara dengan berbagai Lembaga Adat dan organiasi kemasyarakatan di Propinsi Sumatera Utara. Strategi yang melandasi SKB tersebut sudah tepat; karenanya sekarang terentang operasionalisasi secara nyata yang memerlukan peningkatan dan keeratan kerja sama yang antara lainnya memerlukan dukungan dana dan fasilitas.

Tulisan sederhana ini memerlukan beberapa pembatasan ruang lingkup. Pertama, dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara terdapat beberapa masyarakat etnis budaya. Karenanya tulisan ini hanya membatasi pada masyarakat adat budaya Melayu. Sedangkan untuk masyarakat adat budaya lainnya terdapat rekan-rekan yang lebih mengetahuinya atau pernah mendalaminya. Kedua, masalah budaya secara keseluruhannya, sangat luas dan kompleks untuk mana memerlukan pakar-pakar yang khsusus dalam bidang ini. Tulisan sederhana ini mencoba mengkaji adat budaya dari sudut lambang-lambang bahasa, khususnya dari ungkapan dan untaian kata-kata dalam bahasa Melayu. Seperti telah dimaklumi bahasa merupakan faktor dominan dari budaya. Ungkapan dan untaian kata oleh penutur bahasa dimaksudkan untuk mencerminkan sikap dan sifat demikian pula cara pandang masyarakat penuturnya, jadi penggunaannya memperlihatkan adat istiadat dan kebiasaan.

2. Sekilas Masyarakat Adat Budaya Melayu
Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan masyarakat etnis budaya "asli" di Propinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan di antara kelompok masyarakat yang delapan ini namun terdapat hal-hal mendasar yang universal: Aspek-aspek dimana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respons, cara pandang dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden. Dari sudut kebahasaan, ungkapan, rasa bahasa dan gaya bahasa mendukung pula pemahaman mengenai karakteristik masyarakat penutur dan pemakai bahasa.

Mengenai manusia anggota masyarakat Melayu, William Hunt (1952) mengatakan: "A Malay one who is a Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay Adat, and who fulfills certain residence requirement". Jadi masyarakat Melayu sesungguhnya bukanlah kumpulan manusia yang berlandaskan genealogis tetapi lebih merupakan suatu "melting pot" asal berbagai suku bangsa ataupun bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan dengan landasan agama Islam, bahasa Melayu (dengan berbagai dialek, sosiolek, kronolek, tempolek maupun idiolek), berpakaian, beradat istiadat serta bertradisi Melayu.

Untuk tercapaianya keberhasilan suatu program pembangunan khususnya dalam masyarakat ini perlu dipahami apa yang teradat dan diadatkan dalam masyarakat Melayu yaitu, "Adat yang bersendikan Syara’, Syara’ yang bersendikan Qitabullah". Ini berarti sepanjang suatu program atau konsep berterima oleh adat istiadat dan kebiasaan serta tidak bertentangan dengan ajaran perintah dan norma agama (dalam hal ini agama Islam) maka akan kecil sekali kemungkinannya memperoleh kendala dalam pemberhasilannya.

Dalam kaitan dengan sasaran utama dari pentaloka ini yaitu upaya untuk memberhasilkan pemasyarakatan dan pembudayaan konsep NKKBS, khususnya masyarakat Melayu, antara lain dapat dikaji dari pandangan orang tua Melayu terhadap anak. Sikap atau pandangan ini dapat ditelusuri dari seperangkat ungkapan atau untaian kata dalam bahasa Melayu yang mencerminkan sikap, harapan, peringatan, dan lain sebagainya.

3. Sikap Pandang Orang Melayu Terhadap Anak
Ungkapan dalam bahasa Melayu "tuah ayam karena kakinya, tuah manusia pada anaknya” menggambarkan kedudukan seorang anak dalam kehidupan masyarakat Melayu. Yang dimaksud dengan "anak be(r)tuah" dalam masyarakat Melayu adalah anak yang "menjadi orang", yang setelah nantinya dewasa menjadi manusia yang sempurna lahir dan batin, selalu mengingat dan berguna untuk orang tua dan kaum kerabat untuk seterusnya terhadap bangsa dan negara, serta akan patuh yakin dan taat pada agama dengan melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi semua yang dilarang- Nya. Pembinaan keluarga adalah menuju pada keluarga yang sejahtera dan sehat serta bahagia lahir dan batin seperti diungkapkan melalui “tuahnya selilit kepala, mujurnya selilit pinggang, kecilnya menjadi tuah rumah besarnya menjadi tuah negeri”.

Pembinaan seorang anak dalam sebuah keluarga tercermin dari kasih seorang ibu. Bukanlah bertujuan untuk terlalu memanjakan seseorang anak yang diyakini sebagai karunia Tuhan YME tetapi semata untuk memperlihatkan cinta yang mendalam seorang ibu sering mengujarkan kata-kata timangan terhadap seorang anak seperti "buah hati"", "buah hati pengarang jantung", "cahaya mata bunda, "intan gemala", "permata bunda", "gunung sayang", dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa dalam adat istiadat dan kebiasaan Melayu terdapat seperangkat acuan yang menuntun manusia dalam pembinaan perilaku sejak masa dalam kandungan dan buaian hingga masa dewasa. Pada umumnya orang Melayu meyakini anak sebagai karunia Allah SWT., yang secara hakikatnya lahir dalam keadaan suci. Karenanya pula secara hakiki setiap anak dapat "menjadi orang" dengan kunci keberhasilannya terletak pada pundak orang tua. Ungkapan yang menyebutkan "bagaikan jatuh dari cucuran atap", "begitu gendang begitu tarinya” menggambarkan adanya keterkaitan sebab-akibat antara sikap, dan sifat orang tua dengan anak. Orang tua yang baik, berpendidikan dan bersikap sayang terhadap sesamanya selalu memiliki anak yang bertuah. Sebaliknya seorang yang pemabuk dan pendusta pada dasarnya adalah seperti cucuran sifat dan kebiasaan orang tuanya. Dalam konteks NKKBS, pembinaan orang tua terhadap anak teramat penting untuk dapat terbinanya generasi penerus yang berguna bagi negara, bangsa dan agama, demikian pula terhadap keluarga, sanak dan handai serta lingkungan sendiri.

Keadaan ini menjurus pada suatu kenyataan umum bahwa keluarga yang besar akan mengakibatkan kurang terbinanya anak secara baik dan sempurna. Pada umumnya pula dapat berakibat perlakuan orang tua yang seakan menyia-nyiakan anaknya seperti yang sering tercermin dalam ungkapan pesimistis "membiarkan anak belayar dengan perahu bocor, berjalan di rimba tidak berintis". Menurut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu keadaan "musibah" seperti ini sering mengakibatkan beban bukan hanya pada orang tua tetapi juga pada seluruh sanak keluarga dan masyarakat. Karenanya, diberikanlah peringatan dalam bentuk ungkapan seperti "kalau anak tidak dipinak, hutang bertambah marwah tercampak, kaum binasa bangsa pun rusak dunia akhirat beban dibawa".

Keluarga kecil, sehat dan bahagia akan mendukung keberhasilan pembinaan nilai-nilai luhur dalam diri anak sebagai generasi penerus harapan bangsa sedini dan seefektif mungkin. Kemantapan pembinaan nilai-nilai luhur menyebabkan dapat tercapainya keberhasilan dan keberdayagunaan dalam penanaman dasar kepribadian yang baik dan sempurna. Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu terdapat seperangkat nilai-nilai luhur yang perlu selalu ditanamkan dalam diri dan kepribadian seorang anak untuk:
a. “Berpijak pada Yang Esa”, yaitu nilai-nilai keagamaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti tercermin dalam ungkapan "bergantung pada Yang Satu, berpegang pada Yang Esa”.
b. "Hidup berkaum sepakaian”, yang bermakna nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kehidupan, dengan mencakup pula nilai-nilai kegotongroyongan dan rasa senasib sepananggungan. Nilai-nilai ini tercermin dalam ungkapan seperti; "Ke hulu sama bergalah, ke hilir sama berkayuh, terendam sama basah, terapung sama timbul, yang kesat sama diampelas, yang berbongkol sama ditarah".
c. "Hidup Sifat Bersifat", yang bermakna nilai-nilai berbudi pekerti mulia dan terpuji, beradat budaya, serta pandai bermasyarakat dan membawa diri. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai ungkapan antara lain seperti "bila duduk-duduk bersifat, bila tegak-tegak beradat", atau “bila bercakap-cakap berkhasiat bila diam-diam makrifat", dan lain-lain sebagainya.
d. “Hidup menggulut air setimba" yang mengandung makna nilai-nilai sadar diri, dan bertenggang rasa untuk dapat diperolehnya sesuatu yang berguna bagi hidup di dunia dan di akhirat kelak. Nilai-nilai ini diungkapkan dalam berbagai untaian kata antara lain, "menuang ketika cair, berbeban selama berdaya', atau "bila lepas kijang ke rimba, diurutpun sia-sia”, dan sebagainya.

Pembinaan nilai-nilai hidup yang telah mulai ditanamkan sedini mungkin mengungkapkan sikap dan corak hidup yang berguna dan terpuji. Ungkapan yang dicontohkan di atas jelas memperlihatkan pengaruh ajaran agama Islam yang memberikan pedoman hidup bagi manusia, makhluk Tuhan, memiliki kepribadian baik, sempurna, jujur dan berguna setelah dewasa kelak.

4. Sikap Pandang terhadap Hakikat dan Sasaran NKKBS
Masih sering diragukan kesiapan masyarakat Melayu khususnya dalam berpartisipasi secara aktif serta ikut bertanggung jawab dalam memberhasilkan Gerakan Nasional ini. Anggapan ini antara lain bermuara dari kekurang-lengkapan pengetahuan mengenai kata maupun ungkapan yang tersedia dalam bahasa Melayu yang mencerminkan dasar-dasar sikap orang Melayu. Memang benar bahwa bahasa, kata dan ungkapan mencerminkan sikap dan pandangan penutur bahasa, dalam hal ini pemakai bahasa Melayu. Namun harus diketahui bahwa makna semantik dari kata maupun untaian kata tidak boleh hanya ditafsirkan dari bentuk permukaannya ("surface structure level") saja tapi harus dikaji dan ditelusuri dari bentuk dalamnya ("deep structure level"). Karena perolehan makna dan kenyataan yang akurat memerlukan pemahaman kaidah arti sesungguhnya melalui analisis makna (“contextual analysis”). Pihak yang berpandangan bahwa masyarakat Melayu cenderung beranak banyak, jadi beranggapan kurang siap atau kurang dapat menerima Gerakan Nasional ini, antara lain disebabkan penafsiran yang sempit dan kurang mengetahui kelengkapan dari untaian kata dalam bahasa Melayu seperti "banyak anak banyak rezeki”. Pandangan yang keliru ini semakin terdukung pula dengan terdapatnya untaian kata lainnya dalam bahasa Melayu seperti "banyak anak, banyak tempat berteduh", atau "banyak anak, senang bertanak".

Kata atau untaian kata seperti ini sesunggulinya mengandung suatu falsafah. Penafsiran suatu falsafah apalagi yang terkait dengan adat dan kebiasaan tidaklah dapat disimpulkan maknanya secara sepintas tapi haruslah terlebih dahulu mengkajinya secara lebih mendalam.

Sesungguhnya untaian kata seperti "banyak anak banyak rezeki" belumlah lengkap karena seharusnya masih diikuti dengan kelengkapan lain yang sering terlupa pengujarannya. Bentuk lengkap: "banyak anak banyak hutang yang dibawanya, banyak fitnah yang kan menimpa”. Untaian kata ini memperlihatkan ciri sikap orang Melayu yang dalam memperingatkan sesuatu lebih memilih cara edukatif dalam bentuk peringatan dan tamsil. Memang dari satu sisi diakui bahwa dengan banyak anak akan banyak pula yang memperhatikan hidup orang tuanya kelak, namun dari sisi lain yang lebih berat adalah akan menyebabkan bertambahnya beban “hutang dan bekal orang tua”.

Menurut adat dan tradisi masyarakat Melayu yang dimaksud “hutang orang tua terhadap anak” mencakup seperangkat kewajiban dan tanggung jawab yang cukup banyak dan berat. Sejak lahir, menuju dewasa hingga masa "lepas rumah" terdapat "hutang orang tua terhadap anak” antara, lain: (a) "hutang belas dengan pelihara", yang bermakna upaya menjadikan anak kuat dan sehat, baik jasmani maupun rohani". (b) “Hutang tunjuk dengan ajar", yang bermakna membekali anak dengan ilmu dan pengetahuan, dan kemampuan mandiri, (c) "Hutang tuang, dengan isi", yakni melengkapi seorang anak dengan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, adat istiadat dan kebiasaan, demikian pula norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat, serta (d) "Hutang bekal dengan pakaian", yakni membekali anak sejak lahir hingga mampu berdiri sendiri dengan segala macam keperluan hidup, lahiriah dan batiniah. Kata "bekal" mencakup penyediaan bekal ilmu pengetahuan dan keimanan yang teguh dan berqaidah. "Pakaian yang dibekalkan” bukanlah hanya terbatas pada pakaian lahiriah semata tapi lebih luas maknanya yaitu untuk menjadikan seorang anak benar-benar seorang manusia yang ber-Tuhan dengan keimanan dan ketaqwaan sebagai pakaiannya. Dengan "bekal” dan "pakaian" yang "tak lusuh di pelasah" seorang anak akan kelak menjadi manusia yang bertuah, sempurna lahir dan batin, sehingga berguna bagi agama, bangsa, negara, dan keluarga.

Dalam keadaan dunia dewasa ini, dimana "hutang orang tua" yang menyandang butir-butir ekonomis dan sosial budaya, dan tantangan hidup semakin tajam serta "lebensraum" semakin sempit perlulah diyakini kebenaran Gerakan Nasional yang sedang digalakkan, untuk masyarakat Melayu sesungguhnya telah diwariskan oleh para pendahulunya dengan sikap sadar diri, tanggap keadaan, serta sikap berhati-hati. Pendahulu masyarakat Melayu sesungguhnya telah mengingatkan tapi kadangkala terlupakan bahwa hidup berkeluarga yang harus dibina adalah menjadikan keturunan menjadi "anak bertuah" bukan "anak terbuang" yang hidupnya terlantar, sia-sia, dan dihindar orang lain. Para pendahulu masyarakat Melayu sebenarnya juga memperingatkan untuk tidak membiarkan nasib seseorang seakan, "kalau untung sabut ia timbul”, kalau “untung batu ia tenggelam". Dengan demikian diketahui bahwa sesungguhnya telah membudaya di kalangan orang Melayu untuk tidak mentolerir berkeluarga besar atau banyak anak seperti tercermin dalam ungkapan, "banyak anak hidup kemak, banyak anak ngap pun sesak, banyak anak dada bengkak. banyak anak tidur tak nyenyak”. Anak yang diharapkan adalah anak bertuah jadi bukan yang menyebabkan "karena anak rumah berserak" atau juga tidak yang "sekali beranak durhaka, dunia akhirat badan celaka".

Selanjutnya adalah merupakan adat isitiadat dan kebiasaan orang Melayu mebina turunannya "menjadi orang” dengan membekalinya dengan berbagai sifat. "Citra anak Melayu" diupayakan untuk melekat dalam diri dan kepribadian turunannya yang dikenal sebagai "Sifat atau Pakaian Anak Melayu". Sejarah mencatat bahwa terdapat delapan belas buah butir yang disebut "Sifat/pakaian Delapan Belas". Dalam tulisan ini dikutip hanya beberapa buah saja sebagai ilustrasi, yaitu sebagai berikut:
a. "Sifat tahu asal berkejadian" yakni sifat satria, setia dalam agama, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kokoh dalam amal ibadah. Sifat ini tercermin dalam ungkapan seperti, “yang agama berkelakuan, yang iman berteguhan, yang sujud berkekalan, yang amal berkepanjangan".
b. “Sifat hidup memegang amanah”, yakni sifat satria, setia dan dapat dipercaya. Tercermin dalam ungkapan seperti, "taat pada petuah, setia pada sumpah, mati pada janji, melarat pada budi".
c. "Sifat benang”, yakni sifat lurus, jujur, setara kulit dengan isi. Tercermin dalam ungkapan seperti "sepadan laku dengan buatnya, sepadan cakap dengan perangainya".
d. "Sifat tahu kelak dengan elak", yakni sifat arif dan bijaksana, seperti tergambarkan dalam ungkapan "cepat akal laju pikiran, cepat angan laju buatan".
e. "Sifat yang bersifat", yakni sifat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya dan norma-norma dalam masyarakat. Tercermin dalam ungkapan seperti, "Menjunjung syara’ dengan adatnya, menjunjung undang dengan tuahnya, menjunjung tahu dengan ilmunya”.

Sifat-sifat lainnya, adalah (a) “Sifat tahu membayar hutang” (membalas dan mengenang budi baik seseorang), (b) “Sifat tahu kan bodoh diri” (menyadari kekurangan serta menghargai kelebihan orang lain), (c) “Sifat tahu diri” (sadar hidup di dunia dan di akhirat kelak), (d) “Sifat hidup memegang amanah” (loyalitas), (e) “Sifat tahan menentang matahari” (patriotisme), (f) “Sifat menang dalam kalah” (sabar, berlapang dada dan bejiwa besar), (g) “sifat tahan berkering” (giat dan rajin bekerja), (h) “sifat unjuk dengan beri” (pemurah dan toleran), (i) “sifat tahu kan malu” (tidak mau dipermalukan, namun tidak mau pula mempermalukan orang lain, (j) “Sifat ingat dengan nikmat” (dinamisme dan kreativisme), (k) ”Sifat pinjam memulangkan" (bertanggung jawab), (l) “Sifat hidup meninggalkan” (berwawasan luas dan berkepribadian untuk menikmati bersama keberuntungan dan rezeki), dan (m) “Sifat yang pucuk” atau disebut juga "Sifat tua" (memegang teguh adat dan kebiasaan yang diadatkan).

Dahulu kala sifat-sifat ini diturunkan pada penerus dalam bentuk nasihat dan petuah, umpamanya dalam upacara pernikahan. Entah barangkali karena ingin cepat dan serba praktis dalam kehidupan dunia modern sekarang ini sifat-sifat ini sudah jarang diucapkan (demikian pula ungkapan-ungkapan yang menyertainya), padahal mengandung nilai-nilai luhur dalam pembinaan berkepribadian kemanusiaan, kekeluargaan, dan kemasyarakatan.

Selain itu pula secara tradisional sejak dulu telah dijadikan kebiasaan dalam keluarga Melayu untuk membatasi kelahiran anak. Upaya membatasi kelahiran anak telah lama dibiasakan dalam kehidupan masyarakat Melayu yang dikenal sebagai “menjarangkan anak”. Yang ditentang oleh adat isitiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu ialah menggugurkan kandungan. Upaya "menjarangkan anak" tidaklah dipantangkan asalkan saja sesuai dengan adat isitiadat dan kebiasaan serta tidak bertentangan atau melanggar ajaran dan norma agama. Yang dipedomani ialah sejalan dengan "adat yang bersendikan syara’, syara’ yang bersendikan qitabullah”.

Kebiasaan ini jika ditelusuri sesungguhnya masih terdapat hingga sekarang sampai ke daerah-daerah pedesaan. Hanya sesuai dengan sifat orang Melayu yang mana hubungan suami istri memalukan bahkan dirasakan aib apabila dibuka di depan umum. Pengetahuan atau kebijaksanaan ini beroperasional secara berbisik-bisik. Kebiasaan ini sesungguhnya telah lama membudaya dan memasyarakat, namun karena dilaksanakan secara tertutup dan sangat terbatas lingkungannya mengakibatkan kemungkinan salah tanggap bahwa seakan masyarakat Melayu cenderung memilih berkeluarga besar.

5. Penutup
Dalam upaya memberhasilkan dan meningkatkan kebersamaan juga bertujuan memasyarakatkan serta membudayakan gerakan nasional NKKBS perlulah digalakkan kerjasama yang erat dengan pemuka adat dan budaya hingga yang terdapat di pedesaan. Kerjasama ini antara lain untuk menemukan kebiasaan yang telah lama ada sehingga dapat memotiviasi gerakan ini. Temuan-temuan yang pada dasarnya telah lama ada dalam adat dan kebiasaan akan lebih mendukung pemberhasilan hakikat dan tujuan mewujudkan keluarga kecil namun bahagia, sejahtera, serta sempurna lahir dan batin.

Yang memerlukan perhatian khusus, sesuai dengan sifat dan kebiasaan rata-rata anggota masyarakat Melayu adalah mengenai yang dikenal sebagai “sifat malu” dalam banyak segi memang membawakan hal-hal positif seperti malu memfitnah, malu berbohong, malu bermuka dua, malu berbuat onar, malu berbuat sesuatu yang menyusahkan orang lain, dan sebagainya. Namun dalam beberapa keadaan terdapat pula beberapa hal yang kurang menguntungkan. Umpamanya, walau sudah dibekali dengan ungkapan peringatan seperti, “malu bertanya sesat di jalan” sering pula terjadi dalam masyarakat Melayu seseorang yang sifat malunya demikian mendalam sehingga berakibat terkendalanya komunikasi. Akibatnya orang lain tak dapat memahami apa yang sesungguhnya dikehendaki atau diharapkan. Sehingga seringkali baru disadari setelah “nasi menjadi bubur”. Dalam upaya pencapaian keberhasilan NKKBS, sifat malu dalam membicarakan "urusan dalam" perlu ditanggulangi melalui pendekatan-pendekatan. Misi NKKBS dapat melalui bantuan orang tua atau yang dituakan, melalui pemimpin-pemimpin non-formal, serta melalui penugasan pendekatan oleh petugas wanita dalam menghadapi kaum ibu (karena para wanita terutama di daerah-daerah pedesaan masih sering terdapat yang kurang suka berbicara secara terbuka apalagi dalam masalah "urusan dalam" dengan lawan jenisnya).

Pendekatan yang efektif juga diperlukan untuk selain membicarakan masalah “hutang” dan "beban orang tua" menurut adat istiadat dan kebiasaan juga masalah-masalah dari sudut kenyataan dan tuntutan hidup dewasa ini. Keperluan hidup yang merupakan beban dan tanggung jawab orang tua dari hari ke hari semakin berat dan semakin kompleks penanggulangannya. Dalam konteks NKKBS yang lebih ideal dan bertanggung jawab adalah untuk lebih memilih "anak bertuah" daripada "anak penambah beban dan pembuat perkara". Tradisi memanfaatkan anak membantu nafkah keluarga sudah tak dapat diharapkan sepenuhnya lagi.

Anak yang sudah dewasa apalagi yang telah berumah tangga haruslah pula berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain harus pula memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup keluarganya masing-masing. Anggota masyarakat perlu diberikan pemahaman melalui pendekatan yang lebih bersifat kekeluargaan bukan dalam "bentuk kedinasan" umpamanya mengenai apa yang telah dan sedang terjadinya beberapa perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya disebabkan tuntutan perubahan zaman. Pendekatan kekeluargaan dan kultural walaupun akan cukup berat baik dari sudut tenaga, pemikiran, waktu dan pendanaan, akan memberikan peluang dalam memberhasilkan, memasyarakatkan dan membudayakan NKKBS. Pendekatan seperti ini diperkirakan akan dapat mencapai apa yang diungkapkan dalam pantun Melayu.

“Putus gading karena dikerat
belum jatuh sudahlah retak,
Putus runding karena mufakat,
hukum jatuh benar terletak”
selain itu pula,
"Kalau sudah menebuk gading
tabuh-menjadi ukuran pekat
kalau sudah duduk berunding
eloklah cari kata mufakat".

Pembudayaan dan pemasyarakatan NKKBS melalui dukungan adat budaya diyakini akan dapat pula membina dan mengembangkan kesepakatan bersama yang mampu menggalakkan gerak masyarakat. Peluang ini perlu dipahami melalui beberapa hal antara lain:
a. Masih akan lestarinya rasa bangga atas budaya yang dimiliki sekalipun telah tejadinya beberapa perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya.
b. Masih akan lestarinya sikap sebagian besar anggota masyarakat yang menghargai kedudukan dan peran serta seorang pemuka adat dan pemimpin non-formal yang dirasakan sebagai panutan terutama di daerah-daerah pedesaan. Seperti sama dimaklumi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang telah semakin ditegaskan dalam GBHN perlu lebih dititikberatkan pada pembangunan daerah-daerah pedesaan seperti yang dijabarkan dalam Gerakan Pembangunan Desa Terpadu.
c. Sangat wajar apabila pembinaan, rasa ikut bertanggung jawab dan rasa kebersamaan perlu diberikan perhatian yang wajar untuk dapat semakin laju dan berhasilnya sesuatu gerak pembangunan.

Akhirnya, tulisan yang sangat bersahaja ini diakhiri dengan untaian kata yang tersedia dalam bahasa Melayu yaitu:
"Mana yang laut dilautkan
mana yang tasik ditasikkan
Mana yang patut dipatutkan,
mana yang baik dibaikkan”
kemudian,
“Kerakap tumbuh di pantai
pohon ijuk tumbuh berbanjar
Bercakap kami tak pandai
mohon diberi tunjuk dan ajar”

-

Arsip Blog

Recent Posts