Melayu di Afrika Selatan

Oleh : Viddy A.D. Daery

Afrika Selatan kini negara termaju di benua Afrika berkat manajemen pemerintahan orang kulit putih, namun sekaligus melahirkan kekejaman sistem apartheid atau pilih kasih berdasarkan warna kulit. Yang sangat lama menguasai Afsel yang kaya tambang intan dan emas itu ialah kaum Boer atau indo-Belanda yang datang menjajah sejak zaman VOC pada 1652. Belanda Boer inilah yang mendatangkan kuli-kuli Melayu dari Malaysia, Makasar, Banten, dan Nusa Tenggara.

Kemudian, Inggris menguasai Afsel sejak 1814. Inggris inilah yang mendatangkan kuli dan pedagang dari India, negara jajahan Inggris terbesar di Timur. Pada 1961, Afsel merdeka, tapi tetap dikuasai keturunan Inggris dan Boer yang menerapkan pembagian kelas. Warga negara kelas satu ialah kulit putih dan indo. Mereka adalah elite dan bos perusahaan serta boleh tinggal di kota.

Kelas dua adalah orang India dan Melayu. Mereka dianggap sebagai pedagang perantara dan pekerja kelas bawah, boleh berdiam di pinggiran kota. Kelas tiga adalah kulit hitam yang dianggap anjing. Mereka hanya boleh bekerja sebagai pesuruh dan tidak boleh berdiam di kota, bahkan setiap sore harus pulang ke provinsi khusus, yakni Boputatswana, Transkei, Venda, Ciskei, Gazankulu, Kwazulu, Lebowa, Qwaqwa, Ndebele, dan NaNgwane, yang rata-rata kumuh dan tandus.

Empat provinsi subur, yakni Cape of Good Hope, Natal, Oranje Free State, dan Transvaal, dibangun mirip Eropa atau Amerika atau Malaysia, namun haram didatangi kulit hitam. Tapi, kini setelah rezim kulit hitam berhasil menumbangkan rezim kulit putih, lalu presidennya kulit hitam (presiden pertama Nelson Mandela, lalu diganti Tabo Mbeki), kulit hitam boleh ke mana saja.

Tapi, karena secara tradisi dan struktural orang kulit hitam pendidikannya kurang dan modalnya kecil, akhirnya banyak orang kulit hitam terlibat kriminalitas. Karena itu, angka kriminalitas di Afsel sangat tinggi, justru di zaman reformasi. Tingkat kejahatannya, menurut Haji Ismail Petersen, sudah mirip di Indonesia.

Nasib Melayu
Tapi, menurut Ismail pula, nasib etnis Melayu jauh lebih baik karena memang sejak zaman apartheid mereka adalah warga kelas dua, bukan kelas anjing. Melayu Afsel sangat rindu bersilaturahmi dengan leluhurnya yang kini masuk negara Indonesia dan Malaysia.

Ketika pada 2000 ada pameran Afrika Selatan di gedung Arsip Nasional Jakarta, saya berkenalan dengan ketua rombongan, yakni Zaenab Davidson. Zaenab menunjukkan kepada saya buku-buku mengenai Makassar, Banten, dan Sumbawa, yang ditulis oleh penulis Afsel tanpa pernah pergi ke daerah tersebut. Buku ini sangat laris di Afsel.

Buku-buku mengenai Syeh Yusuf Al-Khalwati -ulama Makassar yang kemudian hijrah ke Banten, tapi dibuang Belanda ke Afsel sebagai tahanan politik juga laris. Syeh Yusuf merupakan ulama panutan serta dianggap wali di Afsel dan hingga kini makamnya sering dijadikan tempat ziarah.

Kini, di zaman reformasi, status keturunan Melayu Afsel lebih meningkat lagi. Mereka bukan lagi warga negara kelas dua, tapi sejajar dengan warga kelas satu, terutama untuk menjadi manajer kelas menengah.

Kini mereka lebih gampang membiayai diri untuk mengunjungi daerah-daerah leluhurnya. Tetapi, yang saya lihat di Malaysia, mereka lebih suka mengunjungi Malaysia karena makmur dan fasilitasnya lengkap. Bahkan, ada rute pesawat langsung dari Kuala Lumpur ke Afsel.

Tapi, tentu ada juga yang nekat pergi berwisata sejarah ke Indonesia. Tujuannya, mencari kepuasan kerinduan pada tanah leluhur meski nama Indonesia sangat buruk di mata orang luar negeri, seperti yang pernah saya baca di sebuah tabloid di Singapura.

Terputus
Indonesia sebenarnya mempunyai banyak hubungan dengan banyak negara yang mempunyai asal-usul darah Melayu. Selain di Afsel, ada Suriname, yang banyak etnis keturunan Jawanya kini maju sebagai kelas menengah, bahkan sebagai elite birokrasi pemerintahan di Suriname.

Ada juga Madagaskar, yang kini kaum Melayunya -keturunan Dayak Indonesia dan Malaysia- malah berhasil menjadi kaum bangsawan elite. Sayang, di antara mereka juga terpecah dan dua kelompok besar Melayu saling berebut kekuasaan politik.

Keturunan Melayu-Jawa yang juga cukup signifikan -jumlahnya, bukan power- ada di Pulau Christmas dan Pulau Cocos-Keeling (Australia), juga di New Kaledonia, New Zealand, serta di Negara Bagian Queensland, Australia. Bahkan, menurut teori antropologi, semua penduduk Polinesia keturunan Melayu-Jawa. Sayang, silaturahmi leluhur ini terputus. Banyak diaspora Melayu tidak sadar bahwa mereka keturunan Indonesia dan Malaysia.

Tetapi, di Malaysia, dengan tokoh Tan Sri Ismail Hussein, dibentuk lembaga Persaudaraan Dunia Melayu Raya, yang menyambungkan silaturahmi Melayu seluruh dunia. Sementara itu, Indonesia cuek saja, baik karena kebodohan dan ketidaktahuan maupun karena kesombongan. Sebab, di zaman Majapahit, negeri ini menjadi penguasa Melayu terbesar, yang menjajah dan menguasai negeri-negeri Melayu seluruh Nusantara.

*. Viddy A.D. Daery, penyair, novelis, dan pelukis

-

Arsip Blog

Recent Posts