Sastra dan Interaksi Lintas Budaya

Oleh : Melani Budianta (Universitas Indonesia)

Saat ini kita berada dalam suatu masa ketika lalu lintas antarbangsa meningkat kecepatan dan intensitasnya. Kontak lintas batas antarnegara, bangsa, dan bahasa bukan hanya terjadi melalui perjalanan, pertukaran jasa, dan komoditas, melainkan juga melalui jalur elektronik yang terjadi dalam hitungan detik dari satu pelosok ke pelosok lain di dunia. Dalam dunia sastra, misalnya, muncul komunitas-komunitas internet yang memungkinkan anggotanya saling berdiskusi dan berbagi karya tanpa urusan visa.

Di Indonesia pada awal abad ke-21 ini interaksi lintas budaya yang terjadi dalam proses globalisasi beriringan dengan suatu krisis dalam tubuh negara-bangsa, baik dari segi ekonomi maupun dalam keutuhan negara-bangsa itu sendiri secara sosial, budaya, dan geopolitik. Walaupun isu separatisme dan “kebangkitan daerah” bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, gugatan dari Aceh, Papua, dan sebelumnya Timor Timur, sebagai sekadar contoh, cukup menggoncangkan eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, proses pembentukan nasion yang belum selesai ini terus terusik pula oleh konflik antarkelompok dalam berbagai tataran. Dalam konteks Asia Tenggara, berbagai persoalan yang berkaitan dengan interaksi lintas bangsa dalam konteks lokal ataupun global mewarnai bebagai negara-bangsa dengan kekhususan masalahnya masing-masing. Pada saat yang sama globalisasi yang dimotori oleh kapitalisme global Amerika Serikat menimbulkan kebutuhan bagi sejumlah negara-bangsa untuk membentuk kerja sama lintas nasion untuk mencari alternatif perimbangan yang lain.

Di mana posisi dan peran sastra dalam berbagai persoalan dan dimensi lintas batas ini? Dalam hal ini sastra tidak dilihat hanya dalam pengertian mimetik, sebagai cermin bagi hubungan lintas budaya yang pernah atau sedang terjadi. Sastra di sini, baik teks maupun aktivitas sastra, adalah juga suatu praksis budaya, sosial, atau bahkan politik yang ikut membentuk atau bermain dalam interaksi lintas budaya tersebut.

Lokal-Nasional-Regional-Global
Kumpulan cerita pendek dan sajak Riau Satu, yang diterbitkan “sebagai tonggak perlawanan pegiat sastra Riau” (2000) diawali oleh sebuah cerpen yang mengusik hubungan kekuasaan di berbagai tingkatan. Cerpen Azmi R. Fatwa “Karena Generasi Kakek” diceritakan oleh tokoh Aku, Tajul, orang Sumatra Timur yang pulang ke desanya setelah 30 tahun hijrah di Jakarta. Setiba di desa, Tajul dikejutkan dengan kenyataan bahwa semua orang di desanya, dari budak ingusan sampai nenek-nenek, nelayan sampai anak sekolah, berbahasa Inggris dan bahasa mancanegara lainnya. Padahal, terakhir kali ia pulang, Tajul sempat dilempari batu karena berbicara dengan logat Jakarta. Kini tak seorang pun sudi berbicara bahasa Melayu dengannya. Di akhir cerita, Tajul mendapat penjelasan dari seorang Nenek: Bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia sudah tak ada artinya bagi kami, Tajul … Penguasa negeri sudah merampasnya dari kami sehingga kami tak dapat bangga lagi, bahasa persatuan itu berasal dari bahasa kami. Biar sajalah mereka memakainya … toh persatuan itu tidak termasuk kami di dalamnya. Selama puluhan tahun berada di bawah kekuasaan negara kesatuan, kami tak pernah mendapat apa-apa. … Sawit, batu bara, batu granit, gas alam, hasil hutan … semua habis dipunggah (dikeruk habis-habisan) dan dijual oleh pemerintah negara kepada negara asing, tak setitik pun dapat dirasa oleh rakyat sini.
(7) Dengan menggunakan bahasa-bahasa mancanegara, masyarakat desa itu, seperti halnya semua “bekas orang terbelakang” “Sakai, Talang Mamak, Montai, dan Duanu”, telah mengubah posisi mereka menjadi “warga dunia”. Bahasa Melayu telah dikuburkan karena “bahasa itu hanya membangkitkan ingatan kami terhadap luka masa lalu … pada masa-masa dijajah oleh bangsa sendiri,” sedangkan bahasa-bahasa mancanegara menjadi simbol “kemerdekaan yang ada pada kami”

(8). Dua macam penggunaan kata “asing” dalam tuturan Nenek di atas menunjukkan dua sikap dan posisi berbeda terhadap kekuatan nasional dan global. Dengan nada pedih dipersoalkan peran negara-bangsa sebagai “penguasa” yang mengeruk kekayaan lokal kepada pihak “asing” demi kepentingannya sendiri dengan mengorbankan yang lokal.. Pada sisi yang lain, dengan humor yang mengandung sindiran, cerpen itu menunjukkan bagaimana yang “asing” dipakai sebagai sarana membalikkan posisi keterpinggiran di tingkat nasional dengan cara bergabung ke tataran global melalui “bahasa asing.”

Cerpen itu memposisikan diri dengan kritis menghadapi dua kekuatan yang lebih besar, kekuatan nasional dan global. Sebuah negara-bangsa dalam hal ini berfungsi sebagai perantara, yang menyeleksi, mengatur, menarik pajak, dan mempertemukan kepentingan global, regional, dan lokal. Hal itu dilakukan terutama guna memantapkan eksistensi negara-bangsa yang dapat bersifat menguntungkan, tetapi bukan tanpa kemungkinan dapat menyisihkan atau merugikan kepentingan

lokal. Pada sisi yang sama, kekuatan global atau regional dapat dipakai untuk memfasilitasi kepentingan lokal dalam menghadapi atau bahkan menggerogoti eksistensi negara bangsa-itu sendiri. Cerpen Azmi berbeda dengan kelaziman untuk memakai bahasa Inggris sebagai simbol gaya hidup atau pengaruh “Barat” yang dirasakan mengancam atau melindas identitas lokal atau nasional. Dalam semua pola interaksi ini kita melihat bahwa yang asing, yang nasional, ataupun yang lokal dapat saling bertaut tanpa batas yang terlalu jelas.

Membangun Kesadaran Komunitas
Dalam kumpulan Riau Satu ataupun berbagai publikasi yang memposisikan diri sebagai “marjinal” atau sebagai gugatan terhadap kekuatan pusat, nada kecewa, gusar, dan risau menjadi warna dominan. Tetapi, lebih dari penyaluran aspirasi sosial politis masyarakat, karya sastra yang mewakili suara “daerah” membangun kesadaran akan kebersamaan – dalam kondisi susah atau senang – pada suatu wilayah budaya yang sama.

Sastra memegang peran penting, misalnya, dalam proses pembangunan kesadaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai kesatuan, baik komunitas lokal, komunitas negara-bangsa, maupun komunitas dalam satu kawasan regional. Kesamaan pengalaman sejarah, kesamaan visi dan kepentingan, adalah sebagian dari begitu banyak kemungkinan penyatuan menjadi satu komunitas, yakni komunitas budaya ataupun komunitas geopolitik. Tetapi, kesamaan dan berbagai macam alasan itu perlu secara terus- menerus diingatkan dan dibangun untuk merekat kesatuan dalam suatu wilayah yang pada dasarnya sangat beragam penduduk dan budayanya. Seperti yang diuraikan oleh Anderson, Hobsbawm, dan Brenan, pembentukan suatu entitas kelompok seperti itu memerlukan upaya terus-menerus untuk ‘membayangkan’ serta mengukuhkan eksistensinya, termasuk ciri-ciri budaya, tradisi, mitos, dan ritualnya. Sastra berfungsi dalam membayangkan dan mengkonstruksikan citra komunitas – negara-bangsa, daerah, maupun kawasan regional– secara tekstual dan mensosialisasikannya dalam masyarakat menjadi suatu yang dimiliki bersama.

Usaha membangun nasion secara terus-menerus bisa kita telusuri dari karya-karya pengarang Indonesia asal Sumatera, Muhamad Yamin. Muncul sebagai ketua Jong Sumatranen Bond di tahun 1926, konsep “tanah air” bagi Yamin bergeser dari Sumatra menjadi Indonesia. Pada tahun 1928 Yamin merupakan salah satu penggerak Sumpah Pemuda. Karya-karyanya kemudian mencerminkan semangat yang berkobar-kobar untuk membangun kesatuan. Ia menggali sejarah untuk memberikan landasan dan pembenaran akan nilai historis Indonesia sebagai wilayah negara-bangsa. Ditulisnya sejarah bendera merah-putih dan riwayat “pahlawan persatuan Nusantara”, Gajah Mada. Di sini terlihat fungsi sastra sebagai sarana untuk membangun dan mengimajinasikan negara-bangsa yang tidak serta merta ada begitu saja.

Pada titik yang lain karya Muslim Burmat Puncak Pertama dapat dilihat melakukan hal yang sama untuk Brunei Darussalam. Dalam novel itu keluarga Ahmad dan Urai yang tergusur karena pembangunan mesjid besar di daerah pesisir Kampung Ayer, terpaksa pindah ke Seria, “pekan yang menjadi ramai dengan terbukanya telaga-telaga minyak.” Di tempat “mencari wang” itulah keluarga Melayu ini hidup di rumah “berek” sepuluh pintu, berjiran dengan beraneka bangsa. Ahmad harus menyesuaikan diri hidup berdampingan dengan jiran Cina yang bau minyak masakannya, diduga berasal dari yang diharamkan agama, menyengat pernapasannya setiap hari dan bersabar hati terhadap jiran orang Iban yang kokok ayam-ayamnya selalu membangunkannya terlalu dini. Setting waktu tiga puluhan tahun sampai tahun 70-an melatari suka duka keluarga Ahmad melewati berbagai fase sejarah, berinteraksi dengan orang Inggris di perusahaan maupun sebagai pimpinan militer, berurusan dengan iparnya yang terlibat pemberontakan, orang India dan Singapura berideologi kiri yang menjadi supervisor perusahaan, orang Iban yang menjadi gurunya berburu, jiran Cina tetangganya, dan pendeta Kristen bangsa Kenyah. Walaupun disampaikan dengan perspektif Melayu Muslim yang kuat, novel ini berperan dalam membayangkan serta mengkonstruksikan suatu komunitas “antarkaum” yang menjadi cikal bakal Brunei Darussalam.

Dalam skala yang lain, proyek-proyek penerbitan antologi bersama yang dikelola oleh ASEAN dalam bahasa Inggris dan program-program Majelis Sastra Asia Tenggara dalam bahasa Melayu bisa dilihat sebagai upaya membayangkan suatu komunitas lintas bangsa yang lebih besar di tingkat kawasan.

Representasi Antarkelompok: Mencitrakan dan Dicitrakan
Identitas sebagai suatu komunitas atau kelompok sering kali dikukuhkan dengan memerikan siapa yang berhak memilikinya. Konsep “asli,” “pendatang”, “orang asing” dan seterusnya secara hierarkis menunjukkan hak kepemilikan terhadap suatu komunitas, baik dalam tataran lokal maupun nasional. Selain itu, proses pembentukan identitas kelompok sering kali dilakukan dengan mengontraskan identitas kelompok tersebut dengan yang dianggap bukan termasuk di dalamnya (“mereka” vs “kita”). Jika menyangkut entitas kelompok lokal, identitas tersebut dapat dikontraskan dengan entitas yang lebih besar (nasional), regional, atau global, dengan dimensi hubungan kekuasaan yang berbeda-beda. Edward Said telah menunjukkan bagaimana sastra berfungsi untuk mencitrakan “Yang Lain”, sering kali dengan kecenderungan menggeneralisasi, seperti terlihat dalam citraan tentang “Timur” dalam karya sastra “Barat”. Pencitraan stereotipis semacam ini juga merupakan salah satu bentuk perwujudan interaksi antarkelompok yang mengkristal dalam generalisasi. Stereotip etnis tentang orang Jawa, Cina, Dayak, Irian, menyebar di berbagai produk budaya, seperti iklan, film, termasuk dalam karya sastra.

Sastra dalam hal ini dapat berfungsi mengukuhkan kecenderungan dominan, misalnya melalui stereotip atau cara pandang yang esensialis. Sebaliknya, sastra dapat mempertanyakan konstruksi-konstruksi sosial yang ada secara kritis dan menawarkan perspektif yang berbeda. maupun untuk memberikan representasi diri sendiri yang berbeda dari stereotip-stereotip yang ada. Di sini identitas budaya muncul bukan sekadar sebagai “warna lokal”, melainkan sebagai suatu ekspresi budaya yang menggugat atau menawarkan alternatif terhadap citraan yang beredar di masyarakat.

Di masa lalu pemerintah Orde Baru di Indonesia mengupayakan kontrol terhadap representasi masa lalu, dengan mensyakralkan satu versi sejarah yang berpusat dan memberi pembenaran terhadap status quo. Wacana yang dominan pada waktu itu merepresentasikan apa dan siapa yang dianggap musuh dengan cap-cap yang dibangun dengan konotasi yang buruk. Bagi mereka yang lahir dan dibesarkan di zaman Orde Baru, kata-kata “komunis” “kiri” serta merta membangkitkan berbagai konotasi yang menakutkan, sama halnya dengan istilah, “kelompok subversif”, “GPK”. Yang muncul bukan sosok-sosok manusia, melainkan simbol kejahatan yang boleh dimusnahkan atau dibasmi seperti hama.

Pada masa sesudah kejatuhan Soeharto, keterbukaan memungkinkan sejarawan dan sastrawan untuk melihat masa lalu dengan perspektif yang berbeda-beda. Novel seperti karya Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat atau Martin Aleida, Layang-layang itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi memberikan penawar bagi konstrukti verbal yang menghakimi di masa Orde Baru. Di novel-novel itu tokoh-tokoh yang pernah ditahan karena afiliasi politiknya atau karena kekeliruan yang tak pernah diakui dimunculkan secara manusiawi. Tapol atau mereka yang dicap “antek komunis” itu tampil sebagai orang yang mencintai negaranya, yang menekuni profesinya, dan sebagai pribadi yang bisa menyayangi, membenci, punya cita-cita, rasa sakit, lapar, dan kesepian. Dalam novel Larung karya Ayu Utami, di balik stereotip-stereotip “Gerwani”, “PKI”, “Penimbun beras” ditunjukkan orang-orang kecil yang tak tahu apa-apa, seperti ayah tokoh Larung, seorang tentara yang mengatasi gaji kecilnya dengan menjual sisa beras jatah bersama sobatnya pedagang kelontong orang Cina. Keduanya dibunuh, yang satu dicap oknum PKI ketika sesama tentara terpaksa menyebut kawannya untuk menyelamatkan nyawa, dan sang pedatang dibantai sebagai “penimbun beras.”

Empati, Solidaritas, Pemahaman Lintas Budaya
Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, sastra dapat berfungsi, bukan saja untuk mendobrak stereotip, melainkaan juga untuk menekankan tema solidaritas dan empati. Simak puisi yang membangkitkan empati dan solidaritas, yang ditulis oleh sastrawan negara Usman Awang empat dekade silam, tujuh tahun sebelum kerusuhan Mei 1969: Anak Jiran Tionghua Begitu kecil ia berdiri di tepi pagar kilat matanya memanggil Iskandar siapa lalu siapa berkaca melihat keduanya bergurau senda Anak Tionghua kelahirannya di sini di bumi hijau lading-ladang getah dan padi ia bisa bercerita untuk siapa saja di sini tanahnya dan ibunya bersemadi Lihat mereka sedang berebutan pistol mainan he, jangan berkelahi ah, anak-anak dengan caranya murni berkelahi untuk nanti bermain kembali Lihat mereka tertawa riang Ah Chew tak punya gigi sebatang Iskandar mengesat hingus ke baju sekarang mereka menuggu aiskrim lalu Bumi tercinta resapkan wahyumu jantung mereka adalah langitmu darah mereka adalah sungaimu nafas mereka adalah udaramu (1962)

Seperti yang terlihat pada puisi Usman Awang di atas, sastra sebagai seni dengan medium kata mempunyai peluang kuat untuk membukakan wawasan, terutama untuk memahami dunia dari perspektif yang lain. Pada desarnya sebuah cerita rekaan bertumpu pada penghayatan terhadap sosok-sosok tokoh yang diciptakan. Kemampuan menghayati dan melihat perspektif sesuai dengan penokohan dengan demikian menjadi suatu kemampuan yang penting bagi seorang pengarang. Lepas dari bias-bias subjektif yang mau tak mau akan mewarnai setiap pengarang, sastra mempunyai potensi yang sangat besar sebagai medium imajinasi untuk pemahaman lintas budaya. Salah satu novel yang paling terkenal dalam sejarah Amerika ditulis oleh seorang perempuan kulit putih yang mampu menyelami dan menghidupkan penderitaan seorang budak bernama Paman Tom.

Di Indonesia praksis lintas budaya yang sangat mengesankan adalah penciptaan kisah Si Doel Anak Jakarta oleh Aman Datuk Majoindo di tahun 1940-an. Pengarang dari Sumatra Barat ini pergi merantau ke Jakarta ketika berumur 23 tahun, dan hidup sebagai pekerja kasar (pegawai toko, kuli di Tanjung Priok) yang bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat Betawi. Barangkali kehidupannya yang keras di Jakarta membuat ia bersimpati kepada masyarakat Betawi yang pada waktu itu belum sempat menikmati buah-buah modernitas dan melahirkan karya sastra pertama yang ditulis dalam dialek Betawi. Cerita anak-anak ini menjadi populer, dijadikan bacaan wajib di sekolah-sekolah, dan pada masa-masa berikutnya, yakni di tahun 1970-an dan 1990-an, diangkat menjadi film dan sinetron yang menyedot penonton. Si Doel kini identik dengan orang Betawi dan diterima baik oleh sejumlah kalangan Betawi sendiri sebagai simbol identitas masyarakat Betawi. Tidak banyak yang menyadari atau mengingat kembali bahwa tokoh si Doel adalah hasil sebuah penghayatan lintas budaya. Karya Aman Datuk Madjoindo menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan “pemilik asli” budaya.

Mencari Solusi: Hibriditas dan Kemajemukan
Selain memberi peluang untuk memasuki perspektif “orang lain”, karya sastra mempunyai potensi untuk menawarkan solusi terhadap permasalahan lintas budaya dengan membuat terobosan berpikir atau cara memandang. Kenyataan yang terjadi di tahun 1998, seperti kerusuhan berikut penjarahan dan pembakaran tempat usaha, ketegangan rasial terhadap etnis Tionghoa dan berbagai kekerasan antarkelompok terus- menerus menjadi sumber pembicaraan dan tulisan. Tetapi, berbeda dengan pendekatan yang mengangkat permasalahan-permasalahan tersebut sebagai suatu permasalahan yang serius, melalui kajian sosial politik, atau yang membangkitkan reaksi emosional yang keras, sejumlah cerpen dalam antologi Cerpen Mini Inhoa melihat persoalan dengan kacamata yang santai, kreatif, dan penuh humor.

Salah satu solusi lain dalam menghadapi primordialisme dan fanatisme kelompok adalah jalan tengah. Bersamaan dengan maraknya wacana multikultural yang mulai berkembang di mancanegara sejak tahun 1980-an, sejumlah karya sastra memajukan hibriditas dan kemajemukan untuk merobohkan sekat-sekat identitas. Nukila Amal menyusun mozaik Kepulauan Halmahera dengan dimensi hibrid: …leluhurku pelaut Makassar yang datang berniaga. Leluhurku saudagar Cina yang jatuh cinta pada tanjung dan seorang perempuan tanjung dan tinggal bersamanya di tanjung menatap ombak bergulung. Generasi demi generasi, berganti datang dan pergi,lahir dan mati. Di suatu waktu, muncul kakekku.(17)

Betawi yang ditampilkan oleh Zeffry J. Alkatiri dalam antologi puisi Dari Batavia Sampai Jakarta 1616-1999 adalah gado-gado berbagai unsur budaya: Belanda, Arab, Cina, Betawi, Sunda, Portugis, Jawa yang saling meminjam dan bercampur. Meskipun masih memanfaatkan stereotip-stereotip, gambaran tiap etnis yang meramaikan Batavia yang dibayangkan Zeffry tidak tunggal. Belanda tidak tampil hanya dengan bedil dan anggur, tetapi juga suster yang kehabisan perban di rumah sakit, dua noni dan sinyo Belanda yang terpenjara oleh sekat kelas dan ras, menonton anak-anak Betawi menyanyikan lagu dolanan. Di perkampungan Cina Benteng-Tangerang, enci-enci berkebaya dan sengau dari kandang babi mengiringi pesinden, penari cokek dan pemain rebab. Dengan perspektif yang lebih toleran dan terbuka, karya sastra berperan menawarkan alternatif terhadap primordialisme dan esensialisme yang terus- menerus membuahkan kekerasan dalam masyarakatnya.

Aktvitas Sastra, Politik Bahasa, dan Kebijakan Budaya
Ketika krisis ekonomi berkembang menjadi krisis yang penuh kekerasan, terutama kekerasan antarkelompok di Indonesia di tahun-tahun akhir menjelang abad ke-21, beberapa penulis mengaku kehilangan daya untuk mengangkat penanya. Kekerasan fisik yang melampaui batas kemanusiaan memang bisa melumpuhkan, tetapi untunglah, tidak mematikan. Pada kurun periode yang sama memasuki masa Reformasi yang tak kalah hingar bingarnya, dunia tulis-menulis di Indonesia menyaksikan produktivitas tekstual yang tinggi. Lepasnya sensor yang ketat terhadap penerbitan memungkinkan pembaca Indonesia memilih karya yang majemuk dari segi orientasi dan ideologi. Kebijakan budaya yang mematok sejarah versi tunggal dan penyeragaman sudah beralih pada kebangkitan keragaman. Sebuah teror sweeping buku Marksis yang dilancarkan di awal tahun 2000 sempat menciutkan nyali sejumlah toko buku untuk beberapa lama, tetapi kecenderungan untuk mempertahankan kebebasan berekspresi tampaknya masih bertahan.

Bagi para penulis, salah satu cara membebaskan diri dari trauma kekerasan adalah menghadapinya dengan pena atau melalui aktivitas sastra yang menjawab permasalahan yang ada. Penyair Afrizal Malna menggabungkan keseniannya dengan aktivisme lingkungan dan aktivisme untuk membela rakyat miskin di perkotaan. Sastrawan di sejumlah daerah “menjembatani” hubungan yang bermasalah antarkelompok melalui pembacaan puisi dan kolaborasi sastra lainnya. Salah satu di antara aktivitas tersebut adalah pembacaan karya pengarang Indonesia dalam bahasa Mandarin dan karya pengarang Komunitas Sastra Indonesia, antara lain dari kalangan buruh di akhir tahun 1998. Itulah pemunculan sastra Mandarin yang pertama sejak masa Orde Baru.

Tampaknya peran karya sastra dalam interaksi sosial memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi penciptaan yang melingkupinya, yang mau tak mau berkait dengan kebijakan budaya yang berlaku. Cerpen dari Riau yang dikutip sebelumnya menunjukkan konsekuensi dari kebijakan bahasa yang menghasilkan nilai dan posisi bahasa Melayu dan Inggris yang berbeda konteksnya di empat dari sepuluh negara Asia Tenggara. Di Indonesia, ketika bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, kemelayuannya lebur dengan perpaduan kosakata bahasa-bahasa lainnya, dipakai dengan berbagai logat dan dialek oleh para penuturnya. Akibatnya, berbeda dengan posisi bahasa Melayu di Malaysia yang masih erat berasosiasi dengan identitas Melayu, sumber ke-Melayu-annya memang cenderung terlupakan. Ditambah dengan komposisi penduduk, sejarah, dan berbagai faktor lainya, keterbukaan ini menyebabkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak tersaingi oleh bahasa-bahasa lainnya di wilayah publik. Ini berbeda dengan konteks di Malaysia, yang ruang publiknya ramai dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang diwariskan sejarah kolonial, Cina dan Tamil, dengan penutur yang cukup besar presentasinya. Nilai dan kedudukan bahasa “Inggris” sebagai yang masih harus ‘digalakkan’ di Indonesia, sedangkan di Malaysia sudah de facto menjadi bahasa pergaulan antarkaum.

Dalam perkembangan globalisasi yang ada, penulisan karya sastra di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa Inggris bahkan di wilayah yang bukan bekas koloni negara berbahasa Inggris sekali pun, tampaknya akan terus berkembang. Dari Indonesia, misalnya, muncul pengarang seperti Richard Oh, yang menulis novel berlatar kerusuhan 1998 dalam bahasa Inggris, penyair Saraswati Sunindyo, yang sajak-sajak bahasa Inggrisnya mulai dikenal di Amerika Serikat. Kekayaan budaya milik siapakah karya-karya tersebut, kekayaan ‘nasional’ negaranya masing-masing, kekayaan kawasan Asia Tenggara, atau sastra global yang tidak berkebangsaan? Padahal, teks-teks berbahasa Inggris tersebut dengan kritis menyoal hubungan lintas budaya kekuatan lokal dan global.

Berbicara dalam konteks Asia Tenggara yang kesatuan komunitasnya mau tak mau harus bertumpu pada bahasa Inggris, (selain bahasa Melayu di sejumlah kawasannya), ekspresi sastra dalam berbagai bahasa selain bahasa Melayu penting untuk dirangkul. Penerjemahan lintas bahasa seperti yang telah dilakukan di Malaysia, Indonesia, dan di berbagai negara Asia Tenggara lainnya merupakan suatu aktivitas yang seyogianya terus-menerus dilakukan untuk membantu membayangkan komunitas Asia Tenggara. Selain itu, pembahasan silang antara teks-teks nasional yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa lain akan sangat memperkaya wawasan lintas budaya. Praksis budaya lintas bahasa semacam itu akan sangat bermanfaat bahkan dalam konteks Mastera sekali pun, yang tujuannya untuk mengembangkan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.

Penutup
Proses globalisasi menunjukkan interaksi lintas budaya yang kompleks. Di satu pihak terjadi peningkatan yang sangat tajam, bukan saja pada kuantitas dan kecepatan interaksi, melainkan juga pertautan yang kompleks dan menyebar antara yang global dan yang lokal. Muncul kecenderungan dari yang lokal untuk bergabung pada kelompok yang lebih besar, seperti pada Uni Eropa atau dari kekuatan global untuk menyerap yang local, seperti pada kapitalisme global. Di pihak lain, globalisasi juga diikuti oleh pemecahan entitas geopolitik yang besar menjadi komunitas-komunitas kecil, yang tak jarang dicirikan oleh pengentalan identitas budaya, ras, etnisitas, atau agama. Dalam berbagai pola interaksi tersebut, sastra mempunyai fungsi yang signifikan. Ia dapat berfungsi sebagai pembangun kesadaran satu kelompok, dari yang paling kecil hingga yang regional dan global. Ia dapat menyuarakan aspirasi masyarakatnya untuk menggugat atau mengubah posisi dalam hubungan kekuasaan antara yang lokal – nasional – regional maupun global. Sastra berpotensi baik untuk menunjukkan adanya masalah dalam hubungan antarkelompok –dari prasangka yang dimunculkan melalui stereotip dan penggambaran konflik yang ada– maupun untuk membukakan pemahaman lintas budaya dengan penekanan pada solidaritas, empati, dan kebersamaan. Karya sastra juga berperan untuk menawarkan perspektif alternatif dengan memandang persoalan dari sudut yang tidak lazim atau dengan memecahkan kebekuan antarkelompok melalui konsep hibriditas dan kemajemukan. Dalam semua perannya itu, sebuah karya sastra tidak muncul begitu saja dari keadaan vakum. Ia lahir dari suatu masyarakat yang menciptakan ruang gerak tertentu bagi kesusasteraan melalui kebijakan budaya, politik bahasa, dan birokrasi kesenian. Ia bisa didukung atau dihambat oleh kekuatan negara-bangsa dan mendapatkan daya hidupnya dari aktivitas para pengarang berikut komunitas-komunitas sastra yang hidup pada zamannya. Dinamika yang pesat dalam hubungan lokal-nasional-regional-dan global dalam era globalisasi menuntut semua pihak yang berkepentingan dalam kesusasteraan untuk senantiasa mengkaji ulang kebijakan budaya yang selama ini dianutnya. Perkembangan lintas budaya di abad ke-21 menuntut ruang gerak yang luas untuk menghargai keragaman sambil tetap meneguhkan kebersamaan untuk hidup di dunia yang semakin sempit dan semakin ramai.

-

Arsip Blog

Recent Posts