Lorenzo & Stoner Impresif, Rossi Jeblok

Jorge Lorenzo menguasai hari pertama tes resmi MotoGP di Sirkuit Valencia, Selasa 9 November 2010. Casey Stoner bersinar, sedangkan Valentino Rossi tercecer di posisi 10.

Kurang dari 48 jam seri terakhir MotoGP 2010 berakhir di Valencia, Minggu 7 November 2010, para rider sudah kembali melakukan tes resmi di Valencia jelang musim 2011. Rider-rider yang memiliki tim baru mulai unjuk gigi.

Lorenzo, yang menggunakan nomor motor 1 untuk musim 2011, berhasil mempertahankan performanya. Setelah memenangkan MotoGP Valencia di seri terakhir, rider asal Spanyol tersebut kembali menjadi yang tercepat saat tes hari pertama ini.

Menghabiskan 48 lap dengan mesin M1 milik Yamaha, Lorenzo berhasil mencatatkan waktu tercepat 1 menit 32,012 detik, unggul atas Casey Stoner yang tampil impresif di debutnya bersama Repsol Honda.

Menggunakan sasis mesin anyar yang digunakan untuk musim 2011, Stoner berhasil menyelesaikan 44 lap dan hanya tertinggal 0,763 detik dari Lorenzo.

Hasil buruk diraih Valentino Rossi. Untuk kali menunggangi Desmosedici GP11 milik DUcati di sebuah latihan resmi, The Doctor hanya mampu berada di posisi 10.

Hasil Tes Resmi MotoGP 2011 di Valencia:

1. Jorge Lorenzo -- Yamaha Factory Racing -- 1 menit 32.012 detik -(48 lap)
2. Casey Stoner -- HRC -- 1m 32.775s -- (44)
3. Ben Spies -- Yamaha Factory Racing -- 1m 32.878s -- (42)
4. Dani Pedrosa -- Repsol Honda Team -- 1m 32.912s -- (35)
5. Marco Simoncelli -- San Carlo Honda Gresini -- 1m 32.919s -- (59)
6. Andrea Dovizioso -- Repsol Honda Team -- 1m 33.190s -- (50)
7. Colin Edwards -- Monster Yamaha Tech 3 -- 1m 33.513s -- (49)
8. Alvaro Bautista -- Rizla Suzuki MotoGP -- 1m 33.558s -- (54)
9. Nicky Hayden -- Ducati Marlboro Team -- 1m 33.716s -- (54)
10. Valentino Rossi -- Ducati Marlboro Team -- 1m 33.882s -- (56)
11. Randy de Puniet -- Pramac Racing -- 1m 33.914s -- (54)
12. Hiroshi Aoyama -- San Carlo Honda Gresini -- 1m 33.953s -- (67)
13. Hector Barbera -- Paginas Amarillas Aspar -- 1m 34.110s -- (76)
14. Cal Crutchlow -- Monster Yamaha Tech 3 -- 1m 34.314s -- (59)
15. Loris Capirossi -- Pramac Racing -- 1m 34.631s -- (71)
16. Toni Elias -- LCR Honda MotoGP -- 1m 35.058s -- (60)
17. Karel Abraham -- Cardion AB Motoracing -- 1m 35.076s -- (49)

Barca Bantai dan Kudeta Madrid

Barcelona — Barcelona menang 5-0 atas Real Madrid dalam pertandingan Liga BBVA pekan ke-13, di Camp Nou, Senin atau Selasa (30/11/2010) dini hari WIB. Barcelona kini duduk di puncak klasemen dengan 34 poin atau unggul dua angka dari Real Madrid di tempat kedua.

Pertandingan berlangsung sengit dan panas sejak menit awal. Namun, dengan penguasaan bola, Barcelona mampu melumpuhkan daya serang Madrid dan melepaskan sejumlah ancaman.

Peluang gol terbaik pertama pertandingan ini terjadi pada menit keenam. Saat itu, dari tengah kotak penalti, Lionel Messi menyambut umpan Carles Puyol dengan sebuah tembakan, yang sayangnya hanya membentur tiang kanan Iker Casillas.

Tak mau kehilangan momen, Barcelona mempertahankan tekanannya. Meski tak mudah, mereka mampu unggul melalui Xavi Hernandez pada menit kesepuluh.

Gol bermula dari umpan terobosan Andres Iniesta kepada Xavi Hernandez di tengah kotak penalti. Dalam kawalan Marcelo, Xavi berhasil mengontrol bola dan melesakkannya ke sudut kanan atas gawang Iker Casillas.

Setelah itu, Madrid mencoba bangkit dan mampu melepaskan ancaman beruntun melalui Angel Di Maria pada menit ke-12 dan Sergio Ramos pada menit ke-14. Namun, sementara tembakan Di Maria diamankan Victor Valdes, eksekusi Ramos melenceng keluar lapangan.

Madrid belum menciptakan ancaman baru ketika Barcelona memperbesar keunggulan melalui Pedro pada menit ke-19.

Gol bermula dari pergerakan David Villa di sisi kanan pertahanan Madrid. Dalam kawalan Sergio Ramos, ia berhasil melepaskan umpan silang. Iker Casillas berhasil menepis bola. Namun, Pedro yang berada di dekat Casillas berhasil menjangkau bola dan menjejalkannya ke gawang.

Keadaan tertinggal membuat Madrid semakin mengencangkan serangannya. Namun, Barcelona bereaksi cepat meningkatkan pertahanan mereka.

Permainan pun berlangsung sengit oleh perebutan bola dan usaha membangun serangan. Namun, bukannya berujung gol, peningkatan suhu persaingan malah berujung perselisihan kedua kubu menyusul aksi Ronaldo mendorong Guardiola pada menit ke-30.

Insiden bermula dari aksi Ronaldo memungut bola yang keluar lapangan di dekat kursi cadangan. Sebelum Ronaldo memungut bola, Pep mendahuluinya dan melempar bola ke lapangan. Ronaldo kemudian mendorong Pep.

Pemain Barcelona tidak terima pelatih mereka diperlakukan begitu. Perselisihan pun terjadi dan baru mereda setelah wasit mengacungkan kartu kuning kepada Ronaldo dan Victor Valdes.

Insiden berikutnya adalah ketika Lionel Messi tersikut Carvalho pada menit ke-45. Insiden bermula dari terjatuhnya Messi setelah berkontak dengan Carvalho. Messi bangkit dan menghampiri Carvalho.

Carvalho yang memang dalam posisi memunggungi Messi mengayunkan tangan sehingga sikutnya mengenai muka Messi. Terhadap kejadian ini, wasit memberikan kartu kuning kepada Messi.

Sayang, meningkatnya atmosfer rivalitas hanya membuahkan insiden-insiden kontra-fairplay, bukan gol, seperti tampak dari angka 2-0 di papan skor yang tak berubah sampai peluit turun minum berbunyi.

Barcelona kemudian mengambil inisiatif menyerang di awal babak kedua. Hasilnya, sekitar sepuluh menit pertama mereka mampu mengurung Madrid dan menciptakan dua peluang gol melalui Messi dan Xavi pada menit ke-48 dan ke-52. Namun, sementara eksekusi Messi diblok, tembakan Xavi mengenai jaring bagian kiri luar gawang Casillas.

Madrid belum bangkit ketika Barcelona akhirnya berhasil memperbesar keunggulan menjadi 3-0 melalui David Villa pada menit ke-55.

Gol bermula dari umpan terobosan Lionel Messi. Villa yang berada di tengah kotak penalti dalam kawalan Pepe berhasil mengecoh Pepe, menjangkau umpan Messi, dan menembakkannya masuk ke gawang Madrid.

Nyaris tanpa kesulitan berarti, Villa membawa Barcelona unggul 4-0 pada menit ke-58. Gol bermula dari umpan terobosan Lionel Messi kepada Villa di kotak penalti. Sebelum Villa menguasai bola, Casillas bergerak maju. Namun, Villa lebih dulu menjangkau bola dan menembakkannya. Bola bergulir mendatar melewati di antara kedua kaki Casillas dan masuk ke gawang Madrid.

Madrid kemudian mencoba menurunkan tempo permainan. Usaha ini cukup efektif meredam serbuan lawan, tetapi tak memudahkan mereka melancarkan serangan.

Di tengah kesulitan menyerang, Barcelona masih sempat menciptakan kejutan kecil melalui tembakan jarak jauh Sergio Busquets, yang melesat sedikit di atas mistar gawang Casillas pada menit ke-66.

Menjelang menit ke-70, Barcelona mencoba merebut bola dan menaikkan tempo permainan. Meski tak lantas bisa menyelipkan ancaman, Barcelona berhasil mendikte permainan Madrid.

Berbeda dari sebelumnya, Barcelona tak lagi terburu-buru melakukan serangan. Dalam tempo yang lebih lambat, mereka memainkan penguasaan bola.

Tiadanya pergerakan yang mengancam dari kedua kubu menurunkan dinamika permainan dan atmosfer Camp Nou. Suasana baru kembali memanas ketika pada menit ke-74 Lionel Messi mencoba berpenetrasi. Namun, bola yang dikuasainya berhasil direbut Lassana Diarra dan Messi sendiri berkontak fisik dengan Arbeloa. Tak ada kartu keluar dari saku wasit.

Dua menit berikutnya, giliran Andres Iniesta yang terjatuh akibat dilanggar Sami Khedira. Kali ini, wasit mengacungkan kartu kuning kepada Khedira.

Setelah dua momen tersebut, Barcelona meningkatkan agresivitas yang berujung pergerakan berbahaya dari Bojan dan Messi. Sementara Bojan mampu mengeksekusi bola, yang diamankan Casillas, Messi kehilangan bola sebelum sempat melakukan eksekusi.

Pada lima menit terakhir, Guardiola mengganti Xavi dan Pedro dengan Seydou Keita dan Jeffren Suarez. Suntikan darah segar mendongkrak tensi permainan dan di luar dugaan, pada menit ke-90 Barcelona mampu menambah gol melalui Jeffren.

Gol bermula dari pergerakan Bojan di sektor kiri pertahanan Madrid dan mengakhirinya dengan sebuah umpan silang. Jeffren yang berada di tengah kotak penalti berhasil mengecoh Ramos yang mengawalnya dan mengirim bola masuk ke gawang Casillas.

Menjelang akhir laga, sebuah insiden kembali terjadi, yaitu ulah Sergio Ramos yang melanggar Messi dan mendorong Carles Puyol. Ia kemudian diganjar kartu merah.

Sanksi itu tak cukup bagi Ramos untuk meredakan emosinya. Dalam perjalanan ke kursi cadangan, ia berpapasan dengan Xavi dan juga mendorongnya.

Ulah Ramos tak membuat situasi panas berlarut-larut karena tak lama setelah ia kembali ke kursi cadangan, wasit membunyikan peluit akhir yang disambut sorak-sorai para pemain, ofisial, dan tentu saja suporter tuan rumah.

Selama 90 menit Barcelona menguasai bola sebanyak 67 persen dan menciptakan enam peluang emas dari 15 usaha. Adapun Madrid melepaskan dua tembakan akurat dari lima kali percobaan.

Dengan hasil itu, Barcelona mengoleksi 34 poin dan berhak naik ke puncak klasemen, menggantikan Madrid yang memiliki 32 poin. (*)

Susunan pemain:
Barcelona: Victor Valdes; Carles Puyol, Gerard Pique, Eric Abidal, Dani Alves; Sergio Busquets, Andres Iniesta, Xavi Hernandez (Seydou Keita 87); Pedro (Jeffren Suarez 87), David Villa (Bojan Krkic 76), Lionel Messi.
Madrid: Iker Casillas; Ricardo Carvalho, Pepe, Marcelo (Álvaro Arbeloa 60), Sergio Ramos; Xabi Alonso, Sami Khedira, Cristiano Ronaldo, Angel Di Maria; Mesut Oezil, Karim Benzema. (TUR)

Pasangan Mesum Ditelanjangi dan Diarak Keliling Kampung

Pasuruan - Warga yang geram telah menelanjangi dan mengarak keliling kampung setelah pasangan selingkuh mereka gerebek di Pasuruan Jawa Timur.

Pasangan If (30) dan Bm (45), warga Bugul Kidul, Kota Pasuruan, Senin (22/11) malam. Saat bercinta, mereka digerebek warga setempat. Tak hanya itu, mereka diarak beramai-ramai sambil diborgol dan ditelanjangi.

Perselingkuhan mereka sudah dicium warga sejak sebulan lalu. Saat itu, If yang sudah bersuami dan beranak dua itu memasukkan pria lain ke rumahnya. Warga menggerebek dan membawa mereka ke pengurus RT, namun mereka dilepas kembali.

Senin (23/11/2010) malam adalah puncak kegeraman warga. Saat If dan Bm bermesraan di rumah If, warga kembali menggerebeknya. Warga meminta pasangan itu keluar rumah dan mereka mengaraknya beramai-ramai.

“Awalnya si pria saja yang tidak boleh berpakaian, sedangkan If masih mengenakan daster. Tapi, di tengah jalan, warga menyobek daster If hingga perempuan ini telanjang,” terang Betty, warga setempat.

Pasangan ini tak berdaya saat dipermalukan di muka umum. Pasalnya, tangan If dan Bm sama-sama diborgol di belakang badan. Mereka hanya bisa meneteskan air mata.

Warga mengarak pasangan itu hingga sejauh sekitar satu kilometer, mulai dari kampung menuju bagian belakang Pasar Gadingrejo dan berputar kembali ke kampung. Puas melampiaskan amarah, warga menyerahkan mereka ke ketua RT.

Ada warga yang sempat memukul pasangan yang dianggap mencemarkan nama baik kampung itu. “Untungnya waktu itu polisi cepat datang ke sini. Mungkin ada yang menelepon ya. Polisi langsung membawa keduanya,” imbuh Betty.

Kasat Reskrim AKP Ponasit, mewakili Kapolres AKBP Agung Yudha, menyatakan, “Masih kami periksa. Kami belum bisa memberi penjelasan. Ada tinjauan beberapa pasal hukum terkait peristiwa ini. Nanti hasilnya akan kami sampaikan kepada wartawan,” tandas AKP Ponasit. (surya)

Tari Jaipong

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.

Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Berkembang
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya “kaleran” (utara).

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.

Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Memasyarakatkan Jaipongan di Kota Jaipong

Oleh Deni Andriana

Tari jaipong yang disebut-sebut sebagai pangkal dari munculnya istilah goyang Karawang, ternyata perkembangannya di Karawang sendiri kini sangat memprihatiankan, ditengah desakan kesenian modern yang dari hari ke hari lebih diminati khususnya oleh para remaja. Hal ini, bisa dilihat dari semakin minimnya acara atau pagelaran jaipongan terutama dalam acara-acara hajatan yang kalah pamor dibandingkan organ tunggal, dangdut dan kesenian modern lainnya.

Berangkat dari keprihatinan terhadap semakin pudarnya kesenian yang ada di Kararawang, khususnya jaipongan ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lodaya bekerjasama dengan Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Dept. Dalam Negeri, pada rabu (10/12) kemarin menggelar sebuah hajatan di GSG (Gor) Panathayudha, bertajuk Lomba Tari Jaipongan Kabupaten Karawang.

Diikuti sekitar 40 peserta yang berusia rata-rata berusia 14 tahun (remaja), acara ini menjadi sebuah ajang pembuktian, bahwa jaipongan belum punah di Karawang, karena masih ada penggemarnya, dan yang terpenting lagi adalah masih ada pihak yang peduli untuk melestarikannya. Setidaknya, keikutsertaan 40 orang remaja putri yang berasal dari Karawang dan juga beberapa diantaranya juga berasal dari daerah lain, seperti Purwakarta, Bogor, Jakarta dan sekitarnya ini menjadi sebuah bukti.

“Kalau kita tidak benahi, tidak dipelihara dan tidak dilestarikan, mungkin suatu saat jaipongan hanya menjadi catatan sejarah saja. Karena, memang selama ini pelaku-pelaku seni di daerah ini kurang mendapat tempat, peminatnya jarang. Selain itu, masyarakat pun lebih menyukai kesenian modern dibanding kesenian daerah,” ujar Nace Permana, Ketua LSM Lodaya sekaligus ketua pelaksana acara, menjelaskan maksud diadakannya pagelaran ini.

Nace berharap, lomba jaipongan ini dapat ikut membantu dalam mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap seni budaya yang ada di daerahnya, khususnya jaipongan. Dengan harapan itulah, kemudian Ia dan panitia acara ini menggelar perlombaan ini di lokasi terbuka di Halaman GOR panathayuda, dari pagi hingga malam hari.

“Kami sengaja tidak mengadakan di dalam gedung, supaya kesannya tidak eksklusif, sehingga masyarakat dapat menonton dengan bebas,” terang Nace yang juga mengatakan bahwa para peserta lomba ini tidak dipungut biaya.

Selain merupakan reaksi postif terhadap semakin pudarnya kesenian jaipongan, acara ini juga dimaksudkan untuk memperingati hari sumpah pemuda dan HUT Karawang ke 375, yang walaupun sudah lewat namun semangatnya tentunya akan terus ada, dan terbukti diterjemahkan dari ditentukannnya bahwa peserta lomba adalah yang berusia maksimal 25 tahun, yang dimaksudkan juga sebagai ajang regenerasi dari para seniman yang sudah senior.

Menanggapi adanya konotasi negatif yang melekat pada tari jaipong dan goyang Karawang, Nace mengakui bahwa hal itu memang benar adanya, namun setidaknya Ia dan rekan-rekannya di LSM dan juga Dewan Kesenian Karawang, berharap bahwa lambat laun anggapan itu akan pudar, dan dengan adanya langkah nyata dalam melestarikannya akan mengembalikan citra goyang Karawang dalam arti yang positif.

“Kami disini ingin membuktikan bahwa goyang Karawang bukan hanya dengan geolnya saja, bukan dengan giteknya saja, tapi ada sebuah unsur seni yang sangat luar biasa. Dan mungkin kalau konotasi itu kita rubah, goyang karawang ini adalah goyangnya para pejuang di Karawang sehingga bisa menggoyang Indonesia, itulah inti sebenarnya goyang Karawang,” harap Nace.

Gairah Peserta
Para peserta lomba, tampil secara bergiliran, masing-masing menunjukan kebolehannya dalam tari jaipong dalam satu lagu atau kawih yang dinyanyikan dan diringi para seniman Karawang diatas panggung, dihadapan para juri yang juga seniman dan budayawan Karawang. Adapun yang dinilai dalam lomba ini diantaranya adalah pada unsur wiraga (gerakan), wirasa (penghayatan), wirahma (kesesuaian) dan harmoni.

Menurut keterangan panitia, rata-rata para peserta adalah mereka yang mengikuti sanggar kesenian di daerahnya masih-masing. Namun, selain itu banyak juga beberapa diantaranya yang otodidak dan hanya bermodalkan keaktifannya pada kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya masing-masing.

Salah satu peserta yang tidak berasal dari sanggar adalah Bella Dawanti (13). Bella, yang sekolah di SMP 1 Cikampek, menuturkan bahwa Ia sangat berantusias terhadap lomba ini. Gadis manis yang didampingi ibunya ini, merasa bangga karena dapat ikut andil dalam melestarikan kesenian yang sudah mengakar di Karawang ini. Walaupun bukan berasal dari keluarga seniman dan tidak mengikuti sanggar secara khusus, cewek yang pernah menjadi juara 2 dalam lomba jaipongan tingkat SMP di Karawang ini, juga sering mengikuti lomba-lomba serupa bahkan sejak kelas 6 SD.

Berbeda dengan Bella, peserta lainnya seperti tiga orang peserta dari Purwakata, Herlin Septiani (12), Anissa Zikri (13) dan Linda Sukmawati (12), mengungkapkan bahwa mereka bertiga adalah tergabung dalam sanggar seni di Purwakarta. Ketiga gadis belia yang masih duduk dibangku SMP ini juga sangat berantusias untuk ikut melestarikan kesenian jaipongan.

“Kan jarang anak-anak seumuran saya, nari tarian kayak gini, kebanyakan kan modern, jadi bagus buat ngamumule budaya Sunda,” ujar Herlin dengan senyumnya yang manis.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa remaja seumur Bella, Herlin dan para peserta lainnya, saat ini lebih tertarik kepada kesenian modern. Faktor lingkungan, keluarga, gengsi karena tidak mau disebut ketinggalan jaman dan alasan lainnya menjadi penyebab semakin sedikitnya peminat tari Jaipong, baik yang serius maupun untuk sekedar menyalurkan hobi.

Yeyet, warga Karawang yang mendampingi dua orang putrinya, Dea (20) dan Ayunda (12) yang mengikuti lomba ini, menuturkan bahwa dengan adanya lomba tari jaipongan ini, akan memberikan dampak positif khususnya dalam membangunkan warga Karawang yang sudah banyak melupakan kesenian khas daerahnya sendiri.

“Saya lihat di Karawang ini, jarang anak-anak yang mau jaipongan atau seni Sunda. Kebanyakan kan misalnya dance, band. Walaupun itu disesuaikan dengan kita, tapi itu kan tetap produk luar. Tapi kalau jaipongan itu kan asli dari Karawang juga (sunda). Tapi kalau orang Karawangnya sendiri tidak mau memajukan ya itu jadi masalahnya,” ujar Ibu tiga anak ini.

Walaupun bukan dari turunan keluarga seniman, Yeyet sendiri sudah mencoba mengenalkan jaipongan kepada kedua putrinya itu sejak kecil, dan juga memasukan keduanya untuk berlatih disalah satu sanggar tari yang ada di Karawang.

Kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan orang Karawangnya sendiri, lalu siapa yang harus diandalkan untuk melestarikan kesenian tradisional ini. Seperti itulah mungkin yang ingin diungkapkan panitia, peserta dan para orang tua peserta acara lomba jaipongan ini.

Secara keseluruhan acara ini berlangsung secara meriah, baik dari sisi kemasan acara maupun penonton yang hadir, walaupun cuaca mendung menyelimuti Karawang dihari tersebut.

Lomba ini berakhir pada malam harinya, dengan menempatkan Dewi Suryani (Bogor) sebagai juara I, Citra Nuraeni (Karawang) Juara I dan Herlin Septiani (Purwakarta) sebagai juara III. Masing-masing, mereka mendapatkan piala dan uang pembinaan sebesar 2,5 juta, 2 juta dan 1,5 juta rupiah. Disamping itu, dipilih juga tiga orang juara harapan, yang diraih oleh Mutia Haslinda (Harapan I), Nia Kurnia (Harapan II) dan Deti Kurnia (Harapan III), yang masing-masing mendapatkan uang pembinaan sebesar 500 ribu rupiah.

Selain lomba, dalam acara ini juga diberikan penghargaan dan plakat kepada sekitar 12 orang seniman Karawang yang sudah dianggap sebagai maestro, yang dianggao berjasa dalam mengembangkan dan mengangkat seni budaya Karawang, tiga diantaranya dalah Dalang Cecep Supriadi, Nini Ijem dan Suanda. Ketiganya adalah seniman yang sudah melanglang buana bukan hanya di dalam negeri, bahkan juga ke manca negara.

Tentunya, melalui ajang seperti ini, diharapkan lahirnya seniman dan seniwati Karawang selanjutnya sebagai penerus eranya Dalang Cecep dkk. Munculnya generasi yang tidak hanya pintar dan mahir berjaipong, tapi juga seperti diungkapkan Nace sebelumnya, bisa menggoyang Karawang dan juga Indonesia dengan hal-hal yang positif, lewat prestasi tentunya.

Tampilkan Calung, Suguhkan Nasi Timbel

Batam, Kepri - Pemko Batam tak bekerja sendiri mensukseskan Visit Batam 2010. Swasta, tak terkecuali pengusaha restoran, juga putar otak agar pelancong merasa puas setelah mengunjungi pulau seluas 415 kilometer persegi ini. Edi Hardi misalnya, pemilik rumah makan Saung Sunda Sawargi (SSS) di Pelita ini selalu memanjakan turis dengan menanyakan makanan dan hiburan seperti apa yang mereka inginkan selama berada di Batam.

Menurutnya, itu merupakan cara paling efektif memuaskan wisatawan ketimbang berspekulasi dengan menggelar acara besar namun tak membuat wisatawan terkesan. “Lain negara, lain selera. Tapi selagi bisa kita penuhi, pasti keinginan mereka itu kita penuhi,” kata Edi di temui Batam Pos di Pelita, kemarin. Kemarin siang, rumah makan bergaya tradisional ini kedatangan 200 pelancong asal Singapura. Oleh pengelola SSS, para wisatawan itu disambut atraksi seni khas Jawa Barat, Calung. Pertunjukkan yang ditampilkan tujuh pemuda ini, memikat wisman asal Negeri Singa itu. Selain berfoto, beberapa di antaranya bahkan ikut menari.

Usai menyaksikan pertunjukkan seni, rombongan yang diangkut dengan empat bus ini langsung diajak menikmati lezatnya makanan Indonesia di restoran itu. Ada daging gepuk manis khas Jawa Barat, ikan gurame goreng, ayam bakar, tahu, tempe bacem, sambal terasi hingga nasi timbel. “Mereka agak kaget juga melihat nasi dibungkus daun begini. Katanya, ini apa? Saya jawab, nasi timbel. Di Singapura nggak akan ada nasi seperti itu,” kata Edi sambil melepas tawa.

Selain makanan, SSS juga menyuguhkan minuman racikan sendiri. Sop buah namanya. Minuman ini mirip es teler. Hanya saja ada tambahan anggur dan pir di dalamnya. “Sambil menyeruput minuman itu, mereka mengacungkan jempol... Katanya, it`s delicious!” ujar Edi menirukan ucapan salah satu pelancong Singapura itu. Setelah 200 turis Singapura, dalam waktu dekat rumah makan yang dikelola Edi ini akan kedatangan 300 pelancong lagi dari Singapura. “Kita ada kerjasama dengan travel. Nanti, suguhan makanan, minuman maupun hiburannya akan disesuaikan keinginan turis-turis itu,” tukas lelaki berkumis ini. (ros)

Sumber: http://batampos.co.id 19 Juni 2009

Pertumbuhan Pariwisata Indonesia Terus Meningkat

Yogyakarta - Krisis global yang juga menerpa industri pariwisata dalam bentuk penurunan jumlah wisatawan tidak mempengaruhi Indonesia. Menurut Menteri Pariwisata dan Kebudayaan (Menparbud) Jero Wacik, pada masa krisis ini, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia terus mengalami kenaikan. Tetapi ia mengakui pertumbuhannya melambat. "Hingga April ada pertumbuhan 1,5 persen. Karena itu, pemerintah menargetkan sampai akhir tahun kenaikannya sekitar dua hingga tiga persen," katanya.

Ia mengatakan itu sebelum meresmikan Kawasan Wisata Kuliner Pantai Depok, Bantul, dan peluncuran pemberian bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta, Rabu (17/6). Bantuan PNPM Pariwisata Mandiri itu menghabiskan dana sebesar Rp8,5 miliar yang diperuntukkan bagi 100 desa berbasis wisata di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut Jero Wacik mengatakan, di tengah kondisi regional Asia Tenggara yang menurun, sebaliknya pertumbuhan wisatawan mancanegara Indonesia justru naik walau hanya 1,5%. (AU/OL-01)

Melacak Tanah Asal Mahapatih Gajah Mada

Lamongan, Jawa Timur - Bupati Lamongan memerintahkan pembentukan tim penulusuran sejarah Mahapatih Gajah Mada di Lamongan. Tim itu bertugas menyusun bukti-bukti eksistensi Gajah Mada di Lamongan dengan beranggotakan sejumlah budayawan dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di kabupaten itu. Pelaksana Asisten III Bidang Administrasi Kabupaten Lamongan Aris Wibawa, Rabu (17/6), menyatakan, Bupati sudah memerintahkan pembentukan Tim untuk menelusuri sejarah Gajah Mada di Lamongan, karena ada daerah lain yang juga mengklaim mahapatih Majapahit yang sangat terkenal itu dari daerahnya.

"Berdasarkan keterangan sejumlah budayawan Lamongan, ada bukti otentik dan oral (lisan) bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan, sehingga Bupati memerintah dibentuk Tim penelusuran sejarah Gajahmada," katanya. Salah seorang budayawan Lamongan Viddy AD Daeru, pada Seminar dan Rembug Budaya di Lamongan menyebutkan ada sejumlah cerita rakyat (folklore) yang umum dikisahkan di wilayah pedalaman Lamongan mengenai keberadaan patih yang terkenal dengan Sumpah Palapanya tersebut di Lamongan. Cerita rakyat itu menuturkan bahwa Gajah Mada anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo) yang pada era Kerajaan Majapahit bernama Pamotan.

Berdasar cerita rakyat itu pula, Gajah Mada adalah anak Raja Majapahit secara tidak sah (istilahnya lembu peteng atau anak haram) dengan gadis cantik anak seorang Demung (Kepala Desa) Kali Lanang. Anak itu dinamai Joko Modo atau jejaka dari Desa Mada yang diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1300. Selanjutnya, oleh kakek Gajah Mada yang bernama Empu Mada, Joko Modo dibawa hijrah ke Desa Cancing di Kecamatan Ngimbang, yakni wilayah yang lebih dekat dengan Bululuk, salah satu Pakuwon di Pamotan yang merupakan benteng Majapahit di wilayah utara. Ada pun benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun di Kecamatan Solokuro.

Salah satu bukti fisik bahwa Gajah Mada lahir di Lamongan adalah adanya situs kuburan ibunda Gajah Mada di Desa Ngimbang. Menurut kepercayaan setempat, situs yang sampai sekarang masih ada itu masih dikeramatkan oleh sebagian warga. Anak muda bernama kecil Joko Modo, berbadan tegap, jago kanuragan serta berilmu tinggi didikan Empu Mada itulah yang kemudian disebut sebagai Gajah Mada. "Dia kemudian diterima menjadi anggota Pasukan Bhayangkara (pasukan elit pengawal raja) di era Prabu Jayanegara,” jelas Viddy.

Viddy membeberkan analisisnya mengenai bukti hubungan Gajah Mada dan Lamongan. Prestasi pertama Gajah Mada adalah menyelamatkan Jayanegara yang hendak dibunuh Ra Kuti-pemberontak yang notabene Patih Kerajaan Majapahit sendiri. Gajah Mada melarikan Prabu Jayanegara ke Desa Badander (sekarang Dander masuk wilayah Kabupaten Bojonegoro) di wilayah Pamotan. Keputusan Gajah Mada ini tentunya terkait dengan kedekatan masa kanak-kanak Gajah Mada. Saat itu Gajah Mada diperkirakan baru berusia 19 tahun namun pangkatnya sudah naik menjadi Pimpinan Pengawal Raja (Bhekel Bhayangkara) yang dikenal dengan Bhekel Gaja h Mada, kata Viddy. (ACI)

Sail Bunaken 2009 Terus Dimantapkan

Manado, Sulawesi Utara - Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Danlantamal) VII Laksamana Muda Willem Rampangilei, tidak henti-hentinya menyosialisasikan pemantapan Sail Bunaken 2009. “Sail Bunaken 2009 di Sulut harus lebih baik agar tujuan pariwisata dan tujuan kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan bisa menjadi bukti nyata bahwa Indonesia, khususnya Sulut, memang kaya akan sumber daya kelautan,” jelasnya di Manado baru-baru ini.

Panitia menyiapkan 13 acara dalam Sail Bunaken, antara lain sailing pass, fly pass, kirab kota, pemecahan rekor selam 1500 orang, seminar, olah raga air, olah raga tradisional, crew party, wisata dan rekreasi, cultural performance, food festival, admiral dinner, yacht rally, sampai gala dinner dengan Presiden RI. Dari rangkaian acara tersebut, sebagian besar diperuntukkan sebagai wahana hiburan dan pengetahuan bagi warga masyarakat dan wisatawan.

Sosialisasi juga dilakukan sampai ke tingkat masyarakat paling bawah, khususnya masyarakat pesisir yang kebutuhan hidupnya bergantung pada hasil laut. Berbagai sumbangan, baik dalam bentuk bahan pokok maupun bantuan peralatan nelayan, diberikan. Pihak Lantamal VIII juga memberikan bantuan kesehatan. Dalam waktu dekat, TNI dengan ujung tombak Lantamal VIII akan melakukan bakti kesehatan sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang berada di pulau-pulau perbatasan.

Sementara itu, panitia sudah memantau lokasi lego jangkar, dan uji coba jalur parade kapal-kapal perang, Sabtu (6/6) lalu. Uji lokasi penyelaman massal di Pantai Malalayang juga telah dilakukan. Sampai saat ini sudah dapat dipastikan 26 negara sahabat dengan 25 armada lautnya akan berpartisipasi dalam Sail Bunaken 2009/Indonesian Fleet Review. (fir)

Sumber: http://mdopost.com 19 Juni 2009

Nasi Uduk Betawi, Kekal Sepanjang Masa

Jakarta - Nasi uduk merupakan salah satu koleksi kuliner Betawi yang sudah jadi ikon ibukota. Nasi ini merupakan sajian nasi komplet dengan lauk-pauknya. Ada yang bilang, nasi ini merupakan kuliner Betawi asli. Namun, ada juga yang bilang kalau nasi ini pengaruh kuliner India yang memang punya koleksi nasi gurih yang mirip, diolah dari beras basmati.Rata Penuh

Uniknya, nasi uduk Betawi bisa dinikmati kapan saja. Bisa untuk sarapan, makan siang atau makan malam. Karena itu warung nasi uduk juga ada yang buka malam hari. Nasi uduk yang tersohor adalah di kawasan Kebon Kacang dan Palmerah yang masih memegang `aliran` Betawi asli.

Sajian nasi uduk terdiri dari nasi yang ditanak dengan santan, daun salam, dan serai sehingga pulen, gurih, lagi wangi. Nasi ini dibungkus daun pisang berbentuk kerucut dengan sedikit taburan bawang merah goreng di atasnya. Kualitas nasi ini yang menentukan enak tidaknya nasi uduk.

Lauk-pauknya terdiri dari ayam, jeroan ayam, paru, empal, tahu dan tempe yang semuanya digoreng. Sedangkan yang khas adalah semur jengkol dan semur tahu kentang. Cocolan yang wajib adalah sambal kemiri yang kemerahan dan kental, kadang ditambah dengan sambal biasa plus kecap manis.

Paling afdol makan nasi uduk pakai tangan langsung beralas daun pisang. Lauk-pauk bisa dipilih sesuai selera, setelah nasi diaduk dengan sambal, barulah disuap dengan lauk pilihan. Lalap daun kemangi, timun dan tomat disajikan sebagai pelengkap.

Berbenah Sambut Visit Banda Aceh Year 2011

Banda Aceh, NAD - Walikota Mawardy Nurdin mengungkapkan, Pemko Banda Aceh kini sedang berupaya dan terus berbenah diri guna menyambut “Visit Banda Aceh Year 2011”, antara lain dengan membangun prasarana dan sarana wisata yang relatif memadai serta didukung infrastruktur dasar lainnya.

Dalam bidang pariwisata, di kota Banda Aceh telah terbangun prasarana dan sarana wisata antara lain Museum Tsunami, Taman Edukasi Tsunami, Taman Thanks the World, Revitalisasi Taman Putroe Phang dan Taman Sari, perbaikan situs-situs sejarah dan tsunami, Water Front City, Taman Kota, Wisata Kuliner dan Taman Bustanus Salatin di sepanjang bantaran Krueng Aceh.

Dalam bidang infrastruktur, Pemko Banda Aceh telah membangun dan merehab jalan dan jembatan yang meliputi seluruh wilayah kota, pembangunan Terminal Bus Terpadu, Terminal Mobil Barang, pembangunan kembali Pelabuhan Ulee Lheue dan perbaikan jaringan air minum yang tersebar di sembilan wilayah kecamatan meskipun masih belum sempurna. “Di samping itu, untuk mengatasi banjir genangan telah dibangun beberapa rumah pompa dan drainase kota yang dimulai pelaksanaannya pada tahun 2007 melalui bantuan hibah dari JICS dan Muslim AID,” ujar Mawardy Nurdin, Senin (15/6).

Dikatakan, pada tahun ini akan dilanjutkan lagi pembangunan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan memanfaatkan dana bantuan dari AFD Perancis dengan total anggaran hampir mencapai Rp1 triliun. Apabila program ini selesai, diharapkan masalah banjir di kota Banda Aceh Insya Allah akan dapat diatasi.

Dalam rangka antispasi bencana, lanjut Mawardy, telah dibangun empat unit Escape Building dan beberapa ruas escape road serta Tsunami Disaster Research Mitigation Centre (TDRMC) dan Tsunami Early Warning System (TEWS). Untuk itu, dalam rangka peringatan Hari Jadi Kota Banda Aceh, menurut Walikota, tentu tidak boleh hanya sekadar acara seremonial dan rutinitas semata.

Intropeksi
Momentum ini harus dijadikan ajang untuk melakukan berbagai introspeksi internal dan eksternal dan untuk melihat sejauh mana telah berbuat dan belum berbuat. “Sejauh mana kita telah mengabdikan diri untuk membenahi kota Banda Aceh yang penuh lintasan sejarah masa lalu yang cukup panjang,” jelas Mawardy.

Dikatakan, sejarah telah menulis, semasa Kerajaan Aceh Darussalam dahulu, Bandar Aceh Darussalam dijuluki kota tamaddun, kota spiritual, kota maritim, pusat ilmu pengetahuan sekaligus sebagai pusat pemerintahan, namanya popular di mana-mana melintasi Nusantara. Sejarah masa lalu Banda Aceh yang cukup panjang dan pernah mengalami masa gemilang serta penuh liku, harus dapat kita jadikan pondasi atau landasan pacu dalam kita menghadapi atau meraih masa depan dengan segala ragam tantangan.

Berbagai kegiatan yang dilakukan menyambut HUT ke-804, untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi NAD menjadi kebanggaan seluruh warga yang harus menjaga kebersihan dan keindahannya. Karenanya para resepsi HUT Banda Aceh pada Jumat (12/6) malam lalu, Pemko Banda Aceh menyerahkan berbagai macam penghargaan bagi masyarakat, pekerja dan petugas kebersihan kota yang ikut berperan aktif menciptakan Banda Aceh yang bersih, indah dan nyaman. (irn)

Sumber: http://www.analisadaily.com 20 Juni 2009

Minat Generasi Muda Terhadap Museum Masih Rendah

Medan, Sumatra Utara - Minat kalangan muda terhadap keberadaan museum dinilai rendah, kalau pun ada hanya sebatas melaksanakan tugas dari sekolah atau kuliah. Kepala Museum Negeri Sumut, Sri Hartini, di Medan, Jum`at, mengatakan, generasi muda seharusnya bangga dengan warisan budaya bangsanya yang juga merupakan jati dirinya. Salah satu warisan bangsa tersebut adalah barang-barang bersejarah yang banyak terdapat di berbagai museum.

Menurut dia, berbagai upaya telah dilakukan agar minat masyarakat terutama kalangan muda untuk mengunjungi museum semakin tinggi. Salah satunya adalah dengan mengubah tata letak berbagai koleksi barang yang ada di museum dengan tampilan yang lebih menarik, karena selama ini terkesan bahwa museum adalah tempat yang menyeramkan. "Jujur saja, saat ini kami harus bersaing dengan keberadaan mal. Karena era sekarang ini mal menjadi tempat yang banyak dituju anak muda. Karena itu kami akan mengemas museum dengan pembenahan teknologi, agar remaja juga bisa santai saat dalam museum," katanya.

Kasubdis Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Badu Sinaga, mengatakan, pandangan masyarakat tentang museum harus diubah secepatnya dan tampilannya harus semenarik mungkin. "Masih banyak yang kurang paham tentang museum. Museum masih diartikan sebagai gudang, tempat menyimpan barang-barang kuno atau yang tidak bermanfaat," katanya.

Untuk itu, kata dia, ke depan museum harus dikelola dengan baik, termasuk menempatkan orang-orang profesional yang memahami benar sejarah barang yang ditampilkan di museum. "Jangan sampai pengunjung tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal, terutama menyangkut informasi tentang benda kuno yang dipajang. Pemerintah juga harus membuat pengkaderan orang-orang yang profesional di bidangnya," katanya menambahkan. (dat03/ann)

Sumber: http://www.waspada.co.id 20 Juni 2009

Panggung Seni 1000 Bunga Digelar di Solo

Surakarta, Jawa Tengah - Lima performance yang mencirikan seni pertunjukan tradisional bakal mewarnai pembukaan Panggung Seni 1000 Bunga, Sabtu (20/6), mulai pukul 19.00 WIB. Pada even seni yang rencananya dihadiri Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, tersebut, para penampil di hari pertama bakal tampil all out menyuguhkan karya masing-masing secara atraktif.

”Acara pembukaan Panggung Seni 1000 Bunga akan dipusatkan di Pendapa Ageng Taman Budaya Surakarta (TBS). Seluruh persiapan, mulai dari penataan panggung, tata lampu, hingga pengkoordinasian para seniman, sudah kami lakukan secara maksimal,” kata Ketua II, Hanindawan, Jumat (19/6). Dia menguraikan, kelima penampil itu adalah kelompok musik Gondrong and Friend (Solo), Pring Sarentet (Solo), Pencon (Solo), Krida Budaya Begelen (Purworejo), serta Ketoprak Gabungan Surakarta. Beragam karya dari musik, tari, hingga pementasan ketoprak besutan gigok Anurogo tersebut diyakini mampu melecut semangat penonton di Panggung Seni 1000 Bunga.

Kelompok musik pimpinan Gondrong Gunarto, Gondrong and Friend, bakal menyuguhkan karya berjudul Musrirawas yang menjadi sebuah drama musikal yang pernah dipentaskan saat tur ke Sumatra bersama Sonoseni Ensamble beberapa waktu lalu. Mereka bakal diperkuat Dony, Pepeng, Erwin Gusur, Imam Londo, Sigit, Adis, dan sebagai komposernya, Gondrong.

Sementara itu, di pementasan ketoprak, Gigok Anurogo bakal mengangkat judul Pangeran Benawa. Pada pertunjukan itu, sejumlah seniman berbakat akan ikut naik ke atas panggung, seperti Dedek W. Sementara iringan musiknya diserahkan kepada musisi muda, Lumbini. ”Tema lingkungan yang diangkat di Panggung Seni 1000 Bunga akan ditafsirkan para seniman dalam karya yang mereka suguhkan nanti,” ujarnya.

Sementara itu, pementasan yang juga tidak boleh terlewatkan adalah karya berjudul Sangkakala dari Pencon. Kelompok musik pimpinan Lukas Danasmoro itu akan memadukan gamelan Bali dan Jawa beserta instrumen musik modern seperti gitar dan kibor. (Hanifah Kusumastuti)

Sumber: http://www.solopos.co.id 20 Juni 2009

Kedubes dan Kesultanan Nusantara Menghadiri Festival Erau 2009

Kukar, Kalimantan Timur - Festival Erau Adat Tempong Tawar yang digelar 26 Juli-3 Agustus 2009 dipastikan bakal meriah karena Erau 2009 melibatkan 7 kabupaten kota yang merupakan pecahan wilayah Kesultanan Kutai. Bahkan beberapa Kedutaan Besar (Kedubes) negara-negara sahabat akan menghadiri pagelaran akbar di Odah Etam. "Beberapa dubes negara sahabat menyatakan kesediaannya untuk hadir. Tiga duta besar yang memastikan akan hadir adalah dari Belanda, Jepang, dan Inggris Raya," kata Kabag Humas dan Protokol Setkab Kukar, Sri Wahyuni.
Sri Wahyuni mendapatkan informasi tersebut dari pertemuan Penjabat (Pj) Bupati Kukar, Sjachruddin, dengan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Kesultanan yang ada di wilayah Kaltim khususnya dan kesultanan di wilayah nusantara lain juga akan diundang.

Kegiatan Erau adat tahun ini akan digelar upacara adat Kesultanan Kutai dengan berbagai kegiatan menarik. Sebut saja ada pawai kapal hias, sepekan jaja gratis di atas gubang, lomba perahu ketinting, dan stand makanan khas Kutai. Selain itu juga akan dilaksanakan pentas seni pelajar dan cerdas cermat budaya untuk pelajar. Sedangkan kegiatan lainnya merupakan kegiatan yang pernah dilakukan pada perayaan erau sebelumnya. Yaitu lomba perahu naga, lomba olahraga tradisional, Erau Expo dan pameran, Festival Kesenian dan Budaya Kutai, pasar rakyat dan hiburan rakyat.

Festival Erau Adat Tempong Tawar 2009 ini akan diawali dengan upacara beluluh Sultan akan dilaksanakan lebih awal. Yakni 22 Juli 2009. Dijadwalkan Awang Faroek akan hadir dalam upacara yang akan berlangsung di Kedaton Kukar tersebut. Setelah itu Awang dijadwalkan membuka secara resmi Erau Expo, Pameran UKM, dan Pameran Buku-Buku Hasil Penelitian yang dirangkai dengan Peragaan Pembuatan Roket Air dan peragaan olahraga tradisional. "Sedangkan upacara pembukaan erau sendiri akan berlangsung pada tanggal 26 Juli 2009," papar Sri Wahyuni.

Upacara pembukaan erau diawali dengan upacara mendirikan Tiang Ayu di ruang Stinggil Kesultanan Kutai (Museum Mulawaman). Selanjutnya dilaksanakan upacara pembukaan erau yang rencananya akan dihadiri oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Melalui parayaan pesta adat erau ini, diharapkan spirit untuk memajukan dan melestarikan kebudayaan daerah makin meluas. Kesadaran budaya ini diperlukan, mengingat dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap kebudayaan daerah merupakan salah satu faktor penunjang bagi terwujudnya Kukar sebagai daerah tujuan wisata yang tidak saja indah alamnya. Tapi budayanya juga menakjubkan. (hmp/hmp03)

Sumber: http://www.sapos.co.id 20 Juni 2009

Festival Budaya Danau Sentani Digelar 19-23 Juni 2009

Jakarta — Festival Budaya Danau Sentani kembali akan digelar pada 19-23 Juni 2009 di Pantai Khalkote, Kampung Ohei, Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua. Penyelenggaraan festival yang tahun ini untuk kedua kalinya itu untuk mendukung program Visit Indonesia Year (VIY) 2009 dengan target kunjungan 6,5 juta wisatawan mancanegara (wisman) dan pergerakan 226 juta wisatawan nusantara (wisnus).

Menurut panitia penyelenggara dalam jumpa pers di gedung Sapta Pesona Jakarta, tujuan penyelenggaraan Festival Budaya Danau Sentani adalah untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, merekatkan rasa persatuan dan kesatuan di antara kampung adat (ondoafi), serta menjadikan sebagai atraksi dan daya tarik dalam kegiatan kepariwisataan yang pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat. Melalui kegiatan festival ini ingin menjadikan Jayapura sebagai kota budaya dan pariwisata.

Festival Budaya Danau Sentani 2009 akan menampilkan tiga acara utama yakni; menari di atas perahu yang diikuti sekitar 1.040 peserta dari 26 kampung adat (Ondoafi), berperang di atas perahu diikuti 600 peserta dari 20 ondofi, dan parade di atas perahu dan di darat serta upacara sakral masyarakat Sentani. Sebanyak 24 ondoafi dari sekeliling Danau Sentani, 19 distrik dan ondoafi Kabupaten Jayapura dan 10 Kabupaten dari Provinsi Papua, serta organisasi kebudayaan kerukunan etnis yang ada di Papua ambil bagian dalam festival ini.

Menbudpar, Jero Wacik, mengatakan, Festival Budaya Danau Sentani selain menjadi wahana dalam melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat juga telah menjadi atraksi wisata budaya yang menarik bagi wisatawan untuk datang Provinsi Papua. Festival Budaya Danau Sentani merupakan kegiatan wisata budaya yang berbasis masyarakat. “Even ini untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal dan menjadi daya tarik wisata yang pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat,” kata Menbudpar Jero Wacik.

Menurut Dirjen Pemasaran Depbudpar, Sapta Nirwandar, pada Festival Budaya Danau Sentani pertama pada Juni 2008 yang dibuka Menbudpar Jero Wacik dan telah berjalan sukses, Depbudpar memfasilitasi dengan mempromosikan melalui event pariwisata internasional seperti di Pata Mart dan ITB Berlin, Jerman. “Tahun ini kita promosikan dalam even Gebyar Wisata Nusantara (GWN) sekaligus untuk mendorong program Kenali Negerimu Cintai Negeri (KNCN),” katanya.

Kabupaten Jayapura merupakan satu di antara sembilan kabupaten tertua di Papua. Memiliki beraneka ragam potensi wisata alam, budaya, dan peninggalan sejarah. Kawasan wisata Danau Sentani menjadi salah satu prioritas pengembangan kawasan wisata unggulan Kabupaten Jayapura, dengan menonjolkan tirta (air) dan lingkungan hidup sebagai obyek utamanya.

Sumber: http://www.budpar.go.id 20 Juni 2009

Kondisi Istana Indragiri Memprihatinkan

Rengat, Riau - Kondisi replika istana Kerajaan Indragiri yang terdapat di Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau memprihatinkan dan tidak terurus.

Dari pantauan Antara di lokasi istana di Rengat, Minggu (28/11), banyak kerusakan terjadi pada replika istana yang diresmikan pada 2008 lalu ini.

Terutama pada pagar istana dan bangunan yang rusak. Selain itu, istana yang berada di tepi Danau Raja tersebut juga tidak terawat terlihat dari tingginya rumput ilalang yang berada di lingkungan istana.

Istana yang dibangun dalam kurun waktu tujuh tahun semasa pemerintahan Bupati Thamsir Rahman tersebut, sedianya dijadikan objek wisata. Namun yang terjadi saat ini, istana tersebut lebih banyak digunakan oleh muda-mudi sebagai tempat pacaran.

Salah seorang warga, Rahmadi, mengatakan jarang dilakukan kegiatan di stana tersebut dan selalu terkunci. Begitu juga tidak ada petugas yang menjaga istana tersebut.

"Dulu memang ada Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja-Red) yang menjaganya, tetapi sekarang tidak ada lagi yang menjaganya. Makanya banyak anak muda yang menjadikan tempat tersebut sebagai tempat pacaran. Apalagi lokasinya berada di samping Danau Raja," jelasnya.

Padahal, lanjutnya, di istana tersebut menyimpan berbagai benda yang berkaitan dengan budaya Melayu serta pusaka peninggalan Kerajaan Indragiri. Kerajaan Indragiri merupakan kerajana Melayu.

Cucu dari Sultan Mahmud yang merupakan Raja Indragiri terakhir, Tengku Parameswara, mengatakan sangat menyayangkan hal tersebut. "Istana tersebut dibangun kembali untuk melestarikan nilai-nilai budaya Melayu. Jadi sangat disayangkan sekali jika ditelantarkan begitu saja," jelasnya.

Istana Indragiri yang asli sebelumnya telah roboh pada 1964 karena terkena abrasi Sungai Indragiri. Sementara lokasi replika terletak sekitar 100 meter dari lokasi istana yang asli. (OL-9)

Pesona Desa Sastra Laskar Pelangi

Belitung, Babel - Jika program bedah desa yang dilakukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) lebih banyak menggunakan pendekatan infrastruktur, maka bedah desa di Desa Linggang, Gantung, Belitung Timur, Bangka Belitung berbeda. Mengambil konsep Desa Sastra yang langsung mereproduksi popularitas tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, desa kecil tersebut kini benar-benar bangkit baik secara ekonomi, budaya, maupun kehidupan sosial masyarakatnya.

Inilah, setidaknya, yang terlihat dari puncak Festival Laskar Pelangi, kemarin. Menteri PDT Helmy Faishal Zaini yang berkesempatan meresmikan Desa Sastra sebagai seremoni puncak festival tersebut, pun dibuat terkagum-kagum dengan karya yang disebutnya paradigma baru pembangunan ekonomi ini.

“Dengan kejeniusannya saudara Andrea ini mampu membangun daerah dengan paradigma sastra. Ini menjadi paradigma baru bahwa ternyata sebuah novel bisa menggerakkan ekonomi masyarakat, hebat,” kata Helmy.

Menurut Helmy, sebelum tetralogi novel Laskar pelangi mendunia, wilayah kepulauan Bangka Belitung khususnya kabupaten Belitung Timur hanyalah sebuah kawasan eksplorasi timah yang miskin. Lebih 80 persen penduduk saat itu bekerja sebagai pendulang timah.

“Setelah Laskar pelangi mendunia, seluruh negeri bahkan dunia baru menoleh ke sini. Pak Bupati tadi bilang dengan konsep wisata Laskar Pelangi wisatawan yang datang ke Belitung ini meningkat drastis hingga 800 persen. Saya yakin kejadian seperti ini karena bang Andrea menulis karyanya dengan hati,” tuturnya. (did)

Ramon Terkesan Tarian Melayu

Batam, Kepri - Bintang layar lebar Ramon Y Tungka sudah empat kali menginjakkan kaki di Batam. Kehadiran bintang Heart Break.com kali ini ke Batam untuk mewakili filmnya yang masuk nominasi di ajang FFI 2010.

"Kalau filmku gak masuk nominasi mana mungkin aku di Batam he....hee...," ujarnya saat ditemui saat sarapan pagi di Hotel Amir Batam, Minggu (28/11 2010).

Ada yang paling berkesan di hati Ramon saat kegiatan FFI 2010 di Batam, ketika dirinya bisa menyaksikan langsung 'Tarian Makan Sirih,' tarian khas Melayu di Batam sebagai tarian adat untuk menyambut tamu agung. Tarian itu, digelar untuk menyambut kedatangan Menteri Kubadayaan dan Pariwisata serta 80 artis ibu kota, kemarin malam.

"Terus terang aku kagun dengan tarian sirih semalam. Batam yang sudah terkontaminasi Singapore, gaya hidup masyarakat sini juga bisa dikatakan maju dan tidak jauh dengan gaya hidup Singapura. Tapi masih memegang adat budaya Melayu. Ini yang mebuat saya takjub, tariannya sangat elok dan murni," ujarnya sambil mengolesi roti bakarnya dengan keju.

Ramon berharap dengan adanya kegiatan FFI di Batam, minat masyarakat Batam terhadap perfilman nasional makin meningkat.

"Ya untuk pariwisatanya juga makin banyak diminati wisatawan asing. Batam semoga makin populer," tukasnya.

Ramon mengaku, di ajang FFI 2010 ini bisa meraih penghargaan sebagai pemain terbaik dan bisa menyabet piala citra untuk kategori sebagai pemain utama.

"Ya semua menginginkan prestasi tertinngi dan meraih Citra, doakan saja," harapnya.

Prof Jerman Teliti Keragaman Seni-Budaya Indonesia

Palembang, Sumsel - Prof Tudits Schelle dari Universitas Freiburg Jerman meneliti keberagaman seni dan kebudayaan Indonesia dalam serangkaian kegiatan Festival Keraton Nusantara yang berlangsung di Palembang, 26-28 November 2010.

"Saya sangat tertarik dengan adat-istiadat dan kebudayaan Indonesia, karenanya sangat senang menghadiri festival keraton," katanya, di Palembang, Sabtu. Menurut dia, dirinya telah berkunjung rutin ke Indonesia sejak 20 tahun lalu.

Kerajaan dan kesultanan menjadi objek penelitiannya sebagai profesor yang dibebastugaskan mengajar sebulan dalam setahun, tambahnya.

Ia mengatakan, selama ini telah berkeliling ke sejumlah kesultanan di Jawa dan Maluku. Berbagai adat-istiadat dan budaya sangat menarik untuk dipelajari, katanya.

Dia menjelaskan, kekayaan budaya berupa barang kerajinan, seperti songket sangat mengagumkan. Begitu juga kesenian baik tarian maupun silat menarik dikaji mendalam, ujarnya.

Kebijakan para raja untuk kepentingan rakyat di tengah negara demokratis juga hal luar biasa, karena mesti bersinergi, tambahnya.(*)

Budaya Melayu Dibangkitkan Kembali

Medan, Sumut - Pagelaran Festival Budaya Melayu Sumatera Utara 2010 yang dilaksanakan selama dua hari 27 hinga 28 November, di Mall Grand Palladium Medan menjadi momen bagi kebangkitan budaya melayu.

Sebanyak sepuluh kabupaten dan kota di Sumut yang ambil bagian dalam festival ini menampilkan tarian Japin, Serampang XII, dan Lagu Melayu.

Festival Budaya Melayu Sumatera Utara dibuka Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut, Sudarno, disaksikan lebih 200 peserta dan pengunjung Grand Palladium.

Menurut Sudarno, tujuan dari penyelenggaran festival ini dimaksudkan untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat untuk lebih mencintai lagi nilai-nilai budaya Melayu di Sumut sehingga budaya lokal yang memiliki potensi dalam pengembangkan kebudayaan dan pariwisata Sumut ini tidak tergerus oleh pengaruh masuknya budaya-budaya asing.

“Festival ini sangat penting bagi kita semua dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan melayu agar dapat lebih terjaga. Festival ini tentu juga bermanfaat sebagai ajang promosi kebudayaan yang nantinya dapat meningkatkan jumlah wisatawan asing dan nusantara,” katanya.

Koordinator Festival Budaya Melayu, Cut Umi yang juga menjabat sebagai Kasubdis Seni dan Budaya Disbudpar Sumut, menambahkan, pagelaran ini adalah wujud komitmen Disbudpar memberikan perhatian penuh terhadap potensi budaya lokal.

“Even ini sangat bermanfaat bagi generasi muda dan masyarakat luas agar lebih dapat mencintai dan melestarikan potensi kebudayaan lokal, khususnya Melayu di Sumut,” tuturnya.

Festival Budaya Melayu diikuti sepuluh kabupaten dan kota, diantaranya Medan, Binjai, Langkat, Deliserdang, Serdang Bedagai, Kotamadya Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai, Labuhan Batu, dan Batubara.

Selain itu Disbudpar Sumut juga menggelar seminar kebudayaan yang diikuti stakeholders pariwisata di Toara Convention Center Medan.

Sastra Aceh: Sebuah Perjalanan Panjang

Dari Hamzah Fansuri Sampai Generasi Terkini*

Oleh Maman S. Mahayana **

Membicarakan perjalanan sastra Aceh dengan rentang waktu yang begitu panjang (dari Hamzah Fansuri sampai Generasi Terkini) adalah tugas mahaberat yang keseluruhan perjalanannya mustahil dapat diungkapkan dalam beberapa halaman saja. Oleh karena itu, pembicaraan ini sesungguhnya sekadar gambaran umum, bagaimana sastra Aceh bergulir, menggelinding dan kemudian menjadi salah satu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari lanskap kesusastraan Indonesia.

Dalam peta sastra Nusantara selepas pengaruh Hinduisme mulai memudar digantikan pengaruh Islam, Aceh tampil sebagai salah satu poros yang memancarkan pengaruhnya ke berbagai wilayah di Nusantara ini.1 Tradisi itu tentu saja tidak terlepas dari jejak yang telah ditanamkan Ratu Nur Ilah, Ratu Nahrasiyah, Laksamana Keumalahayati, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, sampai Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah.2

Keagungan yang Ditenggelamkan
Pada masa itu, keharuman Aceh sebagai salah satu pusat pertumbuhan dan perkembangan intelektual telah merebak jauh melewati batas wilayah Nusantara. Ia lalu menjadi sihir bagi para intelektual mancanegara. Sejak itu, kesultanan Aceh seperti terus berkelanjutan mengibarkan panji-panji keagungannya.3

Reputasi kesultanan Aceh mulai surut ke belakang, ditandai dengan intrik Belanda dengan segala kepentingannya. Meski Traktat London (1824) yang membelah kerajaan Melayu–Lingga itu, tidak merugikan Aceh, karena di sana ada kesepakatan bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh menyerang Aceh dan harus menghormati kedaulatannya, Belanda tokh merasa tak nyaman dengan kekuasaan kesultanan Aceh. Maka, serangkaian provokasi pun dilakukan untuk menggoda Aceh. Itulah salah satu alasan Belanda untuk membawa kembali Inggris membuat perjanjian baru, yang disebutnya dengan Traktat Sumatera (1871). Dalam traktat itu disebutkan bahwa Belanda bebas memperluas wilayah kekusaannya di seluruh Sumatera. Dengan alasan Aceh telah melanggar perjanjian tahun 1857,4 Belanda datang ke perairan Aceh dengan tiga kapal perang dan meminta penjelasan tentang terjadinya hubungan Aceh dan wakil negara asing (Amerika Serikat) di Singapura. Karena jawaban kesultanan Aceh tidak memuaskan pihak Belanda, lahirlah manifesto pemerintah Hindia Belanda yang berisi pernyataan perang dengan Aceh.5

Demikianlah, Aceh bagi Belanda adalah sejarah hitam keberadaan mereka di Nusantara. Sejarah keagungan kesultanan Aceh, para pujangganya, seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel dan Nurrudin Ar-Raniri, kekayaan budayanya, dan militansi ideologis rakyat Aceh dalam berhadapan dengan bangsa asing, adalah catatan panjang tentang kegagalan Belanda dalam coba menaklukkan Aceh.

Sebagai negara kecil dengan penduduk yang juga berjumlah kecil, politik pencitraan yang dilakukan Belanda penting artinya untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Bersamaan dengan itu, dilakukan juga usaha-usaha stigmatisasi6 dan pembonsaian.7 Itulah yang terjadi dalam dunia pendidikan pada masa kolonial Belanda. Dalam konteks pembicaraan kesusastraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka8 dan perkembangan poros kesusastraan di Sumatera yang ditandai dengan tumbuhnya penerbitan di Padang, Bukittinggi, Tebingtinggi, dan Medan, menunjukkan usaha menafikan peranan kota lain, seperti Aceh dan terutama, Tanjungpinang, yang justru punya sejarah penerbitan. Dalam dunia pendidikan pun, nama-nama Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan Raja Ali Haji, jauh lebih populer dibandingkan Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel atau Nurrudin Ar-Raniri.

Sesungguhnya, ketiga nama itu—Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, Nurrudin Ar-Raniri—, meski secara ideologis Hamzah Fansuri berada di jalur yang berbeda dengan Abdurauf Singkel dan Nurrudin Ar-Raniri, telah menempatkan Aceh sebagai salah satu poros perkembangan tasawuf di Nusantara. Mengingat pemikiran-pemikiran tasawuf itu diekspresikan melalui syair dengan bahasa Melayu sebagai mediumnya, maka dari Aceh pula –di samping Riau—Lingga—kesusastraan Melayu memulai perjalanannya. Dalam konteks itu, Aceh sesungguhnya telah memberi sumbangan penting bagi pergulatan pemikiran Islam yang kemudian mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Di sanalah tempat Hamzah Fansuri berdiri sebagai tokoh pembaharu spiritualisme Islam. Lewat karya-karyanya yang simbolik dan puitis Hamzah Fansuri berhasil membuat tonggak sendiri bagi kepenyairan Melayu, dan belakangan, kepenyairan Indonesia.9

Itulah awal peperangan dengan pihak Belanda dan terus berlanjut seperti tiada berakhir. Bagi Belanda, berhadapan dengan Aceh laksana berhadapan dengan masyarakat yang tak pernah menyerah.10 Maka harus ditempuh cara lain yang tidak fisikal, yaitu menenggelamkan reputasi Aceh atau menciptakan stigma negatif atas apa pun yang berhubungan dengan Aceh. Meskipun pada zaman Balai Pustaka muncul nama H.M. Zainuddin yang menghasilkan novel Djeumpa Atjeh (Bunga Aceh, 1928) dan zaman Poedjangga Baroe nama Ali Hasjmy cukup menonjol sebagai penyair, selepas itu sastrawan Aceh seperti tenggelam dalam tidur panjang!

Masa Lalu yang Layu
Ketika tak ada musuh bersama yang bernama bangsa asing dan para founding fathers merumuskan sendiri bentuk negara dan pemerintahannya, konon, Aceh masih sempat memberi tanda mata berupa sebuah pesawat. Dan pemerintah tentu saja mengapresiasi penghormatan itu. Tetapi, pengakuan terhadap ketangguhan Laksamana Keumalahayati, cukuplah dengan pengabadian namanya pada Kapal Perang RI, Malahayati. Lalu selepas itu, minyak bumi dan kekayaan alam lainnya mengucur ke Jakarta. Aceh dibiarkan menjadi penonton pasif yang harus menerima begitu saja “belas kasihan” Jakarta. Mulailah muncul gumpalan pertanyaan yang lalu meneteskan benih luka yang barangkali masih dapat ditahan sambil berharap ada perbaikan.11

Tetapi mengapa heroisme dan patriotisme Aceh harus dicurigai sebagai keinginan untuk mendirikan sebuah negara (Islam)? Lalu dijalankanlah apa yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Mengapa DOM harus terjadi di Aceh, wilayah yang warga puaknya sudah dikenal sejak lama mempunyai integritas, kesetiaan dan loyalitas terhadap Indonesia. Luka itu seperti makin lebar ketika tak ada usaha (dari pemerintah) untuk menuntaskan duduk perkara peristiwa hitam itu. Lalu muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tiba-tiba terjebak pada peristiwa saling membunuh dengan tentara dan polisi? Apa dan bagaimana sesungguhnya yang melatarbelakangi dan yang melatardepani peristiwa berdarah itu? Mengapa sesama saudara harus saling mengeluarkan darah? Sejarah keagungan Aceh, perdebatan intelektual tentang Islam, semangat patriotisme dan heroisme Teuka Umar dan pejuang Aceh lainnya, seketika seperti masa lalu yang beku. Aceh menjadi sebuah kawasan yang di sana, harga nyawa manusia tiada bermakna.

Sungai-sungai seketika juga berubah menjadi aliran yang membawa bau busuk entah mayat-mayat siapa.12 Tempat-tempat pengungsian menjadi pemandangan kesengsaraan orang-orang yang tak berdosa. Hidup bertetangga di tengah warga tiba-tiba berubah menjadi kegiatan saling mencuri nyawa. Aceh menjelma kengerian dengan desing peluru entah dari moncong senjata siapa, mengoyak dada saudara sendiri. Inikah Aceh yang telah mengajari Indonesia dengan patriotisme dan heroisme?13

Ketika warga Aceh dihinggapi tanda tanya, saat kata damai makin jauh dari bumi Serambi Mekah, seketika itulah bencana datang: tsunami! Di manakah Aceh sekarang?

Sihir Tsunami
Bagian ini akan membicarakan antologi puisi berjudul Ziarah Ombak (Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman).14 Ziarah Ombak adalah sebuah persaksian tentang bencana tsunami yang mahadahsyat itu. Ia seperti sebuah klimaks dari rentetan segala luka. Tsunami telah mencatatkan dirinya sebagai bencana paling dahsyat dari semua bencana apa pun yang terjadi di muka bumi pada abad ini. Dan pada saat tak ada lagi kata yang dapat melukiskan kemahadahsyatan musibah itu –yang dikatakan Anton Kieting, kehabisan kertas dan tinta untuk bercerita atau dalam pandangan Asa Gayo, tak ada lagi yang bisa berkata-kata/semua diam membisu/berdzikir dalam air mata atau juga seperti dikatakan Deddy Satria: kupahatkan tanpa kata-kata//—Aceh menjadi pusat simpatik dan empati segenap bangsa di dunia. Tsunami telah menyihir umat manusia dalam hamparan kedukaan yang meluas. Aceh menjadi sebuah ikon yang tiba-tiba saja merampas empati siapa pun. Ia seperti menjadi alat yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan ras, suku, agama, politik, dan kultur. Ia serempak lebur dalam perasaan yang sama: duka umat sejagat!

Dalam konteks keindonesiaan, Aceh dan tsunami telah membukakan mata dan hati warga bangsa ini memasuki babak penyadaran, bahwa segala konflik berdarah dengan latar belakang berbagai kepentingannya, harus segera dihentikan. Tentara, polisi, GAM, guru, penyair, pegawai negeri, atau apa pun sesungguhnya sekadar label profesi. Ia melekat pada diri manusia Aceh, manusia Indonesia, yang hendak menjalankan hidup sebagai manusia bermartabat—berbudaya. Label itu sekadar alat mencari penghidupan dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai Manusia (dengan M besar). Lalu, mengapa pula label itu dimaknai sebagai sumber perbedaan yang kemudian berujung pada pertumpahan darah? Aceh, kini, bukan lagi milik aku atau engkau, kami atau mereka. Aceh adalah kita, dan kita bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Aceh.15

Sebuah peristiwa absurd dan irasional. Ketika tanah Aceh dibanjiri darah penduduk tak berdosa, darah anggota GAM, tentara atau polisi, tiba-tiba semua menjadi kita selepas tsunami meninggalkan duka yang tak terperikan. Dalam sekejap, batas tegas antara aku dan engkau, kami dan mereka, serta-merta lebur menjadi kita. Inilah sebuah rekonsialiasi paling menakjubkan yang menghancurkan segala sekat perbedaan atas nama berbagai kepentingan. Semua tumpah dalam perasaan yang sama: duka Aceh adalah kita.16 Pertanyaannya kini: bagaimanakah model persaksian para penyair Aceh sendiri tentang tsunami itu sebagaimana yang terungkap dalam Ziarah Ombak? Bagaimana pula mereka menyikapi musibah itu dan merefleksikannya dalam puisi?

Tsunami: Sebuah Peringatan
Ziarah Ombak yang diawali tegur-sapa semangat penyadaran Helmi Hass dan kemudian Kata Pengantar Ahmadun Y. Herfanda, penyair, cerpenis, dan redaktur budaya harian Republika. Buku ini memuat 130 puisi karya 48 penyair. Dengan melakukan tiga pembagian, yaitu Ziarah (Bagian Satu), Makam (Bagian Dua) dan Membaca Tanda-Tanda (Bagian Tiga), editor –D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa—tampaknya hendak membuat tanggapan evaluatif atas musibah mahadahsyat itu.

Bagian Pertama bolehlah dimaknai sebagai sikap keprihatinan para penyair Aceh yang selamat dari prahara tsunami. Pada bagian ini ada 85 puisi karya 38 penyair Aceh. Mereka seperti bermaksud melakukan semacam ziarah kepada segenap korban, mewartakan persaksian, dan sekaligus menyatakan kedukaannya yang mendalam. Bagian Kedua yang bertajuk Makam memuat 26 puisi karya tiga penyair Aceh –Nurgani Asyik, Maskirbi, dan Mustiar AR—yang diyakini termasuk korban dari sekitar 200-an ribu korban lainnya. Ketiga penyair Aceh itu hingga kini tidak jelas di mana jasadnya. Jadi, tentulah karya ketiga penyair itu ditulis sebelum dating bencana dahsyat itu. Bagian Ketiga (Membaca Tanda-Tanda) memuat 19 puisi karya tujuh penyair Indonesia dan Malaysia –yang entah mengapa, biodatanya tak ada di sana. Bagian ketiga ini, bolehlah dipandang sebagai bentuk empati penyair di luar Aceh yang hendak berbagi duka atau pemberi semangat untuk tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Bagian Ketiga itu, niscaya belum dapat dikatakan merepresentasikan tanggapan keseluruhan penyair Indonesia dan Malaysia, meskipun di sana disebutkan “sangat dekat dengan Aceh.” Editor tentu punya alasan sendiri atas pilihan itu yang duduk perkaranya sering jatuh pada masalah teknis. Dalam hal ini, sepatutnya kita memberi apresiasi atas usaha dan kerja keras editor buku ini. Terlepas dari persoalan teknis itu, mari kita coba menelusuri, bagaimana para penyair Aceh memandang, menempatkan, dan memaknai tragedi mahadahsyat itu.

Puisi karya Anton Kieting (“Sajak kepada Penyair”) dan Armiati Langsa (“Bangkitlah”) cenderung merupakan seruan kepada Aceh untuk mengubur tsunami sebagai catatan hitam dan menatap masa depan sebagai langkah yang sudah semestinya dijalankan. Meski begitu, ada hal menarik yang terungkap di sana. Pada “Sajak kepada Penyair” Kieting seolah-olah hendak bertegur-sapa dengan penyair Maskirbi yang menempatkan tugas kepenyairan sebagai bilal –sebuah profesi yang tak populis, jauh dari keuntungan materi, dianggap pekerjaan tak bermakna dan cenderung dipandang tak punya fungsi sosial. Bilal –pengumandang azan—memang dapat dilakukan sesiapa pun. Tetapi siapakah yang punya kesadaran bahwa tugas bilal adalah titik berangkat menuju kemenangan, menjauhkan kemungkaran, dan mendekatkan kebaikan? Maskirbi telah melakukan itu dan hendak dilanjutkan oleh si aku liris: Aku akan tetap menjadi penyair yang mengabarkan kesaksian/pada setiap perjanjian/Karena kau pinta aku menjadi bilal/Yang selalu mengabarkan setiap perjanjian// Jadi, di sana ada persaksian dan sekaligus juga perjanjian.

Bahwa kemudian tsunami datang dan menggerus segalanya sebagai pertanda, sang penyair melihatnya dari dua sisi. Pertama, sebagai musibah yang tak terperikan sehingga ia tak mampu mengungkapkannya dengan kata apa pun. Kedua, sebagai bagian yang tak terlepas dari masa lalu. Tsunami dipandang sebagai buah dari serangkaian kealpaan yang dilakukan entah oleh siapa pada masa lalu. Inilah yang dikatakan Sigmund Freud sebagai ketaksadaran traumatik.17 Kecemasan yang bersumber dari tindakan masa lalu: … buta mata hatinya/mencuri perut saudara-saudaranya/menzalimi anak yatim// Sebuah seruan introspektif untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Cara pandang seperti itu juga ternyata tampak pada puisi Armiati Langsa yang melihat Aceh dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, kini, masa depan. Maka, ia melihat tsunami sebagai peringatan dan sekaligus awal untuk memulai kebangkitan kembali keagungan Aceh. Ketika ranting cabang dan pohonnya dicabik peringatan/Allah yang Maha Punya…/Pemilik tangan pengatur jagat raya// Jadi, bagi Armiati Langsa, tsunami sebagai representasi tangan Tuhan, agar bangsanya tak lalai menjalankan kewajibannya sebagai manusia. Kelalaian itulah yang sesungguhnya “telah mengundang bencana.”

Begitulah Langsa melihat tsunami tak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian masa lalu yang penuh kelalaian: hura-hura, pesta pora, gelimang dosa, narkoba, dan syahwat yang secara metaforis dikatakannya sebagai paha yang tak lebih mahal dari kaki rusa// Maka, tak ada pilihan lain bagi rakyat Aceh, kecuali bangkit membangun kembali Aceh Raya, sambil bertaubat, bertasbih, dan berdoa. Atau, bagi Rianda Asriani: … bertafakur/ mengaca dari segala dosa, dengan kaca mata batin yang/bersih//. Ajakan Asriani tentu tidak datang secara serta-merta. Ia juga melihat masa lalu: Anak, anak yang dulu terlahir suci/yang dulu juga pernah diyatimkan oleh gemuruh senapan …. Bagaimanapun, bagi Asriani tsunami mesti dimaknai sebagai peringatan yang dikataknnya sebagai dian di kegelapan. Jadi, masih ada titik harapan untuk menatap masa depan. Biarlah masa lalu tentang tanah yang penuh sengketa/… yang diredam gelombang senjata/… dan penuh air mata (Syarifuddin Abe, “Air Tanah”) tetap sebagai masa lalu, dan tsunami menjadi batas tegas yang memisahkan masa lalu dan masa depan.

Pada diri penyair Mh Agam Fawirsa, tsunami telah meninggalkan pekuburan massal yang justru melengkapi kepedihan dan catatan kelam Tanah Rencong. Di depan makam massal ini/air mata memang telah terlalu banyak tumpah/membasuh jejak-jejak kaki yang terkubur/dalam catatan sejarah paling kelam/di bumi tanah rencong// Bagi Fawirsa, meski banyak orang menebarkan empatinya, ia masih belum yakin benar, bahwa catatan hitam itu akan berhenti di sana yang dikatakannya: bersama badai belum pasti berlalu/dalam derap langkah anak negeri ini/menyongsong masa depan yang tak pasti// (“Catatan Malam”). Sebuah masa lalu yang juga dirasakan Reza Idria (“Luruh”):

Belati menghujam berkali-kali
kami tak menangkis
kami tak menangis
maut terus-menerus mengerus takut
Di sini
Lelaki lama telah menyendiri
lalu anak dan perempuan pergi
lalu harapan
lalu ingatan
lalu mati
lalu sunyi

Apalagi yang masih tersisa selain sunyi? Sebuah pesimisme yang lahir dari serangkaian pengalaman traumatik yang tak gampang terkubur, meski tsunami telah menguburnya. Bagi Fawirsa (“Cerita Nenek kepada Cucunya”) yang masih mungkin dilakukan adalah membuat monumen peringatan bagi generasi yang akan datang tentang gejala tsunami dan tentang pengharapan terbesar dalam hidup di dunia ini: Tuhan. Ingatlah cucuku/Jangan lupa pesan dan cerita nenekmu ini/jangan lupa kepada Allah//

Begitulah, musibah dahsyat itu ternyata disikapi sebagai kepedihan yang tidak berdiri sendiri. Mohd. Harun Al-Rasyid, Reza Idria, Rianda Asriani, Sukran Daudy, Syarifuddin Abe, dan Win Ruhdi Bathin, misalnya, melihat tsunami sebagai sebuah klimaks dari rangkaian kepedihan yang dialami Aceh. Maka, kembali, di satu sisi, tsunami bagi korban hadir sebagai semacam katarsis, pelepasan dari kedukaan yang bertumpuk-tumpuk, dan di sisi yang lain, bagi mereka yang selamat, tsunami menambah kisah duka tentang sanak keluarga, tetangga, dan orang-orang tercinta. Jadi, dari satu titik harapan terkecil, sebagai bentuk apologia bagi para korban itu, tsunami laksana langkah berangkat menuju Tuhan. Para korban diyakini pula mencapai kebahagiaan di dunia sana. Bukankah mereka sudah sekian lama menahan sabar, menunggu Tuhan mencipratkan kebahagiaannya. Perhatikan kepedihan yang tak terucapkan di balik larik-larik berikut:

Tuhan
Sebagai ayah, aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka (“Aku Bertanya Pada-Mu”)
Anakku, damailah ruhmu dalam kebahagiaan
Selamat berdandan di sisi Tuhan
Memilih gaun ulang tahun di almari
Dan merebahkan jasad di ranjang dambaan
Andai engkau telah pergi berkelana di taman Tuhan
Ayah ucapkan selamat jalan ananda tersayang
Jangan lagi berpaling ke belakang
Karena ayah telah ikhlaskan
Kita bertemu di yaumil mahsyar (“Kenangan dalam Keikhlasan”)

Sungguh, larik-larik tadi secara tekstual menyampaikan sebuah pertanyaan retoris: mengapa Tuhan membawa orang-orang tercinta yang tak berdosa (“Aku Bertanya Pada-Mu”) dan di bagian lain (“Kenangan dalam Keikhlasan”) menyampaikan pewartaan seorang ayah tentang anaknya. Tetapi di balik itu ada gugatan yang datang dari segumpal kepedihan yang tak tertahankan. Di sana, ada tangis yang kehabisan air mata. Inilah yang dalam konteks teologis disebut mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menakjubkan sekaligus juga menakutkan. Bukankah kuasa Tuhan itu penuh misteri yang berada di luar batas logika. Oleh karena itu, di balik ketidakpahaman tentang kuasa Tuhan, manusia sering merasa takjub dan sekaligus takut. Dalam tarik-menarik –takjub dan takut itu, kabar tentang “Kenangan dalam Keikhlasan” menegaskan sikap keberimanannya yang kukuh dan tak tergoyahkan. Hanya dengan kekuatan iman itulah si aku lirik (ayah) masih menyimpan setitik harapan dapat jumpa di Yaumil Mahsyar. Yang dalam bahasa Muhammad Irvan: menanti … di tempat yang dekat.

Demikian, sejumlah besar puisi karya penyair Aceh yang terhimpun dalam antologi ini memperlihatkan, betapa mereka tidak dapat begitu saja melupakan masa lalu, meski telah datang malapekata yang jauh lebih dahsyat: tsunami. Dalam hal ini, kebesaran masa lalu tentang dinamika intelektual Hamzah Fansuri atau Nurrudin, panji-panji keagungan para sultannya, dan heroisme Teuku Umar dan sederet panjang nama lainnya, seolah-olah tenggelam huru-hara konflik berdarah sesama saudara. Maka, tsunami disikapi sebagai peringatan atas sejumlah kelalaian itu.

Tsunami: Sebuah Persaksian
Selain sebagai “peringatan”, tsunami bagi sejumlah penyair Aceh lainnya –yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku itu—merupakan peristiwa yang kedatangannya penuh dengan misteri yang dengan cara apapun tidak dapat dicari jawabannya. Jadi, di antara serangkaian pertanyaan yang justru malah menciptakan spiral pertanyaan, sejumlah penyair itu coba melakukan semacam persaksian. Maka, meski di sana-sini muncul hasrat melakukan refleksi evaluatif, mereka berusaha menangkap momentum tsunami sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Mereka berusaha merefleksikan persaksiannya, meski di belakang itu, ada sejumlah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab: pertanyaan yang berada di luar batas logika; pertanyaan yang dapat digolongkan sebagai pertanyaan metarasional. Di situlah, puisi (: sastra) dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya. Ia akan menjadi catatan sejarah yang sekaligus mengungkapkan berbagai akibatnya serta makna di balik peristiwa itu. Tentu saja sikap itu merupakan pilihan penyairnya sendiri. Bukankah setiap penyair (: sastrawan) kerap tidak dapat melepaskan dirinya dari fungsinya sebagai suara zaman?

Lihatlah sejumlah besar puisi Audi Nugraha, Arafat Nur, Azhari, D. Kemalawati, Deny Pasla, Deddy Satria, Dhe’na, Doel CP Allisah, Faridah, Fikar W. Eda, Fozan Santa, Jingga Gemilang, LK Ara, Mustafa Ismail, Mustika Ajerso, Nurdin F Joes, Ridwan Amran, Rosni Idham, Saifullah Thahir, Salman Yoga S. Sujiman A. Musa, Sukran Daudy, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa, Wina SW1, Win Ruhdi Bathin, Wiratmadinata, Yun Casalona.

Audi Nugraha dalam “Ada Apa Saat Itu” misalnya, menempatkan tsunami yang hanya dalam sesaat tiba-tiba menghancurkan segalanya. Ia seperti memotret hiruk-pikuk ketika gelombang tsunami bergulung-gulung di hadapan matanya. Ia takjub, sekaligus takut atas kedahsyatannya. Maka, tidak saat itu saja/manusia tetap ingat akan saat itu/ setiap saat pasti terjadi seperti saat itu/karena saat itu adalah milik-Nya//.

Dalam puisi “Jadi, Maka Jadilah” Audi Nugraha melihat tsunami sebagai fenomena alam yang di belakangnya, bisa saja tangan Tuhan ikut bermain. Ketika manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi alam, menguras kekayaannya tanpa mempertimbangkan ekosistem, dan membiarkan kerusakannya terjadi di mana-mana, ketika itulah alam tidak lagi diperlakukan sebagai “sahabat—saudara”. Alam menjadi sebuah kata benda yang dapat diperlakukan seenaknya. Maka, ketika ia memperlihatkan kekuasaan-Nya, segalanya sudah terlambat. Nugraha lalu mengajak kita melakukan perenungan: Sadarkah manusia bahwa alam bisa marah?/ Maka bersahabatlah dengan alam/karena manusia bukan makhluk bumi/kita diterima di alam ini karena titipan sementara dari Maha Pencipta//

Kesadaran manusia sebagai homo religius akan memperlihatkan intensitasnya ketika sesuatu yang mahadahsyat –kuasa alam—tiba-tiba datang serempak seperti hendak menyergapnya. Pada saat itulah manusia cenderung berlari atau mencari perlindungan pada sesuatu kuasa yang lain yang diyakini dapat menolongnya. Bagi umat beragama, sesuatu itu tidak lain adalah Tuhan. Inilah yang terjadi pada diri Asa Gayo yang diungkapkannya dalam puisinya yang berjudul “Baitur Rahman.” Maka ketika ia melihat kedahsyatan tsunami, secara instingtif ia serta-merta menempatkan Baitur Rahman sebagai “tempat berlindung.” Ya Rabbi/Izinkan kami bersujud/Di rumah-Mu yang suci/Izinkan/Izinkanlah kami yang hina ini/Bertaubat pada-Mu/Ya Rabbi//18 Hal itu pula yang dirasakan Arafat Nur (“Tsunami 3) yang menempatkan tsunami bukan sebagai “bencana” melainkan sebagai uluran tangan Tuhan berkat dzikir dan sembahyang, akan membawanya pada perjumpaan dengan Tuhan.

Dalam “Alia, Gadis Kecilku” si aku liris meyakini bahwa perpisahannya dengan sang bidadari itu sesungguhnya merupakan perjalan baginya untuk sampai pada Tuhan. Jadi, meski metafora yang dibangunnya begitu tenang, mengalun, seperti sebuah rintih kecil yang tak menggugat, ada kegetiran yang tak terucapkan di sebaliknya. Ia pun menempatkannya sebagai sebuah perjalanan untuk kelak jumpa kembali di Surga. … mungkin besok/atau lusa/kita bertemu juga/di surga//

Peristiwa perpisahan itu pula yang juga dirasakan Azhari (“Ibuku Bersayap Merah”) ketika orang-orang tercintanya tak ia jumpai di kampungnya. Meski begitu, Azhari pun berkeyakinan bahwa Tuhan tak akan membiarkannya berpisah tanpa arti. Malaikatlah yang akan membawa mereka berkumpul kembali.

D. Kemalawati dalam “Kita tak Belajar Membaca Tanda-Tanda” dan “Dahaga Laut” membuat persaksian atas kegalauan yang terjadi saat tsunami memperlihatkan tanda-tanda kedatangannya yang kemudian disusul dengan bertumpuk-tumpuk kegalauan lain yang tak terperikan. Sebuah potret metaforis yang seperti hendak menyihir kita (pembaca) untuk coba melihat dan merasakan sendiri peristiwa itu. Kedua puisi itu laksana pewartaan yang disuarakan melalui dunia batin yang ikut goncang. Berbagai cemas, takut, ngeri, sesal, dan entah segala rasa apa lagi seperti meluncur begitu saja menciptakan potret hitam yang garis-garis gambarnya masih dapat kita cermati. Kemalawati seperti hendak bercerita panjang dalam setiap lariknya yang padat. Hampir setiap lariknya membangun peristiwa yang mengajak kita untuk membayangkan kembali peritiwa 26 Desember itu.

Sebagai penyair (: sastrawan), Kemalawati telah menjalankan tugasnya menyampaikan kesaksian sebuah peristiwa yang terjadi pada zamannya. Tak ada air mata di sana, tetapi kita ikut hanyut dalam galau yang disampaikannya. Lalu, bagaimana ia menyikapi peristiwa itu? Pada larik terakhir kedua puisi itu jawabannya. … mengapa berlari dari masjid yang mengisyaratkan pentingnya kembali menghidupi masjid. Sementara dalam “Dahaga Laut,” Kemalawati masih menyimpan optimisme untuk membangun kembali Aceh dari sisa semangat yang berserakan: memungut kayu-kayu yang berserakan/untuk tiang gubuk kami yang baru//

Doel CP Allisah (“Ingatan”) juga menyampaikan persaksiannya atas musibah itu. Baginya, segenap korban adalah syuhada. Bagaimanapun, hanya kerelaan yang dapat ia lakukan sambil menyampaikan doa yang tak pernah putus. Di balik itu, tsunami makin meneguhkan keyakinannya pada kuasa Sang Khalik yang tak terbatas.

Persaksian yang lain disampaikan Rosni Idham yang keterkejutannya cukup ia katakana: Aku terperangah. Sebuah gebalau psikologis yang berada dalam batas tipis antara percaya dan tidak percaya, antara mimpi buruk dan realitas. Sebuah ekspresi psikis yang sebenarnya tidak mewakili apa-apa, tetapi sekaligus mewakili seluruh goncangan jiwanya yang dahsyat. Bagaimana ketika tiba-tiba jerit histeris, kekacauan, hiruk-pikuk, dan gelombangan tangis menghancurkan ketenangan? … aku terperangah/Aku tak mengerti maknanya/Aku terpajak kehilangan kata//

Sejumlah besar puisi dalam antologi ini sesungguhnya menyimpan begitu banyak peristiwa. Semuanya bersumber dan bermuara pada satu kata: tsunami! Pembicaraan ini jelas sama sekali tidak mengungkapkan keseluruhan persaksian yang disampaikan para penyair Aceh. Dengan demikian, pilihan puisi yang diambil sebagai contoh kasus pembicaraan ini pun, sekadar hendak menegaskan bahwa penyair Aceh, dengan caranya sendiri dan dalam suasana ketercekamannya, masih dapat membuat persaksian tentang musibah mahadahsyat itu. Maka, yang dapat kita tangkap dari persaksian itu adalah usaha mereka untuk menempatkan dan memaknai tsunami sebagai (1) peristiwa yang tidak berdiri sendiri mengingat ada persoalan lain di belakangnya, dan (2) peristiwa yang harus diterima sebagai sebuah hukum alam yang memang sudah terjadi. Maka, menerima dengan ikhlas dan menatap kembali masa depan adalah tindakan yang lebih bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, Aceh harus bangkit kembali mengibarkan panji-panji keagungannya.

Melupakan Potret Buram
Bagian Dua yang bertajuk “Makam” menghimpun sejumlah puisi karya tiga penyair yang menjadi korban tsunami.19 Sebagai korban, pastilah ketiganya tidak berkesempatan memahami dan menempatkan tsunami. Mari kita coba melihatnya:

Ada 26 puisi dalam bagian ini. Lengkapnya: 10 puisi karya M. Nurgani Asyik, 11 puisi karya Maskirbi, dan lima puisi karya Mustiar AR. Dari ke-26 puisi itu, kita dapat merasakan bahwa jeritan paling kuat dari ketiga penyair ini bukanlah kerinduannya pada Sang Khalik, melainkan kecemasannya menyaksikan konflik berdarah yang tak kunjung selesai. Mereka bersaksi tentang Aceh yang terluka oleh tembakan, seorang anak yang membawa lukanya ke surga, anak negeri yang diperkosa kezaliman, rektor yang tak membayangkan kematiannya melalui pintu yang mana, dan serentetan peristiwa berdarah lainnya. Segalanya ingin dikisahkan, sebagaimana yang dikatakan Maskirbi: Banyak yang ingin kutulis/tapi tak tertulis/kata-kata sudah tak lagi sebagai kata// (“Gagap”). Apa maknanya bagi kita ketika persaksian ketiga penyair itu berkisah tentang Aceh yang luka oleh tembakan? Mustiar AR coba mengingatkan kita:

Ya Allah
Engkau Yang Maha Kuasa
damaikan hati saudaraku yang bertikai
tunjuki mereka ke jalan yang Kau ridhai
Amin Ya Rabbal Alamin
Maka, Aceh pascatsunami adalah Aceh yang …memungut kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru// Atau, dalam bahasa Helmi Hass: Menatap esok pagi dengan penuh semangat/Di sanalah ada iman!

***
Ziarah Ombak sungguh mewartakan banyak hal tentang tragedi mahadahsyat. Dalam kegetiran itu, para penyair Aceh mencoba membuat persaksian atas peristiwa itu menurut persepsi dan gebalau kegelisahannya masing-masing. Di belakang gebalau itu, kita seperti menemukan lubang kecil yang dari lubang itulah, terhampar begitu banyak kisah yang tak terucapkan. Ia menyimpan trauma yang bertumpuk-tumpuk. Dan dalam setiap tumpukannya, terpendam keagungan masa lalu Aceh yang dibalut oleh selimut luka berdarah. Lalu datang tsunami sebagai klimaksnya. Jangan ada lagi klimaks yang lain. Cukup sampai di sana. Maka, kinilah saatnya kita melangkah menuju babak baru yang lebih cerah dan bermartabat.

Menunggu Lahirnya Monumen
Karya agung lahir dari kegelisahan sastrawan melalui proses yang “berdarah-darah,” begitulah pernyataan Sutadji Calzoum Bachri dalam sebuah obrolan santai yang terjadi beberapa tahun lalu. Saya percaya pernyataan itu sebagai salah satu pengalaman spiritual seorang penyair—sastrawan dalam berhadapan dengan proses kreatifnya. Tentu saja yang dimaksud berdarah-darah itu adalah pernyataan metaforis untuk menggambarkan perjuangan seorang sastrawan dalam usahanya menemukan model estetik yang diharapkannya yang dalam bahasa Chairil Anwar: menggali kata sampai ke putih tulang!

Mencermati perjalanan panjang Aceh, saya sangat yakin, bahwa sastra Indonesia tinggal menunggu lahirnya sastrawan Indonesia garda depan dari Aceh. Lalu apa yang melandasi sikap optimistis itu?

Pertama, keagungan masa lalu kesultanan Aceh adalah lahan garapan yang begitu kaya dengan keagungan para sultannya dalam mengusung marwah Manusia Aceh, dan serangkaian peristiwa lain yang menghasilkan sejarah besar perjalanan Aceh.

Kedua, kontroversi tentang doktrin teologis sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansur—Abdur Rauf Singkel—Nurruddin Ar-Raniri dengan segala ajaran tasawufnya adalah kekayaan teologis yang kemudian menyebar menyemarakkan pemikiran Islam di Indonesia.

Ketiga, kekayaan kultur Aceh dengan segala model etik, norma sosial, dogma agama, sikap budaya, dan entah apalagi, adalah sumber inspirasi yang lain lagi ketika segala kekayaan kultural itu diterjemahkan dalam karya sastra.

Keempat, luka sejarah, baik yang telah ditorehkan Belanda, Orde Baru, maupun konflik berdarah hanya karena perbedaan ideologi atau perbedaan sudut pandang dalam usaha membangun kembali keagungan Aceh.

Kelima, peristiwa tragedia mahadahsyat tsunami yang tidak sekadar meninggalkan luka psikologis dan harta-benda rakyat Aceh, tetapi juga meninggalkan dan menyimpan begitu banyak misteri dan kisah-kisah metarasional.

Persoalannya kini tinggal, bagaimana sastrawan Aceh menyikapi segala kekayaan itu dan mengolahnya menjadi sebuah mahakarya, menjadi sebuah tonggak, menumen yang kokoh berdiri tegak dalam perjalanan sastra Indonesia.

* Makalah Seminar Sastra dalam Aceh International Literary Festival, diselenggarakan di Museum Tsunami, Banda Aceh, 5 Agustus 2009, Pukul 09.30—12.00.

** Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

1 Penjadian kesusastraan –dan secara keseluruhan, kebudayaan—Indonesia sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tiga pilar kebudayaan besar yang masuk ke wilayah Nusantara, yaitu kebudayaan India yang membawa Hinduisme dan Budhisme, kemudian kebudayaan Islam melalui kedatangan para gujarat, dan yang terakhir kebudayaan Eropa, terutama yang berhasil ditanamkan pihak kolonial Belanda. Di Pulau Jawa, kebudayaan India ini seperti mendapat lahan subur ketika berhadapan dengan kebudayaan setempat. Maka, ketika Islam masuk dan kesusastraan—kesenian dijadikan sebagai alat penyebaran agama (Islam), ikon-ikon kebudayaan India dan Jawa, sengaja dihadirkan sebagai kemasannya. Itulah sebabnya, Sunan Bonang menciptakan gamelan, dan Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai alat penyebarluasan agama. Di Sumatera, terutama di Aceh, Semenanjung Melayu, dan Minangkabau, pengaruh kebudayaan India (hinduisme dan budhisme) tidak begitu kuat memasuki wilayah-wilayah itu. Meskipun demikian, penerimaan kebudayaan Islam tidak serta-merta menyisihkan kultur setempat, bahkan terjadi akulturasi.

2 Itulah nama wanita-wanita agung dalam sejarah perjalanan kesultanan Aceh. Sayangnya, di banyak buku pelajaran sejarah, nama-nama itu belum ditempatkan dalam konteks sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam politik kolonial Belanda, peranan mereka sengaja ditenggelamkan untuk mengukuhkan citra mesianisme yang hendak dimainkan Belanda. Maka, ketika surat-surat Kartini dipublikasikan di Belanda, suaranya sampai ke Nusantara dan kemudian dibicarakan secara luas sebagai “peletak dasar” emansipasi wanita Indonesia. Nama-nama mereka, termasuk juga nama Aisyah Sulaiman Riau (lahir sekitar 1870-an—1930-an) nyaris tidak pernah disinggung (lihat Abdul Kadir Ibrahim, dkk, Aisyah Sulaiman Riau: Pengarang dan Pejuang Perempuan, Pekanbaru: Unri Press, 2004). Bandingkan peranan Kartini dengan peranan wanita-wanita Aceh yang disebutkan di atas. Bagaimana usaha Belanda menenggelamkan keagungan tokoh-tokoh wanita Aceh ini, tampak –salah satunya—dari penggambaran peranan Frederick de Houtman. Salah satu karya penting de Houtman adalah tata bahasa dan kamus Melayu—Belanda (1603). Inilah tata bahasa kamus pertama Melayu—Belanda, berjudul Spraek ende woord—boeck: Inde Maleysche ende Madagaskarsche talent met vele Arabische ende Turcsche woorden, 1603, viii + 225 halaman). Mengenai tarik-menarik bahasa Belanda dan Melayu dalam sejarah pendidikan kolonial Belanda di Indonesia, lihat Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda, 1600—1950 (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995). Sejumlah buku yang menyinggung de Houtman cenderung hanya berkaitan dengan kamusnya itu. Tetapi, bagaimana latar belakang kamus itu disusun? Tak ada satu pun yang membicarakannya. Padahal, kamus itu disusun ketika de Houtman dipenjara di Aceh (1599—1601). Dan yang menangkap dan menjebloskan de Houtman ke penjara, tidak lain adalah Laksamana Keumalahayati, wanita pertama yang menjadi laksmana dalam sejarah maritim Indonesia. Mengenai riwayat tokoh-tokoh wanita Aceh itu, lihat Ismail Sofyan, M. Hasan Basry, dan T. Ibrahim Alfian (Ed.), Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta, 1994).

3 Periksa Hasan Muarif Ambary, “Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun,” Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemda Banda Aceh, 1988, hlm. 86—97. Artikel lainnya dalam buku ini mengungkapkan reputasi kesultanan Aceh, tidak hanya di wilayah Nusantara, tetapi juga menerabas memasuki wilayah Asia dan Eropa. Lihat juga Edi Sedyawati, dkk., Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa, 2004, xii + 419 halaman.

4 Perjanjian persahabatan dan perdamaian yang ditandatangani Mayor Jenderal van Swieten dari pihak Belanda dan Sultan Ibrahim Mansur Syah dari pihak Kesultanan Aceh. Perjanjian ini sesungguhnya merugikan pihak Kesultanan Aceh, karena salah satu butir perjanjian itu menyebutkan pengakuan Aceh atas kekuasaan Belanda di Sumatera. Tahun 1858, Belanda melakukan pelanggaran atas perjanjian ini dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian Belanda—Siak yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak dan wilayah taklukannya, kini berada di bawah kekuasaan Belanda.

5 Selengkapnya, lihat Ibrahim Alfian, “Banda Aceh sebagai Pusat Awal Perang di Jalan Allah,” Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemda Banda Aceh, 1988, hlm. 26—35.

6 Di dalam novel Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar (Balai Pustaka, 1934) digambarkan, bagaimana orang-orang Aceh terkenal dengan kebiasaannya merampok dan membunuh. Maka, kedatangan Belanda selain untuk membantu hulubalang Raja menghadapi para pemberontak, juga dalam rangka menumpas para perampok yang dilakukan orang-orang Aceh. Stigmatisasi itu juga dilakukan pada tokoh-tokoh Arab dan ulama Islam konservatif. Usaha yang dilakukan Gubernur Jenderal Rochussen (1856) dengan memberlakukan huruf Latin untuk berbagai keperluan komunikasi tertulis, resmi atau tidak resmi, di wilayah Nusantara pada hakikatnya tidak berbeda dengan pembutahurufan massal. Tiba-tiba saja, penduduk yang bisa baca-tulis dengan huruf Arab—Melayu (disebut juga huruf Jawi, Pegon, atau Arab Gundul yaitu bahasa Melayu atau bahasa setempat yang menggunakan huruf Arab), dikatakan sebagai buta huruf (niraksarawan) hanya karena tidak dapat menggunakan atay membaca huruf Latin.

7 Pembonsaian yang dilakukan Belanda ditujukan kepada para ulama muslim (tokoh-tokoh Islam) dan poros-poros budaya yang dianggap tidak akan memihak Belanda, dua di antaranya, Aceh dan Melayu. Maka, para penulis Aceh hampir tidak pernah mendapat tempat. Sastrawan Melayu seperti Raja Ali Haji, misalnya, perbincangannya tidak lebih banyak dibandingkan dengan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.

8 Periksa Maman S Mahayana, “Politik Kolonial Belanda di Balik Pendirian Balai Pustaka,” Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005).

9 Periksa sejumlah tulisan Abdul Hadi WM, antara lain, Sastra Sufi: Sebuah Antologi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), Kembali ke Akar kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya (Bandung: Mizan, 1995), Islam Cakarawala Estetik dan Budaya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), dan Tasawuf yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001). Sejumlah besar penyair Indonesia, termasuk Sitor Situmorang yang non-Muslim, mengakui keterpengaruhannya pada karya-karya Hamzah Fansuri.

10 Dalam sejarah peperangan Belanda di Nusantara, tercatat bahwa perang melawan Aceh adalah peperangan yang paling lama, paling banyak menghabiskan biaya, dan paling banyak menelan korban dari pihak Belanda dibandingkan perang lain yang terjadi di wilayah Nusantara.
11 Konflik Aceh dengan Pemerintah Pusat dimulai dari ketidakpuasan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang coba menerapkan syariat (Islam) di Aceh. Ketakutan yang berlebihan dari Pemerintah Pusat telah menyebabkan konflik itu berkelanjutan, hingga terbentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memicu pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.

12 Azhari dengan sangat bagus menggambarkan traged berdarah itu dalam cerpen “Yang Dibalut Lumut” (Perempuan Pala, Yogyakarta: Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2004).

13 Hampir semua karya yang mengangkat kegetiran rakyat Aceh sebelum terjadi tsunami mewartakan trauma atas konflik berdarah itu. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa Alia: Luka Serambi Mekah karya Ratna Sarumpaet (Jakarta: Metafor Publishing, 2003), Aceh Mendesah dalam Nafasku (ed. Abdul Wahid BS, Fikar W. Eda, dan Lian Sahar, Banda Aceh: KaSUHA, 1999), Aceh dalam Puisi (Ed. LK Ara, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003), Rencong karya Fikar W. Eda (Bekasi: KaSuha dan SAJAK, 2003, Cet. II, 2005). Bandingkan ekspresi kegelisahan sastrawan Aceh ini dengan sastrawan Riau sebelum otonomi daerah. Selain pengagungan terhadap masa lalu kerajaan Melayu dengan segala marwahnya, juga gugatan terhadap Jakarta sangat kuat mewarnai ekspresi kegelisahan mereka, meski juga tanpa luka yang diakibatkan oleh perang saudara.

14 D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa (Ed.), Ziarah Ombak: Sebuah Antologi Puisi (Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman). Pembicaraan tentang buku ini pernah saya sampaikan dalam peluncurannya di Banda Aceh, 22 Oktober 2005. Saya sengaja mengulangi pembicaraan buku ini dengan penambahan di sana-sini untuk memberi gambaran selintas tentang kegelisahan para penyair Aceh dalam berhadapan dengan keagungan masa lalu kesultanan Aceh dengan segala heroismenya, pembonsaian yang dilakukan Belanda, kegetiran akibat konflik bersenjata antara sesama saudara, dan tragedi mahadahsyat tsunami.

15 Sebagai wujud keprihatinan dan empati bahwa duka Aceh atas tragedi tsunami itu adalah duka kita, duka Indonesia, tampak dari gelombang solidaritas yang muncul secara spontan dari berbagai kalangan, usia, agama, organisasi dan entah apa lagi. Musibah itu sungguh telah menyentuh rasa kemanusiaan segenap bangsa di dunia. Lalu, seketika itu pula, tiba-tiba setiap orang merasa harus berbuat sesuatu untuk meringankan kedukaan rakyat Aceh. Sejumlah buku tentang ekspresi solidaritas itu, juga diterbitkan, tiga di antaranya, Maha Duka Aceh (Jakarta: PDS HB Jassin, 2005), Duka Atjeh Duka Bersama (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), dan Amuk Gelombang (Medan, Star Indonesia, 2005). Buku-buku lain pasti masih akan terus bermunculan. Semua menunjukkan ekspresi solidaritas bahwa duka Aceh adalah duka kita, duka Indonesia, duka umat manusia.

16 Dalam politik identitas, konsep “Kita” dan “Mereka” penting artinya untuk memberi kesadaran tentang jatidiri sebuah bangsa atau komunitas. Aceh dalam konteks keindonesiaan adalah bagian dari diri “Kita” yang ditandai berdasarkan kesamaan sejarah perjuangan, afiliasi kultural, sistem pemerintahan, wilayah teritorial (space), dan kewarganegaraan (nationality). Meskipun demikian, sikap chauvinistik yang berlebihan atau ketidakpercayaan pada pemerintah dapat melahirkan ketidaksetiaan yang kemudian berujung pada usaha merumuskan identitas sendiri. Maka, sangat mungkin warga Aceh melihat warga di luar Aceh atau sebaliknya membuat semacam garis pembatas identitas yang ditandai dengan penyebutan “kita” dan “mereka”. Masalah Aceh dalam konteks keindonesiaan itu, tidak dapat lain, kecuali menempatkannya sebagai “Kita” yang didasarkan oleh sejumlah kesamaan yang disebutkan di atas.

17 Mencermati sejumlah besar puisi penyair Aceh sebelum terjadi tsunami, kita akan mendapati ekspresi mereka yang cenderung didominasi oleh trauma konflik bersenjata itu. Trauma psikologis itu tidak lagi menjadi milik orang per orang, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat. Inilah yang psikoanalisa disebut sebagai ketaksadaran traumatic kolektif. Artinya, kegetiran itu sudah menjadi ketakutan massal. Penyembuhannya hanya mungkin dapat dilakukan jika konflik bersenjata itu sudah benar-benar tidak lagi terjadi di Aceh.

18 Lihat Sigmund Freud, The Future of an Illusion, London: Hogarth Press, 1961. Meskipun Freud menyebutnya sebagai frustasi karena alam, dalam konteks tsunami sebagai fenomena alam, penyair Aceh ini melihat tsunami justru bukan lantaran sikap frustasi, melainkan kesadaran instintif atas keakrabannya dengan Tuhan. Masjid Baitur Rahman kemudian menjadi simbol tempat “bersemayam” Tuhan.

19 Pemuatan karya tiga penyair yang menjadi korban tsunami tentulah dimaksudkan oleh editor buku ini sebagai penghargaan dan penghormatan atas kiprah kepenyairannya.

-

Arsip Blog

Recent Posts