Bertahan dengan Batik Tulis

Tegal, Jawa Tengah - Tangan Kunaenah (57) masih terlihat terampil menggoreskan canting di atas kain, meskipun gurat-gurat keriput sudah tampak di tangannya. Secara perlahan, motif-motif batik tegalan berbentuk bunga dihasilkan dari goresan tersebut. Kunaenah adalah pembatik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Jawa Tengah. Daerah tersebut terkenal sebagai sentra batik tulis tegalan di Kota Tegal. Secara keseluruhan, jumlah pembatik di sana sekitar 200 orang dan hampir semua terdiri atas ibu-ibu rumah tangga.

Awalnya, pekerjaan membatik hanya dijadikan pekerjaan sampingan, di sela-sela mengurus keluarga. Namun, saat ini, membatik menjadi salah satu pekerjaan yang diandalkan. Usaha tersebut juga terbukti eksis di tengah gempuran krisis ekonomi.

”Membatik memang butuh ketelatenan, meskipun hasilnya sedikit,” ujar Kunaenah, akhir Januari lalu. Ia belajar membatik dari tetangga, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, satu lembar kain batik dijual Rp 750. Motif batik tegalan yang dihasilkan, antara lain, adalah motif ropiko, galaran, fajar, dan cempako putih.

Selain mengisi waktu luang, kegiatan tersebut juga ia lakukan untuk mencari penghasilan tambahan guna membantu suaminya, Samsudin (65), yang bekerja sebagai tukang batu. Selain membatik, ia juga menjadi pengepul batik karya tetangga- tetangganya.

Dengan membatik, ia mampu membantu menghidupi keluarga dan menyekolahkan enam anaknya hingga lulus SLTA. Saat ini, empat dari enam anaknya juga ikut menekuni usaha tersebut. Meskipun krisis ekonomi menghantam Indonesia hingga beberapa kali, usaha Kunaenah tetap berjalan. Batik tulis karyanya tetap laku meskipun mengalami fluktuasi penjualan. Ia juga sempat memiliki 10 tenaga pembatik, yang membantu memenuhi pesanan.

Menurut Kunaenah, motif dan warna batik tegalan terus berkembang. Dulu, warna kain tersebut hanya coklat, kuning, dan biru. Namun, saat ini warna kain batik tegal sangat bervariasi, mulai dari merah, hijau, ungu, hingga muncul pula warna-warna perpaduan. Bahkan, saat ini warna-warna berani menjadi salah satu ciri khas batik tegalan.

Kini ia memang tidak memasarkan sendiri karya-karyanya. Kunaenah menyerahkan kepada anak keempatnya, Muniroh (33).

Menurut Muniroh, usaha batik tegal hanya merupakan usaha kecil. Meskipun demikian, usaha tersebut mampu eksis dan memberikan penghidupan bagi para pelakunya.

Selama ini, ia mampu menjual sekitar 100 lembar kain batik per bulan. Biasanya, pelanggan datang ke rumahnya, atau memesan melalui telepon. Untuk memenuhi kebutuhan kain batik, ia melibatkan sekitar 20 perajin di lingkungannya. ”Ka l a u dikerjakan sendiri tidak mungkin karena untuk menghasilkan satu lembar batik membutuhkan waktu satu minggu,” katanya.

Harga kain batik
Harga kain batik tegal Rp 125.000 per lembar. Menurut dia, harga tersebut naik sejak dua bulan lalu. Sebelumnya, harga batik tegalan Rp 110.000 per lembar. Kenaikan tersebut akibat naiknya harga bahan baku kain, malam (lilin batik), maupun pewarna.

Harga kain naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 26.000 per potong, harga malam naik dari Rp 15.000 menjadi Rp 17.000 per potong, sedangkan harga pewarna dan obat-obatan naik dari Rp 15.000 menjadi Rp 20.000 per bungkus. Untuk menghasilkan satu lembar kain batik dibutuhkan satu kilogram malam dan satu bungkus pewarna.

Selain itu, Muniroh juga membutuhkan minyak tanah untuk memasak malam. Saat ini, minyak tanah bersubsidi sudah tidak beredar di Kota Tegal sehingga ia terpaksa mencari hingga kabupaten lain, atau membeli minyak tanah nonsubsidi. Muniroh mengakui, krisis ekonomi yang terjadi beberapa waktu terakhir memang berpengaruh terhadap kenaikan harga bahan baku. Namun, perajin masih bisa mengimbangi dengan menaikkan harga jual.

Korilah (35), perajin batik lainnya di Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, mengatakan, batik tulis tegalan mampu bertahan karena karya tersebut juga mengandung nilai seni. Tidak semua pembatik mampu menghasilkan karya yang bagus. ”Motif-motif tertentu yang rumit, harus dikerjakan oleh orang-orang yang sudah ahli,” katanya.

Saat ini justru kendala yang dialami usaha tersebut, yaitu generasi pembatik. Sebagian besar remaja perempuan dari daerah tersebut memilih merantau setelah lulus sekolah. Mereka bekerja sebagai pelayan warteg atau menjadi buruh di perusahaan. (SIWI NURBIAJANTI)

Sumber: http://cetak.kompas.com (19 Maret 2009)
-

Arsip Blog

Recent Posts