Demo Seni Warnai Perayaan Nyepi

Yogyakarta - Demo seni mewarnai perayaan Nyepi tahun baru Saka 1931 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara yang melibatkan ratusan seniman lintas kepercayaan dari Yogyakarta, Solo, dan Bali itu berlangsung di Pelataran Candi Prambanan.

Ketua panitia demo seni (happening art) I Gede Arya Sucitra mengatakan, Nyepi merupakan momen untuk membangun kembali hubungan yang harmonis antara manusia dan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Semuanya untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan.

”Dengan membangun dialog budaya dalam bingkai kebhinekaan, makna perayaan Nyepi akan lebih terasa,” katanya, Sabtu (21/3).

Demo seni yang pertama kali diadakan dalam perayaan Nyepi di DIY ini bertema ”Merespons Eksistensi Spiritual dan Estetika Candi Prambanan sebagai Situs Universal dan Kedamaian”.

Sebagai warisan dari masa lalu, Candi Prambanan dengan Candi Siwa, Brahma, dan Wisnu memberi contoh bahwa sekte yang berbeda bisa hidup dalam persaudaraan sejati.

Pertunjukan

Salah satu pertunjukan adalah tari Rejang Dewa. Tarian bagi para dewa yang biasanya mengiringi upacara di pura-pura di Bali ini, menurut Arya, ditarikan 150 penari dari Bali, Jawa, Jepang, dan Norwegia.

Selain itu, sekitar 100 perupa berkarya sesuai dengan pemaknaan masing-masing atas tema yang diberikan panitia. Perupa Yogyakarta, Nasirun, membuat lukisan berjudul ”Kukuruyuk”. Karya ini menggambarkan sikap manusia terhadap ritual keagamaan. Sejumlah perupa lain mengabadikan Candi Prambanan di siang hari dalam bentuk lukisan maupun sketsa.

Sementara itu, Teater Simpay mementaskan karya berjudul ”Tubuh Bumi”. Mereka mengisahkan kecenderungan manusia sebagai perawat dan perusak bumi, sekaligus konsekuensi dari dua kecenderungan itu. Jika manusia memelihara alam, alam pun akan bersahabat. Sebaliknya jika manusia merusak, alam tidak mau bersahabat.

Dua kecenderungan manusia itu juga disinggung I Gusti Putu Bawa Samar Gantang saat membacakan puisi ”Leak Lanang, Leak Wadon, Leak Kedi”. Menurut dia, manusia tidak lepas dari rwa bhineda, yakni memiliki sifat baik dan buruk sekaligus. Namun, pada akhirnya sifat yang buruk kalah karena manusia akan kembali pada Sang Pencipta.

Direktur Pemasaran dan Pengembangan Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko Agus Canny berharap kegiatan semacam ini bisa terus berlanjut. Sebab selain mempertemukan berbagai budaya di Prambanan, acara semacam ini juga sangat positif bagi pengembangan pariwisata. (ARA)

Sumber: http://cetak.kompas.com (23 Maret 2009)
-

Arsip Blog

Recent Posts