Festival Ngliwet di Museum Tani Imogiri

Bantul, Yogyakarta - Acara menarik diadakan para mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang kuliah kerja nyata (KKN). Mereka menggelar Festival Ngliwet, di halaman Museum Tani, Imogiri, Bantul, Minggu (26/4). Menarik karena 30 peserta hanya boleh membelanjakan uang maksimal Rp 20.000. Durasi memasak juga dibatasi, hanya 1,5 jam. Mereka pun memasak dan menanak nasi dengan anglo dan kuali tanah liat. Bahan bakarnya kayu bakar, bukan gas elpiji.

Giyanti (30), bersama Supini (33) dan Winarsih, tim dari Dusun Nawungan II, Selopamioro, Imogiri adalah salah satu pesertanya. Mereka menyiapkan aneka masakan, mulai dari nasi liwet, gembus bacem, sayur lodeh lompong, hingga belalang goreng. Bersama masakan olahan Giyanti dan timnya ini, ada 30 tim lain yang memajang masakan andalannya. Ada yang menampilkan sayur bobor, gudangan, lodeh kluwih, tempe garit, sambal jenggot, dan aneka tumisan. Benar-benar godaan buat perut.

Festival yang baru pertama kali diadakan ini, memang sengaja mengharuskan peserta memakai piranti dari tanah liat dalam memasak. Ternyata, tak hanya ibu-ibu di perkotaan yang sudah meminggirkan anglo dan kuali, karena hal serupa telah terjadi di pedesaan. Beberapa peserta, yang dikampungnya adalah para penggiat program PKK ini, sudah tidak pernah memakai piranti tersebut. "Waktu saya kecil, ibu dan eyang masih pakai anglo dan kuali. Seingat saya, masakannya enak, bahkan lebih enak ketimbang masakan yang dimasak dengan kompor minyak tanah maupun gas. Selain lebih enak rasanya, juga lebih tanak (matang)," ucap Giyanti.

Partinem (35), peserta dari Dusun Nogosari, Imogiri, juga melontarkan hal serupa. Mereka memang bisa menggunakan anglo yang apinya dari keren, karena pernah melakukannya sewaktu kecil. Namun, menanak nasi dengan kuali, ini adalah pengalaman pertama. Sembari tertawa, mereka berharap takaran air dan durasi memasaknya jangan salah. Kalau ngliwet paka ketel alumunium dan kompor, cukup 15 menit. Tapi pakai kuali dan anglo, sepertinya baru matang 20 menit. Harus sabar dan diaduk-aduk, kata Partinem. Satu tim peserta yang terdiri tiga orang ini, harus bahu-membahu memasak.

Budi Sutikno, salah satu juri mengatakan, kekompakan tim juga dinilai. Selain itu kebersihan dan porses memasak, penyajian, keunikan masakan, dan rasa nasi. Dari semua penilaian tersebut, rasa nasi yang paling diperhatikan. Nasinya harus matang, enak, dan tekturnya lembut, ujar Budi sambil menyebut bahwa beras yang disediakan untuk peserta adalah jenis IR 64 organik.

Acara ini, seperti disampaikan Penanggung Jawab acara yang juga Kepala Museum Tani Kristya Bintara, untuk mengajak masyarakat kembali melirik cara memasak secara tradisional. "Ada nilai yang terbangun di situ, yakni kebersamaan. Memasak tidak bisa terburu-buru, tapi hasilnya adalah masakan yang enak," tuturnya. (Lukas Adi Prasetyo)

Sumber: http://regional.kompas.com 27 April 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts