Kembali Marak, Rumah dengan Simbol Etnik

Oleh: Yurnaldi

Rumah bagi kebanyakan orang tak lebih fungsinya sebagai tempat tinggal. Hanya sebagian kecil yang menambahkan fungsi lain, tempat tinggal sekaligus perkantoran. Lantas, bagaimana dengan fungsi lain, seperti simbol etnik dan filosofis? Barangkali ini bisa kita temukan di Ranah Minangkabau, Sumatera Barat.

Pernah dengar rumah gadang atau rumah bagonjong? Itulah rumah tradisional Minangkabau. Rumah gadang (rumah besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya sebagai tempat kediaman keluarga, perlambang kehadiran suatu kaum dalam satu nagari (pemerintahan terendah pengganti desa), pusat kehidupan dan kerukunan.

"Rumah gadang multifungsi. Ia menjadi pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit," kata Suhendri Datuk Siri Marajo, penghulu di Balingka, Kabupaten
Agam, Sumbar.

Kini banyak rumah gadang di lebih dari 600 nagari di Sumbar yang kurang terawat dan terancam lapuk. Menurut Suhendri Datuk Siri Marajo, di sejumlah daerah, rumah gadang melapuk karena tingginya biaya perawatan dan juga karena dimakan usia. Untuk membangun kembali rumah gadang saat ini, butuh biaya relatif besar, mencapai ratusan juta rupiah, bahkan bisa mendekati satu miliar rupiah.

"Karena itu, sangat jarang ada warga atau kaum yang membangun rumah gadang baru. Yang ada sekarang, seperti perpaduan rumah modern dengan tradisional. Yang bagian tradisional memungut sebagian kecil unsur rumah gadang/rumah bagonjong dan umumnya di bagian depan atau teras, lengkap dengan ukirannya," tuturnya.

Makanya, kalau Anda keliling-keliling di berbagai daerah di Sumbar, selain bisa menyaksikan rumah gadang, rumah kayu dengan arsitektur bagonjong, juga bisa menyaksikan gedung perkantoran yang juga bagonjong atau memungut sebagian kecil unsur tradisional, yakni gonjong di bagian depan/teras saja.

Khusus untuk gedung perkantoran, memang ada imbauan Pemerintah Provinsi Sumbar pada era Azwar Anas menjadi gubernur agar dibangun dengan arsitektur bagonjong dengan tujuan melestarikan arsitektur yang unik dan kaya filosofis.

Akan tetapi, untuk rumah-rumah warga tidak ada imbauan, kecuali ada kesadaran budaya. Menurut seniman tradisional terkemuka Sumbar, Musra Darizal atau lebih dikenal Mak Katik, maraknya rumah warga mengambil sebagian kecil arsitektur tradisional dan memadukannya dengan arsitektur modern tak lepas dari pemahaman dan kesadaran budaya yang tinggi dari pemiliknya.

"Ada nilai dan kebanggaan mengambil unsur etnik/tradisional yang kaya makna dan filosofis tersebut. Ini cermin bahwa pemiliknya di samping punya cita rasa tinggi juga punya filosofi hidup yang bisa dibanggakan, yang bisa kita cermati dari bahasa rupa pada ukiran-ukirannya," ujar Mak Katik.

Makna di balik ukiran
Jika Anda cermati rumah-rumah dengan sedikit unsur etnik tersebut, selain bentuknya yang bagonjong, juga ada seni ukirnya dengan cat warna-warni. Salah satu yang sangat penting dan unik adalah nama ukirannya. Nama ukirannya dapat dilihat dari kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat.

"Setiap nama ukiran melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat, apakah gejala itu merupakan gambaran kehidupan alam ataupun melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Minangkabau," kata Ady Rosa, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Padang.

Dikatakan, penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan dan nama binatang. Sedangkan penggambaran sistem nilai kehidupan manusia dalam masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata adat.

Setiap motif memiliki nama khusus dan biasanya mengandung makna serta ajaran filosofi. Menurut seniman Alda Wimar, penamaan motif dalam ukiran tidak hanya sebagai identitas, melainkan juga memiliki arti harfiah dan makna filosofi yang mengandung ajaran-ajaran adat dan agama Islam. "Dengan kata lain, setiap motif mengandung makna yang tersurat, tersirat, bahkan tersuruk (tersembunyi)," ucapnya.

Ia mencontohkan, ada ukiran kaluak paku. Paku atau Gieichonia linearis (termasuk keluarga tanaman pakis) sehari-hari dikonsumsi masyarakat di Minangkabau sebagai sayur. Kaluak berarti gelung.

Pengertian harfiah yang tersurat pada kaluak paku berarti gelung tanaman pakis yang memiliki keindahan dan kedinamisan. Arti yang tersirat dari simbol kaluak paku ini menggambarkan sifat kodrati manusia. Pucuk paku pada awal pertumbuhannya melingkar ke dalam, yang kemudian akhirnya tumbuh melingkar ke arah luar.

Begitu juga manusia, yang pada tahap awal mengenal dirinya terlebih dahulu sebelum melakukan sosialisasi dan interaksi dengan lingkungannya. Di dalamnya sekaligus tersirat makna pentingnya sikap introspeksi: bergelung ke dalam lebih dahulu, setelah itu barulah bergelung ke arah luar. Koreksi kesalahan sendiri, setelah itu baru layak mengoreksi kesalahan orang lain.

"Orang Minang mengibaratkan realitas kaluak paku ini sebagai sikap masyarakat Minangkabau terhadap generasi penerusnya. Kaluak paku dalam motif seni ukir merupakan pencerminan sikap budaya dalam mendukung pertumbuhan anak dengan kasih sayang sekaligus memberikan
pendidikan dan kehormatan," ujar Alda.

Lain lagi dengan motif ukiran aka bapilin. Artinya tindakan orang Minang yang sia-sia saja tak akan ada, harus ada maksud dan tujuan.

Setiap gerak-gerik ada tujuannya, ada isinya, jangan sampai tidak ada gunanya untuk kehidupan individu atau masyarakat. Karena itu, dia tidak boleh putus asa karena manusia sudah dibekali dengan akal dan pikiran guna memikirkan segala sesuatu yang berguna untuk hidupnya.

Kalau dicermati, ada puluhan nama ukiran yang mengambil simbol dari tumbuhan dan ada pula puluhan nama dari nama binatang, antara lain itiak pulang patang, ulek tantadu, dan bada mudiak.

Ukiran itiak pulang patang menyiratkan makna keteraturan dan kedisiplinan dalam berorganisasi dan bermasyarakat. Tanpa disiplin dan keteraturan, tanpa pemimpin yang diikuti secara bersama, sebuah kelompok masyarakat tentulah akan sulit untuk sampai pada tujuannya.

"Selain itu, ada hikmah lain dari perilaku itik yang menjadi ajaran filosofi: saat lapar berpencar, setelah kenyang berhimpun.

Ketika pagi hari, itik keluar dari kandang mencari makan sendiri-sendiri. Sore hari setelah kenyang, mereka pulang bersama dalam satu rombongan. Bandingkan dengan kelaziman perilaku manusia pada umumnya: saat dalam kesulitan mencari bantuan kepada komunitasnya. Namun, setelah meraih sukses, bantuan komunitas mungkin tidak diperlukan lagi. Bahkan, sering kali manusia menikmati sendiri kesuksesannyatanpa berbagi. Ini bertolak belakang dengan perilaku itik dan tak sesuai dengan karakter orang Minang," ujar Alda Wimar.

Ukiran ulek tantadu, sejenis serangga yang mengisap madu bunga tetapi tidak membunuh. Makanan yang diisap dari bunga tidak hanya untuk menghidupi dirinya sendiri, melainkan juga menghidupi ulat yang hidup di dalam perut tantadu. Antara tantadu dan ulat tersebut terjalin bentuk kerja sama dalam kehidupan mereka. Ulat tersebut dimanfaatkan tantadu untuk menghadapi musuh atau lawan.

Makna yang tersirat dari penggambaran motif ini adalah tentang saling ketergantungan dalam kehidupan. Menyadari bahwa manusia mempunyai saling ketergantungan satu sama lain, saling mengambil, memberi, dan tidak saling merugikan. Dalam kehidupan flora dan fauna, sistem ini dikenal dengan simbiosis mutualisme.

Ukiran bada mudiak memperlihatkan penggambaranikan-ikan kecil yang memudiki sungai secara berombongan. Ini kiasan bagi kaum jelata atau rakyat kecil menghadapi kekuatan besar agar tidak hanyut terbawa arus. Makna yang tersirat dari ukiran bada mudiak adalah untuk mendapatkan sumber yang jernih, kita harus kembali ke hulu.

Untuk menyelesaikanpermasalahan, kita harus kembali ke pangkal persoalan. Ada makna ilahiah yang tersembunyi dari filosofi ini bahwa untuk mencapai kebenaran haruslah kembali pada sumber yang sebenarnya, yakni kebenaran Tuhan.

Begitulah. Terlalu panjang kalau dijelaskan satu per satu, yang nama ukirannya bisa mencapai lebih dari seratus macam nama. Paling tidak ini membuktikan bahwa ukiran-ukiran yang ada pada bagian rumah yang diukir, yang diambil dari bagian etnik bangunan tradisional dan kini melekat pada rumah-rumah modern, mempunyai makna filosofis yang dalam.

Hanya orang yang tahu makna filosofis dari ukiran khas Minang inilah yang biasanya membangun rumah dengan memadukan unsur tradisional/etnik dengan modern, yang tentu saja memberi nilai tambah yang unik secara visual dan barangkali, sekaligus, cerminan kesadaran
budaya yang tinggi dan karakter pemiliknya.

"Ukiran bada mudiak memperlihatkan penggambaran ikan-ikan kecil yang memudiki sungai secara berombongan.

-

Arsip Blog

Recent Posts