Khazanah Naskah-Naskah Islam Nusantara

Oleh : Oman Fathurahman

Naskah Nusantara: Muatan Lokalitas
Dalam konteks kajian tentang Islam Indonesia, berbagai informasi dan sumber otentik yang dihasilkan dalam konteks Islam lokal menjadi penting untuk dijadikan sebagai sumber primer penelitian. Dengan lebih memberikan apresiasi terhadap berbagai sumber lokal, maka keragaman Islam Indonesia akan diapresiasi sebagai produk dari sebuah proses akulturasi budaya lokal dengan nilai-nilai normatif agama, dalam hal ini, Islam.

Dalam konteks ini, naskah tulisan tangan (manuscript) dapat dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa tertentu. Naskah merupakan salah satu warisan budaya bangsa di antara berbagai artefak lainnya, yang kandungan isinya mencerminkan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu.

Tradisi penulisan berbagai dokumen dan informasi dalam bentuk manuskrip tampaknya pernah terjadi secara besar-besaran di Indonesia pada masa lalu, terutama jika dilihat dari melimpahnya jumlah naskah yang dijumpai sekarang, baik yang ditulis dalam bahasa asing seperti Arab dan Belanda, atau dalam bahasa-bahasa daerah seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Batak, dll. Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, terutama jika dikaitkan dengan belum dikenalnya alat pencetakan secara luas hingga abad ke-19, khususnya di wilayah Melayu-Nusantara.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika saat ini kita menjumpai bahwa khazanah naskah nusantara hampir tidak terhitung jumlahnya, baik yang berkaitan dengan bidang sastra, filsafat, adat istiadat, dan terutama bidang keagamaan (Islam).

Dalam hal naskah-naskah keagamaan, tampak bahwa jumlah naskahnya kelihatan lebih menonjol, terutama karena terkait dengan proses islamisai di Indonesia yang banyak melibatkan para ulama produktif di zamannya.

Data-data yang dijumpai umumnya memberi penjelasan bahwa naskah-naskah keagamaan tersebut ditulis oleh para ulama terutama dalam konteks transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Nusantara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, dengan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Indonesia itu dengan murid-muridnya di berbagai wilayah.

Dalam konteks naskah keagamaan ini, dua pola transmisi keilmuan yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut pada gilirannya membentuk pula dua kelompok bahasa naskah: pertama naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah.

Dalam perkembangannya, jumlah naskah tersebut kemudian semakin membengkak dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu, baik yang dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun yang dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepentingan komersil.

Sejauh penelitian yang pernah dilakukan, naskah-naskah “kita” itu hampir tak terhitung jumlahnya, bisa mencapai puluhan atau ratusan ribu, bahkan mungkin —seperti pernah disinyalir Cak Nur— mencapai jumlah jutaan, dalam berbagai bidang keilmuan. Sebagian naskah-naskah tersebut tentu saja sudah tersimpan dengan baik di berbagai perpustakaan, baik di dalam maupun di luar negeri, tetapi sebagian besar lagi diduga kuat masih tercecer di tangan masyarakat.

Sebagian besar naskah di luar negeri yang sudah terinventarisir antara lain tersimpan di Belanda dan di Inggris, selain juga di Malaysia, Afrika Selatan, Sri Lanka, Jerman, Prancis, Rusia, dan di berbagai negeri yang lain.

Selain di negara-negara yang sudah diketahui dan dipastikan menyimpan naskah-naskah nusantara tersebut, masih ada lagi beberapa negara yang diasumsikan memiliki koleksi naskah karena pernah mempunyai hubungan sejarah penting dengan Indonesia, seperti Cina, Portugal, India, dan Jepang. Dalam sebuah sumber misalnya, disebutkan bahwa seorang pengembara Cina, I-Tsing, pada tahun 695 M pernah membawa tidak kurang dari 4000 salinan naskah yang diperolehnya ketika selama 4 tahun tinggal di Palembang, Sumatra Selatan.

Hanya saja, sejauh ini belum diidentifikasi adanya naskah-naskah Nusantara di negara-negara tersebut. Bahkan naskah-naskah di negeri-negeri Timur Tengah pun hingga kini belum tersosialisasikan keberadaannya secara maksimal ke negeri “pemiliknya”.

Kita mungkin tidak terlalu khawatir dengan kondisi naskah-naskah yang telah tersimpan di berbagai perpustakaan, karena semuanya berada dalam “perawatan” yang standar di bawah supervisi pada filolog dan pustakawan yang mumpuni. Meskipun —khususnya untuk naskah-naskah di luar negeri— kita seringkali dihadapkan pada kesulitan untuk mengakses naskah-naskah tersebut, sehingga hal ini turut memberikan kontribusi pada “malasnya” sebagian sarjana kita untuk memanfaatkan naskah-naskah tersebut sebagai sumber primer kajiannya.

Masalah yang lebih serius dalam hal pernaskahan nusantara ini sebetulnya adalah karena masih banyaknya naskah-naskah tersebut yang tersimpan di kalangan masyarakat sebagai milik pribadi. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad 17 dan 18 tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama.

Sementara si pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan tradisional untuk merawatnya, sehingga seringkali naskah yang dimiliknya itu saling bertumpuk dengan benda lain, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hilang pula pengetahuan yang tersimpan di dalamnya. Kalaupun terawat, umumnya hanya karena naskah-naskah tersebut dianggap sebagai “benda keramat” yang harus disimpan rapi, kendati isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak umum.

Kendati telah beberapa kali dilakukan upaya inventarisasi dan pelestarian atas naskah-naskah tersebut, nyatanya hingga kini —setidaknya berdasarkan pengalaman kunjungan ke beberapa daerah— naskah-naskah yang terdapat di masyarakat tersebut masih banyak yang belum teridentifikasi, dan apalagi terawat dengan baik. Menarik dicatat bahwa wilayah nusantara yang sebagian besar masyarakatnya masih menyimpan naskah-naskah tersebut ternyata berada di wilayah Timur, antara lain di NTB, Buton, Ternate, dll.

Dalam konteks ini, Aceh tentu saja merupakan wilayah yang penting disebut. Menurut catatan sementara, di dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh misalnya, terdapat ribuan naskah dalam bahasa Arab, Melayu, dan Aceh —ini belum termasuk naskah-naskah lainnya yang masih berada di tangan masyarakat.

Sejauh ini, upaya perawatan yang dilakukan atas naskah-naskah tersebut baru dilakukan secara tradisional, sehingga tidak menjamin akan tetap terpelihara kandungan isinya. Dalam konteks keagamaan (Islam), naskah-naskah di Tanoh Abee ini tampaknya sangat layak mendapat perhatian khusus, selain karena semuanya bersifat agama, ia juga semakin penting karena mencerminkan dasar pendidikan agama di daerah Aceh pada abad 19.

Naskah dan Islam Lokal
Sepanjang sejarahnya, terlebih dalam konteks Indonesia, keberadaan naskah-naskah tersebut sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tradisi besar Islam yang sejak abad ke-7 sudah mulai merembes masuk ke wilayah Melayu-Nusantara. Dalam hal ini, Islam diyakini membawa tradisi tulis di kalangan masyarakat Melayu-Nusantara, sehingga dalam perkembangannya —seperti telah dikemukakan— tradisi Islam ini turut mendorong lahirnya sejumlah besar naskah, khususnya naskah-naskah keagamaan.

Melalui tradisi Islam ini misalnya, masyarakat Melayu-Nusantara mulai memiliki kebiasaan untuk mencatatkan berbagai pemikiran dan hal penting lainnya dengan menggunakan tulisan Jawi (bahasa Melayu dengan aksara Arab) atau bahasa Pegon (bahasa Jawa dan Sunda dengan aksara Arab), di samping tentunya dengan bahasa Arab itu sendiri.

Tulisan-tulisan tersebut —terutama pada periode awal— dituangkan bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam berbagai media (alas naskah) seperti batu, daun lontar, bambu, kayu, tulang, tanduk, kulit hewan, dan sebagainya. Dalam kenyataannya, pengaruh tulisan Arab yang kemudian menghasilkan tulisan Jawi dan Pegon tersebut tidak saja terlihat dalam naskah-naskah keagamaan, tetapi juga dalam naskah-naskah sastra yang secara substansi tidak berkaitan langsung dengan Islam.

Produksi naskah-naskah Islam di Nusantara semakin “menjadi-jadi” pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama ketika Aceh menjadi pusat kegiatan intelektual Islam, dan melahirkan ulama-ulama kenamaan seperti Hamzah Fansuri, Shamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdurrauf Singkel, yang luar biasa produktif dalam menghasilkan naskah, baik untuk kepentingan belajar mengajar maupun untuk kepentingan lainnya.

Tradisi naskah di wilayah Aceh ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Nusantara, tidak saja di wilayah Sumatra, melainkan juga ke wilayah lainnya di Pulau Jawa. Akibatnya, di berbagai wilayah tersebut banyak dijumpai naskah-naskah lokal, yang secara spesifik menyimpan pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan wilayahnya itu.

Dari beberapa telaah awal yang pernah dilakukan, diketahui misalnya adanya sejumlah besar naskah keagamaan di wilayah Buton yang belum terjamah oleh para peneliti, padahal beberapa naskah, misalnya, mengindikasikan adanya keterkaitan dengan warna Islam di wilayah Sumatra. Demikian halnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat, di mana kebanyakan naskahnya masih secara tradisional disimpan oleh para Tuan Guru, dan belum bisa diakses oleh khalayak yang lebih luas.

Melihat keterkaitan antara Islam dengan dunia pernaskahan Nusantara seperti dijelaskan tersebut, maka tidak dapat dihindari bahwa naskah jelas merupakan salah satu elemen terpenting dalam upaya merekonstruksi berbagai pemikiran intelektual Islam, khususnya Islam lokal, karena naskah mencerminkan adanya pertemuan budaya, sosial, politik dan intelektual antara budaya lokal dan Islam dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, penelitian atasnya akan lebih memperkaya wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Dalam konteks Islam lokal ini, peran naskah-naskah tersebut juga sangat signifikan, terutama jika mempertimbangkan bahwa kajian atas wacana Islam lokal sejauh ini belum dilakukan secara maksimal.

Pemeliharaan dan Pelestarian Naskah
Saat ini, berbagai upaya untuk melestarikan dan memanfaatkan naskah-naskah Nusantara, khususnya naskah-naskah keagamaan (Islam) seperti telah dijelaskan di atas, tampaknya sangat mendesak untuk segera dilakukan.

Hal ini, setidaknya didasarkan pada dua hal: pertama, banyaknya data penting berkaitan dengan khazanah intelektual Islam yang terdapat dalam naskah-naskah tersebut, dan kedua, sudah semakin rapuhnya kondisi fisik naskah-naskah tersebut seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini, jika dibiarkan, akan mengakibatkan punahnya sebuah sumber penting yang merupakan kekayaan intelektual Islam Indonesia.

Lebih dari itu, kemungkinan rusak dan hilangnya naskah-naskah tersebut semakin besar jika kita memperhatikan perkembangan sosial politik Indonesia belakangan ini, di mana banyak terjadi konflik, baik konflik antaretnis, antaragama, atau konflik politik lainnya di beberapa daerah, seperti yang terjadi di Ternate, Ambon, Aceh, dll., yang tidak jarang berujung pada tindakan perusakan dan pembakaran.

Kita tentu saja tidak ingin mengulang peristiwa yang pernah terjadi di Aceh, di mana —akibat perselisihan ideologis— puluhan, dan mungkin ratusan naskah-naskah keagamaan, khususnya karya-karya Hamzah Fansuri musnah dibakar di depan masjid Baiturrahman, sehingga hanya sebagian kecil saja di antaranya yang bisa kita manfaatkan saat ini.

Kemungkinan punahnya naskah-naskah tersebut juga bisa terjadi akibat minimnya tingkat pemahaman masyarakat pemiliknya atas nilai-nilai luhur yang terdapat di dalamnya. Sekelompok masyarakat misalnya pernah dengan sengaja membakar sejumlah naskah, karena menganggap naskah-naskah tersebut hanyalah timbunan kertas usang berdebu yang mengganggu kebersihan rumah.

Oleh karenanya, upaya-upaya untuk memelihara dan melestarikan naskah tersebut harus segera dilakukan, antara lain dengan menginventarisasi sebanyak mungkin naskah-naskah yang masih tercecer di masyarakat, kemudian membuatkan salinannya dalam bentuk mikrofilm, mikrofis, atau faksimile.

Jika dimungkinkan, tentu saja diupayakan naskah-naskah aslinya juga dipindahkan kepemilikannya dari tangan masyarakat menjadi milik lembaga yang tentu saja harus sudah siap dengan berbagai infrasutruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan. Pemindahan kepemilikan ini bisa dilakukan, baik dengan cara membeli atau melalui hibah.

Selain itu, yang tidak kurang pentingnya —dan bahkan mungkin ini yang lebih penting— upaya pelestarian naskah-naskah tersebut dilakukan dengan membuka akses seluas-luasnya bagi para peneliti agar dapat memanfaatkannya sebagai sumber penelitian, khususnya penelitian keagamaan. Dengan demikian, kendati misalnya secara fisik naskah aslinya sudah hilang, tetapi kandungan isinya masih tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

Penting juga dicatat, bahwa upaya pemeliharaan dan pelestarian naskah-naskah Nusantara ini tentu saja bukan tidak pernah dilakukan. Beberapa lembaga seperti Perpustakaan Nasional R.I di Jakarta, berbagai Museum Negeri di daerah, atau beberapa lembaga swasta lain sudah mulai melakukannya. Akan tetapi, di antara lembaga-lembaga tersebut tampaknya belum banyak yang memfokuskan perhatiannya pada naskah-naskah Islam, khususnya naskah-naskah yang berbahasa Arab.

Dalam konteks upaya pemeliharaan dan pelestarian naskah-naskah ini, apa yang dilakukan di Malaysia —di samping Leiden tentunya— merupakan salah satu contoh yang baik, karena Malaysia memiliki sebuah Pusat Manuskrip Melayu yang didirikan di Kuala Lumpur pada tahun 1985, yang berambisi menginventarisasi semua naskah Melayu di seluruh dunia.

Beberapa aktifitas yang dilakukan antara lain: menginventarisasi dan mengupayakan pengadaan naskah-naskah Melayu, baik yang berasal dari dalam maupun luar Malaysia, membuat salinan mikrofilm dan mikrofis, mendokumentasikannya dalam bentuk katalog, menyediakan berbagai sarana pemeliharaan dan pelestarian naskah, memberikan kemudahan akses penelitian naskah, serta mengadakan berbagai bentuk publikasi seperti penerbitan, seminar, pameran, dll. Hingga kini, Pusat Manuskrip Melayu tersebut telah berhasil menerbitkan katalog naskah-naskah Melayu yang ada di Malaysia, Singapura, Belanda, Prancis, Jerman, Afrika Selatan dan Washington.

Secara sistematis dan berkala, tim dari Pusat Manuskrip Melayu tersebut juga melakukan “penyisiran” atas naskah-naskah milik masyarakat, kemudian mengupayakan pengalihan penyimpanannya di perpustakaan. Setiap temuan baru tim ini biasanya dipublikasikan secara berkala dalam seri terbitan Warkah Manuskrip Melayu.

Signifikasi Peran UIN/IAIN
Pada dasarnya, upaya pemeliharaan dan pelestarian naskah-naskah Islam Nusantara tersebut memang merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Hanya saja, dalam konteks ini, institusi pendidikan semisal Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan perguruan tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang lebih besar, karena setidaknya dua alasan:

Pertama, UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah, yakni bahasa Arab. Apalagi —seperti telah dikemukakan— berbagai naskah Melayu pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (tulisan Jawi), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat signifikan. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas naskah-naskah keagamaan tersebut, sehingga tidak mengherankan jika naskah-naskah tersebut, khususnya yang berbahasa Arab, sejauh ini lebih banyak “ditelantarkan”.

Kedua, secara keilmuan, civitas akademika UIN/IAIN sangat berkepentingan dengan data-data yang terekam dalam naskah-naskah keagamaan tersebut. Sehingga, memelihara dan memanfaatkannya sebagai rujukan keilmuan, pada gilirannya akan memperkuat basis IAIN sendiri sebagai sebuah institusi pendidikan yang concern dengan bidang-bidang ilmu keislaman. Selain itu, kemudahan akses terhadap naskah-naskah tersebut juga diharapkan dapat membantu komunitas UIN/IAIN untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang Islam (broader understanding of Islam), khususnya yang berkembang di wilayah Melayu-Indonesia.

Sejauh ini, patut disayangkan bahwa institusi pendidikan semisal UIN/IAIN belum memberikan apresiasinya secara maksimal terhadap naskah-naskah Islam tersebut. Kurangnya apresiasi ini antara lain terlihat dari masih minimnya jumlah kajian ilmiah yang memanfaatkan naskah-naskah tersebut sebagai sumber primer. Padahal, ketika sebuah penelitian melibatkan naskah, jelas datanya akan lebih kaya dan lebih hidup, bahkan seringkali bisa menjelaskan “tabir” yang belum terungkap, karena naskah merupakan sumber dan bukti otentik pada zamannya, sehingga apapun yang tertulis dalam naskah, niscaya ia merupakan rekaman “kaset” yang bisa diputar ulang untuk mengetahui apa yang terjadi saat itu.

Dalam konteks ini, penelitian Azyumardi Azra (1992) bisa menjadi contoh yang baik. Dengan sangat mengagumkan Azra berhasil memanfaatkan tidak kurang dari 28 manuskrip sebagai sumber primernya untuk menelusuri keterkaitan para ulama Melayu-Indonesia dan “menjaringnya” dalam sebuah mata rantai yang sangat panjang —dan tentu saja sangat signifikan— dengan para ulama Timur Tengah abad 17 dan 18.

Dalam konteks dunia keilmuan, pengembangan studi pernaskahan di UIN/IAIN dapat menjadi preseden bergabungnya dua tradisi penelitian, yakni: tradisi penelitian keagamaan, dan tradisi penelitian ilmu-ilmu budaya (humaniora), khususnya yang memanfaatkan naskah (manuscripts) sebagai sumber utama kajiannya.

Di satu sisi, tradisi penelitian keagamaan, dalam hal ini Islam, telah banyak dikembangkan di sejumlah perguruan tinggi agama, seperti UIN, IAIN, Sekolah Tinggi Agama Negeri (STAIN), dan beberapa perguruan tinggi agama lainnya. Akan tetapi, sejauh ini, tradisi penelitian keagamaan tersebut seringkali tidak membumi, karena hanya berkutat pada teks-teks agama yang bersifat universal belaka, dan belum memaksimalkan teks-teks yang bersifat partikular yang seringkali sarat dengan nilai dan budaya lokal, seperti naskah misalnya.

Di sisi lain, tradisi penelitian yang memberikan perhatian besar terhadap khazanah budaya semisal naskah ini, telah berkembang sedemikian rupa di sejumlah perguruan tinggi umum seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Andalas (Unand), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan beberapa universitas umum lainnya. Hanya saja, sejauh ini, tradisi penelitian naskah tersebut belum memaksimalkan keberadaan naskah-naskah keagamaan, khususnya yang ditulis dalam bahasa Arab, yang jumlahnya relatif banyak tersebut, mengingat adanya keterbatasan penguasaan bahasa tersebut oleh sebagian para penelitinya.

-

Arsip Blog

Recent Posts