Menjadi "Penonton" di Wisata Tanah Melayu

Oleh Ferry Santoso

Karakteristik wilayah Provinsi Kepulauan Riau sangat berbeda dengan wilayah provinsi lain di Indonesia. Sebagian besar wilayah Kepri dengan luas 251.810 kilometer persegi terdiri dari lautan seluas 241.215 kilometer persegi atau 96 persen dan daratan seluas 10.595 kilometer persegi atau 4 persen.

Dengan potensi itu, keindahan garis pantai dan pulau-pulau kecil, termasuk wisata bahari, menjadi potensi wisata yang sangat besar. Sayangnya, dalam era otonomi daerah, kekayaan itu belum sepenuhnya digarap.

Potensi wisata yang bernilai strategis di Kepulauan Riau (Kepri) sudah lama dilirik investor asing. Jauh sebelum era otonomi daerah, resor internasional mulai bermunculan dan dikembangkan investor asing di kawasan wisata internasional, Lagoi di Kabupaten Bintan. Misalnya, Bintan Lagoon Resort, Banyan Tree, Nirwana Resort, Angsana Resort, dan Club Med. Resor eksklusif dengan harga kamar mulai dari Rp 1,5 juta per malam itu lebih banyak dipromosikan melalui Singapura.

Kehadiran dan pengembangan resor di kawasan itu tidak terlepas dari perjanjian Pemerintah Indonesia dengan Singapura tentang Kerja Sama Ekonomi dalam Rangka Pengembangan Provinsi Riau tahun 1990.

Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan, para pihak akan bekerja sama dalam meningkatkan investasi internasional di bidang pengembangan daerah wisata dan prasarana pariwisata di Riau, khususnya Pulau Bintan, sesuai dengan kebijaksanaan kepariwisataan Indonesia. Karena itu, Pemerintah Provinsi Riau, waktu itu, mengalokasikan dan membebaskan lahan seluas 23.000 hektar untuk pengembangan kawasan wisata internasional Lagoi. Namun, dalam 20 tahun, kawasan yang dikembangkan baru sekitar 4.000 hektar.

Selebihnya, kawasan itu masih menjadi lahan hutan dan semak yang tidak produktif. Sebagian besar warga dari 10 desa dari luas lahan 23.000 hektar itu pun tidak boleh lagi menempati atau menggarap lahan di kawasan itu.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan Akib Rachim, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke resor di kawasan wisata internasional Lagoi mencapai 313.000 orang tahun 2009. Penerimaan asli daerah dari sektor pariwisata di kawasan itu mencapai Rp 90 miliar tahun 2009.

Belum berdampak
Ironisnya, setelah 20 tahun perjanjian itu berjalan, kehadiran kawasan wisata internasional Lagoi yang eksklusif belum sepenuhnya berdampak bagi percepatan pergerakan perekonomian di daerah. Apa indikatornya?

Salah satu indikator adalah bahwa daerah di sekitar kawasan wisata internasional Lagoi tidak berkembang. Masyarakat di sekitar kawasan itu masih jauh tersentuh pembangunan. Penerangan listrik bagi masyarakat di perkampungan masih mengandalkan genset.

Bahkan, nelayan di sekitar kawasan wisata internasional Lagoi semakin sulit mencari daerah tangkapan ikan. ”Air laut semakin kotor dan bertambah keruh karena pembangunan di sekitar kawasan wisata Lagoi. Nelayan pun tidak diperbolehkan mencari ikan di sekitar wilayah Lagoi,” kata Rachim.

Selain itu, kawasan wisata itu juga belum mampu mendorong ekonomi rakyat bertumbuh. Ekonomi rakyat, seperti perajin atau penjual produk kerajinan, tidak berkembang atau hampir tidak ada. Sektor jasa, seperti perhotelan, rumah makan atau restoran, di sekitar kawasan juga tidak berkembang.

Masyarakat setempat cenderung hanya menjadi ”penonton” kemegahan resor dan uang dollar yang beredar di tempat peristirahatan dengan tarif tinggi tersebut.

Mengapa pergerakan ekonomi di daerah itu, termasuk ekonomi rakyat, dan kawasan di sekitar kawasan wisata internasional Lagoi tidak berkembang? Salah satu penyebab, kawasan wisata internasional Lagoi sangat eksklusif atau ”tertutup”.

Wisatawan hanya ”menghabiskan” uang dalam resor internasional di dalam kawasan wisata internasional Lagoi. Wisatawan kurang ”diarahkan” ke luar kawasan untuk memicu peredaran uang di daerah dan memutar roda ekonomi rakyat secara langsung.

Kondisi ini berbeda dengan Bali. Wisatawan yang tinggal di resor atau hotel internasional tidak ”tertutup” atau eksklusif. Para wisatawan pun dapat bergerak ke segala penjuru di Pulau Bali, bahkan sampai Pulau Lombok. Akibatnya, sektor ekonomi rakyat, seperti industri kecil produk kerajinan dan industri jasa, bergeliat.

Akib Rachim mengakui, wisatawan yang tinggal di kawasan wisata internasional Lagoi agak sulit ditarik keluar dari kawasan itu. Salah satu alasan, wisatawan yang tinggal di kawasan itu ingin benar-benar bersantai dan menghabiskan waktu di dalam kawasan. Jika wisatawan harus keluar dari kawasan, seperti ke Tanjung Pinang, jaraknya terlalu jauh.

Potensi wisata
Untuk menarik wisatawan, Pemerintah Provinsi Kepri, termasuk pemerintah pusat, bersama pelaku usaha dalam negeri, sebenarnya perlu berkreasi menciptakan obyek wisata yang menarik dan berinvestasi di sektor pariwisata secara lebih serius. Potensi kelautan di Kepri perlu benar-benar dioptimalkan untuk menarik wisatawan.

Gubernur Kepri Muhammad Sani mengatakan, potensi wisata bahari, sebagai potensi keindahan terumbu karang, sebenarnya dapat dikemas dan dikembangkan. Kekayaan terumbu karang di perairan Natuna dinilai tidak kalah dengan kondisi terumbu karang di Bunaken, Manado, Sulawesi Utara.

Selain potensi kelautan, kekayaan situs sejarah di Kepri yang dijuluki ”Bunda Tanah Melayu” sebenarnya juga bisa menjadi obyek wisata yang menarik jika dikemas dengan baik. Misalnya, Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Istana Damnah di Daik, Kabupaten Lingga, atau situs Kota Lama, Hulu Riau, di Tanjung Pinang.

Kamp pengungsi
Terkait situs sejarah itu, Provinsi Kepri sebenarnya memiliki aset situs dunia yang dapat menjadi obyek wisata dunia, yaitu bekas kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang.

Ironisnya, obyek wisata itu justru kini menjadi ”tertutup”, angker, jauh dari sentuhan arsitektur artistik, dan terkesan terbengkalai. Berbeda dengan Vietnam, negara itu mampu mempromosikan situs sejarah mereka kepada wisatawan internasional. Mengapa setelah puluhan tahun kamp pengungsi itu tidak dikelola sebagai obyek wisata yang memiliki daya tarik? Bahkan, terkesan kawasan itu tertutup dipromosikan?

Ada beberapa alasan. Misalnya, adanya keinginan Pemerintah Vietnam yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak menjadikan kamp pengungsi Vietnam sebagai obyek wisata.

”Pemerintah Vietnam tidak menginginkan kamp pengungsi Vietnam menjadi obyek wisata,” kata Kepala Bagian Humas dan Publikasi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Kawasan) Dwi Joko Wiwoho. Kamp pengungsi Vietnam itu terkait sejarah politik masa lalu di Vietnam.

Terlepas dari sejarah politik masa lalu di Vietnam saat itu, faktanya, awal tahun 1980, ratusan ribu pengungsi Vietnam datang ke Pulau Galang secara bergelombang, mengarungi lautan dan bertaruh nyawa di laut sebagai manusia perahu.

Pemerintah Indonesia diminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyiapkan tempat pengungsian, yaitu Pulau Galang. Kini, setelah pengungsi pergi, sejak pemulangan terakhir pengungsi sebanyak 5.000 orang tahun 1996, tempat itu seharusnya bisa menjadi salah satu obyek wisata.

Jika dikembangkan atau dikemas dengan obyek lain, seperti di Taman Safari dan Puncak, Jawa Barat, kamp pengungsi itu tentu memiliki daya tarik yang lebih kuat.

Selain terkait dengan masalah politis dengan Pemerintah Vietnam, masalah pembebasan lahan di Pulau Galang juga belum jelas. Badan Pertanahan Nasional belum memberikan hak pengelolaan lahan kepada BP Kawasan. Akibatnya, kawasan itu memang belum dapat dikembangkan.

Kini, nasib kamp pengungsi yang mulai dibanjiri pengungsi Vietnam tahun 1980 itu pun menjadi tidak jelas atau berada di ujung tanduk. Jika tidak dikembangkan sebagai obyek wisata, kamp pengungsi yang pernah didiami 250.000 orang Vietnam itu akan menjadi area kosong dan menjadi hutan.

Kamp pengungsi di Pulau Galang, dengan berbagai keindahan panorama pantai, seperti Pantai Melur, dan pulau-pulau kecilnya, akan semakin ditinggalkan wisatawan. Lagi-lagi, masyarakat lokal di perkampungan di kawasan itu hanya menjadi ”penonton” gubuk tua dan reyot bekas kamp pengungsi yang telah ditinggalkan.

-

Arsip Blog

Recent Posts