Rekonstruksi Peran Kaum Intelektual Sumatra dalam Nasionalisme Indonesia

Oleh Ichwan Azhari

Pendahuluan
Gerakan nasionalisme Indonesia selama ini telah dikonstruksi secara keliru baik oleh kebanyakan sejarahwan Indonesia, sejarahwan Belanda maupun sejarahwan asing lainnya. Konstruksi itu menunjukkan seakan-akan gerakan nasionalisme hanya berlangsung atau berarus di pulau Jawa, dengan tonggak-tonggak gerakan berada di sekitar tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda) dan 1945 (periode kemerdekaan).

Konstruksi yang salah itu telah mereduksi gerakan nasionalisme hanya ada di organisasi tertentu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam organisasi itu, yang kemudian berada dalam satu pusaran arus menuju satu gerakan nasionalisme Indonesia. Seakan-akan diluar arus utama itu tidak ada arus nasionalisme yang lain yang tidak berasal dari atau mengalir ke Jakarta. Sejarah gerakan nasionalisme Indonesia itu gagal membedakan tiga kategori penting :

Pertama gerakan yang dilakukan oleh orang atau organisasi-organisasi yang sebenarnya tidak berpengaruh dalam mengkonstruksi ide nasionalisme pada banyak orang di zamannya, tapi terlanjur dibesar-besarkan dalam wacana (discourse) sejarah dan kemudian dilegitimasikan negara.

Kedua gerakan yang dilakukan oleh orang atau organisasi yang sebenarnya punya pengaruh nyata dalam menumbuhkan benih-benih nasionalisme langsung baik kepada anggotanya maupun mereka yang bukan anggotanya. Gerakan ini tidak mendapat legitimasi dari negara dan dalam banyak kasus perannya tidak disinggung dalam buku sejarah tentang gerakan nasionalisme di Indonesia.

Ketiga gerakan pada media massa yang jauh lebih besar pengaruh penyebaran ide nasionalismenya dibanding lewat organisasi manapun. Gerakan pada media ini belangsung baik yang terkait maupun tidak dengan organisasi-organisasi yang ada di dalam kategori dua di atas.

Budi Utomo yang sudah terlanjur di mitoskan dapat dimasukkan dalam kategori pertama, yakni organisasi priyayi Jawa yang dapat dikatakan anti pada gerakan nasionalisme yang sudah tumbuh pada zaman ketika organisasi itu berdiri. Mereka yang menganggap Budi Utomo penting dalam gerakan nasionalisme Indonesia sebenarnya terjebak untuk mengadopsi perspektif Belandasentris. Pemerintah Belandalah yang menyenangi Budi Utomo sebagai organisasi yang tidak membahas politik, setia pada pemerintah Belanda dan tidak menyuarakan gerakan kemerdekaan. Soekarno kemudian yang memulai penyesatan sejarah nasionalisme ketika pada tahun 1946 menetapkan tanggal berdirinya Budi Utomo (2 Mei 1908) sebagai tonggak hari kebangkitan nasional.

Lama sekali, 60 tahun lebih bahkan sampai saat ini, jutaan orang Indonesia tertipu dengan penglegitimasian Budi Utomo sebagai even kenegaraan yang dianggap penting. Bahkan tahun 2008 yang lalu, kecerdasan historis bangsa ini berhasil dilumpuhkan dengan dimobilisirnya dimana mana peringatan satu abad kebangkitan nasional yang tidak pernah ada itu.

Tidak kita lihat ada gerakan ataupun petisi dari sejarahwan untuk menolak atau melakukan perlawanan terhadap kekeliruan negara dalam menetapkan tonggak-tonggak penting perjalanan bangsa. Juga tidak kita lihat ada upaya kritis semacam seminar atau diskusi dari kalangan sejarahwan di universitas-universitas ternama di Jawa terhadap pembodohan historis itu. Apakah sejarahwan dari universitas-universitas ternama di Jawa itu sudah menganggap Budi Utomo memang tonggak kebangkitan nasional, sama seperti pendapat suhu mereka, Sartono Kartodirdjo, ataukah upaya kritis itu sudah dianggap tidak ada gunanya lagi?

Satu seminar di Universitas Negeri Medan yang mencoba mengkritisi “satu abad kebangkitan nasional” diselenggarakan tanggal 22 Mai 2008 menampilkan tiga pembicara, Hans Van Miert dari Belanda, Basyral Hamidi Harahap dari Jakarta dan Ichwan Azhari dari Medan. Basyral mengemukakan jauh lebih penting Indische Vereiniging dengan tokohnya Soetan Kacahyangan asal Sumatera Utara dibanding Budi Utomo. Van Miert mengakui Indische Vereniging mencakup kalangan yang lebih luas ketimbang Budi Utomo, tapi dia mencoba mengerti kenapa hari kebangkitan nasional dirujuk ke hari lahirnya Budi Utomo. Ichwan berbicara tentang dominasi negara dalam menentukan memori sehingga menutup pemain lain yang berperan dalam periode kebangkitan nasional. (Kompas, 23 Mei 2008).

Di luar Budi Utomo ada organisasi lain yang jelas membawa ide nasionalisme dan menyebarkannya. Terbesar misalnya Syarikat Islam yang perwakilannya ada di berbagai kota di Sumatera. Peran penting Syarikat Islam dibanding Budi Utomo dalam kebangkitan nasional sudah dibahas, tapi legitimasi negara lebih dulu atas Budi Utomo telah menyebabkan peran penting Syarikat Islam dalam kebangkitan nasional menjadi terpinggirkan. Masih ada organisasi lain di dalam maupun di luar negeri yang secara nyata menumbuhkan dan menyebarkan faham kebangsaan, seperti yang sering disebut, Indische Vereniging …. atau contoh organisasi kecil, Hatopan Batak di Tapanuli, Sumatera Utara yang dipimpin oleh Tuan Manullang. Model Hatopan Batak dengan Tuan Manullang ini jika dieksplorasi dengan baik akan cukup banyak ditemukan di Indonesia. Tapi kacamata kuda yang hanya melihat satu arah sejarah nasionalisme dengan Budi Utomo dan pulau Jawa sebagai poros utamanya telah menyebabkan peran dan tokoh lain terpinggirkan.

2. Mosaik Gerakan Nasionalisme
Gerakan nasionalisme yang dirujuk disini mengikuti Anderson tentang nasion sebagai sesuatu yang digagas, sesuatu yang dibayangkan. Berbeda dengan Kohn yang mengemukakan nasionalisme tumbuh dan berkembang karena adanya kemauan bersama untuk bersatu berdasarkan persamaan nasib, bahasa, dan perjalan sejarah, maka Anderson memberikan persfektif lain dimana asal-usul dan penyebaran nasionalisme dilihat dari perspektif komunitas yang dibayangkan (an immagined community) yang diciptakan secara kreatif oleh elite terpelajar yang berkenalan dengan peradaban Barat dan disebarkan melalui kapitalisme percetakan baik dalam bentuk pers, pamplet, maupun karya sastra.

Sebagai gagasan kreatif maka gerakan nasionalisme itu mula-mula berasal dari individu-individu dan bukan dari organisasi manapun. Boleh jadi, organisasi merupakan arena tempat gagasan-gagasan individual itu dikembangkan, ditentang dan dikritik, digumuli, didialogkan ataupun disepakati. Tapi esensi dari gagasan-gagasan itu tetap bermula dan dikembangkan oleh individu. Kalaupun ada media massa yang didirikan ataupun didukung oleh organisasi maka yang pertama-tama dilihat dalam media itu bukanlah gagasan-gagasan “nasion yang dibayangkan” oleh arganisasi, melainkan oleh individu-individu. Oleh karena itu tidak tepat menulusuri gerakan nasionalisme awal dengan bertumpu pada organisasi sehingga peran individu terabaikan, baik individu yang berada di dalam organisasi yang sudah dikenalkan, organisasi yang tidak dikenal luas ataupun mereka yang banyak tidak berada di dalam organisasi manapun.

Dengan dasar pemikiran ini maka gerakan nasionalisme sebenarnya menyebar dibanyak tempat, dibanyak organisasi yang sudah dikenal maupun belum dikenal, di media yang merupakan bagian dari oraganisasi ataupun media independent. Jika kita melihat sejarah pers yang muncul sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20 maka nampak gagasan itu tidak hanya menyebar di pulau Jawa, tapi juga muncul menyebar di berbagai kota dari mulai Medan, Padang, Menado ataupun Makassar untuk menyebut beberapa kota besar. Tidak hanya di kota besar tapi juga Porsea, Balige, Solok, Lubuk Sikaping ataupun Sigli untuk menyebut beberapa kota kecil atau hanya sekedar sebuah desa, yang lewat media meniupkan gagasan-gagasan “nation yang dibayangkan” kepada pembaca media itu.

Dengan demikian gerakan nasionalisme Indonesia tidak dapat ditentukan tonggaknya, tidak dapat ditetapkan organisasi atau tokoh yang melahirkannya, tidak ada tempat start dan tanggal lahirnya. Gerakan nasionalisme Indonesia adalah mozaik yang terjadi diberbagai tempat dalam berbagai gelombang waktu tanpa ada pusat, tokoh atau organisasi yang dapat diklaim sebagai pionir yang menggerakkannya.

3. Gerakan Nasionalisme di Sumatera
Sekalipun Anderson sudah menyebut pentingnya media dalam menumbuh kembangkan nasionalisme Indonesia, tapi tetap saja Anderson terjebak untuk melihat Jawa sebagai awal dari arus nasionalisme itu. Dalam pengantar buku Indonesia Dalem Api dan Bara karya Tjambuk Berduri, Anderson (2004) mengulangi kembali pentingnya media dalam pertumbuhan naionalisme awal, tapi tak satu barispun dalam tulisannya itu Anderson menyebut bahwa awal di situ harusnya adalah media yang terbit di Sumatera dan bukan koran yang diterbitkan oleh Tirto Adi Suryo bernama Medan Priyayi di tahun 1907.

Untuk mengoreksi sejarah nasionalisme juga harus dimulai dari koreksi atas sejarah pers yang juga disesatkan dari sudut pandang Jawa dimana dalam peringatan satu abad pers Indonesia negara memulainya dari surat kabar Tirto yang terbit tahun 1907. Seakan sebelum tahun 1907 belum ada surat kabar di Indonesia. Kritik dan penolakan terhadap penetapan satu abad pers di Indonesia yang dilakukan baru-baru ini penting tidak hanya untuk kepentingan sejarah pers, tapi juga sejarah nasionalisme. Tapi penolakan itu sebenarnya sudah jauh hari, sejak tahun 1976 sudah dilakukan oleh sejarahwan Medan, Mohammad Said (1976). Sejarah pers tidak bisa dilihat semata sebagai sejarah media, tapi yang lebih penting adalah sejarah pemikiran, termasuk sejarah nasion yang dibayangkan. Oleh karena itu sejarah nasionalisme dan kontribusi orang atas gagasan itu tidak dilacak pada organisasi, apalagi pada organisasi seperti Budi Utomo, tapi pada media cetak tempat dimana gagasan itu diwujudkan, dikembangkan, ditularkan kemana-mana.

Menurut Ahmat Adam (1995) di Padang sudah terbit surat kabar berbahasa Melayu pertama, Bintang Timor, pada Desember 1864. Kemudian menyusul terbit di Padang beberapa surat kabar lainnya, seperti Bintang Purnama (1872), Bentara Melajoe (1877), Palita Ketjil (1886), Pertja Barat (1890?), Sinar Minangkabau (1894?), Warta Berita (1895), Tjahaja Sumatra (1897?), dan Tapian na Oeli (1900?). Memasuki abad ke-20 makin banyak surat kabar pribumi yang terbit di Padang: Insulinde (1901), Wasir Hindia (1903), Bintang Sumatra (1903), Alam Minangkerbau (1904), Taman Hindia (1904), Sinar Sumatra (1905), Binsar Sinondang Batak (1905), Al-Imam (1906), Minangkabau (1908), Warta Hindia (1908), Bintang Tionghoa (1910), Al-Moenir (1911), Oetoesan Melajoe (1911), Soenting Melajoe, koran wanita pertama di luar Jawa (1912), Soeara Rakjat (1912), Soeara Melajoe (1913), Soeloeh Melajoe (1913), Al-Achbar (1913), Saudara Hindia (1913; terbit di Bukittingi), Extra-Maloemat (1918?),Soeara Perempoean (1919), dll.

Di Sumatera Utara juga tidak kalah ramainya penerbitan pers. Menurut Mohammad Said (1976:281), dalam kurun waktu antara 1885 sampai 1942 terdapat 143 surat kabar yang pernah terbit di Sumatera Utara. Salah seorang tokoh pergerakan kebangsaan Sumatra Utara yang tidak dikenal dalam sejarah yang ditulis dari Jakarta adalah Dja Endar Moeda. Dia muncul dari sekolah warisan Willem Iskandar di Padang Sidempuan dan tidak terpetakan masuk dalam arus gerakan nasionalisme di Jawa. Dja Endar Moeda sudah memimpin surat kabar berbahasa Indonesia bernama “Pertja Barat” sejak tahun 1892, jadi lebih dulu dari surat kabar “Medan Prijayi” yang terbit tahun 1907 di Jawa. Di samping Dja Endar Muda juga juga ada Mangaradja Salemboewe yang menjadi pemimpin redaksi Koran “Pertja Timor” yang terbit tahun 1902 di Medan.

Koran pertama di Indonesia yang berani menggunakan kata merdeka untuk nama surat kabar tidak muncul di Jawa tapi di Medan, yakni koran Benih Merdeka yang terbit tahun 1916. Koran Medan dengan direktur perusahaan Tengkoe Radja Sabaroeddin, pemimpin redaksi Mohammad Samin dan redaktur Mohamad Joenoes itu blak-blakan mempunyai motto di kepala koran Benih Merdeka : “Orgaan oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan”. Isi koran ini sarat dengan gerakan kebangsaan, nasion yang dibayangkan bahkan secara kongkrit gerakan kemerdekaan, jauh sebelum para founding father berani menyatakannya terang-terangan di media massa di pulau Jawa.

Melalui media cetak di Sumatra akan nampak salah satu mozaik gerakan nasionalisme itu tumbuh dan berkembang melalui media massa. Dapat dikatakan media massa memiliki peran sentral dan kontribusi yang besar dalam gerakan nasionalisme di berbagai daerah tanpa harus dikaitkan dengan arus nasionalisme yang di mulai dan bermuara ke Jawa. Orang dan organisasi di balik media itu tidak disebut-sebut apa lagi ditulis dengan benar dalam sejarah yang terdistorsi oleh jawasentrisme historiografi Indonesia.

-

Arsip Blog

Recent Posts