Riau, Negeri Sahibul Kitab

Oleh : Amarzan Loebis

"...kita menerima kasihlah akan surat Hikayat Sultan Abdul Muluk yang sudah sahabat kita nazamkan dengan bahasa Melayu (Johor) yaitu dengan disyairkannya atas peri yang amat kepandaian sehingga jadi kita heran tercengang daripada arif bijaksananya dan pahamnya sahabat kita."

"Maka hikayat itu kita suruh cetak atau tera serta menzahirkan dengan nama sahabat kita supaya jadi masyhur pada sebelah dunia pihak masyrik dan maghrib itu. Lagipun hendaklah kita salinkan itu pada bahasa Olandawi, supaya nama sahabat kita dengan nama kita jadi disebut orang dengan pujipujian yang patut itu adanya."

WARKAT itu ditulis Roorda van Eysinga, seorang pegawai bahasa di Batavia. Ditujukan kepada Raja Ali Haji, sebagai balasan atas surat beliau pada 6 Februari 1846. Raja Ali Haji terkagum-kagum akan kitab Taj al-Salatin yang disunting dan dicetak Roorda van Eysinga melalui proses tipografi di Batavia, pada 1827.

Karya itu dicetak dalam dua bahasa, dan Raja Ali Haji tak menemukan satu pun cacat cela dalam cetakan itu, seperti yang terjadi pada naskah serupa miliknya. Roorda van Eysinga kemudian menghadiahi Raja Ali Haji sebuah edisi Hikayat Sri Rama, yang diterbitkannya di Amsterdam pada 1843. Raja Ali Haji membalasnya dengan sebuah naskah Syair Sultan Abdul Muluk.

Adalah Medhurst, seorang misionaris Inggris, yang memperkenalkan teknologi percetakan litografi di Asia Tenggara pada 1828. Paling tidak, demikianlah yang dinukilkan Jan van der Putten dalam karangannya, Daripada Pekerjaan Hendak Mencetak, yang tersunting di dalam buku Kandil Akal di Pelantar Budi (Al-Azhar dan Elmustian Rahman, Penerbit Yayasan Kata, 2001).

Litografi, atawa teknik cap batu, relatif murah, tak memerlukan persediaan huruf. Setiap satu halaman tulis bisa langsung dicetak. Tanda baca, atau tanda-tanda lain yang "luar biasa", dapat dibuat dan dinukilkan dengan mudah. Aksara apa pun bisa dibentuk menurut keinginan pemilik, pengarang, tukang cetak, bahkan khalayak pembeli.

Mendahului berkembangnya industri percetakan litografi di Singapura, setidak-tidaknya ada tiga tempat di Nusantara yang mempunyai percetakan litografi milik orang bukan Barat. Pertama di Palembang, milik Kemas Haji Muhammad Azhari, pada periode 1848-1854. Kedua milik Husain al-Habsyi di Surabaya, 1853, yang menerbitkan buku Sharaf al-An'am. Dan yang ketiga di Pulau Penyengat, Riau Kepulauan, pada 1850-an.

Itulah pula masa bersinar bintang Raja Ali Haji sebagai pengarang. Pada 18 Maret 1856, di Penyengat dicetak sebuah lembaran berukuran besar, berisi perhitungan hari baik dan hari buruk, Saat Musytari namanya. Setahun kemudian, pada 15 April 1857, percetakan di Penyengat ini mencetak karya Raja Ali Haji, Bustanul Katibin.

Kitab mengenai tata bahasa dan penulisan bahasa Melayu dengan huruf Jawi ini beberapa kali dicetak ulang di Singapura. Di kota itu, juga di Johor, Bustanul Katibin digunakan sebagai buku pelajaran di sekolah-sekolah. Dari sisi kesastraan, adalah pakar sastra Melayu, R.O. Winstedt dan V.I. Braginski, yang menyatakan, dalam korpus susastra Melayu Klasik terdapatlah yang disebut "Riau School"-alias Aliran Riau.

Raja Ali Haji, yang lahir di Penyengat pada 1808 dan wafat di pulau itu 65 tahun kemudian, pernah dibawa ayahnya, Raja Ahmad, ke Batavia. Bersama sang ayah, ia bahkan sempat berlayar di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, dan singgah di Semarang dan Juana. Tak pelak lagi, ia pun mengamati kehidupan kecerdasan di sepanjang rantau perjalanan.

* * *
ARTINYA, dunia penerbitan Riau bukanlah sesuatu yang marak begitu saja, bak bintang kejora yang meluncur dari ketiadaan. Tak pula sekadar kejangkitan trend penerbitan buku yang menggebu di sejumlah kota di Indonesia, terutama setelah era-apa yang disebut-reformasi. Dunia penerbitan Riau tak bisa dipisahkan dari perkembangan dunia intelektual dan budaya tulis kawasan ini, katakanlah sejak awal abad ke-19.

Letak Riau yang strategis, di tepian Selat Malaka, membuat kawasan ini bersentuh-sambung dengan negeri-negeri di seberangnya, Singapura dan Semenanjung Malaya. "Ada kompetisi yang keras dalam konteks Selat," kata Al-Azhar, linguis Universitas Leiden, Belanda. "Ada pula semacam kepercayaan bahwa orang yang membaca adalah orang yang terpelajar."

Karena perangkat percetakan di Singapura lebih lengkap ketimbang fasilitas di negeri jajahan Belanda, jamak belaka jika Riau kemudian memiliki kedekatan khusus dengan negeri bandar itu. Kemudian masa berubah, dan terselip ironi di sini. Sementara di masa penjajahan usaha Raja Ali Haji dibantu oleh pemerintah kolonial, setelah kemerdekaan Riau justru merasa terpinggirkan.

Orientasi intelektual seperti harus mengikuti orientasi birokrasi dan politik, makin berpusat di Pulau Jawa. Tapi Riau, sejak semula, tak pernah mengabaikan kenusantaraan. Simaklah pantun lama Melayu ini: "Kalau roboh Kota Malaka, papan di Jawa saya tegakkan..."

"Dalam komunitas sastrawan, bagi kami tidak ada hubungan daerah-pusat," kata Al-Azhar, kelahiran Tambusai, Rokan Hulu, 44 tahun lalu."Tapi Jakarta menganggap begitu." Lalu terbitlah dahaga menerbitkan buku, bersambung dengan niat menegakkan marwah Riau sebagai salah satu pusat intelektual.

Memang, kesadaran yang paling kuat bangkit pada akhir 1970-an. Ada semacam kesadaran "keterjajahan", yang tak seluruhnya juga benar, tapi membuat orang ingin bersuara melalui tulisan, mengekspresikan pikiran dan perasaan. Pada masa itulah penyair Ibrahim Sattah menerbitkan Solarium, sebuah berkala sastra, di Tanjungpinang. Sayang, berkala ini hanya bertahan dua nomor.

Sebelum Solarium, sebetulnya Tanjungpinang sudah menerbitkan berkala sastra dan kebudayaan, Sempena namanya. Penerbitan ini bertahan hingga 1972. Setelah itu muncul Menyimak, kali ini di Pekanbaru, berkala sastra tiga-bulanan. Di sini bertemu penyair-pengarang lintas generasi: Hasan Junus, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, Fachrunnas M.A. Jabbar, Elmustian Rahman.

Menyimak tamat pada 1997, tapi tak sepenuhnya bisa dibilang begitu. Sebab, para penyair-pengarang yang sama jugalah yang kemudian menerbitkan Berdaulat, yang kini terus terbit di bawah bendera Yayasan Pusaka Riau.

Di Pekanbaru pula, Yayasan Sagang menerbitkan berkala kebudayaan Sagang pada 1998, dengan Dahlan Iskan, Rida K. Liamsi, Rustam S. Abrus, dan Tabrani Rab sebagai penyantun. Dikelola dengan cara dan dana yang lebih profesional, yayasan ini mengeluarkan Anugerah Sagang setiap tahun.

Membicarakan kepenyairan memang tak bisa dihindari dalam membincangkan semarak dunia penerbitan di Riau. Adalah para penyair, pada mulanya, yang berhasrat menggebu-gebu menerbitkan kumpulan sajak. Di sini ada semacam kepercayaan, seseorang baru dianggap sastrawan bila sudah menerbitkan buku.

"Motor penerbitan buku di Riau bukan pedagang, bukan pemilik percetakan," kata Elmustian Rahman, penggiat Unri Press. "Melainkan kalangan intelektual sendiri." Ia lalu menyebut beberapa nama yang dianggapnya berperan merintis, antara lain Ibrahim Sattah, U.U. Hamidy, dan Muchtar Ahmad.

* * *
JIKA menggunakan standar UNESCO, Riau seyogianya menerbitkan 48 judul buku per tahun. "Tapi yang kami terbitkan sudah lebih dari dua kali angka itu," kata Elmustian. Jika mengambil angka rata-rata penerbitan buku di Indonesia, yang hanya 12 judul buku untuk setiap satu juta penduduk per tahun, Riau jelas berada di depan.

Ketika mengembangkan Unri Press, Elmustian, yang juga mengajar di Universitas Riau, mendorong semua dosen menulis. "Lalu saya pinjam duit ke bank, alhamdulillah lunas dalam tiga tahun," katanya.

Pada awalnya, pada terbitan Unri Press, buku-buku kebudayaan lebih laku ketimbang, misalnya, buku ekonomi. Belakangan, situasi mulai "berimbang". Buku-buku ajar, yang ditulis oleh para dosen, mulai lancar beredar, terutama di kalangan mahasiswa.

Dalam catatan Elmustian, di sekujur Riau terdapat lebih dari 50 penerbit. Tapi sebagian besar tak tetap aktif. "Penerbitannya biasanya disesuaikan dengan kebutuhan lokal," katanya. Syaukani al-Karim, yang bersama Taufik Ikram Jamil merintis Yayasan Pusaka Riau, membenarkan konstatasi itu.

"Beberapa daerah juga melakukan penerbitan, hanya tidak terkoordinasi," kata Syaukani, yang sejak 2001 menjadi perwakilan Ikapi di Pekanbaru. Tetapi, kebutuhan lokal itu pula yang membuat ragam penerbitan buku di Riau menjadi sangat bervariasi.

Kita bisa menemukan, misalnya, buku dengan judul Celoteh Ramadhan Gaya Batam, atau Hikayat Raja Damsyik. Tapi, ada juga Kronik Kepedihan Riau Selama Bergabung dengan Indonesia, berdampingan dengan Menghadapi Persaingan Global Abad XXI dengan Pengembangan Ilmu, Industri, dan Sumber Daya Manusia yang Handal di Bidang Bioteknologi....

Rata-rata penerbit di Riau mencetak bukunya mulai dari oplah minimal 1.000 eksemplar. Buku-buku ini lalu dipasarkan lewat toko buku, dengan sedikit promosi di media massa, atau langsung menghubungi seolah-sekolah yang membutuhkan. Lalu, sampai di mana peran Ikapi dalam dunia penerbitan buku di Riau? "Hampir tak ada," kata Abdul Jalil, Direktur Unri Press, disambut tawa terbahak rekan-rekannya.

Penerbitan buku sangat mudah karena persyaratannya juga tak sulit. Karena itu pula status Ikapi di Pekanbaru tak bisa berkembang menjadi cabang, tetap saja perwakilan. "Jumlah anggotanya tak cukup untuk ditingkatkan menjadi cabang," kata Syaukani yang penyair, tanpa berkecil hati.

Pada 2003 ada kerja sama dengan Ford Foundation dalam yang disebut "Program Pustaka Regional". Program ini bekerja sama dengan Yayasan Adikarya Ikapi, dan sempat menerbitkan beberapa buku. Tetapi, selama setahun belakangan ini, program itu berhenti.

Menerbitkan adalah satu hal, dan memasarkan, tentu, merupakan hal lain. Al-Azhar mendekati masalah ini dari perspektif berhadap-hadapannya "pusat intelektual" dengan "pusat perdagangan buku". Tadinya ia mengambil Yogyakarta sebagai simbol guyubnya pertemuan dua kutub itu.

Yogya, yang terkenal sebagai kota perguruan tinggi, sekaligus dalam beberapa tahun terakhir ditengarai sebagai salah satu pusat dunia penerbitan yang bersinar-sinar. "Tapi, ketika pasar mulai dominan, pasar itu bisa jalan sendiri, tanpa menghiraukan lagi lembaga intelektual," kata Al-Azhar.

Para penerbit di Riau bukannya tak pernah menjajaki kerja sama pemasaran dengan pusat-pusat perdagangan buku di Pulau Jawa. "Tapi, berat...," kata Abdul Jalil. Ada penyalur yang minta potongan sampai 60 persen, sedangkan ongkos kirim, yang bisa mencapai 5 persen, ditanggung penerbit. "Dari sisa yang 35 persen itulah penerbit harus melakukan semua hal, termasuk royalty penulis," kata Elmustian.

Karena itu, "Sampai sekarang tidak ada orang yang menjadi kaya karena buku di Riau ini," Abdul Jalil menambahkan. Unri Press, sampai saat terakhir, baru sebatas mampu menghidupi diri sendiri, belum bisa diharapkan menjadi profit center. Begitu pula penerbit lain, seperti Yayasan Pusaka Riau.

Naskah-naskah Melayu umumnya lancar di pasar. Beberapa buku bahkan mengalami cetak ulang, misalnya Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji yang termasyhur itu, yang diberi kata pengantar oleh Hasan Junus. Begitu pula buku-buku karangan Tenas Effendy, U.U. Hamidy, dan Hasan Junus, yang mendedah susastra dan adat-istiadat Melayu Riau.

Ada juga penerbit, bahkan penulis, yang melalukan "perjuangan gerilya" sendiri, yaitu mencangking bukunya ketika, untuk keperluan lain, kebetulan bepergian ke Pulau Jawa atau ke tempat lain. Tapi bentuk "pemasaran" seperti ini tentu sangat sulit dideteksi dan dipantau hasilnya.

* * *
MAKA, tersebutlah "Gerakan Riau Membaca", yang disusun oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Riau. Sasaran gerakan ini adalah lapisan paling bawah masyarakat Riau. Seperti biasa, semboyannya tentu gegap-gempita: "Dengan pencanangan Gerakan Riau Membaca, kita tingkatkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat Riau, untuk mewujudkan SDM yang berkualitas menuju....," dan seterusnya.

Dengan atau tanpa semboyan, para penerbit dan penulis Riau masih percaya pada perhatian pemerintah memelihara semangat penerbitan di provinsi ini. "Tradisi itu sudah merupakan bagian dari kebanggaan kami," kata Rusli Zainal, Gubernur Provinsi Riau, kepada Tempo.

Rusli Zainal sendiri sebetulnya sama sekali tak asing dengan dunia tulis-menulis. Semasa duduk di bangku Fakultas Ekonomi Universitas Riau, dialah salah seorang perintis penerbitan Bahana Mahasiswa, media kampus Universitas Riau, satu di antara sangat sedikit media kampus yang tetap terbit secara berkesinambungan di Indonesia.

Gubernur berusia 48 tahun itu juga dikenal akrab dengan para pengarang dan intelektual Riau. Dia bisa tetap segar-bugar mendiskusikan serba-serbi penerbitan buku di rumah dinasnya yang terbuka di Pekanbaru, meski menjelang tengah malam. Dengan mantap, Rusli Zainal menegaskan, komitmen Pemerintah Daerah Riau terhadap dunia bacaan dan dunia intelektual di Riau tidak akan berkurang.

Tentu bukan hanya penerbit yang mengharapkan perhatian dan bantuan itu, melainkan juga berbagai lembaga yang berkhidmat bagi kemuliaan dunia penerbitan di Riau. Misalnya Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), yang sudah lama mengandung niat mendirikan semacam Perpustakaan Melayu Asia Tenggara di Riau.

Secara berangsur-angsur wawasan ini sudah dirisikkan dengan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Hubungan kedua lembaga berjalan simbai. Kitab-kitab sastra, berbagai kajian budaya dan humaniora yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, selalu dikirimkan ke Yayasan Bandar Serai. Tapi, untuk kerja sama lebih luas, ada masalah.

Dewan Bahasa dan Pustaka itu institusi pemerintah. Nah, sampai sekarang, ternyata ada peraturan dari masa pemerintahan Presiden Soekarno yang belum dicabut, yakni larangan masuknya buku-buku Malaysia ke Indonesia. Larangan ini tetap berpengaruh bila, misalnya, memasuki wilayah penerbitan buku bagi karya-karya terjemahan dari Malaysia.

Malaysia sendiri punya kepentingan terhadap Riau sebagai wilayah pemasaran. Pada 1980-an, misalnya, ada "Galeri Malaysia" di Kwitang, Jakarta Pusat, di sekitar Toko Buku Gunung Agung. Tapi tak banyak minat, sampai akhirnya tutup. "Kami bilang kepada mereka, kalian salah, tak memanfaatkan kedekatan dengan Riau," kata Al-Azhar, Ketua Harian Yayasan Bandar Serai.

Ada amsal yang menarik, bahwa Riau bisa menjadi beranda Malaysia untuk masuk ke Indonesia, dan beranda Indonesia untuk masuk ke Malaysia. Dalam dunia akademik dan penerbitan, "keberandaan" itu sebetulnya sudah menjadi wujud yang tak lagi samar. Banyak karya pengarang Riau terbit di Malaysia. Dan satu di antara pengarang senior Riau, Tenas Effendy, baru saja menerima gelar doktor kehormatan di Universiti Kebangsaan, September lalu.

Pengukuhan Tenas Effendy, agaknya, hanyalah satu bentuk pengakuan tegaknya karya kepustakaan di ranah Riau, yang sudah dirintis oleh Raja Ali Haji. Pekerjaan itu kemudian diteruskan dari generasi ke generasi, sehingga menempatkan Riau sebagai provinsi yang paling banyak menerbitkan buku di luar Pulau Jawa. Bahkan mungkin masih unggul jika dibandingkan dengan provinsi tertentu di Pulau Jawa. Riau, Negeri Sahibul Kitab itu.

Amarzan Loebis (Pekanbaru)

-

Arsip Blog

Recent Posts