Sasirangan Aspal Bikin Rusak Budaya Banjar

Banjarmasin, Kalsel - Beredar bebasnya kain sasirangan printing (cetak) tak hanya mencemaskan para perajin. Budayawan Banua juga bereaksi keras.

Salah seorang budayawan, Syamsiar Seman dengan lantang menilai peredaran sasirangan 'aspal' (asli tapi palsu) itu merusak tatanan budaya Banjar. "Terus terang saya tidak setuju. Itu merusak karena dari sisi pembuatannya bukan kerajinan tangan lagi, tetapi oleh mesin," tegas Syamsiar kepada BPost, Rabu (1/12/2010).

Menurut dia, pemerintah daerah harus segera bersikap untuk menertibkan peredaran sasirangan printing. Selain itu, menyadarkan warga Banua yang tidak mendukung pelestarian budaya Banjar. "Jelas bukan hanya prihatin, tetapi juga menolak. Orang banjar harus disadarkan untuk selalu memelihara kerajinan ciri khas banjar itu," tegasnya.

Hal senada dilontarkan budayawan, Syarifudin. Dia menegaskan kehadiran teknologi printing pasti mengancam para perajin sasirangan yang menggunakan teknologi manual.

"Sangat dilematis, memang teknologi printing sudah merambah berbagai bidang usaha. Di Jawa kain batik sudah dicetak mesin, demikian pula di Kaltim. Kalau sudah demikian, etika bisnis sudah tidak ada lagi," katanya.

Syarifudin menegaskan sasirangan adalah salah satu aset budaya Banjar sehingga harus dilindungi. Jika tidak, bisa saja generasi mendatang lebih mengenal sasirangan printing daripada sasirangan yang dibikin perajin. Apalagi hargannya lebih murah.

"Kalau ada sasirangan printing, dikhawatirkan menenggelamkan perajin. Mereka bisa lesu membuat sasirangan dan regenerasi perajin pun terhenti. Kalau itu terjadi, siapa yang akan mempertahankan budaya kita?" ujarnya.

Untuk mengantisipasi itu, Syarifudin mengusulkan adanya pertemuan antara pemerintah, pengusaha dan perajin sasirangan.

"Janganlah mengambil keputusan sendiri tapi mengabaikan seni budaya daerah dan penghidupan para perajin. Kita bicara soal budaya, bukan semata bisnis," tegas Syarifudin.

Dia pun mengungkapkan sebagian besar pelaku usaha kerajinan sasirangan asli masuk kategori pengusaha kecil menengah. Jika mereka tergerus oleh peredaran sasirangan printing, kehidupan mereka pun bakal terancam.

Sebagaimana diwartakan BPost, para perajin sasirangan dicekam kecemasan karena makin beredarnya sasirangan printing. Para pedagang --yang tidak memproduksi sendiri-- mengaku kain yang biasa disebut warga dengan istilah sasirangan China itu lebih cepat laku. Selain motifnya yang beragam, harga murah, juga lebih mudah memenuhi kebutuhan yang bersifat massal seperti pakaian seragam kerja atau sekolah.

Berdasar penelusuran koran ini, mayoritas pemasok sasirangan printing itu berasal dari Surabaya, Jatim. Secara door to door, tenaga pemasaran mereka menawarkan kepada para pedagang di berbagai pasar. Dengan membawa contoh kain, harga murah bahkan ada potongan harga, mereka mampu memikat hati para pedagang untuk membeli.

"Saya menjualnya sejak dua bulan lalu. Ada yang datang menawari dengan membawa contohnya. Harga antara Rp 35 ribu hingga Rp 65 ribu per meter," ucap seorang pedagang di Pasar Ujung Murung, Banjarmasin, H Aliansyah.

Salah seorang pemasok itu adalah Fredy dari Surabaya. Saat dihubungi BPost, dia mengaku mendatangkan sasirangan printing ke Banjarmasin karena permintaan 'pasar'. Namun, dia membantah memproduksi sasirangan dengan menggunakan mesin cetak itu.

"Semua bisa bikin sasirangan, ada yang dari Bandung. Kami tidak memproduksinya. Atas permintaan pasar juga, kemudian kami datangkan ke Banjarmasin," katanya.

Fredy yang baru dua bulan memasok sasirangan printing ke Banjarmasin ini mengaku sudah memiliki pelanggan. "Kendalanya, kami terkadang tidak bisa memenuhi permintaan dengan motif tertentu," ujarnya. (dea/has/dwi)

-

Arsip Blog

Recent Posts