Sunat Perempuan dan Tradisi Kanibalisme

Oleh Rini Kustiani dan Indra Manenda Rossi

Kenangan traumatis itu masih membekas dalam diri Sarah (bukan nama sebenarnya), 36 tahun. Usianya baru menginjak 9 tahun ketika sang ayah mengajaknya ke rumah sakit untuk menemui seorang bidan. Di ruang periksa, ia diminta duduk dan melihat ke langit-langit.

Si bidan lalu menyuntikkan obat bius, sebelum menorehkan peralatan ke celah di pangkal pahanya. Obat bius itu tak bekerja optimal. Sarah pun menjerit dan meronta. "Waduh, sakitnya bukan main," ujar wanita yang tinggal di Sawangan, Depok, itu kepada Tempo, Sabtu lalu. Berhari-hari rasa sakit itu tak kunjung sirna. Buang air kecil pun kerap kali ditahannya karena dia takut.

Begitu menginjak bangku sekolah menengah atas, Sarah mulai mencari-cari literatur tentang dasar hukum sunat. Ternyata tak ada fatwa yang cukup sahih, selain alasan tradisi. "Itu kan sama dengan kanibalisme, lalu manfaatnya apa?" katanya geram. Kini ia memutuskan tidak akan menyunat dan menindik dua anak perempuannya.

Isu soal sunat perempuan mengemuka dalam lokakarya bertajuk "Menggunakan HAM untuk Kesehatan Maternal (Ibu) dan Neonatal (Anak)" di Departemen Kesehatan, 22 September lalu. Pada acara itu, dibeberkan kembali hasil penelitian sejumlah lembaga swadaya perempuan dan internasional yang disponsori Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Penelitian tentang female genital mutilation atau sunat perempuan dilakukan selama tiga tahun, Oktober 2001-Maret 2003, di sejumlah daerah, seperti Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, Makassar, Bone, dan Maluku.

Hasilnya menunjukkan 28 persen sunat yang dilakukan di Indonesia hanya sebagai kegiatan "simbolis". Artinya, tak ada sayatan dan goresan atau cuma tusukan sedikit saja. Sisanya, 72 persen, dilakukan dengan cara-cara berbahaya, seperti sayatan, goresan, dan pemotongan sebagian ataupun seluruh ujung klitoris. Tindakan berbahaya itu 68 persen dilakukan oleh dukun atau bidan tradisional, dan hanya 32 persen dilakukan tenaga medis.

Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak pada Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Sri Hermianti, mengaku telah mengeluarkan imbauan kepada tenaga kesehatan untuk tidak melakukan medikalisasi atau tindakan memotong, mengiris, melukai, atau merusak organ genital perempuan/klitoris. Imbauan ini disampaikan melalui organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia. "Medikalisasi itu sudah masuk tindakan medis yang dilarang," ujarnya.

Namun, karena masalah ini masih sangat sensitif dan menyangkut tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat, ia mengakui tak bisa begitu saja melarang masyarakat. Dalam waktu dekat, Departemen Kesehatan akan mengadakan pembahasan serius dengan Departemen Agama, organisasi keagamaan, serta organisasi pemuka adat guna menetapkan standar prosedur sunat perempuan yang diperbolehkan secara medis dan agama.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengungkapkan, dalam mazhab Maliki dan Hambali, khitan dianggap sebagai tindakan kemuliaan asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafii, yang umumnya dirujuk masyarakat Indonesia, mewajibkan sunat perempuan. "Jadi asalkan tidak berlebihan karena malah menjadi haram dan sama dengan mengebiri," katanya.

Sebaiknya tenaga kesehatan tidak menolak jika ada keluarga yang ingin mengkhitankan bayi perempuannya. Sebab, akan lebih berisiko jika masyarakat lari ke bidan kampung yang belum tahu tata cara kebersihan dan sebagainya. Amidhan menyarankan sunat dilakukan saat anak masih bayi dan secara simbolis. Kalau anak sudah besar atau baru masuk Islam ketika sudah dewasa, kata dia, sunat tidak perlu dilakukan, "Karena bisa menimbulkan ketakutan."

-

Arsip Blog

Recent Posts