Tari Tunggal: Menari dalam Kesunyian

Diiringi Bolero karya Ravel yang mengelus telinga dan jiwa, penari Eko Supriyanto menyergap panggung kecil itu. Otot-otot punggung Eko tampak bergerak naik-turun. Tubuh Eko berputar ke arah dua sisi penonton, memperlihatkan sentakan tak terduga pada bahu, punggung, dan perutnya. "Wah, ini gymnastic," bisik seorang penonton. Padahal bekas penari Madonna ini melakukan penjelajahan terhadap bagian-bagian tubuhnya yang jarang dieksplorasi oleh tari Jawa klasik. Sesekali ia membuat gerakan kaki dansa. Eko menari sendirian. Dalam khazanah tradisi pementasan, kosakata yang lazim untuk pementasan ini adalah tari tunggal. Sebut saja gandrung Banyuwangi, topeng Cirebon, tari alusan Yogya dan Solo, sampai tari suku Dayak Kenyah di pedalaman Kutai, semuanya memiliki jenis tari tunggal. Beberapa penari modern kita, seperti Sardono W. Kusumo, Elly Luthan, Miroto, secara terpisah pernah melakukan pentas solo tari. Syahdan, di Pulau Jawa, tari tunggal modern semenjak awal diperkenalkan oleh Bagong Kussudiardjo, Gendon Humardani, dan Wisnu Wardhana. Sementara itu, di Bali pada tahun 1925, I Nyoman Maria, yang terkenal dengan nama Mario, menciptakan tari tunggal kreasi baru, kebyar duduk. "Ada juga tari wiranata, yang diciptakan I Nyoman Kaler pada tahun 1942," tutur I Made Bandem, dosen tari terkemuka. Menurut putra pasangan I Made Kredek dan Ni Made Radi ini-dua empu tari arja yang disegani-sejak itulah Bali melahirkan berbagai tari tunggal. Bandem sendiri pernah mementaskan sebuah tari tunggal berjudul A Bide with Me di New York. Tari tunggal adalah sebuah fenomena yang khas dan berkembang dalam dunia tari di Indonesia dan internasional. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa Indonesia baru pertama kali menyelenggarakan festival tari tunggal. Seorang penari sungguh diuji dalam sebuah pementasan tari tunggal. Di panggung seorang diri, penari harus tahu kekuatan dan kelemahan tubuhnya. Di situlah teknik, imajinasi ruang, dan gagasan dipertaruhkan. Dan ternyata para empu tari tradisi Indonesia adalah sederet kampiun yang menggarap ruang dengan jiwa, menimbulkan sensasi baru di balik kesederhanaan. Dalam tari klasik Jawa, jenis tari tunggalnya adalah tari klana topeng (ditarikan laki-laki), yang menggambarkan karakter Raja Sewandana jatuh cinta pada Candra Kirana. Tari golek melukiskan gadis bersolek, sementara Gatotkaca gandrung merupakan petilan dari kisah cinta Gatotkaca dalam wayang wong. Menjadi penari tangguh klana atau golek sangatlah sulit. Romo Sas (Sasmita Wardawa)-almarhum-empu tari keraton Jawa, pernah memprihatinkan bagaimana penari muda masa kini kurang menjiwai, kurang mendalami, kurang pasrah dan tenang jiwa saat mementaskan klana topeng. Menurut sang empu, penari muda masa kini mementaskan klana dengan kasar bagai prajurit, padahal seharusnya mereka harus mengeluarkan gerak yang gagah dan tenang. Bila mengekspresikan sikap gandrung (kasmaran), para penari muda cenderung brayakan (lahiriah), bukan menunjukkan kasmaran yang berwibawa. Di masa lalu, para empu tari Jawa-Rusman, misalnya-mampu mementaskan tari tunggal Gatotkaca yang unik, yang hanya bisa dilakukan oleh dirinya karena menampilkan gaya pribadi. Misalnya, saat menari tunggal, ia seakan tidak menari sendirian. Bila mengekspresikan jatuh cinta, seolah-olah ada yang dicintainya di dekatnya. Harus diingat, hidup keseharian dan dunia tari para maestro itu menjadi satu: tunggal. Mereka memahami tari bukan semata belajar gerak, tapi memburu batin. Di keraton Yogya ataupun Solo, para abdi dalem penari digaji hanya untuk menari, menari, dan menari. Dan kadang kala keindahan dibentuk lewat laku prihatin luar biasa. Tengoklah sejarah hidup almarhum maestro topeng Cirebon, Sawitri. Begitu menapak panggung, penonton segera merasakan getarannya. Saat tubuhnya bergerak, ia mengekspresikan sesuatu yang liris dan mengharukan. Perempuan perkasa itu tidak tenggelam dalam ruang atau musik. Orang Bali menyebut aura semacam itu sebagai "taksu"; orang Jawa menyebutnya "prabawa". Perhatikan sebagian empu yang masih hidup: Ibu Tarwo Sumosutragio, 69 tahun, abdi dalem yang hingga kini melatih tari di Mangkunegaran, atau Ibu Rasinah, 66 tahun, dari Indramayu, yang masih mau tampil keliling di SMA Jakarta. Atau I Made Sija, 69 tahun, penari topeng dari Desa Bona, dan Ida Wayan Padang, 89 tahun, maestro Gambuh dari Karang Asem. Menjelang senja usia, karisma mereka masih tergurat. Menari-seperti yang biasa dikatakan di Bali-adalah suatu ngayah, pengabdian pada yang suci. Tentu saja Festival Tari Tunggal ini tidak berpretensi untuk bisa mengeluarkan pancaran sukma seperti itu. Rata-rata keterampilan teknik penari tinggi, tapi selama lebih-kurang 25 menit itu gagap saat menuangkan idenya secara ruang. Toh, beberapa penari tampak berusaha berjuang mencari. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa tradisi tari Indonesia memang sangat kaya untuk dijelajahi. Bahkan elemen sederhana, seperti gerak pergelangan tangan dalam tari klasik Jawa yang disebut ukel-ukel, bisa menimbulkan koreografi cerdas. Beberapa tahun lalu pernah Miroto, penari Yogya, mementaskan dua tari tunggal yang masing-masing berdurasi tujuh menit berjudul Incarnation dan Penumbra. Incarnation berangkat dari posisi pergelangan tangan-tumpang tali pada tari Solo. Miroto membuat improvisasi volumenya. Pergelangan tangan diputar membuat lingkaran kecil dan besar. Lalu, pada Penumbra, ada gerak sederhana karakter penari putri jathilan sebelum trance. Di panggung, Miroto berulang-ulang ritmis seolah menunggang kuda kepang. Itu sangat cantik. Mugiyono adalah penari asal Klaten yang mampu menggali gerak dengan intens. Ia kembali menyusuri relief-relief yang ada di berbagai candi di Jawa Tengah-Sukuh, Cetho, Borobudur, dan Prambanan-untuk mempelajari berbagai bentuk torso penari yang terpahat di situ. Di Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, terdapat relief-relief yang mengisahkan perkembangan tari Jawa. "Di dua candi itu memang kita bisa melihat perkembangan sejarah sikap tubuh tari Jawa, yang mulanya sangat klasik India tapi kemudian terkena pengaruh gerak lokal," tutur Edi Sedyawati, arkeolog yang juga dikenal sebagai penari alusan, yang memberikan penjelasan dasar bagi pencarian Mugiyono. Eko Supriyanto, penari asal Magelang, pernah mempelajari pencak silat di masa kecilnya. Penari yang pernah bergabung dengan penyanyi akbar Madonna itu kini tengah melatih bagian-bagian tubuh yang jarang dieksplorasi tarian klasik Jawa. Di Jawa, lazimnya bagian pinggul ke bawah penari perempuan dan bagian punggung dan dada penari lelaki jarang dieksplorasi karena dianggap tabu dan tak pantas bagi keanggunan priayi. "Saya pernah menyaksikan di Pendopo Mangkunegaran empu tari Ngaliman menarikan tari tunggal klasik pamungkas, tapi saya sengaja menonton dari belakang. Ternyata gerakan punggungnya luar biasa." Ia menganggap banyak elemen tak terduga bisa digali dari torso klasik. Dalam pengamatan Eko, pola-pola gerak tangan di Jawa selalu difungsikan untuk membuat garis atau lengkungan. Garis itu seperti banyu mili alias air mengalir. Karena itu, Eko mencoba melatih aliran tertahan, dengan sentakan-sentakan bergereget. Anehnya, beberapa teman melihat gerakannya cenderung ngepop. "Saya tak peduli," katanya menanggapi komentar rekan-rekannya. Penjelajahan yang dilakukan para penari tunggal bukan hanya gerak, tapi juga perspektif ruang. Berangkat dari dasar tari klasik, mereka sadar bahwa koreografi yang berasal dari keraton, seperti bedoyo, sangat terpengaruh oleh ruang arsitektur tertentu, yaitu pendapa. Lazimnya, tari klasik mementingkan posisi ketika penari harus menghadap raja, tidak boleh membelakanginya. Itu membuat prinsip-prinsip klasik sesungguhnya diperuntukkan bagi perspektif satu visi mata, yang kurang leluasa bila ditampilkan di panggung berbentuk arena yang melingkar. Hal itu membuat Mugiyono mempelajari konsep tubuh pipih, seperti wayang kulit yang bisa dipandang dua dimensi. Bila menari sembari mengenakan topeng, Mugiyono yang bertubuh lencir ini dengan sadar memposisikan tubuhnya agak miring, mengeksplorasi gesture serong, sehingga dua sisi penonton dapat melihat detail tubuhnya. Akan halnya Eko, ia sadar betul bahwa kecenderungan penari Jawa adalah dada flat ke depan. Sikap klasik torso Jawa adalah, tari harus dilakukan tegak lurus tanpa ada tegangan terhadap bahu. Sikap torso demikian dikenakan juga pada waktu penari berdiri ataupun duduk. Eko suka mengutip diktum tari post-modern bahwa jarak satu sentimeter dari tubuh pun sudah merupakan ruang yang lain. Maka, dia kini aktif melatih gerak dengan arahan multidimensional, berputar tidak satu arah. Eko Supriyanto dan Mugiyono adalah sedikit di antara penari muda yang kita aktif di berbagai festival tari internasional. Mereka bertemu dengan berbagai karakter penari asing, menakar, mengenali kelemahan dan kekuatan gerak antigravitasi ala penari balet, hingga gerak menekuk, mengerut, terhisap ke tanah seperti pada Butoh. Menurut para kritikus tari, seorang koreografer yang baik harus memiliki keingintahuan yang besar tentang tubuh manusia, dan itu tak terbatas pada tubuhnya sendiri, tetapi juga tubuh orang-orang lain yang beraneka ragam. Dengar pengalaman Eko Supriyanto, yang bergabung dalam kelas koreografi penari Victoria Mark. Ia diminta membayangkan menari di atas bahan yang selalu bergelombang. "Selama dua bulan, saya pusing sampai muntah-muntah terus," demikian ia mengenang. Sebelumnya ia terpola dengan kondisi tubuh yang selalu flat. Akhirnya, ia tak memaksa dirinya dan perlahan-lahan mengatur tempo yang cocok dengan kebutuhan tubuhnya. Bagaimana dengan gagasan dalam koreografi tari tunggal Indonesia? Konon, kita dianggap miskin gagasan. Itulah sebabnya penari seperti Setyastuti dari Yogya membawa burung atau anak-anak ayam ke pentas, untuk kesegaran penampilan. Pernah dalam tari tunggalnya berjudul Voice of the Mother, dosen Institut Seni Indonesia, Yogya, ini membawa bayinya yang masih berusia beberapa bulan ke panggung. Di atas panggung, ia menyusui bayinya. Gerakan itu mengagetkan penonton. "Wah, selepas pentas, banyak yang kepingin jadi bayinya, ha-ha-ha," kata Setyastuti, bercanda. Toh, gagasan yang berhasil justru adalah gagasan sederhana tapi didukung oleh keterampilan tubuh dan bukan hanya semacam sensasi mata belaka. Di panggung Graha Bakti Budaya yang luas, keelokan perpaduan gagasan dan tubuh semacam itu pernah terjadi. Sayangnya, itu ditampilkan penari mancanegara seperto Katzuo Ohno dari Jepang dan Henrietta Horn. Ohno, saat itu 89 tahun, dengan tubuh kerut-merut berbalur pupur putih, memperlihatkan metamorfosis tubuhnya menjelma menjadi pelbagai sosok perempuan dan laki-laki. Akan halnya Henrietta Horn, ia duduk di sebuah kursi kayu sederhana, lalu berselonjor. Berdiri, kembali duduk. Ia menggali kemungkinan duduk di kursi dengan gerak sehari-hari. Tapi kemudian bayang-bayang kursi membesar di dinding belakang, sementara Horn menjadi bagian dari sebuah kursi. Sungguh perubahan yang mengejutkan penonton. Harus diakui, sajian kedua penari internasional itu luar biasa. Di situ teknik, gagasan, keindahan visualisasi bentuk, dan rasa kedalaman menggedor secara bersamaan. Kenapa tari tunggal modern kita belum memiliki pencapaian seperti itu? Tantangan tari tunggal modern kita adalah menggali dengan intens unsur-unsur lain tradisi; membuat kejutan visual sekaligus tak melupakan kedalaman batin. Lapangan tradisi sesungguhnya menyediakan diri untuk idiom-idiom yang selalu bernas dengan perkembangan zaman. "Kekurangan kita semestinya bisa menjadi kekayaan," komentar seorang penonton setelah menyaksikan keseluruhan festival. Ia percaya, dengan bertumpu pada pengolahan tubuh belaka, tidak dengan bantuan manipulasi teknologi yang canggih-canggih, tubuh tunggal penari kita sesungguhnya-bahkan dalam kesunyian pun-masih memiliki getar yang mempesona. Seno Joko Suyono (Jakarta), Syaiful Amin, Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

-

Arsip Blog

Recent Posts