Transformasi dan Rekayasa Budaya di Banua Banjar dalam Perspektif Sejarah

Oleh MZ Arifin Anis

Pendahuluan
Perubahan merupakan suatu keharusan dalam hidup manusia, begitu kata orang bijak. Dalam kajian ilmu sosial dan humaniora kata pengiring dari perubahan begitu beragam. Katakan saja, perubahan sosial, perubahan politik, perubahan tingkah laku, dan perubahan budaya, terkadang tertulis juga kata transformasi seperti transformasi sosial, transformasi politik dan transformasi budaya. Mungkin kita menduga, bahwa ada kesamaan arti dari kata perubahan dan kata transformasi. Bisa jadi kata perubahan dan transformasi masing-masing mempunyai definisi sendiri. Saya teringat almarhum Umar Kayam dalam orasi ilmiahnya, ia berpendapat bahwa transformasi diandaikannya sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi ini dapat dibayangkan melalui suatu proses bertahap dan panjang tetapi dapat pula sebagai suatu titik balik yang sangat cepat, begitulah kata Umar Kayam.

Kayam juga memberikan contoh model transformasi dialektika Hegel dan Marx. Hematnya, proses dialektika Hegel adalah dialektika spritual yang diilhami oleh spirit untuk mencapai titik transformasi akhir dari “Sang Spirit” yang absolut, sedangkan Marx, sang murid Hegel, membayangkan, transformasi untuk mencapai masyarakat tanpa kelas yang ajeg harus melalui suatu pertentangan kelas yang berebut penguasaan alat produksi. Selain Hegel dan Marx, Kayam juga mengusung tipe idealnya dari Marx Weber. Bagi Weber, untuk memahami transformasi masyarakat kapitalis, kita tidak perlu memahaminya sebagai suatu sintesa, tesa, atau antitesa, melainkan memahaminya melalui tipe ideal yang sengaja diciptakan sebagai suatu model dan paradigma.

Pandangan di atas tentang transformasi yang dikutip dari Umar Kayam semakin dipahami ketika saya membaca sebuah tulisan tentang perubahan kebudayaan dari almarhum Kuntowijoyo. Hematnya, perubahan kebudayaan yang secara alami disebut transformasi, sedangkan perubahan yang dibuat (artifisial) disebut rekayasa. Merujuk pandangan dari Kuntowijoyo tentang perubahan kebudayaan, maka dalam tulisan ini akan memuat transformasi dan rekayasa budaya yang terjadi di Banua kita dalam kacamata sejarah.

Transformasi Jawa
Membaca Hikayat Banjar (HB) akan memberikan informasi tentang siapa yang menjadi agen perubahan di Banua. Kedatangan rombongan Empu Jatmika mengisyaratkan muasal terjadinya dialog budaya lokal dan Jawa. Rombongan Emput Jatmika dengan membawa budayanya membenarkan bahwa kebudayaan dapat dipengaruhi faktor proksimitas (kedekatan geografis). Dalam konteks tulisan ini bahwa Empu Jatmika, yang merupakan salah seorang dari nenek moyang kita, begitu cerdik menentukan pilihan dalam memanfaatkan geografis untuk perjalanan sebaran budayanya. Tidak diketahui dengan bahasa apa mereka berkomunikasi dengan penduduk lokal, faktanya terjadi keluwesan dalam berkomunikasi. Begitu juga masyarakat lokal dengan kelenturan bersikapnya mampu membangun komunikasi budaya dengan cerdik.

Proses dialog budaya antara Jawa dan lokal dibangun melalui simbol terbentuknya Negara Dipa, perkawinan putri Junjung Bui dengan Pangeran Suryanata, candi agung, pakaian, regalia-regalia, dan gelar-gelar. Simbol-simbol itu menerangkan penerimaan masyarakat lokal untuk melakukan dialog budaya yang didalamnya terdapat dialog agama nenek moyang lokal dengan Hindu-Budha Jawa, dan diterimanya ideom-ideom budaya Jawa dengan cantik. Dalam arti lain bahwa bukan terjadi proses Jawanisasi, melainkan pra-Banjarisasi atau dalam konteks yang lebih jauh adalah proses Indonisasi.

Mari kita simak cerita dibalik kedatangan Empu Jatmika dengan rombongannya dan perkawinan Putri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata. Keberadaan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata tidak dapat dilacak secara emperik melainkan melalui suatu mitos. Ilmu pengetahuan tentang mitos disebut mitologi. Melalui mitologi diperoleh suatu kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada beragam kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup.

Katakan saja, kedatangan Empu Jatmika ke area Kalimantan Selatan telah memperkenalkan ke penduduk lokal tentang sebuah negara dengan perangkatnya. Sebuah negara tentunya memerlukan tetangga dan akhirnya negara baru itu mampu membangun jaringan relasi dengan negara lain. Dalam sisi lain, Empu Jatmika menyadari bahwa dirinya ditakdirkan bukan untuk menjadi raja, ditambah ia bukan penduduk asli dan tentunya tidak berhak atas tahta yang dibangunnya sendiri. Empu Jatmika hanya memposisikan diri sebagai raja sementara, sampai penduduk asli yang dianggap mempunyai kapasitas sebagai pemimpin ditemukannya. Akhirnya kita ketahui, penduduk lokal itu bernama Putri Junjung Buih, kelak ia menikah dengan Pangeran Suryanata, seorang pangeran yang berasal dari Jawa.

Cerita di atas mengisyaratkan akan penerimaan kenyataan tentang merembesnya peradaban Jawa dan bersiap berdialog dengan budaya lokal. Katakan saja penafsiran warna kuning. Warna kuning di Banjar dianggap memiliki unsur magis yang dekat dengan kata keramat. Pemaknaan keramat dari warna kuning dapat dilacak dari mitos tentang munculnya Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata. Diceritakan, ketika Putri Junjung Buih muncul dari buih air, ia memakai kain sutera kuning, baju kuning, berkemben warna kuning dan berkerudung warna kuning. Begitu juga ketika Pangeran Suryanata untuk pertama kali menampakkan dirinya pada alam nyata dengan memakai kain sutera berwarna kuning. Seperti kita ketahui, Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata merupakan tokoh yang diyakini sebagai manusia super human yang dimunculkan di bumi untuk menjadi raja. Warna kuning di Kalimantan Selatan sampai saat ini oleh sebagian besar masyarakat Banjar dianggap sebagai warna yang keramat.

Pernikahan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata apabila dicermati merupakan suatu refleksi kemenduaan yang selalu beroposisi dalam keyakinan agama lokal (primordial). Dalam agama lokal di Indonesia, secara insani Tuhan diyakini keberadaannya, akan tetapi manusia tidak dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Keberadaan Tuhan dapat ditangkap melalui gejala alam yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, misalnya langit dan bumi, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Manusia berada di bawah yang mereka akrabi, sedangkan di atas ada langit beserta isinya mereka tidak kenal dan mistrius. Dan akhirnya, muncul konsep dualisme keberadaan, langit sebagai dunia atas yang absolut dan tidak dikenal, sedangkan bumi adalah dunia bawah yang mereka akrabi dan memberikan rona kehidupan bagi manusia.

Pola relasi kesatuan bagi masyarakat pra sejarah di Indonesia dapat digapai melalui dua cara, yaitu peperangan dan perkawinan. Dampak peperangan adalah kematian ke dua belah pihak yang berseteru, akan tetapi akan muncul kehidupan yang baru. Sementara perkawinan dunia atas dan bawah (manusia) akan memunculkan keberagaman ciptaan yang berguna bagi manusia. Perkawinan dalam konsep di atas tampaknya dapat menjelaskan tentang makna di balik pernikahan Pangeran Suryanata, yang berarti raja dari segala raja matahari, dengan Putri Junjung Buih, yang berarti putri bunga berasal dari air yang dijadikan raja.

Di dalam agama Kaharingan diyakini bahwa alam atas dikuasai oleh Tuhan yang mempunyai empat nama yang salah satu namanya adalah Bungai atau Tinggang yang merupakan nama burung sakti berkelamin jantan, sedangkan sebagai penguasa alam bawah nama Tuhan disebut sebagai Bawin Jata Balawang yang berarti wanita Jata berpintukan permata. Dalam kata lain, perkawinan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata adalah suatu penyatuan antara dunia atas dan bawah yang akan membawa keharmonisan dan keselamatan sampai jauh ke generasi berikutnya. Sisi lain lagi, dapat dikatakan bahwa pernikahan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih adalah simbol suatu proses dialektika antara agama lokal dengan agama Hindu.

Pernikahan ini juga merupakan bagaimana arifnya nenek moyang kita menginformasikan masuk dan diterimanya peradaban Jawa dengan elok. Tidak mengherankan ideom jawa dapat ditemukan di Banua kita. Sebut saja kata ulun yang dalam bahasa Jawa kuno adalah pikulun untuk menyebut para dewa. AA Cence juga menuliskan, Negara Dipa dan Daha memiliki pusaka-pusaka yang berasal dari Jawa (Majapahit), yaitu: mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama si Rambut Peradah, canang bernama si Macan Papatuk, tombak bernama si Panutus, dan keris bernama si Masagirang dan Jokopiturun. Rees menambahkan, pusaka lain yang dimiliki istana yaitu: singgasana emas, payung kerajaan, beberapa keris di antaranya bernama Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut emas dan gagangnya bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak, kain langgundi, beberapa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak, serta seperangkat gamelan. Begitu juga nama-nama dan gelar para aparat yang menduduki fungsi-fungsi tertentu dalam birokrasi Negara Dipa dan Daha merupakan pengaruh dari Jawa (Majapahit) sehingga terdapat kesamaan.

Penerimaan ideom Jawa itu diperkuat dalam HB yang menganjurkan untuk menuruti adatnya orang Jawa. Akan tetapi, kata menuruti di sini jangan disamakan dengan penjiplakan atau plagiator, sebab dialog budaya berbeda dengan relasi kekuasaan yang dikontruksi sebagai penguasa dan yang dikuasai, melainkan kesetaraan budaya dari peserta dialog. Katakan saja, keberadaan Candi Agung yang Hindu dan Candi Laras yang Budha merupakan contoh nyata tentang bagaimana lokal dengan kearifannya membelai peradaban dari Jawa.

Proses Banjarisasi masih berlanjut ketika agama Islam yang dibawa oleh Khatib Dayan pada abad XVI masuk ke Banua kita. Dalam HB disebutkan, Khatib Dayan memimpin serdadu Jawa datang ke Kalimantan Selatan. Kembali kita coba merenungkan tentang ini, informasi ini bisa ditafsirkan bahwa budaya Jawa datang ke Kalimantan Selatan dengan paksaan. Apabila tafsiran ini diyakini, maka tidak terjadi proses dialog budaya dan tidak terjadi proses Indonisasi. Tetapi informasi yang diberikan oleh HB, kita tafsirkan berbeda dengan yang saya sebutkan, maka cerita akan lebih cantik. Bukankah kata Khatib adalah sebutan untuk sebutan para guru? Dalam arti lain, bahwa Guru Dayan datang ke Kalimantan Selatan diiringi oleh guru-guru agama Islam lainnya untuk mengajarkan agama Islam di Kalimantan Selatan. Dalam arti lain, Khatib Dayan bukan seorang panglima perang, sebab dalam tradisi Jawa pemimpin perang harus bergelar Temanggung dengan memakai kata Yuda. Misalnya Temanggung Wirayuda atau Sarayuda. Hal ini berarti, masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan bukan oleh suatu ekspedisi militer, melainkan disebarkan oleh para guru-guru agama Islam. Ini yang disebut sebagai suatu transformasi.

Kemudian transformasi dalam skala besar terjadi, ketika Pangeran Samudra memenangkan perang tanding melawan sang paman bernama Pangeran Temanggung. Perang tanding ini apabila diteropong dari agama lokal merupakan pola relasi dari kesatuan bahwa kehidupan baru akan muncul setelah melalui jalan peperangan. Pilihan duel oleh kedua tokoh sejarah juga menarik untuk disimak. Menurut Anthony Reid, orang Asia Tenggara, khususnya orang Indonesia, banyak memiliki reputasi dalam keberanian individual. Tujuan peperangan bagi orang Indonesia adalah untuk meningkatkan jumlah tenaga manusia bukan untuk membuang nyawa dengan sia-sia dalam suatu peperangan. Perang tanding yang digelar oleh kedua tokoh itu merupakan bagian dari ritus dan persiapan fisik bagi si pemenang untuk menjadi pemimpin yang diberkati oleh Tuhan.

Pascakemenangannya, Raden Samudra memindahkan penduduk Daha ke Banjarmasin. Perpindahan ini merupakan manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut jumlah penduduk dan pengukuhannya Raden Samudra sebagai pemimpin mereka yang baru. Pembauran penduduk di Banjarmasin yang terdiri dari orang Daha, Melayu, Dayak, dan Jawa pada dasarnya merupakan suatu gambaran tentang bersatunya beragam kelompok manusia menjadi suatu kelompok masyarakat yang baru yaitu. Orang Banjar.

Ketika Raden Samudra ditasbihkan untuk menjadi sultan pertama di Kesultanan Banjarmasin dan Islam dijadikan sebagai agama negara maka babakan Banjarisasi mulai terbangun. Fenomena ini memperlihatkan, seperti kata Kuntowijyo, bahwa Islam telah membentuk civic culture atau budaya bernegara, solidaritas, kontrol sosial, dan ideologi jihad. Budaya bernegara yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dapat dilacak keberadaannya di Kesultanan Banjar, yaitu berlakunya Undang-Undang Sultan Adam. Membincangkan solidaritas masyarakat Banjar tentunya muaranya berada pada konsep bubuhan sebagai suatu ikatan sosial. Ikatan bubuhan sebagai wadah kekeluargaan yang luas tampaknya lebih mengedepankan ikatan kekerabatan dan sifatnya sangat terbuka bagi seseorang untuk masuk ke dalam bubuhan ini. Fungsi dari bubuhan adalah memberikan rasa aman, baik fisik maupun non fisik, bagi anggotanya.

Barakatan (kebersamaan) menjadi pilar penopang dari bangunan suatu bubuhan. Barakatan dapat dianalogikan dengan prinsip equality. Akan tetapi, kebersamaan tidak melulu bersifat profan melainkan ruhnya menetes dan merembes menghujam jantung sanubari yang kemudian direfleksikan ke dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial yang oleh para pakar ilmu sosial disebut folkways. Adapun ideologi jihad kelak muncul pada gerakan sosial-gerakan sosial yang menjadi bagian dari Perang Banjarmasin yang berakhir pada awal abad XX.

Kembali pada awal diskusi tentang Islam, akhirnya agama Islam dijadikan pedoman bagi kehidupan oleh orang Banjar dan memunculkan sekaligus mengentalkan identitas Banjar. Identitas Banjar muncul dan ada dalam suatu interaksi sebagai pembeda atau penanda dengan golongan sosial lainnya. Interaksi itu semakin nampak ketika Kesultanan Banjarmasin dan masyarakat baru, yaitu masyarakat Banjar yang mobile dengan budaya pesisirnya, semakin eksis dalam dunia perdagangan internasional. Sebagai masyarakat baru yang mobilitas tinggi dengan basis ekonominya dari perdagangan, Banjarmasin sebagai kota bandar mulai didatangi oleh beragam suku bangsa maupun bangsa dari luar nusantara. Cina, Arab, Parsi, bahkan Eropa singgah di kota ini dan menjadikannya sebagai kota kosmopolit. Kehadiran mereka dengan membawa budayanya masing-masing memperkaya wacana masyarakat Banjar yang baru ini. Bagaimana orang Cina diterima oleh masyarakat Banjar, sampai sekarang masih dapat kita lihat. Katakan saja, hubungan orang Cina dan masyarakat Banjar tidak pernah ditandai dengan konflik seperti kebanyakan di daerah Jawa pada beberapa tahun ke belakang. Padahal dalam catatan sejarah seperti yang dikumpulkan oleh Slamet Mulyana yang kemudian tidak terlalu disalahkan oleh Denys Lombard, bahwa ada hubungan yang harmonis antara orang jawa dengan orang Cina, bahkan banyak juga Orang Cina menjadi penyebar agama Islam.

Kita kembali ke tanah Banjar, tidak jarang wanita-wanita Cina menikah dengan orang Banjar dan akhirnya memeluk agama Islam. Bahkan makanan yang merupakan bagian dari budaya Cina, yaitu mie baso, pada masa ini telah merambah ke seluruh pelosok walaupun penjualnya bukan Orang Cina melainkan penduduk lokal. Menarik untuk disimak tentang pakaian. Pakaian tidak hanya dilihat dari fungsinya sebagai penutup tubuh. Dalam pakaian terdapat ekspresi identitas pemakainya. Apabila kita mencermati gambar orang dahulu, maka yang tampak adalah seseorang memakai kain persegi panjang yang dililitkan untuk menutupi sekitar bagian bawah tubuh, baik kaum pria maupun wanitanya. Status si pemakainya akan tampak dari kualitas bahan kain yang dipakainya, corak dan perhiasan yang menjadi penyertanya. Sukar bagi saya untuk menarasikan pakaian orang Banjar dahulu. Sebagai analogi saya kutip perjalanan Francois de Vitre ke Aceh pada abad XVII, ia menceritakan bahwa kaum bangsawan dan pedagang menggunakan katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut dengan lengan yang juga lebar dan terbuka di bagian depan. Kaum wanita umumnya menggunakan kain katun dari pinggang hingga lutut dan sepotong kain lain untuk bagian dada hingga pinggang.

Pemberitaan Francois di atas, memberi keterangan bahwa pakaian di Indonesia sudah mulai berkembang. Perkembangan pakaian dapat ditelusuri dari tulisan Jean Gelman Taylor. Jean berujar, bahwa sejak abad XIII pakaian laki-laki maupun perempuan telah berkembang dengan cara yang berbeda dari mulai bahan sampai warna-warna yang dianggap serasi sesuai dengan jenis kelaminnya. Pakaian pria berkembang untuk menutupi lekuk tubuh tanpa harus membatasi gerakannya dengan warna yang lebih sederhana, kebalikannya pakaian perempuan yang terus-menerus berkreasi untuk menciptakan keindahan dengan warna-warna yang menyolok walaupun harus membatasi gerak fisiknya. Penceritaan Francois dan pendapat Jean dapat dipakai untuk menjelaskan perkembangan pakaian dari zaman Junjung Buih dan perkembangan Negara Dipa sebagai sebuah kerajaan yang membangun relasi antar negara. Contoh kongkrit tentang pakaian lilitan kain yang digunakan perempuan Banjar sekitar abad XIII, sisanya masih terefleksikan pada masa sekarang yaitu busana pernikahan wanita Banjar.

Di atas telah diwartakan bahwa agama Islam telah membangun civic culture dalam Kesultanan Banjar. Katakan saja, dalam ajaran Islam telah diputuskan tentang apa yang boleh dipakai dan yang tidak boleh. Pemakaian pakaian muslim pada masa zaman kesultanan masih banyak kita jumpai pada masa kekinian. Pakaian muslim kaum pria, baik masa kesultanan maupun kekinian, pada dasarnya meniru pakaian Arab. Dalam fakta sejarah, pakaian muslim, yaitu jubah panjang berwarna putih dan sorban di kepala selalu dipakai oleh pemuka-pemuka perlawanan terhadap pemerintahan kolonial pada babakan Perang Banjar dalam abad XIX. Contoh serupa dari luar Banjar adalah busana Pangeran Diponogoro, Kyai Mojo, Sentot dari Jawan, Imam Bonjol, dan kaum wahabi lainnya dari tanah Minangkabau, Tengku Umar, Teuku Cik Di Tiro dari Aceh, dan aktivis-aktivis para Kiai dari tatar Sunda dalam memimpin gerakan sosial. Seperti yang digambarkan oleh Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya memperkuat anggapan busana Islam gaya Arab dapat disamakan dengan pakaian perang Islam.

Terkadang orang Belanda ataupun orang awam pada masa kekinian mencitrakan pakaian muslim identik dengan ketaatan beragama ataupun simbol pertentangan terhadap keputusan yang terlalu bersifat keduniawian. Menarik disimak, pada masyarakat Banjar, baik yang berada di Banjarmasin, Martapura, dan wilayah Hulu Sungai, banyak kita temukan orang berpakaian jubah ke Islaman atau ke-Araban, akan tetapi pemakainya tidak dapat kita identikan dengan pemeluk agama Islam radikal seperti kebanyakan yang terjadi di Jawa. Atau pakaian Islam model ini diidentikan dengan kebangkitan Islam seperti yang digalaukan oleh banyak negara di Eropa Barat maupun Amerika. Pada masa kekinian, pakaian muslim tidak melulu seperti pakaian jubah Arab, akan tetapi memakai sarung, ataupun celana dengan bajunya teluk belangga ataupun baju kokonya. Baju gamis koko merupakan fenomena yang menarik juga. Sebab koko adalah sebutan kaka untuk orang Cina. Dalam kata lain, baju gamis yang populer juga diadopsi dari pakaian orang Cina.

Dialog Islam dan budaya Banjar juga terlihat pada seni ukir yang banyak menghiasi rumah-rumah Banjar. Dalam agama Islam tampaknya ada pelarangan untuk menggambarkan makhluk-makhluk hidup, khususnya binatang. Pelarangan itu tidak membuat seniman ukir Banjar mandeg tanpa bisa berkreasi. Lingkungan flora berbentuk buah, bunga, sulur dan batang di sekitarnya mengilhami seniman ukir Banjar untuk berkarya. Perenungan pencarian alternatif untuk berkarya sesuai dengan anjuran agama dilakukan dan ditemukan jalan keluarnya. Pada akhirnya para seniman ukir Banjar mampu berkarya untuk membangun seni ukir dan seni khias. Katakan saja nama-nama seperti sungkul tiang tangga, tatah kandang rasi, tatah tataban, tatah tawing halat, tatah atas lalongkang, dan tanah sampayan.

Transformasi budaya di Banjar dengan Jawa masih terus berlanjut. Bahkan De Graaf menyebut bahwa budaya Melayu yang dekat dengan Jawa adalah budaya Banjar. Katakan saja, gelar-gelar yang dipakai oleh sultan-sultan Banjar merupakan contoh yang tampak karena tertulis dalam laporan-laporan kolonial, yaitu sultan, susuhunan, panembahan, dan khalifah merupakan contoh dari persoalan itu.

Transformasi Pendidikan
Transformasi pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan formal, maupun secara informal melalui beragam bentuk komunikasi sosial, begitulah kata almarhum Kuntowijoyo. Kita mulai dari seorang intelektual Banjar yang hidup pada akhir abad XVIII dan awal abad XX, yaitu Syeh Arsyad Al Banjari. Saya merasa perlu mengetengahkan intelektual ini, karena ia berperan paling depan sebagai pionir dalam membangun pembentukan sistem pengetahuan masyarakat Banjar.

Mohamad Arsyad dari kecil sudah masyhur kecerdasannya sehingga Sultan pada masa itu merasa perlu untuk menyekolahkannya ke Mekkah. Pengiriman studi Mohamad Arsyad merupakan contoh betapa pedulinya penguasa pada dunia pendidikan. Di akhir masa studinya, Syekh Arsyad Al Banjari, ia diberikan izin untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketika kembali ke Banjarmasin pada 1773, Sultan sangat menghargai keintelektualannya, ia tidak dipaksa untuk menuruti kerangka sosial budaya keraton, tetapi malah diberikan wewenang dan diakui hak-hak pribadinya. Contoh penghargaan Sultan terhadap keintelektualaannya, Sultan tidak marah ketika Mohamad Arsyad Al Banjari mengeluarkan fatwa tentang pertanyaan apakah Sultan berhak menghukum orang yang tidak sembahyang Jumat dengan pembayaran denda kepadanya. Selain itu, Syekh Arsyad Al Banjari menyumbang pikiran dan membentuk jabatan mufti dalam struktur kepegawaian Kesultanan Banjar. Syech Mohamad Arsyad Al Banjari banyak menulis buku, salah satu karyanya yang monomental adalah kitab Sabilal Muhtadin.

Keintelektualan Syekh Arsyad Al Banjari tidak melulu dalam bidang keagamaan, persoalan di luar keagamaan pun ia mumpuni. Misalnya, ketika ia membangun sebuah kampung baru di areal tanah kosong jauh dari keraton yang sekarang dikenal dengan sebutan dalam Pagar. Ia juga menggali saluran air baru (kanal) berfungsi sebagai irigrasi untuk kepentingan pertanian. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama Kampung Sungai Tuan yang juga dijadikan tempat pendidikan agama Islam dengan model sorongan. Kampung Sungai Tuan yang dibangun oleh Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari mengisyaratkan bahwa transformasi pendidikan yang dialaminya menghasilkan kearifan aktual. Katakan saja, dalam sosok Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari memancarkan sesosok ulama yang sangat diperlukan baik oleh kesultanan maupun oleh rakyat. Kampung Sungai Tuan juga merupakan refleksi dari pembentukan sosok budaya Banjar Islam yang egaliter.

Pada awal Abad XX, semangat belajar manusia Banjar semakin tinggi. Untuk memfasilitasi semangat belajar itu, maka di Martapura pada 1914 berdiri sekolah Islam Darusalam, tahun 1940 di Amuntai berdiri sekolah Arabische School yang kemudian berubah menjadi Maahad Rasyidiyah dan tahun 1932 di Barabai berdiri sekolah Diniyah Islamiyah. Kemudian diikuti oleh madrasah Persatuan perguruan Islam, Madrasah Sarekat Islam, Madrasah Musyawatuttalibin, Sekolah Muhamadiyah, Sekolah Taman Siswa dan terakhir Perguruan Rakyat Parindra. Pendidikan yang disebutkan itu semacam proses inisiasi dari remaja ke dewasa. Kelak alumi dari sekolah-sekolah itu menjadi aktivis pemuda Islam yang bergerak dalam bidang politik, sosial, maupun kemasyarakatan. Dapat dikatakan juga bahwa sekolah-sekolah itu mempunyai andil besar dalam membangun budaya Banjar yang egaliter dan terkadang ide-idenya, apabila dicermati, kita akan acungkan jempol. Begitu juga dalam kehausan menuntut ilmu, banyak para ulama yang belajar agama ke Mekah, dan banyak juga pemuda Banjar belajar baik agama maupun non keagamaan ke Jawa.

Pengembaraan orang Banjar menuntut ilmu membuahkan hasil, paling tidak dalam melemparkan ide. Katakan saja, tahun 1949 masyarakat Banjar yang diwakili oleh Brigjen KH Hasan Basery menyatakan diri bahwa Kalimantan adalah bagian dari Negara Kesatuan Indonesia. Begitu juga keberanian warga Kalimantan Selatan yang bersama-sama dengan Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan berani membubarkan PKI yang saat itu masih kuat pamornya. Pada masa gerakan mahasiswa 1966, seorang pemuda mahasiswa Fakultas Hukum UNLAM. Banjar bernama Hasanuddin Mugdi mati tertembak dalam suatu demonstrasi mahasiswa. Gugurnya Hasanuddin Mugdi, apabila dilihat waktunya, lebih awal ketimbang Arif Rahman Hakim dari UI Jakarta dan KAPPI lainnya.

Paparan di atas mengisyaratkan bahwa roh dari pendidikan memberikan kesadaran manusia Banjar untuk selalu berubah. Ide-ide dan keberanian mengambil resiko merupakan buah dari pendidikan yang cerdas. Perubahan budaya dalam bentuk transformasi pendidikan masih berjalan atau masih berdialog. Dialog dalam transformasi yang akan melahirkan peradaban baru dari budaya Banjar.

Rekayasa Budaya
Perubahan budaya yang artifisal atau direkayasa biasanya diselenggarakan melalui kekuasaan, begitu hemat Kuntowijoyo. Mendiskusikan fokus dari relasi kekuasaan sedikitnya terdapat kata dominasi dan hegemoni. Dalam setiap dominasi akan selalu terdapat relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan itu kemudian dimantapkan dengan strategi menguasai sehingga tercipta hubungan yang berlangsung dalam tempo yang panjang walaupun di tengah jalan mengalami keterpurukan. Relasi hegamonik berupaya menciptakan ketundukan melalui perundingan konsensus secara aktif sehingga kekuasaan itu tampak dalam pelupuk mata.

Dalam konteks rekayasa budaya di Banua Banjar dapat dilacak ketika bersinggungan dengan budaya Barat, khususnya kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda merekayasa budaya melalui perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melemahkan. Awalnya melalui perjanjian pada pertengahan abad XVIII antara Kesultanan Banjar dengan Belanda yang membuat kesultanan yang awalnya memiliki etos perdagangan yang mobile dan bercorak urban, kehilangan mobilitasnya. Tuntutan budaya Belanda yang mengandalkan rasionalitas, efesiensi, dan produktivitas, ditambah dengan keserakahan sistem kolonial tidak memberikan ruang secuilpun kepada para elit lokal untuk berdialog secara kreatif. Fakta sejarah malah menyebutkan, banyak kaum bangsawan memposisikan dirinya menjadi bagian dari kekuasaan dari pemerintah kolonial. Apabila sebelumnya, para bangsawan patuh kepada sultan akhirnya berubah kepatuhannya kepada pemerintah kolonial. Bisa jadi kondisi ini yang disebut sebagai terjadinya pertukaran patron.

Ketika Perang Banjar meledak, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1860 menghapuskan Kesultanan Banjar. Sejak saat itu wilayah Kesultanan Banjar menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda oleh banyak ahli disebut sebagai sebagai suatu beamstaat (negara birokrasi) yang bertopang kepada kuatnya gelembung birokrasi, bukan pada dinamika politik yang bermuara dari masyarakat Banjar. Pemerintah Hindia Belanda dengan mesin birokrasinya yang modern berhasil meluluhlantakkan birokrasi tradisional yang diselimuti oleh aura mitologi. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda rupanya bersifat mendua dalam menerapkan sistem pemerintah di negara jajahan. Kemenduaan bersikap terlihat ketika ia menerapkan sistem in derect rule. Konsep beamstaat bermuasal dari perkembangan pemikiran Barat yang berproses dari abad XV sampai abad XIX. Konsep beamstaat memanfaatkan aparat pemerintahan tradisional (kaum bangsawan kesultanan) untuk dijadikan bagian dari birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Penerapan konsep beamstaat pemerintah Hindia Belanda oleh Umar Kayam disebut sebagai suatu proses yang hakekatnya merupakan pergeseran konsep kosmologis dari manusia Barat yang sekuler, rasional, dan materialis.

Negara birokrasi Hindia Belanda merupakan hasil rekayasa budaya yang diarsiteki oleh Belanda yang diterapkan kepada wilayah nusantara untuk kepentingan politik dan ekonominya. Untuk mengisi kekosongan aparat yang memiliki kapasitas bukan geneologis bagi negara birokrasinya ia mendirikan sekolah sesuai dengan anjuran salah satu dari politik etis yaitu pendidikan. Tentunya termasuk wilayah Kalimantan Selatan yang dalam administrasi Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan sebutan Zuid- en Oostkust van Borneo didirikan sekolah-sekolah yang akan mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk kepentingan pemerintahan Hindia Belanda ataupun untuk kepentingan pengusaha-pengusaha partikelir.

Pendidikan secara ideal tidak mengenal diskriminasi. Akan tetapi bagi pemerintahan Hindia Belanda sebagai penguasa diskriminasi diperlukan sebagai pembeda antara kelas penguasa dan yang dikuasai. Untuk merealisasi rencanyanya, maka pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembagian masyarakat menjadi tiga bagian, yaitu orang Asing Barat, Asing Timur, dan pribumi. Dapat dikatakan, pembagian masyarakat dalam kelas ini merupakan awal dari pencitraan bangsa kita yang majemuk yang direkayasa oleh kolonial.

Dalam relasi masyarakat majemuk biasanya terdapat kultur dominan yang berperan sebagai wadah pembauran. Tentunya predikat kultur dominan disandang oleh penguasa yaitu pemerintah Hindia Belanda. Dalam konsep kultur dominan ini, maka masyarakat dikonstruksi untuk mengakui, mematuhi, menjiplak kebudayaan penguasa. Tentunya hal ini berlaku juga di sekolah-sekolah pada masa itu. Dominasi penguasa untuk membangun diskriminasi tidak hanya dilihat dari perbedaan warna kulit. Bahkan diskriminasi untuk sesama bumiputera di ruang pendidikan itupun digelar. Katakan saja, bumiputera oleh pemerintah Hindia Belanda dibagi atas 3 kategori, kategori pertama, yaitu kategori A yang diperuntukkan bagi mereka yang menyandang predikat bangsawan, pejabat tinggi dan penguasa; (2) Kategori B diperuntukkan bagi mereka yang orang tuanya memperoleh pendidikan di MULO, sedangkan (3) Kategori C bagi mereka yang orang tua termasuk pegawai rendahan.

Di Banjarmasin antara tahun 1875-1889, pemerintah kolonial telah mendirikan sekolah kelas 2 yang diperuntukkan untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan menjadi guru dan sekolah kelas 1 bagi anak-anak dari golongan masyarakat atas dengan bahasa pengantar adalah bahasa Melayu. Sekolah itu disebut dengan sekolah raja atau Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers. Kondisi ini membuat tidak terjadinya dialog budaya, malah memunculkan relasi penguasa dan yang dikuasai, akhirnya budaya Banjar mengalami kemandegan kultural. Katakan saja, rekayasa budaya yang diintrodusir oleh kolonial Belanda bukan suatu pembangunan untuk masyarakat akan tetapi untuk kepentingan politik kekuasaan

Penutup
Perubahan kebudayaan dilalui melalui dua cara, yakni transformasi dan rekayasa. Masyarakat Banjar mengalami proses transformasi budaya dalam segala aspek melalui proses waktu yang panjang. Transformasi yang paling elok adalah dialog budaya antara masyarakat pra-Banjar dengan Jawa dan Islam. Pada akhirnya dialog budaya itu melahirkan dan memberikan identitas Banjar sebagai pembeda dengan suku bangsa lainnya yang memiliki sifat mobil yang tinggi.

Dalam sisi lain, kedatangan orang Belanda sebagai penguasa dengan kekuasaannya mengkonstruksi budaya bagi masyarakat Banjar untuk kepentingan politik membuat kemandagen budaya. Dalam arti lain, kebudayaan yang direkayasa oleh pemerintah kolonial tidak boleh terulang karena akan memunculkan ketumpulan kreativitas.

Ke depannya, belajar dari pengalaman sejarah di atas, maka perubahan kebudayaan melalui rekayasa budaya untuk mengeksplotasi masyarakat oleh individu, kelompok, maupun negara dengan tujuan politisasi harus dikubur.

Daftar Pustaka:
Cence, AA, 1928, De Kroniek van Bandjarmasin. Proefschrift. Amsterdam: Mees Antpoort.
Daeng, Hans, J, 2000, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dorleans, Bernard, 2006., Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Indonsia.
Ideham, M. Suriansyah, dkk, 2007, Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kayam, Umar, 1989, ”Transformasi Budaya Kita”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Ilmu-ilmu Humaniora, 2000. Yogyakarta; Gadjah Mada University.
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
_______,1987, Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kusmartono, Vida Pervaya Rasianti, 2002, ”Pemerintahan Early State Negara Dipa di Kalimantan Tenggara”, makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002 di Kediri.
Rees, WA, van, 1865, De Bandjarmasinsche Krigt van 1859-1863. Arnhem: Thema.
Reid, Anthony, 1992, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor.
Steenbrink, A, Karel, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX. Jakarta: Bulan Bintang
Sumardjo, Jakob, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam.
Taylor, Jean Gelman, 2005, ”Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940”, dalam Heng Schulte, Nordholt (ed.), Out Ward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: Lkis.
Ukur, Fridolin, 1971, Tentang Jawab Suku Dayak. Jakarta: Sekolah Tinggi Theologi.
__________
MZ Arifin Anis, Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

-

Arsip Blog

Recent Posts